close

Dampak Struktur Kepemilikan Kepada Pengungkapan Tanggungjawab Sosial / Social Disclosure

Pengaruh Struktur Kepemilikan Terhadap Pengungkapan Tanggungjawab Sosial / Social Disclosure 
PENDAHULUAN
FASB Concepts Statement No. 1 dalam Kieso (2002) menyatakan bahwa beberapa informasi yang berguna lebih baik disuguhkan dalam pembukuan keuangan, dan beberapa yang lain lebih baik dihidangkan dengan menggunakan media pelaporan keuangan selain laporan keuangan. Isu yang sedang menjadi perhatian penduduk dikala ini adalah tugas sebuah perusahaan terhadap lingkungannya, baik lingkungan intern maupun lingkungan ekstern perusahaan. Perusahaan mempunyai peran selain memberi faedah positif kepada ekonomi juga berkontribusi kepada menurunnya keadaan sosial penduduk . Beberapa perusahaan menerima kritik sebab sudah menciptakan duduk perkara sosial seperti polusi, penyusutan sumber daya, limbah, kualitas dan keamanan produk, hak dan status karyawan, keamanan kerja dan lain-lain. 
Berubahnya keadaan lingkungan ekonomi banyak besar lengan berkuasa pada dunia perjuangan. Untuk mampu lebih berkompetisi, perusahaan dihadapkan pada keadaan untuk dapat lebih transparan dalam mengungkapkan gosip perusahaannya, sehingga akan lebih membantu para pengambil keputusan dalam mengantisipasi keadaan yang makin berubah. Tujuan pembukuan keuangan adalah menyediakan isu yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta pergantian posisi keuangan suatu perusahaan yang dapat berguna bagi sejumlah pengguna dalam pengambilan keputusan. Laporan keuangan yang disusun untuk tujuan tersebut dibutuhkan mampu menyanggupi keperluan bareng sebagian besar pengguna. 
Profesi akuntan sebagai penyedia isu tidak mampu melepaskan diri dari situasi kemajuan perekonomian. Semakin besar sebuah perjuangan bisnis, kian dirasakan perlunya informasi akuntansi, baik untuk pertanggung tanggapan maupun untuk dasar pengambilan keputusan. Berhubungan dengan pengujian isu keuangan dari pihak luar (investor), profesi akuntan perlu mengontrol cara-cara pengujian berita keuangan suatu badan usaha dan memberi jasa audit untuk memilih kewajaran laporan keuangan yang disusun oleh administrasi. Agar pembukuan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan publik dapat menjadi dasar yang berkhasiat bagi pengambilan keputusan, salah satu cara yang dapat ditempuh ialah dengan menciptakan standar perlunya disclosure (pengungkapan) tertentu yang dapat mencakup semua perusahaan publik (Irawan, 2006: 19). 
Menurut Statement of Financial Accounting Concepts (SFAC) No. 1, tujuan pelaporan yaitu untuk menunjukkan berita yang berguna bagi investor, calon investor, kreditur, kandidat kreditur dan para pemakai yang lain dalam membuat keputusan investasi, kredit dan keputusan yang lain secara rasional. Menurut Susanto (1992) Subroto (2003) dan Irawan (2006) info yang terkandung dalam laporan keuangan sangat penting sebagai dasar untuk mengalokasikan dana-dana investasi secara efisien dan produktif. Daarough (1993) Subroto (2003) Irawan (2006) memperlihatkan arti pentingnya berita pembukuan keuangan dengan menyatakan bahwa, perusahaan – perusahaan memperlihatkan laporan keuangan terhadap berbagai stakeholder, dengan tujuan untuk memberikan gosip yang berkaitan dan sempurna waktu supaya memiliki kegunaan dalam pengambilan keputusan investasi, monitoring, penghargaan kinerja dan pengerjaan perjanjian -perjanjian . Irawan (2006) menyatakan bahwa kualitas keputusan investasi dipengaruhi oleh mutu pengungkapan perusahaan yang diberikan melalui laporan tahunan. Agar berita yang dihidangkan dalam laporan keuangan dapat diketahui dan tidak menimbulkan salah interpretasi, maka penghidangan pembukuan keuangan harus dibarengi dengan pengungkapan yang cukup (adequate disclosure). 
