close

Imbas Struktur Kepemilikan Institusional Dan Kualitas Audit Terhadap Pengungkapan Corporate Social Responcibility (Csr)

Pengaruh Struktur Kepemilikan Institusional Dan Kualitas Audit Terhadap Pengungkapan Corporate Social Responcibility (Csr) 
PENDAHULUAN
Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh acara bisnis yang ada di sebuah negara. Perusahaan-perusahaan akan saling berkompetisi untuk menjadi pemimpin di bidang industri masing-masing. Pada mulanya, kesuksesan perusahaan tidak banyak diikuti dengan kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Perusahaan kurang menyadari akan arti pentingnya lingkungan kepada kesusksesan usaha. Permasalahan yang terkait dengan lingkungan, seperti pencemaran lingkungan, sebaiknya tidak terjadi apabila kegiatan perusahaan dibarengi dengan suatu kepedulian kepada masyarakat dan lingkungan. Kondisi seperti ini mewajibkan perusahaaan tidak cuma berorientasi terhadap laba saja, tetapi juga disertai dengan perhatian kepada lingkungan disekitarnya.
Dua motivasi yang mendasari perusahaaan dalam mengungkapkan aktivitas CSR (Corporate Social Respocibility) dalam pembukuan keuangan. Dua motivasi tersebut didasarkan pada teori stakeholders dan teori legitimasi. Dalam teori stakeholders disebutkan bahwa perusahaan akan menentukan stakeholders yang dianggap penting dan mengambil tindakan yang mampu menciptakan korelasi harmonis antara perusahaan dan stakeholdesrnya. Oleh karena itu, perusahaan menimbang-nimbang acara serta pengungkapan CSR dengan keinginan supaya memiliki hubungan yang bagus dengan para stakeholders perusahaan. 
Teori legitimasi menyebutkan bahwa perusahaan semestinya memperlihatkan banyak sekali acara sosial perusahaan agar tujuan perusahaan diterima masyarakat. Oleh alasannya adalah itu, perusahaan menimbang-nimbang kegiatan serta pengungkapan CSR dengan cita-cita mendapatkan legitimasi dari publik. Perusahaan menggunakan pengungkapan CSR untuk membenarkan atau melegitimasi aktivitas perusahaan di mata masyarakat. Hal ini dikarenakan, pengungkapan aktivitas CSR akan menunjukkan tingkat kepatuhan suatu perusahaan seperti kepatuhan terhadap norma-norma yang berlaku, serta impian-harapan publik terhadap perusahaaan tersebut. 
Berdasarkan studi empirik, memperlihatkan bahwa kegiatan pengungkapan CSR bermacam-macam pada semua perusahaan industri. Studi empirik lain juga memperlihatkan bahwa perilaku pengungkapan CSR sungguh penting dan secara sistematis dipengaruhi oleh kombinasi perusahaan dan karakteristik industri yang menghipnotis biaya-manfaat pengungkapan. 
Beberapa literatur penelitian yang dikerjakan oleh Cooke (2005), Hossain et al. (1995), Neu et al.(1998), dan Patten (1991), dalam Reverte (2008) menunjukkan bahwa terdapat beberapa variabel yang kemungkinan menerangkan variasi luasnya pengungkapan CSR dalam laporan tahunan. Munif (2010) menguji pengaruh ukuran perusahaan (zise), laba (profitability), struktur kepemilikan (ownership structure), leverage, sensitivitas industri (industry sensitivity), serta pengungkapan media (media exposure) terhadap CSR. 
Pada umumnya perusahaan yang besar mengungkapkan lebih banyak isu dibandingkan dengan perusahaan kecil. Perusahaan besar pada umumnya memiliki jenis produk yang banyak, metode info yang mutakhir, serta struktur kepemilikan yang lengkap, sehingga memungkinkan dan memerlukan tingkat pengungkapan secara luas ( Suripto, 1999,Zaleha, 2005)
Penelitian yang dilaksanakan oleh Adams et al. (1998), Cullen and Christopher (2002), Hamid (2004), Haniffa dan Cooke (2005), Hossain et al. (1995), Neu et al.(1998), dan Patten (1991), dalam Reverte (2008) memperlihatkan kekerabatan yang signifikan antara ukuran perusahaan dengan pengungkapan sosial. Sementara Hackston dan Milne (1996), Zaleha (2005) dan Anggraeni (2006) tidak memperoleh relasi dari kedua variabel tersebut. 
