Jaket Ayah | Cerpen Eep Saefulloh Fatah


Oleh Eep Saefulloh Fatah

SEMUA bermula pada pagi yg sialan itu. Aku diminta mengawalayah berjumpa seorang ketua partai di resto hotel itu. Menemani artinya menyopiri, memarkir mobil, lalu menyusul ke resto & duduk membisu di samping ayah selama obrolan berlangsung.

Ayah tak mau ada fitnah. Karena itu, ananda mesti temani ayah selama konferensi. Kamu catat dlm hati yg dikatakannya nanti,“ kata ayah berkeras mengajakku tatkala gue menolak ajakannya dengan-cara halus.

Sesuai permintaan, gue catat baik-baik semua yg dikatakan laki-laki setengah baya dgn wajah bundar & perut yg lebih bulat lagi itu. Partainya alami krisis kader. Mereka butuh kandidat pemimpin yg terbukti higienis. Mereka ingin usung ayah selaku calon bupati.

Keculasan mengintip di balik sorot matanya. Ekspresi bibirnya menawarkan betapa mudah ia melecehkan musuh bicara. Bahasa tubuhnya mengingatkanku pada tukang sulap yg menyembunyikan kebohongan lewat gerakan badan cepat & akal-akalan berwibawa. Dari cipratan ludahnya tatkala berbicara, gue mirip mencium wangi pengkhianatan yg sudah disiapkan sebelum perjanjian dibentuk. Tapi Ayah terlihat tersihir, mengangguk-angguk takzim.

Di telingaku, kata-kata bersayap ketua partai itu mirip bunyi burung gagak yg bersiap menukik menyerbu mangsa. Tapi ayah tertegun, seolah bertemu kata-kata mutiara sarat kebajikan. Pagi itu gue mirip berkenalan ulang dgn ayah.Ternyata Ayah tak sanggup dipuji tinggi. Ayah gampang terbuai oleh rayuan murah, dikemas seruan `berbakti pada negeri’. Ayahku yg kukuh praktis dirobohkan luapan pujian.

Sejak pagi sialan itu, hidup kami berubah.

*****

Ibu yg paling keras menentang harapan ayah.

Sudahlah, Pak. Kita syukuri saja yg kita miliki sekarang. Ini saatnya bapak pensiun, menikmati hasil kerja keras selama ini dgn istirahat & berpuas-puas bermain dgn cucu. Kita mampu sering mengunjungi Sari, Yusuf, & Nilam di Jogja. Juga Sekar, Andi, & Johan di Makassar. Berganti-ganti. Untuk apa bikin-bikin kegiatan baru?

Sari & Sekar pula meminta ayah menimbang ulang niat untuk menyanggupi ajakan ketua partai itu. “Aku enggak suka politik & enggak pernah akan suka,“ kata Sekar melalui telepon. Sari lebih tegas, “Politik kan cuma dunia buat para penipu bermulut manis.

Aku terang-terangan menentang sebab merasa paling berkepentingan. Sebab, sudah terbayang dalam waktu dekat gue akan jadi sopir ayah ke mana-mana. Akulah yg akan dipercaya ayah menemaninya memiliki masalah dgn orang-orang partai itu. Sebagai bungsu yg menganggur, gue yg pula akan jadi bodyguard ayah dlm semua urusan ini. Menganggur? Tidak juga. Aku sedang tersendat menyelesaikan skripsi. Kelas kuliah sudah tak ada. Ke kampus cuma sesekali tatkala butuh panduan.

  Desa Nasi Basi | Cerpen Afika Awwaliyah Rozzaq

Tapi ayah berkeras. Setelah tiga kali para pengurus partai itu berkunjung ke rumah, pertahanan ayah benar-benar jebol. Saat gue perlihatkan kemarahanku alasannya adalah ayah begitu mudah terbuai oleh rayuan politisi itu, Ayah malah balik murka.

Tahu apa kamu? Ayah tak mau pengabdian berhenti, sementara tenaga & waktu ayah terbuang tidak berguna. Ayah tak mau durhaka pada tanah air yg menghidupi ayah. Menghidupi kita!“ Sejak itu, gue tak pernah lagi mau berdebat dgn ayah. Membayangkannya saja sudah bikin capek. Apalagi melakukannya.