Saat ini pihak-pihak managerial perusahaan kian menyadari bahwa perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yakni nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja, tetapi juga harus berpijak pada triple bottom lines ialah memperhatikan duduk perkara sosial dan lingkungannya. Dunia perjuangan bukan lagi sekedar kegiatan ekonomik untuk menciptakan profit demi kelancaran bisnisnya, melainkan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Jika menggantungkan semata-mata pada kesehatan finansial tidak akan menjamin perusahaan akan bisa tumbuh secara berkesinambungan (sustainable) (Adhianta 2008) 
PEMBAHASAN
Pertanggungjawaban social perusahaan (CSR)
Dauman dan Hargreaves (1992) dalam Sulastini (2007) menyatakan bahwa tanggung jawab perusahaan dapat dibagi menjadi tiga level selaku berikut :
1. Basic responsibility (BR)
Pada level pertama, menghubungkan tanggung jawab yang pertama dari suatu perusahan, yang muncul alasannya adalah eksistensi perusahaan tersebut seperti; perusahaan harus mengeluarkan uang pajak, menyanggupi hukum, menyanggupi tolok ukur pekerjaan, dan memuaskan pemegang saham. Bila tanggung jawab pada level ini tidak dipenuhi akan menimbulkan pengaruh yang sangat serius.
2. Organization responsibility (OR)
Pada level kedua ini membuktikan tanggung jawab perusahaan untuk memenuhi pergantian keperluan ”Stakeholder” mirip pekerja, pemegang saham, dan penduduk di sekitarnya. 
3. Sociental responses (SR)
Pada level ketiga, memperlihatkan tahapan ketika interaksi antara bisnis dan kekuatan lain dalam penduduk yang demikian kuat sehingga perusahaan dapat berkembang dan meningkat secara berkelanjutan, terlibat dengan apa yang terjadi dalam lingkungannya secara keseluruhan.
Tanggung jawab perusahaan tidak cuma terbatas pada kinerja keuangan perusahaan, namun juga harus bertanggung jawab terhadap duduk perkara sosial yang ditimbulkan oleh aktivitas operasional yang dikerjakan perusahaan. Adapun Teuku dan Imbuh (1997) Nur Cahyonowati (2003) dalam Sulastini (2007) mendeskripsikan tanggung jawab sosial selaku keharusan organisasi yang tidak cuma menyediakan barang dan jasa yang bagus bagi penduduk , tetapi juga menjaga mutu lingkungan sosial maupun fisik, dan juga menawarkan bantuan kasatmata kepada kemakmuran komunitas dimana mereka berada. Sedangkan berdasarkan Ivan Sevic (Hasibuan,2001) Sulastini (2007) tanggung jawab sosial diartikan bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab pada langkah-langkah yang mensugesti konsumen, penduduk , dan lingkungan. Selain itu Weston dan Brigham (1990) Sulastini (2007) menyatakan bahwa perusahaan mesti berperan aktif dalam menunjang kesejahteraan masyarakat luas. 
Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan didefinisikan sebagai akad bisnis untuk menawarkan bantuan bagi pembangunan ekonomi berkesinambungan, melalui kolaborasi dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas lokal maupun penduduk biasa untuk memajukan mutu kehidupan dengan cara yang berfaedah baik bagi bisnis sendiri maupun untuk pembangunan (The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) Ambadar, 2008:19 Djoe mee 2009). Konsep CSR melibatkan tanggung jawab kemitraan antara pemerintah, lembaga sumber daya penduduk , serta komunitas lokal (lokal). Kemitraan ini tidaklah bersifat pasif dan statis. Kemitraan ini ialah tanggung jawab secara sosial antara stakeholders. Definisi SEA (Social Economic Accounting): menyangkut pengaturan, pengukuran analisis, dan pengungkapan dampak ekonomi sosial dari kegiatan perusahaan. Bertujuan untuk mengukur dan melaporkan dampak acara perusahaan kepada lingkungan, meliputi: Financial, Managerial Social Accounting dan Social Auditing (Harahap,2004:349 Djoe mee 2009).