Sensitivitas industri dapat didefinisikan selaku seberapa besar tingkat industri tersebut bersentuhan pribadi dengan konsumen dan kepentingan luas lainnya. Oleh alasannya itu, pada umumnya perusahaan yang memiliki sensitivitas industri yang tinggi terhadap lingkungannya akan memperoleh perhatian yang tinggi perihal lingkungan tersebut ketimbang perusahaan-perusahaan yang memiliki sensitivitas industri yang lebih rendah terhadap lingkungannya. Hal ini dikarenakan perusahaan tersebut memiliki imbas potensi yang lebih tinggi dalam menghipnotis kondisi serta eksistensi lingkungan tersebut (Branco dan Rodrigues, 2008). 
Pada beberapa penelitian yang sudah dikerjakan menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang proses manufaktur perusahaan mempunyai pengaruh negatif pada lingkungan, maka pengungkapan dan pelaporan akan lebih informative dibandingkan dari industri yang lain (Reverte, 2008). Penelitian yang dikerjakan oleh Anggraini (2006) memperlihatkan adanya efek yang signifikan antara sensitivitas industri dengan pengungkapan tanggung jawab sosial. 
Pada lazimnya , perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan menghemat pengungkapan tanggung jawab sosial yang dibuatnya supaya tidak menjadi perhatian dari para debtholders. Brammer dan Pavelin (2008) dalam Reverte (2008) juga menyatakan bahwa tingkat utang yang rendah akan membuat para kreditor perusahaan meminimalkan tekanan yang mendesak kebijakan manajer dalam acara CSR yang secara tidak eksklusif mensugesti kesuksesan keuangan perusahaa
Perusahaan yang mempunyai struktur kepemilikan yang terdispersi, kebanyakan akan memperbaiki kebijakan pelaporan keuangan perusahaan dengan memakai pengungkapan CSR untuk mengurangi asimetri info. Sedangkan perusahaan dengan struktur kepemilikan yang terpusat pada umumnya lebih kurang termotivasi untuk mengungkapkan informasi pemanis pada kegiatan CSR perusahaan. Hal ini dikarenakan para shareholder pada perusahaan tersebut dapat menemukan berita secara langsung dari perusahaan (Reverte, 2008). Penelitian yang dikerjakan Brammer and Pavelin (2008); Prencipe (2004); dalam Reverte (2008) memperlihatkan korelasi yang aktual antara struktur kepemilikan dan pengungkapan tanggung jawab sosial. 
Pengungkapan media merupakan salah satu sumber utama pada isu lingkungan. Media memiliki tugas penting pada pergerakan mobilisasi sosial, misalnya golongan yang kepincut pada lingkungan (Patten, 2002b dalam Reverte, 2008). Pengungkapan CSR pada media, diperlukan perusahaan akan memiliki citra yang konkret di mata publik, sehingga perusahaan menerima legitimasi atas praktik CSR. Hal inilah yang menjadi bab pada proses membangun institusi, membentuk norma yang diterima dan legitimasi praktik CSR.

Perumusan Masalah
1. Bagaimana dampak mutu audit kepada pengungkapan corporate social responcibility (CSR).
2. Bagaimana efek kepemilikan institusional terhadap pengungkapan corporate responsibility (CSR) 
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh kualitas audit kepada pengungkapan Corporate Social Respocibility (CSR).
2. Untuk mengetahui dampak kepemilikan institusional kepada pengungkapan Corporate Social Responcibility (CSR).
Tinjauan dan Pengembangan Hipotesis 
Corporate Social Responsibility (CSR)
Seperti dikemukakan oleh Robins (2005) yaitu selaku berikut:
CSR is a concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business operations and stakeholder relations on a voluntary basis; it is about managing companies in a socially responsible manner.
Pengertian CSR berdasarkan Wikipedia Indonesia menyatakan bahwa : 
“ Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility ialah sebuah konsep bahwa organisasi, khususnya perusahaan adalah mempunyai suatu tanggung jawab terhadap pelanggan, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala faktor operasional perusahaan “ 
Dari kedua definisi tersebut mampu ditarik kesimpulan bahwa CSR dilaksanakan terintegrasi dengan bisnis perusahaan, memperhatikan kepentingan stakeholders (pemangku kepentingan) dengan harapan menunjukkan manfaat/kesejahteraan bagi penduduk .
