Impianku | Cerpen Etik Nurhalimah

(Bagian I)

Tak banyak yg kupinta Tuhan, hanya seulas senyum di masa depan. Saat toga disematkan, ijazah tabung gue genggam. Kebahagiaan bapak & emak mengembang. Biarkan jemari melukis indahnya mimpi menjadi kasatmata. Sebagai bakti seorang anak pada orang bau tanah.

“Nek, hari ini mau jalan-jalan tidak?” tanyaku pada nenek, perempuan berumur 95 tahun yg nyaris enam tahun kujaga.

“Tidak, Ami. Hari ini saya tak enak badan,” jawabnya pelan. Disertai tarikan selimut untuk menutupi kembali tubuh rentanya. Seolah tak ingin terendus sinar matahari.

Bukan hal mudah menuruti kemauannya–laksana anak kecil–ia ingin selalu diamati & dimanja. Usianya yg hampir seabad membuatnya kerap lupa & pikun. Tak jarang, sesuatu yg sudah diberikannya, akan dicari kembali. Dengan dalih kehilangan barang yg dicinta.

Namaku Aminah, anak sulung dr empat bersaudara. Berasal dr Desa Sidodadi, Sekampung Udik. Sebuah desa kecil yg mengajarkanku arti kehidupan, ketegaran, & perjuangan. Wanita seusiaku–yang sudah kepala tiga–bila di kampung telah memiliki anak dua ataupun tiga. Karena bila lewat tujuh belas tahun, bisa dikelompokkan menjadi perawan renta. Sedangkan aku? Entah berapa kali lebaran & takbir berkumandang, selalu di perantauan. Mulai dr membantu menyekolahkan ketiga adik-adikku, hingga kini mereka sudah menikah, & punya anak.

Setelah kusiapkan sarapan pagi untuk ia, dgn terampil kuambil tas ransel hitam untuk pergi berbelanja. Selain mengelola nenek, membersihkan rumah, & mengirim ke rumah sakit, gue pun mesti ke pasar berbelanja sayuran & kebutuhan yang lain. Aku tinggal bersama majikan & nenek. Majikanku Shu Cang Lai. Beliau tak menikah. Meski hampir enam tahun gue mengabdi di rumah ini, belum pernah gue menyaksikan foto seorang perempuan pun di kamarnya. Apalagi melihat ia bersama kekasih. Sedangkan nenek memiliki empat orang anak. Tiga laki-laki, yg paling bungsu perempuan.

“Paman, kangkung ini satu ikatnya berapa?” tanyaku pada pedagang , seraya menentukan kangkung hijau yg masih segar.

“Dua puluh lima dolar saja, Nona. Segar-segar loh! Kamu boleh memilih, kalau membeli banyak gue kasih murah.”

“Terima kasih, Paman. Aku beli dua ikat saja,” seraya kuulurkan uang logam satu keping. Bertuliskan lima puluh dolar. Tidak lupa kuucapkan terima kasih pada lelaki paruh baya itu.

Majikanku bukanlah tipikal orang yg tak punya. Karena setahuku ia seorang yg bermain saham. Meskipun tak pernah pergi melakukan pekerjaan , tetapi tetap menerima penghasilan. Hanya saja dlm perihal keuangan, perhitungannya sangatlah kikir. Semua jenis pengeluaran mesti ditekan seirit mungkin.

Ransel hitam yg kutenteng sudah penuh & sesak. Terjejal beberapa ikat sayuran, buah, & ikan, serta bumbu-bumbu dapur lainnya. Sesegera mungkin kulangkahkan kaki menuju apartemen Yonglun Li, Taipei, daerah gue bekerja. Karena untuk berbelanja pun, nenek memberiku tenggat waktu. Tidak boleh terlalu usang. Nenek paling tak suka jikalau gue bercakap-cakap dgn sesama pekerja Indonesia. Di benaknya, jikalau sesama pekerja mengobrol, niscaya tengah membahas majikan masing-masing. Padahal semua tak benar. Kami sama-sama saling menyapa.

  Yang Mulia Cerpen Insan Budi Maulana

“Saya pulang, Nek,” sapaku pada perempuan renta yg duduk di atas sofa.

“Kamu belanja apa hari ini, Ami?” celetuk nenek.

“Hari ini saya membeli kangkung, Nek, buah, & beberapa lauk-pauk.”

“Tiap hari kok makan kangkung?” tandasnya ketus.

“Lah, Nek. Kemarin-kemarin kan kita masak sawi, brokoli, & kubis? Hari ini kebetulan kangkungnya segar-segar, makanya gue beli.”