Pengungkapan (disclosure) tanggung jawab sosial
Menurut Hackston dan Milne, tangggung jawab sosial perusahaan sering disebut juga sebagai corporate social responsibility atau social disclosure, corporate social reporting, social reporting ialah proses pengkomunikasian imbas sosial dan lingkungan dari aktivitas ekonomi organisasi terhadap golongan khusus yang berkepentingan dan kepada penduduk secara keseluruhan (Sembiring, 2005) dalam Sri Sulastini (2007). Hal tersebut memperluas tanggung jawab organisasi dalam hal ini perusahaan, di luar peran tradisionalnya untuk menyediakan pembukuan keuangan kepada pemilik modal, khususnya pemegang saham. Perluasan tersebut dibentuk dengan perkiraan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab yang lebih luas dibanding hanya mencari keuntungan untuk pemegang saham (Gray et.al (1995) Hasibuan (2001) Sulastini (2007). 
Menurut Gray et.al. dalam Sembiring (2005) Sulastini (2007) ada dua pendekatan yang secara signifikan berlawanan dalam melaksanakan penelitian ihwal pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Pertama, pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan mungkin diperlakukan selaku sebuah komplemen dari acara akuntansi konvensional. Pendekatan ini secara lazim akan menilai penduduk keuangan sebagai pemakai utama pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dan condong membatasi persepsi wacana tanggung jawab sosial yang dilaporkan. 
Pendekatan kedua dengan menaruh pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan pada sebuah pengujian peran isu dalam korelasi masyarakat dan organisasi. Pandangan yang lebih luas ini telah menjadi sumber utama perkembangan dalam pemahaman perihal pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dan sekaligus merupakan sumber kritik yang utama terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. 
Banyak teori yang menjelaskan mengapa perusahaan cenderung mengungkapkan info yang berhubungan dengan aktivitasnya dan imbas yang ditimbulkan oleh perusahaan tersebut. Gray et.al. (1995) dalam Henny dan Murtanto (2001) Sulastini (2007). menyebutkan ada tiga studi ialah :
1. Decision usefullness studies.
Sebagian dari studi-studi yang dijalankan oleh para peneliti yang mengemukakan teori ini memperoleh bukti bahwa isu sosial diharapkan oleh para pemakai pembukuan keuangan. Dalam hal ini para analis, banker, dan pihak lain yang dilibatkan dalam observasi tersebut diminta untuk melaksanakan pemeringkatan kepada isu akuntansi. Informasi akutansi tersebut tidak terbatas pada informasi akuntansi tradisioanal yang telah dikenal selama ini, namun juga berita lain yang relatif gres dalam ihwal akuntansi. Mereka menempatkan berita kegiatan social perusahaan pada posisi yang moderately important untuk digunakan selaku pertimbangan oleh para users dalam pengambilan keputusan 
2. Economic theory studies
Studi ini menggunakan agency theory dan positive accounting theory, dimana teori tersebut menganalogikan administrasi selaku biro dari sebuah prinsipal. Dalam penggunaan agency theory, prinsipal diartikan sebagai pemegang saham atau traditional users lain. Namun pengertian prinsipal tersebut meluas menjadi seluruh interest group perusahaan yang bersangkutan. Sebagai distributor administrasi akan berupaya mengoperasikan perusahaan sesuai dengan keinginan publik (stakeholder).
3. Social and political theory studies
Studi di bidang ini menggunakan teori stakeholders, teori legitimasi organisasi, dan teori ekonomi politik. Teori stakeholders mengasumsikan bahwa eksistensi perusahaan diputuskan oleh para stakeholders. Perusahaan berupaya mencari pembenaran dari para stakeholders dalam melakukan operasi perusahaannya. Sehingga berakibat semakin besar pula kecenderungan perusahaan mengadaptasi diri terhadap cita-cita para stakeholders-nya.
