“Anda betul-betul terjangkit tak bisa tidur akut. Sepekan tak tidur itu batas optimal tubuh manusia. Anda harus tidur,” kata Dokter Kamal. Pendingin udara menggelontorkan udara di suhu 20 derajat dgn pengharum ruangan aroma citrus.
Hamdani duduk melamun mendengar semua klarifikasi Dokter Kamal. Tubuhnya lesu tak bernafsu. Wajahnya pucat alasannya adalah kurang tidur.
“Kalau sulit tidur ini semakin parah, kesehatan Anda akan terganggu. Yang lebih parah adalah kerusakan organ dalam. Saya sarankan Anda menghemat pekerjaan & menenangkan pikiran.”
“Sebenarnya, saya ingin sekali tidur, tapi saya tak berani tidur, Dok. Pikiran saya hening, Dok,” Hamdani mengangkat wajah & memperlihatkan lingkar hitam di matanya yg melebar.
“Lantas apa penyebab Anda tak bisa tidur?”
“Saya takut tidur?”
“Takut?” Dokter Kamal mendecap heran. Bagaimana mungkin ada orang waras yg panik untuk tidur? Padahal, banyak orang yg berleha-leha & tidur saja sehari penuh. Hamdani pengecualiannya.
“Bagaimana bisa?”
“Setiap saya tidur, saya mimpi buruk. Makanya, saya takut tidur, Dok.”
“Sudah berapa usang?”
“Saya sungguh-sungguh takut tidur sepekan ini.”
“Baiklah, saya beri Anda vitamin & beberapa obat penenang semoga pikiran Anda nyaman,” Dokter Kamal menuliskan resep & menyerahkan pada Hamdani untuk ditebus di apotek rumah sakit. Dokter Kamal pula menyarankan supaya makan dua butir apel hijau sebelum tidur. Kandungan vitamin & aroma apel akan membuat pikiran damai & mudah terlelap tatkala tidur.
Hamdani melangkah keluar dr klinik Dokter Kamal dgn kalem. Langkahnya tegap, tapi terlihat lemah alasannya adalah lelah menanggung beban.
Mimpi–mimpi itu datang seperti borok di tengah padang kenyamanan. Mimpi baik hadirnya dr Allah & mimpi jelek hadirnya dr setan. Mimpi yg terjadi di alam khayalan, kemudian menjelma menjadi realita di kehidupan sehari-hari Hamdani. Seolah, mimpi yg diturunkan pada Hamdani yakni cuplikan kejadian masa depan yg digratiskan Allah kepadanya.
Mimpi pertama yg tiba di tidur Hamdani yaitu mimpi berjumpa seorang gadis bernama Nurjannah. Hamdani duduk di kursi tunggu kereta. Kaki Hamdani disilangkan di kursi sambil menenteng koran pagi hari. Lalu, seorang perempuan tiba-tiba menubruk kaki Hamdani. Wanita itu terjatuh & terhamburlah semua isi tas yg ditenteng. Kemudian, mereka berkenalan & saling bertukar nomor telepon. Mimpi itu menjadi positif tiga hari kemudian.
Hamdani mengambil perjalanan liburan ke Yogyakarta menaiki kereta dr Gambir. Tanpa disadarinya, semua yg dilaksanakan sambil menunggu kereta berangkat pagi itu persis dgn yg dilakukannya di alam mimpi, beberapa waktu kemudian. Lalu, insiden yg pernah dialami Hamdani di mimpi terjadi di hadapan. ia membaca koran, ditubruk perempuan bernama Nurjannah, bertukar nomor telepon.
“Sepertinya, gue pernah mengalami insiden ini,” kata Hamdani pada Nurjannah saat duduk bareng di kursi tunggu.
“Maksudmu de javu?” tanya Nurjannah.
“Bukan, sementara waktu lalu gue mimpi peristiwa ini. Dan, kini ini menjadi kenyataan,” Hamdani serius menceritakannya.
“Ah, ananda berlebihan saja. Tapi, gue besar hati, mempunyai arti gue lebih dulu masuk ke mimpimu sebelum kita bertemu.” Hamdani & Nurjannah saling pandang & tawanya berderai sepanjang perjalanan ke Yogyakarta. Enam bulan kemudian mereka menikah.