Nenek termenung. Sifat pikun & ingin tahu seolah sudah menyatu dgn kulit putihnya.Tabiat mengatur yg identik dgn profesinya dahulu selaku guru tak pernah hilang. Ia memperlakukanku mirip muridnya. Apa pun senantiasa dikontrol, dinasihati. Tidak boleh ini & itu. Harus begini & begitu.

*****

Lonceng jam dinding berdentang dua belas kali. Pertanda waktu makan siang sudah tiba. Setelah semua sajian tersaji di meja, lalu kupersilakan mereka untuk makan. Pada Senin sampai Jumat, anak pertama nenek yg kupanggil Ta Ke tiba kemari untuk makan. Maklumlah untuk menekan budget pengeluaran rumah tangga, kan uangnya mampu untuk kebutuhan lain. Itulah penuturan yg kudengar dr nenek.

“Nenek, Tuan, Ta Ke. Silahkan makan,” ucapku seramah mungkin.

“Baik, Ami. Terima kasih,” timpal majikan seraya menuju ke meja makan.

Sementara mereka makan, gue membersihkan dapur & perabotan. Selama melakukan pekerjaan di sini, gue tak pernah makan bersama. Selalu menunggu mereka selesai. Dan kesudahannya, cuma tersisa beberapa helai sayuran, kepala, & duri ikan. Yang tak layak untuk dimakan. Untung ada sebotol sambal terasi yg kubeli ketika libur. Sedikit memberi rasa & menemani gumpalan nasi putih di dlm mangkuk.

Sebenarnya ingin sekali gue memisahkan masakan sebelum kutaruh di meja. Tetapi apa yg harus disisakan? Semua menu jumlahnya sedikit. Jika kuambil duluan, akan tertangkap tangan. Dan tak patut untuk disuguhkan. Hanya tabah yg mampu kulakukan.

Teringat pesan emak tatkala gue lelah menghadapi usaha hidup, ia senantiasa mengingatkan, “Nduk, dunia ini keras. Bahkan ia takkan pernah memperlihatkan suatu kebahagiaan pada penghuninya dengan-cara gratis. Dan prospek yakni tiang penyangga dunia. Untuk itu tetaplah semangat.”

Aku masih teringat, bagaimana seluruh kerabat & tetangga mencemooh kita, lantaran emak berupaya mencari pertolongan duit untuk membeli beras saat adikku yg bungsu masih bayi. Kala itu, bapak belum pulang dr buruh panjat kelapa. Sedangkan kami sepanjang hari belum makan. Saat itu, emak tak bisa bekerja mencuci baju di rumah tetangga, alasannya adalah gres melahirkan.

  10+ Acuan Kisah Hantu Positif Menyeramkan Pendek Modern

“Makanya kalau gak punya uang jangan beranak terus. Sudah tahu hidupnya sulit, anak malah dibanyakin,” kata Bude Yati, tetangga sebelah kami yg waktu itu memasarkan sayuran keliling.

Berkat jerih payahku, alhamdulilah tetangga yg dahulu mencibir mulai berpikir. Jika manusia mau berupaya, niscaya ada jalan keluarnya. Sepuluh tahun bukan waktu yg singkat untukku berkelana sebagai buruh migran. Mulai dr Singapura, Hong kong, & kini Taiwan-lah destinasi terakhirku.

Tak cuma melakukan pekerjaan , gue di sini pula meneruskan pendidikan ke jenjang perkuliahan. Secara diam-membisu. Aku ingin merealisasikan suatu harapan yg tertunda, karena dahulu terbentur biaya. Selain pulang membawa duit, pula membawa ilmu. Yang bisa dimanfaatkan sesudah gue tak lagi bekerja di luar negeri. Aku bersekolah di sekolah tinggi tinggi, yg menyediakan pembelajaran online. Setiap langsung dituntut untuk mandiri dlm menjangkau prestasi.

*****

“Ami …,” teriakan nenek membuyarkan lamunanku. Suara stereonya menggema ke seluruh ruangan.

“Iya, Nek. Aku datang,” balasku dgn tergopoh-gopoh.

“Kamu ada lihat duit saya gak? Saya taruh di laci ini, tapi sekarang enggak ada.”

“Wah, gue tak menyaksikan, Nek. Kan nenek melarangku untuk membuka laci ini? Makara gue tak pernah membuka, apalagi membersihkan.”

“Uang saya hilang. Enggak ada orang lain yg masuk ke rumah ini. Cuma saya, kau, & anak saya,” gerutu nenek dgn nada meninggi.