Informasi yang diungkapkan dalam laporan keuangan tahunan mampu dikelompokkan menjadi dua, yakni pengungkapan wajib (Mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela (Voluntery disclosure). Pengungkapan wajib merupakan pengungkapan yang diharuskan oleh peraturan yang berlaku, dalam hal ini ialah peraturan yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang. Sedangkan pengungkapan sukarela ialah pengungkapan yang melampaui dari yang diwajibkan. 
Menurut Hendriksen (2002) Hartanti (2005) ada tiga konsep pengungkapan yang biasanya dianjurkan, adalah selaku berikut : (1) Pengungkapan cukup (Adequate disclosure). Pengungkapan cukup yaitu pengungkapan minimum yang disyaratkan oleh peraturan yang berlaku, dimana angka yang dihidangkan dapat diinterpretasikan dengan benar oleh penanam modal (2) Pengungkapan wajar (Fair disclosure), adalah
Pengungkapan yang wajar secara tidak eksklusif menyiratkan sebuah adat, adalah memperlihatkan perlakuan yang sama terhadap semua pemakai pembukuan keuangan; (3) Pengungkapan penuh (Full disclosure), yaitu menyangkut penyuguhan informasi yang berhubungan . Bagi sebagian orang pengungkapan sarat berarti penyajian info secara berlimpah sehingga tidak sempurna. Menurut mereka, terlalu banyak informasi akan membahayakan. Karena penyajian rinci dan yang tidak penting justru akan mengaburkan informasi yang signifikan membuat pembukuan keuangan susah ditafsir.
Di Indonesia yang menjadi otoritas pengungkapan wajib yaitu Bapepam. Setiap perusahaan publik diwajibkan menciptakan laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik independen selaku fasilitas pertanggungjawaban, utamanya kepada pemilik modal. Bapepam melalui Surat Keputusan Bapepam No. 06/PM/2000 tanggal 13 Maret 2000 wacana Pedoman Penyajian Laporan Keuangan mensyaratkan unsur-komponen yang semestinya diungkapkan dalam pembukuan keuangan perusahaan-perusahaan publik di Indonesia. Kemudian untuk pemikiran penyajian dan pengungkapan laporan keuangan perusahaan publik industri manufaktur dikontrol melalui Surat Edaran Ketua Bapepam No. SE-02/PM/2002 tanggal 27 Desember 2002. Dalam Surat Edaran tersebut total item pengungkapan wajib oleh perusahaan manufaktur adalah 68 item.
Menurut Murtanto (2006) Sulastini (2007), pengungkapan kinerja perusahaan kadang kala dilakukan secara sukarela (voluntary disclosure) oleh perusahaan. Adapun argumentasi-argumentasi perusahaan mengungkapkan kinerja sosial secara sukarela antara lain:
1. Internal Decision Making 
Manajemen membutuhkan gosip untuk memilih efektivitas berita sosial tertentu dalam meraih tujuan sosial perusahaan. Walaupun hal ini susah diidentifikasi dan diukur, namun analisis secara sederhana lebih baik dibandingkan dengan tidak sam sekali.
2. Product Differentiation
Manajer perusahaan memiliki insentif untuk membedakan diri dari pesaing yang tidak bertanggung jawab secara sosial terhadap penduduk . Akuntansi kontemporer tidak memisahkan pencatatan biaya dan faedah kegiatan sosial perusahaan dalam pembukuan keuangan, sehingga perusahaan yang tidak acuh sosial akan tampaklebih sukses ketimbang perusahaan yang peduli. Hal ini mendorong perusahaan yang peduli sosial untuk mengungkapkan informasi tersebut sehingga masyarakat mampu membedakan mereka dari perusahaan lain.
3. Enlightened Self-Interest 
Perusahaan melakukan pengungkapan untuk menjaga keharmonisan sosialnya dengan para stakeholder alasannya adalah mereka dapat menghipnotis pendapatan penjualan dan harga saham perusahaan.
Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 1 (revisi 2004) Sulastini (2007) paragraf sembilan secara implisit menyarankan untuk mengungkapkan tanggung jawab akan problem sosial sebagai berikut :
“Perusahaan mampu pula menghidangkan laporan embel-embel mirip laporan perihal lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), terutama bagi industri dimana faktor-aspek lingkungan hidup memegang tugas penting dan bagi industri yang menganggap pegawai selaku golongan pengguna laporan yang memegang peranan penting”
Dalam Exposure Draft PSAK no 20 tahun 2005, Masnila (2008) wacana Akuntansi Lingkungan bab Pendahuluan paragraph 01 dinyatakan bahwa : 
”……perusahaan-perusahaan pada kurun kini dibutuhkan atau diwajibkan untuk mengungkapkan informasi perihal kebijakan dan sasaran-sasaran lingkungannya, acara-acara yang sedang dikerjakan dan kos-kos yang terjadi sebab mengejar tujuan-tujuan ini dan menyiapkan serta mengungkapkan risiko-risiko lingkungan. Dalam area akuntansi, inisiatif yang sudah digunakan untuk memfasilitasi pengumpulan data dan untuk menigkatkan kesadaran perusahaan dalam hal terdapatnya implikasi keuangan dari duduk perkara-masalah lingkungan”.
Bagian Definisi paragraf 08 dinyatakan :
”……..Pengungkapan aksesori, bagaimanapun, diperlukan atau direkomendasikan biar merefleksikan secara sarat berbagai pengaruh lingkungan yang muncul dari banyak sekali aktivitas dari suatu perusahaan atau industri khusus”.
Bagian Pengungkapan paragraf 41 dinyatakan seperti berikut: 
”……… Pengungkapan yang demikian itu mampu dimasukkan dalam laporan keuangan, dalam catatan atas pembukuan keuangan atau, dalam perkara-perkara tertentu dalam suatu seksi laporan di luar laporan keuangan itu sendiri. ……”.
Berdasarkan pernyataan PSAK di atas, menawarkan kepedulian akuntansi kepada problem-problem sosial yang ialah pertanggungjawaban sosial perusahaan. Belum adanya patokan baku yang merinci peraturan tentang pengungkapan sosial menimbulkan perusahaan mempunyai fleksibilitas dan kebebasan untuk mengungkapkan informasi sosial tersebut. 
Struktur kepemilikan dan pengungkapan tanggungjawab sosial
Pengungkapan kinerja lingkungan, sosial dan ekonomi bermaksud untuk menjalin korelasi komunikasi yang bagus dan efektif antara perusahaan dengan publik dan stakeholders yang lain ihwal bagaimana perusahaan sudah mengintegrasikan corporate social responsibilty (CSR): – lingkungan dan sosial – dalam setiap faktor aktivitas operasinya (Darwin, 2007). Perusahaan juga mampu memperoleh legitimasi dan mengoptimalkan kekuatan keuangannya dalam jangka panjang dengan memberikan tanggung jawab sosial lewat pengungkapan CSR dalam media tergolong dalam laporan tahunan perusahaan (Oliver, 1991; Haniffa dan Coke, 2005; Ani, 2007) dan Kiroyan (2006). Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan yang menerapkan CSR menginginkan akan direspon faktual oleh para pelaku pasar.
Kepemilikan gila dalam perusahaan merupakan pihak yang dianggap concern terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Negara-negara luar khususnya Eropa dan United State merupakan negara-negara yang sungguh memperhatikan informasi-gosip sosial; seperti pelanggaran hak asasi manusia, pendidikan, tenaga kerja, dan informasi lingkungan seperti, efek rumah beling, pembalakan liar, serta pencemaran air. Hal ini juga yang mengakibatkan dalam bertahun-tahun terakhir ini, perusahaan multinasional mulai mengubah perilaku mereka dalam beroperasi demi mempertahankan legitimasi dan reputasi perusahaan (Simerly dan Li, 2001; Fauzi, 2006) dalam joernalakuntansi 2010. Struktur kepemilikan lain yakni kepemilikan institusional, dimana lazimnya dapat bertindak selaku pihak yang memonitor perusahaan. Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar (lebih dari 5%) mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor administrasi. Semakin besar kepemilikan institusional maka makin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan dan dibutuhkan juga dapat bertindak sebagai pencegahan kepada pemborosan yang dilaksanakan oleh administrasi (Faizal, 2004 dalam Arif, 2006). Hal ini mempunyai arti kepemilikan institusi mampu menjadi pendorong perusahaan untuk melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial. 