Menurut Daniri (2007) CSR lahir dari desakan masyarakat atas sikap perusahaan yang lazimnya selalu konsentrasi untuk memaksimalkan keuntungan, mensejahterakan para pemegang saham, dan mengabaikan tanggung jawab sosial mirip perusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, dan lain sebagainya. Konsep dan praktik CSR bukan lagi dipandang selaku suatu cost center namun juga selaku suatu strategi perusahaan yang mampu memacu dan menstabilkan pertumbuhan usaha secara jangka panjang. Oleh sebab itu penting untuk mengungkapkan CSR selaku wujud pelaporan tanggung jawab sosial kepada masyarakat.
Good Corporate Governance (GCG)
Menurut Daniri (2004), dengan mengutip riset Berle dan Means pada tahun 1934, isu GCG timbul alasannya terjadinya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Pemisahan ini memperlihatkan kewenangan terhadap pengurus (manajer/direksi) untuk mengelola jalannya perusahaan, seperti mengurus dana dan mengambil keputusan perusahaan atas nama pemilik. Pemisahan ini didasarkan pada principal-agency theory yang dalam hal ini administrasi condong akan memajukan keuntungan pribadinya ketimbang tujuan perusahaan. Selain mempunyai kinerja keuangan yang baik, perusahaan juga diperlukan mempunyai tata kelola yang bagus.
Corporate Governance atau sering disebut dengan manajemen perusahaan mulai banyak dibicarakan semenjak terjadinya berbagai skandal di dunia bisnis yang melibatkan manipulasi akuntansi. Skandal akuntansi yang terjadi pada perusahaan-perusahaan besar seperti Enron, Xerox, Tyco, Global Crossing, dan Worldcom. Terungkapnya skandal akuntansi menjadikan bekurangnya dogma penduduk terutama masyarakat keuangan dalam pasar duit dan pasar modal, salah satu indikatornya ialah turunnya harga saham secara drastis dari perusahaan yang terkena masalah. 
Persoalan manajemen perusahaan menjadi kian terperinci terlihat. Negara Amerika Serikat yang diketahui sebagai negara contoh penerapan manajemen perusahaan yang baik menjadi diragukan sebab kasus-masalah manipulasi akuntansi. Ada tuduhan yang menyebutkan bahwa pemicu hadirnya perkara manipulasi justru alasannya adalah prosedur tata kelola perusahaan di Amerika Serikat (Mayangsari, 2003). 
Penerapan Corporate Governance diharapkan bisa berfungsi selaku alat untuk menawarkan iman kepada para investor akan mendapatkan return atas dana yang diinvestasikan, dan percaya bahwa manajer tidak akan menggelapkan atau tidak menginvestasikan dana ke proyek-proyek yang tidak menguntungkan dan berkaitan dengan bagaimana penanam modal menertibkan para manajer. 
Corporate Governance mencakup serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan, dewan direksinya (dewan direksi dan dewan komisaris), para pemegang saham dan stakeholders yang lain. Corporate Governance juga ialah sebuah yang memfasilitasi penentuan target-sasaran dari sebuah perusahaan, dan sebagai fasilitas pencapaian target dan sarana memilih teknik monitoring kinerja (OECD, 1999). Corporate Governance mesti memperlihatkan insentif yang tepat bagi dewan direksi dan manajemen dalam rangka mencapai target, harus dapat memfasilitasi monitoring yang efektif dan mendorong penggunaan sumber daya yang efektif.
Penerapan good corporate governance diyakini mampu menciptakan kondisi yang kondusif dan landasan yang kuat untuk mengerjakan operasional perusahaan yang baik, efisien dan menguntungkan. Penerapan good corporate governance dapat didorong dari dua segi, adalah budbahasa dan peraturan. Dorongan dari budpekerti (ethical driven) datang dari kesadaran individu-individu, pelaku bisnis untuk melaksanakan praktik bisnis yang mengutamkan kelancaran hidup perusahaan, kepentingan stakeholders, dan menyingkir dari cara-cara menciptakan keuntungan sesaat. Di segi lain, dorongan dari peraturan (regulatory driven) memaksa perusahaan untuk patuh terhadap peraturan perundang-usul yang berlaku. Kedua pendekatan ini memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing dan seharusya saling melengkapi untuk membuat lingkungan bisnis yang sehat (KNKG, 2006).
Tujuan dari Corporate Governance yaitu untuk membuat nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Secara lebih rinci, terminologi Corporate Governance dapat dipergunakan untuk menjelaskan peranan dan sikap dari Dewan Direksi, Dewan Komisaris, pengurus (pengelola) perusahaan, dan para pemegang saham (FCGI, 2001).