Aku mengigit bibir, sepasang mata ini berjuang keras menahan embun yg berdesak hendak keluar. Memuntahkan kekesalan & sakit hati, atas tuduhan yg tak berbukti. Karena ini, bukan kali pertama nenek menuduhku selaku pencuri. Dulu pula pernah terjadi. Ia kehilangan duit lima ribu dolar. Dan ternyata, uang itu digunakan untuk memperbaiki kloset WC yg pecah.

Rupanya tak cuma hingga sini nenek mencari gara-gara. Tatkala majikan pulang pun, ia tetap berpikir bila uangnya sebanyak lima belas ribu dolar hilang. Jangankan mencuri, menyaksikan bentuk & tumpukannya saja gue tak pernah. Apalagi duit berjumlah banyak, duit receh sisa belanja pun diminta lagi, jika gue pulang dr pasar. Uang untuk membeli koran saban hari sepuluh dolar pun tak dilebihkan. Jika sepekan maka ia akan merencanakan sebanyak tujuh puluh dolar.

“Ami, kata nenek uangnya hilang. Apa ananda melihatnya?” tanya Tuan Shu sarat selidik.

  Calon Kepala Dinas | Cerpen Abul Muamar

“Tidak, Tuan. Saya tak menyaksikan, apalagi mengambil. Mungkin nenek lupa menaruh uang itu,” jelasku.

“Saya tak lupa! Saya belum pikun,” sembur nenek dgn nada menyalak.

Akhirnya Tuan Shu menyuruhku pergi ke belakang, untuk menyingkir dari perkelahian dgn ibunya. Tetapi semenjak peristiwa itu, sikap tuan & nenek sangat berubah. Mereka berdua tak acuh padaku.

*****

Dengan runut, gue terus membersihkan tubuh nenek. Mulai punggung, lengan, dada, paha, hingga pergelangan kaki. Nenek hanya mau dilap, katanya tak perlu mandi. Agar mengurangi air. Aku terhenyak. Saat sedang mengelap potongan mata kaki nenek, entah disengaja atau tidak, tiba-tiba nenek menjambak ekor rambutku yg kuikat tinggi. Hingga seringaian sakit kurasakan.

“Nenek, apa yg kau lakukan?” desisku kesal.

Tapi nenek hanya diam. Tanpa mengucap sepatah kata pun. Seolah tak bersalah. Sebenarnya bisa saja gue balik memukul dia. Toh… sudah renta ini. Tenagaku jauh lebih kuat dibanding tenaganya, yg terbalut kulit keriput. Namun kuurungkan niat itu.

*****

Kling. Sebuah panggilan di messengger masuk dr sahabatku, Dewi. Ia menanyakan, kenapa Skype-ku hingga kini belum menyala. Padahal lima menit lagi kelas daring dr dosen akan dimulai.

“Ayo, Ami. Semangat. Ini adalah semester tamat kita. Pastikan kita harus menyemat toga di program graduation perdana di university. Bukankah kau ingin pulang & mengajak orang tuamu untuk merayakan wisuda bareng ?” bujuk Dewi penuh semangat.

“Kamu tahu, Wi. Hari ini gue dituduh mencuri duit nenek, belum lagi rambutku yg pula ia jambak. Aku sakit hati, & murung sekali,” jelasku, disertai buraian air mata menjatuhi pipi.

“Come on, girl. Mana Ami yg kukenal dulu? Laksana kerikil karang di tengah lautan, akan tetap hening meski topan menerjang.”

Sedihku hilang. Malasku melayang. Laksana mendapat asupan nutrisi & gizi dr ucapan Dewi, sahabatku. ia memang sahabat yg baik & mengetahui akan diriku. Bahkan, dialah satu-satunya sobat yg tahu, kalau selama ini gue berkuliah dengan-cara diam-membisu. Tanpa sepengetahuan tuan & nenek.

“Siapa kamu? Istriku bukan! Adikku bukan! Kok di sini mau sekolah,” maki tuan, tatkala dahulu gue berpamitan hendak berkuliah. “Saya menggajimu untuk mempertahankan nenek, jadi lakukan tugasmu sebaik-baiknya. Tidak usah abnormal-abnormal.”

Akhirnya gue menetapkan berkuliah dengan-cara sembunyi-sembunyi. Tak mudah memang, terkadang pengantaran modul datang, gue harus memberi petugas keamanan apartemen dgn dua kemasan kopi & biskuit.


Etik Nurhalimah adalah pekerja migran Indonesia di Taiwan. Cerpen yg ditulisnya memenangkan penghargaan RRI belum usang in