Lebih lanjut dalam joernalakuntansi 2010, dalam posisi sebagai bab dari masyarakat, operasi perusahaan acap kali mempengaruhi penduduk sekitarnya. Eksistensinya dapat diterima sebagai anggota penduduk , sebaliknya eksistensinya pun mampu terancam jika perusahaan tidak mampu beradaptasi dengan norma yang berlaku dalam penduduk tersebut atau bahkan merugikan anggota komunitas tersebut. Oleh alasannya itu, perusahaan, melalui top manajemennya mencoba memperoleh kesesuaian antara tindakan organisasi dan nilai-nilai dalam masyarakat umum dan publik yang berkaitan atau stakeholder-nya (Dowling dan Pfeffer, 1975 dalam Haniffa fan Cooke, 2005; Ani, 2007). Keselarasan antara tindakan organisasi dan nilai-nilai penduduk ini tidak selamanya berlangsung seperti yang diharapkan. Tidak jarang akan terjadi perbedaan potensial antara organisasi dan nilai-nilai sosial yang dapat mengancam legitimasi perusahaan. Menurut Sethi dalam Haniffa dan Cooke (2005); Ani (2007), hal ini dapat merusak legitimasi organisasi yang berujung pada berakhirnya keberadaan perusahaan. 
Suchman (1995) dalam Barkemeyer (2007) memberikan definisi perihal organisational legitimacy selaku berikut: “Legitimacy is a generalized perception or assumption that the actions of an entity are desirable, proper, or appropriate within someocially constructed system of norms, values, beliefs, and definitions”. Nasi, Nasi, Philips, and Zyglidopoulos, 1997 dalam Nurhayati, Brown, dan Tower, 2006 dalam joernalakuntansi 2010, menyampaikan bahwa “Legitimacy theory focuses of the adequacy of corporate social behaviour”. Ini bermakna bahwa society judge organisasi berdasarkan atas image yang hendak mereka ciptakan untuk diri mereka sendiri. Selanjutnya organisasi dapat memutuskan legitimasi mereka dengan memadukan antara kinerja perusahaan dengan ekspektasi atau pandangan publik (Henderson et al, 2004, Nurhayati, et al, 2006). 
Perusahaan multinasional atau dengan kepemilikan ajaib khususnya melihat keuntungan legitimasi berasal dari para stakeholrder-nya dimana secara tipikal berdasarkan atas home market (pasar daerah beroperasi) yang dapat menunjukkan eksistensi yang tinggi dalam jangka panjang (Suchman, 1995 dalam Barkemeyer, 2007). Pengungkapan tanggung jawab sosial ialah salah satu media yang dipilih untuk menawarkan kepedulian perusahaan terhadap masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain, kalau perusahaan memiliki persetujuan dengan foreign stakeholders baik dalam ownership dan trade, maka perusahaan akan lebih didukung dalam melaksanakan pengungkapan tanggung jawab sosial. Penelitian Tanimoto dan Suzuki (2005), dalam menyaksikan luas adopsi GRI dalam laporan tanggung jawab sosial pada perusahaan publik di Jepang, menunjukan bahwa kepemilikan aneh pada perusahaan publik di Jepang menjadi aspek pendorong kepada adopsi GRI dalam pengungkapan tanggung jawab sosial.