Sebagaimana yang diuraikan oleh OECD (2004), yang dikutip oleh FCGI dalam terbitannya ada empat bagian penting dalam CG ialah:
a. Keadilan (Fairness), ialah kepastian bantuan atas hak seluruh pemegang dari penipuan (fraud) dan penyimpangan yang lain serta adanya pengertian yang jelas mengenai kekerabatan menurut persetujuan diantara penyedia sumber daya perusahaan dan konsumen.
b. Transparansi (Transparancy), yaitu keterbukaan perihal gosip kinerja perusahaan, baik ketepatan waktu maupun akurasinya. Hal ini berkaitan dengan kualitas informasi akuntansi yang dihasilkan.,
c. Akuntabilitas (Accountability), yakni penciptaan sistem pengawasan yang efektif menurut pembagian wewenang, peranan, hak dan tanggung jawab dari pemegang saham, manajer, dan auditor.
d. Pertanggungjawaban (Responsibility), adalah pertanggungjawaban perusahaan kepada stakeholders dan lingkungan dimana perusahaan itu berada. CG muncul karena kepentingan perusahaan untuk memutuskan kepada pihak penyandang dana (principal/penanam modal) bahwa dana yang ditanamkan dipakai secara tepat dan efisien. Selain itu dengan CG, perusahaan memperlihatkan kepastian bahwa administrasi (agent) bertindak yang terbaik demi kepentingan perusahaan.
Penerapan good corporate governance diyakini mampu menciptakan keadaan yang kondusif dan landasan yang kuat untuk melaksanakan operasional perusahaan yang baik, efisien dan menguntungkan. Coombes dan Watson (2000) dalam Fachrurozi (2007) menyatakan bahwa pemegang saham ketika ini sungguh aktif dalam meninjau kinerja perusahaan sebab pemegang saham menganggap bahwa CG yang lebih baik akan memberikan imbal hasil yang lebih tinggi bagi pemegang saham. Tujuh puluh lima persen dari investor mengatakan bahwa praktek CG paling tidak sama pentingnya dengan kinerja keuangan saat investor menganalisa perusahaan untuk tujuan investasi. Bahkan 80% dari investor mengatakan akan mengeluarkan uang lebih mahal untuk saham perusahaan yang memiliki CG yang lebih baik (wellgoverned company atau WGC) dibandingkan perusahaan lain dengan kinerja keuangan relatif sama.
Penelitian Terdahulu
Klapper dan Love (2002) dalam Darmawati, dkk.(2005) memperoleh adanya kekerabatan kasatmata antara corporate governance dengan kinerja perusahaan yang diukur dengan ROA dan Tobins Q. Penemuan penting lain adalah bahwa penerapan corporate governance di tingkat perusahaan lebih mempunyai arti dalam Negara meningkat dibandingkan dalam negara maju.
Wahyuni (2005) meneliti imbas antara Current ratio, ROE, Total Asset Turn Over dan DER kepada harga saham. Hasilnya menawarkan bahwa current ratio, ROE, total asset turn over (TAT), dan DER berpengaruh secara signifikan kepada harha saham.
Siallagan dan Machfoedz (2006) meneliti hubungan mekanisme corporate governance, kualitas keuntungan dan nilai perusahaan. Dalam penelitian ini prosedur corporate governance diproksi oleh kepemilikan manajerial, eksistensi komite audit, dan proporsi dewan komisaris independen. Hasil memberikan bahwa prosedur corporate governance mensugesti nilai perusahaan (Tobin’s Q).
Yuniasih dan Wirakusuma (2007) meneliti efek kinerja keuangan kepada nilai perusahaan dengan menimbang-nimbang CSR dan corporate governance selaku variabel moderasi. Kinerja keuangan diproksikan dengan ROA, sedangkan corporate governance diproksikan dengan kepemilikan manajerial. Hasilnya mengindikasikan bahwa ROA besar lengan berkuasa positif terhadap nilai perusahaan, pengungkapan CSR mampu memoderasi hubungan antara ROA dengan nilai perusahaan, akan namun kepemilkan manajerial tidak mampu memoderasi korelasi antara ROA dengan nilai perusahaan.
Nurkhin (2009) meneliti corporate governance dan profitabilitas, pengaruhnya terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Hasil observasi memberikan bahwa Profitabilitas terbukti kuat aktual kepada CSR. Rahayu Sri (2010) dalam penelitian memperoleh bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap kekerabatan antara ROE kepada Tobins Q, pengungkapan CSR tidak menghipnotis relasi antara kinerja keuangan dan nilai perusahaan.