Selepas itu, berturut-turut Hamdani memimpikan hal-hal yg akan terjadi hari- hari selanjutnya. ia tak jadi naik busway suatu pagi alasannya ia ingat mimpinya bahwa akan ada kecelakaan busway yang menewaskan semua penumpang. Dan, benar setibanya di kantor, Hamdani membaca portal isu ihwal suatu busway yang menabrak kendaraan beroda empat & meledak. Semua penumpang meninggal. Tengkuk Hamdani meremang saat itu juga.
“Apakah mimpi-mimpiku ini ialah semacam tanda dr Allah?” gumam Hamdani seorang diri. “Tapi, gue bukan orang salih yg mimpinya bisa diartikan wahyu? Apa ini pekerjaan setan yg menjajal mengganggu keimananku?”
Hamdani mencoba menikmati semua hal yg didapat gratis & telah tahu lebih dulu apa yg akan terjadi esok hari. Tapi, makin usang, mimpi-mimpi itu berganti menjadi gangguan dlm hidup Hamdani.
Rasanya, menjadi penonton belaka, andai tahu apa yg akan terjadi, namun tak bisa berbuat apa-apa. Hanya selaku penonton. Andai adegan yg akan dilihatnya senang, Hamdani ikut bahagia. Sebaliknya, dikala adegan mengerikan terpampang Hamdani menjadi orang paling curang di dunia.
“Mengapa mesti diberi tahu yg terjadi di masa depan jikalau gue tak bisa menggantinya?” protes Hamdani di tengah shalat malamnya. “Duh Allah, apa Engkau hendak menyiksaku dgn ramalan-ramalam yg menyeramkan ini?”
Mimpi-mimpi Hamdani selanjutnya yaitu mimpi-mimpi yg mengerikan. Hamdani melihat banjir besar yg menewaskan banyak orang, tanah longsor yg menimpa satu kampung, gunung yg lama mati, tiba-tiba meletus & merenggut banyak nyawa orang, atau ombak besar yg menerjang suatu Ferry.
Keringat Hamdani membanjiri sekujur tubuh. Kaus & celananya kuyup keringat. Dadanya bergemuruh. Pikirannya berkeliaran entah ke mana. Menggigil. Apa yg harus dilakukannya dgn mimpi-mimpi yg sedemikian menyeramkan itu?
“Mimpi itu bunga tidur,” kata Nurjannah. “Nggak usah dipikir dalam-dalam. Nanti ananda sakit sendiri,” tambahnya.
“Tapi mimpi itu begitu konkret. Aku bisa mendengar jeritan korban & merasakan kesedihan mereka.”
“Aku pula bisa merasakan demikian jika sedang nonton film,” komentar Nurjannah begitu enteng.
“Tapi, mimpi-mimpiku sebelumnya menjadi kenyataan,” Hamdani mencoba menenangkan pikirannya. Nurjannah sudah bangkit dr kasur & mengucek-ucek mukanya biar tampak lebih segar.
“Persentasenya?”
“100 persen.”
“Sudah-telah. Bencana bisa terjadi di mana-mana. Mungkin mimpimu itu akan terjadi di ujung bumi yg begitu jauh dr kita. Tidur & berdiri itu atas pengawalan Allah,” imbuh Nurjannah.
Hamdani menjajal menenangkan pikiran dgn melafazkan doa bangkit tidur.
Namun, beberapa bulan kemudian Gunung Kelud meletus, Bandung & Jakarta banjir, Aceh banjir bandang, Banjarnegara longsor. Hamdani kembali teringat mimpi-mimpinya yg hampir sama. Mimpinya kembali menjadi realita & menciptakan Hamdani tak berhenti menyesali diri.
Sejak itulah Hamdani memutuskan untuk tak tidur. Itu bentuk protes pada Allah semoga tak usah lagi memberinya cuplikan kejadian apa pun di masa mendatang. Hatinya begitu rapuh menyaksikan kesedihan lebih dulu dr kebanyakan orang. Tubuhnya tak kuat. Agar tak kedatangan mimpi, Hamdani tidak mau terlelap. Meski istrinya, Nurjannah, terus menasihati supaya mengistirahatkan tubuhnya.