Susanto (dalam Marwata, 2006), meneliti luas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan perusahaan yang terdaftar di BEJ, memperoleh pemilikan saham oleh penanam modal abnormal dalam penelitian ini tidak mempunyai kekerabatan dengan luas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan. Kepemilikan institusional ialah kepemilikan saham perusahaan oleh institusi keuangan, mirip perusahaan asuransi, bank, dana pensiun, dan asset management (Koh, 2003; Veronica dan Bachtiar, 2005). Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menjadikan perjuangan pengawasan yang lebih besar oleh pihak penanam modal institusional sehingga mampu menghalangi sikap opportunistic manajer. Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar (lebih dari 5%) mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen (Arif, 2006). Shleifer and Vishny (1986) Barnae dan Rubin (2005), bahwa institutional shareholders, dengan kepemilikan saham yang besar, memiliki insentif untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan. Sebagai bentuk institusi memerlukan pengungkapan CSR terjadi pada perbankan Eropa, dimana perbankan di Eropa menerapkan kebijakan dalam tunjangan perlindungan cuma kepada perusahaan yang mengimplementasikan CSR dengan baik. Barnae dan Rubin (2005) dalam joernalakuntansi 2010, melaksanakan penelitian untuk melihat CSR sebagai pertentangan berbagai shareholder memberikan hasil bahwa institutional ownership tidak mempunyai kekerabatan terhadap CSR. Selanjutnya, Mani (2004) Kasmadi dan Susanto (2006), menguji aspek-faktor yang menentukan luas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan perusahaan di India, menemukan financial institution investment tidak berhubungan secara signifikan kepada pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan perusahaan di India.
Anggraini (dalam Dumadia, 2009) melakukan observasi terhadap aspek-aspek yang mensugesti keputusan perusahaan untuk mengungkapkan informasi sosial di dalam pembukuan keuangan tahunan pada perusahaan-perusahaan di Indonesia. Penelitian ini memakai variabel prosentase kepemilikan manajemen, tingkat leverage, biaya politis, dan profitabilitas. Hasil dari observasi tersebut menyimpulkan bahwa persentase kepemilikan administrasi dan tipe industri kuat signifikan terhadap kebijakan perusahaan dalam mengungkapkan berita sosial. Irawan (2006) bahwa aspek-aspek yang mempengaruhi pengungkapan antara lain saham publik dan status perusahaan, dimana adanya perbedaan dalam proporsi saham yang dimiliki oleh penanam modal luar mampu menghipnotis kelengkapan pengungkapan oleh perusahaan. Hal ini alasannya semakin banyak pihak yang membutuhkan informasi wacana perusahaan, bertambah banyak pula rincian-detail butir yang dituntut untuk dibuka dan dengan demikian pengungkapan perusahan makin luas. Dessy Amalia (2005) Kumala Dewi (2007) hasil observasi menujukkan bahwa ukuran perusahaan dan struktur kepemilikan mempunyai imbas yang signifikan terhadap luas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan perusahaan.
SIMPULAN
Perusahaan memiliki keharusan sosial atas apa yang terjadi disekitar lingkungan penduduk . Selain menggunakan dana dari pemegang saham, perusahaan juga memakai dana dari sumber daya lain yang berasal dari penduduk (konsumen) sehingga hal yang wajar bila penduduk mempunyai keinginan tertentu terhadap perusahaan. Tanggung jawab sosial ialah sebuah bentuk pertanggungjawaban yang semestinya dijalankan perusahaan, atas pengaruh positif maupun imbas negatif yang ditimbulkan dari kegiatan operasionalnya, dan mungkin sedikit-banyak kuat terhadap penduduk internal maupun eksternal dalam lingkungan perusahaan. Selain melaksanakan kegiatan yang berorientasi pada keuntungan, perusahaan perlu melaksanakan kegiatan lain, misalnya acara untuk menyediakan lingkungan kerja yang kondusif bagi karyawannya, menjamin bahwa proses produksinya tidak mencemarkan lingkungan sekitar perusahaan, melakukan penempatan tenaga kerja secara jujur, menghasilkan produk yang aman bagi para konsumen, dan mempertahankan lingkungan eksternal untuk merealisasikan kepedulian sosial perusahaan.
