LELAKI kurus itu tak memalingkan wajah sedikit pun. Ia mengawasi ibunya dr jarak yg tak terlalu jauh. Menjaga sang ibu yg sedang berbasah-basahan di sungai. Tampak perempuan yg sudah rapuh itu masih mengenakan pakaian lengkap, penutup kepala pun belum dilepas. Namun, sekujur tubuhnya berulang kali ia ceburkan ke sungai yg tak terlalu dalam. Kondisi air sungai agak keruh karena hujan yg tak kunjung reda beberapa hari ini.
Saat perempuan renta tersebut menyaksikan ke arahnya, maka laki-laki muda itu akan bersembunyi di balik tembok jembatan tinggi. Ia tak ingin sang ibu menjadi murka alasannya adalah kehadirannya. Sudah sejak tadi ia mengintai, tak terlihat tanda-tanda jika ibunya akan beranjak. Ia masih asyik berendam, malah kini kain epilog kepala itu sudah terbuka, memberikan rambutnya yg sudah mulai kelabu.
Sesekali ia berdendang, kadang asik berbicara entah dgn siapa. Sambil sibuk menyikati busana miliknya, kemudian membilas satu persatu. Tak usang kemudian ia sikat lagi & membilasnya lagi. Begitu saja terus berulang hingga ia bosan & berhenti. Lelaki muda berjambang tipis itu sudah kepanasan di erat jembatan. Setelah merasa jikalau ibunya telah cukup lama berendam, karenanya ia memaksa diri untuk turun ke bawah.
“Ibu, ayo kita pulang. Ini sudah hampir siang,” panggil Rahman lembut.
Wanita beruban itu kaget. Baju yg tadi ia kenakan, kini hanya melilit dr pecahan dada hingga paha. Melihat hal itu, Rahman secepatnya mendekat berencana ingin membetulkan baju sang ibu. Namun, ibunya berteriak histeris. ia berpikir jika Rahman akan menyakitinya.
“Mau apa kamu? Pergi! Jangan ganggu saya!” Wanita itu terus saja berteriak. Kedua tangannya mencakar-cakar ke depan. Mata memerah menahan amarah. Tak cukup sampai di situ, ia pun mulai memungut kerikil-watu yg ada di dekatnya, kemudian dilemparkan ke arah Rahman.
“Ibu, istighfar, Bu. Istighfar! Ingat Allah!”
Rahman menjauh dr sana. Usaha untuk mengajak ibunya pulang tidak berguna. Selalu begitu, Mak Rahmah tak pernah baik dgn anak-anaknya. Wajar, alasannya adalah ia sudah usang gila. Entah apa penyebabnya. Puluhan tahun yg lalu suaminya pun pergi meninggalkannya.
Berasal dr keluarga tak mampu, Mak Rahmah tak memperoleh perawatan khusus. Ketiga anaknya yg perempuan pula ikut mengasingkan diri setelah kesehatan jiwa sang ibu semakin menurun. Mereka tak mau mengelola & lepas tanggung jawab, terlebih sudah bersuami & masing-masing sudah punya anak. Berbeda dgn Rahman, si bungsu inilah yg terus merawat ibunya siang malam. Tak kenal lelah & kebal dr serapah yg Mak Rahman lontarkan. Ia tetap melayani sang ibu dgn sangat bagus & lemah lembut.
Mak Rahmah tinggal di suatu rumah kayu tak berpelita. Pernah dahulu Rahman mempesona listrik dr PLN agar ibunya senang. Bukannya bahagia, malahan sang ibu menolak & merusak semua bola lampu serta meteran listrik. Sejak ketika itu rumah pun kembali gelap. Rahman diusir tak boleh tinggal bersamanya. Ia merasa anak itu cuma mengusik. Sehingga Rahman memilih tidur di masjid desa. Letak masjid tak terlalu jauh dr rumah daerah ibunya tinggal, sehingga ia bisa menjenguk sang ibu kapan saja ia mau.