Adhi Cahya Bramantya (2010) dalam penelitiannya memperoleh bahwa kinerja keuangan yang terdiri dari rasio Size, ROA, dan Leverage besar lengan berkuasa secara simultan kepada pengungkapan CSR. Secara parsial kinerja keuangan yang kuat terhadap pengungkapan CSR yaitu variabel Size dan Leverage.
METODE PENELITIAN
Populasi yang digunakan dalam observasi ini ialah seluruh perusahaan yang tergolong dalam kelompok industri manufaktur yang sudah terdaftar di BEI. Dipilihnya satu golongan industry yaitu industri manufaktur sebagai populasi dimaksudkan untuk menyingkir dari bias yang disebabkan oleh imbas industri (industrial effect), dan disamping itu sector manufaktur memiliki jumlah terbesar perusahaan dibandingkan sektor yang lain.
Sampel
Sampel penelitian ditentukan menurut purposive sampling yang mempunyai arti pemilihan sampel berdasarkan patokan tertentu. Adapun tolok ukur perusahaan manufaktur yang dijadikan sampel antara lain yaitu mirip berikut: (a) Semua perusahaan yang tergolong dalam kalangan industri manufaktur yang terdaftar di BEI dan mempublikasikan laporan keuangan tahun 2009; ((b) Perusahaan sampel tidak mengalami delisting selama masa observasi; (c) Tersedia laporan keuangan perusahaan secara lengkap pada tahun 2009, baik secara fisik maupun melalui website www.idx.co.id atau pada situs web masing-masing perusahaan; (d) Memiliki data keuangan yang berkaitan dengan variabel penelitian secara lengkap.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dipakai dalam observasi ini yaitu data sekunder. Data observasi diambil dari laporan tahunan perusahaan yang telah diaudit dan dipublikasikan. Data diperoleh antara lain dari Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id).
Metode Pengumpulan Data
Metode yang dipakai dalam penelitian ini ialah tata cara dokumentasi, yaitu mempelajari catatan-catatan perusahaan yang diperlukan yang terdapat didalam annual report perusahaan yang menjadi sampel penelitian seperti info pengungkapan CSR, kualitas audit, struktur kepemilikan institusional, dan data lain yang dibutuhkan. Pengukuran kinerja CSR yaitu lewat laporan kegiatannya, adalah dengan tata cara content analysis yang merupakan suatu cara pertolongan skor pada pengukuran pengungkapan sosial laporan tahunan yang dijalankan dengan pengamatan tentang ada tidaknya suatu item isu yang ditentukan dalam laporan tahunan, jika item berita tidak ada dalam laporan keuangan maka diberi skor 0, dan jikalau item berita yang diputuskan ada dalam laporan tahunan maka diberi skor 1.
Variabel Independen
Kualitas Audit
DeAngello (1981) mendefinisikan audit quality sebagai “pasar menilai kemungkinan bahwa auditor akan menunjukkan a) penemuan mengenai sebuah pelanggaran dalam metode akuntansi klien; dan b) adanya pelanggaran dalam pencatatannya.“ Pada public sector, GAO (1986) mendefinisikan audit quality yaitu pemenuhan kepada patokan profesional dan terhadap syarat-syarat sesuai perjanjian, yang mesti dipertimbangkan. Pengertian lain yang dipakai berkaitan dengan studi perihal audit quality yaitu analisis terhadap kualitas yang ditinjau dari hukum yang dibentuk oleh aparatur pemerintah. Kemudian dari tiga pendekatan tersebut Schroeder (1986) dan Carcello (1992) mengidentifikasi adanya hubungan antara atribut mutu audit dan mutu audit yang dirasakan (dalam Lowensohn, 2007).
Variabel Dependen Pengungkapan CSR
Pengungkapan CSR ad pengungkapan informasi yang berhubungan dengan tanggung jawab perusahaan di dalam laporan tahunan. Pengukuran CSR mengacu pada 78 item pengungkapan yang digunakan oleh Siregar (2008). Pengukuran variabel ini dengan indeks pengungkapan sosial, selanjutnya ditulis CSR dengan membandingkan jumlah pengungkapan yang diharapkan.