Disclosure dalam pembukuan keuangan tahunan merupakan sumber info untuk pengambilan keputusan investasi. Keputusan investasi sungguh tergantung dari kualitas dan luas pengungkapan yang dihidangkan dalam laporan tahunan. Mutu dan luas pengungkapan pembukuan keuangan tahunan masing-masing berlawanan. Perbedaan ini terjadi alasannya adalah karakteristik dan filosofi administrasi masing-masing perusahaan juga berlawanan. Selain dipakai selaku dasar pengambilan keputusan, disclosure dalam pembukuan keuangan tahunan juga dipakai selaku fasilitas pertanggungjawaban manajemen keuangan atas sumber daya yang dipercayakan. 
Dengan adanya PSAK No 1 (revisi 2004) dibutuhkan menambah kesadaran perusahaan untuk melaporkan aktivitas sosialnya kepada lingkungan sekitar perusahaan. Geliat untuk senantiasa mengungkapkan tanggung jawab sosial dalam bentuk CSR reporting sudah nampak dan perusahaan mulai tidak ragu lagi. Bagi perusahaan dengan melaksanakan praktik akuntansi dan pelaporan atas acara sosialnya dibutuhkan dapat memberikan nilai tambah yang diperoleh dari para stakeholdernya. Namun begitu tidak semua perusahaan mengungkapkan aktivitas sosialnya.
Pengungkapan CSR memiliki kegunaan bagi perusahaan selain untuk nilai tambah perusahaan juga menghemat biaya sosial yang muncul nanti dari aktivitas perusahaan. Selain itu perusahaan juga mampu menemukan legitimasi dengan memperlihatkan tanggung jawab sosial lewat pengungkapan CSR dalam media tergolong dalam laporan tahunan perusahaan. Perusahaan yang menerapkan CSR menginginkan akan direspon aktual oleh para pelaku pasar. Kepemilikan abnormal dalam perusahaan merupakan pihak yang dianggap concern terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Struktur kepemilikan lain adalah kepemilikan institusional, dimana lazimnya dapat bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Kepemilikan institusi mampu menjadi pendorong perusahaan untuk melaksanakan pengungkapan tanggung jawab sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Irawan, 2006, “Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kelengkapan Pengungkapan Laporan Keuangan Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Jakarta”, Skripsi S1, Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta.
David S.Gelb; Joyce A.Strawser, “Corporate Social Responsibility and Financial Disclosures:An Alternative Explanation for Increased Disclosure”, Journal of Business Ethics, Vol. 33, No. 1 (Sep., 2001) pp 1-13.
Dewi Hartanti, 2005 : “ Pengaruh Faktor-faktor Fundamental Terhadap Kelengkapan Pengungkapan Laporan Keuangan Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta”, Skripsi S1, Universitas Negeri Semarang.
Dessy Amalia, 2005, “Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Luas Pengungkapan Sukarela (Voluntary Disclosure) Pada Laporan Tahunan Perusahaan”, Jurnal Akuntansi Pemerintah, Vol 1, No. 2, November 2005 
Djoe2x’s Blog-http://djoe2x.wordpress.com
Edi Subiyantoro, Saarce Elsye Hatane, “Dampak Perubahan Kultur Masyarakat Terhadap Praktik Pengungkapan Laporan Keuangan Perusahaan Publik di Indonesia”, Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, Vol. 9, No. 1, Maret 2007: 18-29
http://joernalakuntansi.wordpress.com
http://www.dumadias.blogspot.com
http://www.Theowordpower’s.webblog.com
Kieso Donald E; Jerry J.Weygandt; Terry D. Warfield, 2002, “Intermediate Accounting”, Edisi Kesepuluh, Jilid 3, Erlangga, Jakarta.
Kumala Dewi, 2009 “ Pengaruh Luas Pengungkapan Laporan Keuangan Tahunan Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Indonesia Terhadap Keputusan oleh Investor”, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, Jakarta.
Sri Sulastini, 2007, “Pengaruh Karakteristik Perusahaan kepada Social Disclosure Perusahaan Manufaktur yang telah go public”, Skripsi S1 Universitas Negeri Semarang.