Berbulan-bulan laki-laki berkulit gelap itu tinggal di masjid. Ia banyak menolong kegiatan di sana. Setiap malam mengajar mengaji gratis untuk belum dewasa desa. Rahman tak pernah mengeluh. Jika lelah & frustasi mendera, beberapa kali ia mengingat bagaimana kisah Rasul dulu dlm berjuang mempertahankan Islam. Rahman sangat rindu ingin berjumpa dgn Rasulullah. Kerinduan itu sedikit terbayar saat ia berusaha melaksanakan tiap kebaikan.
Pagi hingga sore hari, ia melakukan pekerjaan menjadi pengaduk semen. Saat pulang, tak lupa ia singgahkan masakan untuk ibunya. Baik itu berupa roti atau buah-buahan. Sengaja ia mengirim ketika Mak Rahmah tak di rumah. Jika saja tertangkap tangan, maka roti-roti tersebut akan dibuang.
Demi ibunya, Rahman rela untuk tak jadi menikah, saat kandidat istrinya mengetahui ibu Rahman ialah orang tak waras. Saat itu calon istri Rahman yg berasal dr kampung lain dibawa Rahman ke rumah. Karena menyaksikan orang asing, sang ibu pun mengamuk hingga menyakiti dirinya sendiri. Perempuan tersebut terkejut bercampur takut sehingga ia berlari ke jembatan tinggi. Orang heboh karena ulah Mak Rahmah. Ia mengamuk jago. ia mencakar tubuhnya sendiri hingga berdarah. Siapa saja yg mendekat, maka akan terkena cakaran & tendangan. Mak Rahmah tak bisa dikontrol. Rahman mencoba mendekat & menenangkan sang ibu. Wanita itu meronta sambil berteriak-teriak. Ia meraung serta mencaci. Kadang tertawa bahkan menangis. Meskipun wajah & tubuhnya perih menahan cakaran sang ibu, akan tetapi Rahman tetap berusaha untuk sabar & tak bertindak kasar sedikit pun.
“Mak, ingat Allah. Jangan turuti apa yg tubuh Mak katakan. Ingat Allah, Mak. Istighfar.” Rahman meraup parasnya agresif. Melihat keadaan ibu tercinta, kesedihan membalut hati laki-laki itu. Hati mana yg tak luluh, menyaksikan orang renta sendiri menjadi gila. Seorang ibu yakni rumah daerah suatu keluarga pulang. Melabuhkan segala rindu, melimpahkan segala gundah. Tempat bercerita ihwal segala hal, mengadu apa saja yg dirasakan. Ibu senantiasa ada & berdiri di garis paling depan dikala anaknya sedang menghadapi cemas. Ia yakni wanita yg akan membela keluarganya mati-matian. Ibu lah segala-galanya. Memang pantas jikalau di kakinya terletak surga. Wanita mulia yg sudah mempertaruhkan hidup serta nyawa untuk permata jiwa.
Bagi Rahman, ibu ialah segala-galanya. Wanita pertama yg harus merasakan bahagia. Seorang ibu yg sudah merelakan rahimnya selama sembilan bulan untuk ditempati. Bersusah payah tak kenal letih mengurusi buah hati. Meskipun kini perempuan itu tak lagi mirip dulu. Walaupun kewarasannya sudah usang pergi, namun Rahman tak mirip abang-kakaknya yg tidak senang & memilih pergi meninggalkan sang ibunda. Surga Rahman tetap ada di kaki sang ibu. Susah payah lelaki itu ingin meraihnya.
Setelah sukses menenangkan Mak Rahmah, Rahman bergegas mengejar calon istrinya tadi. Wanita muda itu masih bangkit di jembatan ditemani oleh beberapa ibu tetangga Rahman. Wajahnya tak lagi pucat mirip tadi. Ujung jilbabnya melambai-lambai tertiup angin. Ia melihat Rahman yg sedang berjalan ke arahnya.
“Kamu mau pulang?” tanya Rahman tak yummy hati. Baru pertama menjinjing calon istri, tetapi pengalaman jelek yg ia dapatkan.
“Betul ananda ingin menikah denganku?”
Tidak menjawab pertanyaan Rahman, perempuan dgn tubuh mungil itu malah balik mengajukan pertanyaan, “Jika ananda memang ingin menikah denganku. Tinggalkan wanita bau tanah gila itu. Aku tidak ingin mati alasannya adalah ulahnya yg tak waras!” Sorotan tajam tersirat terperinci dr mata sang kandidat istri.