Ketegangan membuat rumah kami terasa lebih sesak dr lazimnya . Ibu & ayah bicara seperlunya. Aku memilih merepotkan diri dgn pikiranku sendiri & menyingkir dari bicara soal pencalonan ayah.

Suatu hari, gue mendapati ibu menangis di pojok ruang keluarga sesudah ayah meminta izin, tepatnya memberitahu ibu, untuk menggunakan dana di simpanan mereka. Ayah yg sejak sebelum purnawira tak pernah membuka usaha & hidup lurus tak memiliki cadangan dana selain simpanan. Tatkala ia merasa terdesak untuk membiayai penggalangan sesuai desakan para pengurus partai itu, simpanan satu-satunya andalan Ayah. Jika pun ada yg lain, dua bidang tanah tak begitu luas di Lamongan, kampung halaman ibu, yg tentu tak akan mudah terjual.

Aku lemas mendengar ayah akan menyedot tabungannya. Aku tahu, pasti ibu yg mendampingi ayah sejak perwira muda lebih lemas lagi. Aku cuma mampu menghampiri ibu & memeluknya.

Apa gunanya 30 tahun menabung kalau mau dihamburkan untuk tiga bulan yg tidak berguna…?“ Hanya unek-unek yg lebih mirip lenguhan ibu ini yg menyeruput kupingku saat kami berpelukan mirip dua pohon pisang gres ditebang, yg saling condong ke depan.

Ibu tampak lebih bau tanah. Aku menjalani masa yg paling pendiam sepanjang hidupku. Sari & Sekar sudah tak lagi menelepon kami. Mereka mengelak sambil menyimpan ketidaksetujuan. Kini kami tahu, keras hati ayah yg selama ini kami banggakan yakni kekuatan sekaligus kelemahannya. Tapi ayah malah sebaliknya. Lebih senang berdandan. Lebih sadar memadupadankan warna baju & celana yg dipakainya. Lebih banyak tersenyum & berangasan.

Energiku & energi ibu mirip terserap habis & berpindah menjadi energi ayah yg berlipat-lipat. Semangat ayah semakin bergolak sehabis beberapa baliho dgn wajah ayah & ketua partai itu bermunculan di beberapa sudut kota. Terlebih-lebih sesudah nama ayah, Kolonel (Purn) Sangaji Putrandi, kian sering disebut di koran setempat.

  Penglihatan | Cerpen Mashdar Zainal

Wajah ayah tampak kian berkilau tatkala mulai jadi tamu langganan program pamer mahir televisi lokal. Setiap kali mengirim ayah ke stasiun televisi yg lebih ibarat kantor balai desa tak terurus itu, gue mengurut dada, menjumlah membisu-diam berapa juta rupiah yg mesti ayah keluarkan untuk membeli jam siaran itu sambil akal-akalan jadi narasumber tamu terhormat yg diundang.

Kepalaku makin pening setiap mengenang ratusan juta yg sudah ayah serahkan untuk biaya koordinasi, konsolidasi partai, & ratusan juta lainnya untuk duit paras mahar. Huh, mereka menggunakan kata `mahar’ untuk membungkus dgn mulia praktik pemerasan umumitu!

*****

Di kendaraan beroda empat kami selalu tergantung sehelai jaket warna jelas. Ayah menggantungnya di sana & mesti tetap di sana, tak boleh kami turunkan.

Bisa ada undangan sewaktu-waktu. Bisa ada acara sewaktu-waktu. Ayah harus selalu siaga. Tak boleh ayah kecewakan mereka yg sudah mendukung.“ Begitu alasan ayah yg tak bisa, tepatnya tidak mau , gue & ibu bantah.

Jaket itu senantiasa menyambar mataku dr kaca spion di atas kepalaku yg celakanya mesti sering kulirik setiap menyopiri ayah. Menemani artinya menyopiri, memarkir kendaraan, kemudian berlaku seperti asisten ayah dlm setiap acara penggalangan. Menemani mempunyai arti pula merelakan telinga , fikiran, & hatiku dihantam pidato demi pidato menjemukan, berisi kebohongan berkedok empati pada warga yg dikumpulkan.