“Bagaimana, nasehat Dokter Kamal?” tanya Nurjannah.
Hamdani terduduk. Kemudian, menggeleng. Nurjannah menyodorkan segelas teh manis hobi Hamdani. Hamdani menyeruputnya sedikit, sebelum ditelakkan begitu saja.
“Aku mesti memaksa diriku untuk tidur, kata Dokter Kamal. Itu satu-satunya terapi semoga gue bisa lepas dr tak bisa tidur menjengkelkan ini.”
“Benar itu, tubuhmu punya hak untuk istirahat,” tambah Nurjannah.
“Tapi, gue tak mau kehadiran mimpi-mimpi sarat ramalan itu.”
“Berdoa dahulu. Agar tidurnya nyenyak & tak diganggu setan,” Nurjannah menyiramkan kata-kata penuh penenangan.
“Aku lebih enak dihantui bayang-bayang masa silam, daripada harus dipertontonkan masa yg akan tiba. Itu menyeramkan.”
“Sudahlah, tidurlah sekarang. Kamu mesti istirahat, gue akan menungguimu.”
Hamdani mengeluarkan beberapa obat yg dibelinya dr apotek. Vitamin & obat penenang biar Hamdani gampang terlelap tidur. Segelas air putih diteguk habis Hamdani sambil menelan beberapa pil sesuai tawaran Dokter Kamal.
“Di kamar, ya?” Nurjannah menyarankan Hamdani.
“Tidak usah. Di sini saja. Mungkin di sofa gue tak akan kedatangan mimpi,” Hamdani kemudian meluruskan kaki & mengganjal kepala dgn batal kecil. Nurjannah menurunkan suhu pendingin ruangan & membawakan selimut untuk Hamdani.
“Kamu jangan pergi, ya?” pinta Hamdani. “Kalau mimpi jelek itu datang lagi, gue akan berteriak & segera bangunkan aku.” Hamdani masih saja mengkhawatirkan mimpi- mimpi itu.
Hamdani menutup matanya. Badannya terus dibolak-balik mencari posisi pas untuk terlelap. Lima belas menit Nurjannah menunggui & menepok-nepok paha Hamdani seperti seorang bayi. Beberapa menit kemudian, dengkuran halus Hamdani mulai terdengar. Nurjannah menghela napas lega.
Lalu, Hamdani ditinggal ke dapur mempersiapkan hidangan makan siang.
“Allahu akbar!” teriak Hamdani & saat itu juga bangkit.
“Ada apa?” tanya Nurjannah yg tergesa- gesa berlari dr dapur sampai lupa masih memegang wortel & pisau.
Hamdani menangis kembali. Air matanya lebih banyak. Hamdani tak aib harus tergugu di depan istrinya.
“Mimpi lagi?” tanya Nurjannah. Hamdani mengangguk.
“Meludah ke kiri tiga kali & ta’awuz,” saran Nurjannah.
Segelas air putih diteguk Hamdani.
“Mimpi apa?”
“Aku duduk di kabin pesawat. Sejenak kemudian, pilot memberi keterangan pesawat akan berguncang karena melewati gugusan awan amat besar. Penumpang mesti bersedia dgn sabuk pengaman. Guncangan andal terjadi. Sirine meraung di tengah-tengah kabin. Keriuhan & kecemasan mengudara bareng agen rahasia orang yg seolah melihat malaikat ajal di hadapan mereka. Lalu, gelap. Dan, tak ada bunyi lagi. Pesawat itu jatuh.”
Nurjannah diam. Hamdani kembali menangisi kekerdilannya alasannya adalah tak bisa berbuat apa-apa terhadap mimpinya. Apalagi, mengganti yg akan ditakdirkan Allah.
“Kita mesti bagaimana?” tanya Hamdani sambil terisak.
Tidak ada jawaban. Hanya bunyi gosip di televisi yg mengabarkan insiden mengerikan menguasai ruangan. (*)