Pengungkapan sosial merupakan data yang diungkap oleh perusahaan berkaitan dengan aktifitas sosialnya yang mencakup 13 item lingkungan, 7 item energi, 8 item kesehatan dankeselamatan kerja, 29 item lain-lain tenaga kerja, 10 item produk, 9 item keterlibatan penduduk , dan 2 item biasa .
Metode Analisis
Penelitian ini diuji dengan memakai teknik analisis regresi linear sederhana. Sebelum analisis dikerjakan, apalagi dulu perlu dilakukan uji perkiraan klasik untuk menghasilkan nilai parameter versi penduga yang sah. Nilai tersebut akan tercukupi jikalau hasil uji perkiraan klasiknya menyanggupi perkiraan normalitas, serta tidak terjadi heteroskedastisitas, autokorelasi, dan multikolinearitas.
Dari hasil perhitungan uji t, dapat dilihat bahwa kepemilikan institusional secara parsial tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Hal ini dapat dilihat dari nilai Sig > 0,05. Sedangkan mutu audit secara parsial kuat kepada pengungkapan CSR.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, Fr Reni Retno. 2006. ”Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta)”. Makalah Disampaikan dalam Simposium Nasional Akuntansi Ke-9. Padang, 23 – 26 Agustus.
Branco, M. C. dan Rodrigues, L. L. 2008. “Factors Influencing Social Responsibility Disclosure by Portuguese Companies”. Journal of Business Ethics (2008) 83:685–701 DOI 10.1007/s10551-007-9658-z. 
Daniri, Mas Achmad 2009. “Mengukur Kinerja Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Informasi CSR Sangat Terbatas, Bisnis Indonesia, 8 Juni 2009.
Daniri, Mas Achmad, 2008, “Jadikan GCG Bermakna”, Bisnis Indonesia, 21 Desember 2008.
Hasyir, Dede Abdul, 2009, “Pengungkapan Informasi Pertanggungjawaban Sosial Pada Laporan Tahunan Perusahaan ‐ Perusahaan Publik di Bursa Efek Jakarta”. Working Paper in Accounting and Finance, Universitas Padjajaran Bandung.
Herawaty, Vinola, 2008, “Peran Praktek Corporate Governance Sebagai Moderating Variable Dari Pengaruh Earnings Management Terhadap Nilai Perusahaan”, Simposium Nasional Akuntansi 11 Pontianak 23-24 Juli 2008.
Herdinata, Christian, 2008, “Good Corporate Governance vs Bad Corporate Governance: Pemenuhan Kepentingan Antara Para pemegang Saham Mayoritas dan Pemegang Saham Minoritas”, The 2nd National Conference UKWMS, Surabaya.
IICG, 22 Februari 2010, “Corporate Governance”, http://www.iicg.org. 
Medley, Patrick. 1997. “Environmental Accounting – What Does It Mean to Professional Accountants? Journal of Accounting Auditing & Accountability”. Vol.10 No.4. p. 594-600.
Midiastuty, Pratana dan Machfoedz, Mas’udz, 2003, “Analisis Hubungan Mekanisme Corporate Governance dan Indikasi Manajemen Laba”, Simposium Nasional Akuntansi VI.
Nurlela, Rika dan Islahuddin, 2006, “Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Prosentase Kepemilikan Manajemen Sebagai Variabel Moderating”, Universitas Syah Kuala.
Rosmasita, Hardhina, 2007, “Faktor-aspek Yang Mempengari Pengungkapan Sosial (Social Disclosure) Dalam Laporan Keuangan Tahunan Perusahaan Manufaktur di BEJ”, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Sabeni, Arifin, 2005, “Peran Akuntan Dalam Menegakkan Prinsip Good Corporate Governance (Tinjauan Perspektif Agency Theory)”, Pidato Pengukuhan Guru Besar , Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
Sekaran, Uma, 2006, “Metodologi Penelitian Untuk Bisnis, Edisi 4”, Salemba Empat, Jakarta.
Siallagan, Hamonangan dan Machfoedz, Mas’udz, 2006, “Mekanisme Corporate Governance, Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan”, Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang.
Siregar, Baldric, 2008, “ Seminar Peran Akuntan dalam Pengukuran CSR”, Ina Garuda Yogyakarta, 11 Desember 2008.
www.srsn.com
www.yahoofinance.com
Yuniasih, Ni Wayan dan Wirakusuma, Made Gede, 2007, ”Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Pengungkapan Corporate Social Responsibility Dan Good Corporate Governance Sebagai Variabel Pemoderasi”, Universitas Udayana, Bali.