Aku menangis dlm hati setiap menonton ayah bicara. Sebab, gue tahu ayah bicara tulus. Aku kenal ayah. Terlepas bahwa ternyata ia gampang dibikin mabuk oleh sanjungan oleh sanjungan setinggi langit, sepanjang hidup ayah mengabdikan diri untuk Merah Putih. Di simpulan kariernya, ayah adalah perwira yg lurus, mantan petarung di medan perang yg dihormati alasannya integritasnya terjaga.

Maka, yg mereka sebut penggalangan itu bagiku yakni drama menyedihkan yg dimainkan ayahku dgn segenap ketulusannya, dikelilingi politisi yg menebar kepalsuan tanpa malu. Makin lama kemarahan makin menggila di ubun-ubunku, tapi tak pernah meledak karena tertahan oleh rasa hormat & prihatinku yg mendalam pada ayah.

Tapi, semua itu tak mampu kusembunyikan. Makanya, gue relakan saja semua orang mengenalku sebagai `anak bungsu Pak Kolonel Sangaji yg kaku, senantiasa tegang & tak pernah tersenyum’.

  Maling | Cerpen Putu Wijaya

Jaket ayah seperti monumen kekalahan gue & ibu. Jangankan saat dikenakan ayah yg senantiasa penuh senyum tatkala memakainya. Tatkala sekadar tergantung di dlm mobil saja, jaket itu seperti meledek kami dgn cerewet. Bagiku, jaket ayah bukan cuma mengganggu mata alasannya warnanya yg norak, tetapi pula bagai hantu jelek rupa yg menguntitku ke mana-mana. Pernah sekali waktu kulipat sehingga tak terlalu mengganggu pandangan kaca spionku, tapi ayah murka di luar dugaanku. Sejak itu, gue berupaya erat dgn jaket itu. Rencana persahabatan yg gagal namun betul-betul tak mampu kuhindari.

*****

Aku tak tahu, haruskah gue bersyukur atau bersedih dgn peristiwa malam itu. Duduk di samping ayah mirip biasa, gue mengikuti drama tragis yg dimainkannya. Pendaftaran kandidat bupati & wakil akan ditutup sepekan lagi. Maka, konferensi besar diadakan untuk meresmikan pengusungan partai pada ayah. Tapi konferensi itu melenceng jauh dr impian ayah.

Di tahap penentuan tamat ini, kandidat bupati yg akan kita usung mesti memenuhi dua syarat,“ kata ketua partai dgn dingin & keculasan yg tak mampu ia sembunyikan dr matanya.

Ia harus menyediakan dana pemenangan partai sebesar Rp5,5 miliar. Tunai. Selambatnya diserahkan besok siang. Lalu, ia mesti bersedia dipasangkan dgn kandidat wakil bupati yg sudah ditetapkan oleh pengelola pusat,“ lanjut ketua sambil menyebut nama seorang penyanyi dangdut.

Aku tak mengenal nama itu dgn baik. Yang kuingat, ibu pernah berkali-kali mengomentari bajunya yg terlalu minim ketika kami menontonnya selewatan alasannya berpindah-pindah channel televisi.

Aku tak mau lagi mengingat-ingat sisa pertemuan itu. Yang tak mampu gue lupa yakni ayah yg meledak alasannya adalah merasa diperalat. Aku tahu persis. Bukan saja tak punya uang sebanyak itu, ayah pula merasa dilecehkan berlipat-lipat. Lebih-lebih dgn pemasangan yg dipaksakan dr Jakarta itu.

Jaket ayah teronggok di dingklik belakang kendaraan beroda empat kami sepanjang perjalanan pulang malam itu. Ayah duduk di sampingku tanpa suara. Matanya yg lazimmenyala-nyala terlihat redup. Tegang di parasnya membuat gue tahu, masih banyak kemarahan yg belum diluapkan.

Tanpa kata-kata ayah turun dr mobil, lalu masuk ke musala kecil kami di lantai atas. Hingga dini hari, tatkala gue sudah tak sanggup lagi menahan kantuk, ayah belum pula keluar dr sana.

Esok paginya gue menyaksikan ibu membakar jaket ayah di halaman belakang. Mata ibu redup tetapi mulai kembali hidup.


2014