Tubuh Rahman menegang. Tangannya mengepal. Emosi menguasai dirinya. Rasa panas menyerang hingga ke ubun-ubun. Tidak boleh satu orang pun mencibir ibunya. Siapa saja boleh mencaci dirinya, ia akan terima. Namun, kalau omongan buruk ditujukan untuk perempuan yg telah bertaruh nyawa melahirkannya ke dunia ini, maka jangan harap ia akan mendapatkan itu semua.
“Demi Allah & Rasulullah. Ibuku lebih berharga dr segala-galanya. Tidak ada yg bisa menggantikan posisinya di dlm hati ini. Biar pun ia telah menjadi gila, ia tetaplah ibuku. Hanya ia hartaku satu-satunya di dunia ini. Apa pun yg ia minta akan kupenuhi, walaupun mengorban nyawaku sendiri. Tak terbalas jasanya untukku hingga gue bisa hidup hingga kini. Ibuku ialah surgaku. ia yg sedari dulu mendoakanku dgn linangan air mata. Jika gue pula ikut pergi, siapa lagi yg akan menjaganya?” Ada getar dlm tiap kata yg ia ucapkan. Matanya memerah menahan tangis. Ia memandang tajam ke arah kandidat istrinya. Perempuan itu menunduk, takut melihat Rahman yg emosinya sedang meledak.
“Satu lagi ingin kutegaskan! Aku tak butuh pendamping hidup sepertimu. Seorang wanita yg tega ingin memisahkan seorang anak dgn ibunya. Jika ananda malu dgn kondisi ibuku, maka pergilah. Aku membatalkan rencana akad nikah kita,” sambung Rahman.
Ia berlalu meninggalkan kerumunan ibu-ibu di jembatan. Rasa khawatir akan ibunya di rumah menciptakan langkah kaki Rahman bergerak cepat. Belum cukup apa yg ia kerjakan untuk membalas jasa sang ibu. Dengan kondisi seperti itu, dialah yg sangat dibutuhkan oleh ibunya.
Sesampai di rumah, Rahman memeluk tubuh rapuh sang ibu. Air matanya tumpah membasahi pipi. Pelipisnya dipenuhi keringat akibat panas terkena matahari ketika berlangsung tadi. Wanita tua itu risih dipeluk oleh anaknya sendiri. Ia masih meronta, namun tak sehebat tadi. Sesekali Mak Rahmah bersenandung & tertawa sambil menutup mulutnya dgn sebelah telapak tangan.
Imam masjid menghampiri Rahman yg sudah terduduk di erat kaki ibunya. Lelaki berpeci itu mengelus punggung Rahman. Ia merasa terharu menyaksikan Rahman yg begitu mengasihi ibu tercinta.
“Sudah bulat keputusanmu untuk membatalkan rencana pernikahan, Nak?” tanya imam masjid tersebut.
Rahman mengangguk & menjawab, “Lebih baik gue melajang hingga akhir usia, daripada mesti meninggalkan ibu seorang diri. Lihatlah kondisinya, siapa lagi yg akan mengorganisir kalau gue pula ikut pergi? Bukankah nirwana & rida Allah untukku ada dlm genggaman ibu? Aku takut Allah akan murka bila gue meninggalkannya. Tidak banyak harta yg kumiliki, terlebih amalan untuk bekal akhiratku nanti. Biar saja gue menghabiskan usia untuk terus bareng ibu. Semoga syafaat Rasulullah mengalir untukku & Allah akan mempertemukanku dgn kekasih-Nya itu kelak di surga.”
Begitu besar pengorbanan seorang ibu. Seperti suatu hadis Nabi ketika seseorang datang pada ia & menanyakan pada siapakah ia harus berbakti pertama kali. Rasulullah Muhammad SAW menjawab ibu tiga kali. “Ibumu!” Orang tersebut kembali mengajukan pertanyaan, “Kemudian siapa lagi?” Nabi pun menjawab, “Ibumu!” ia mengajukan pertanyaan kembali, “Kemudian siapa lagi?” Rasulullah menjawab, “Ibumu!” Seseorang tersebut tak lelah & mengajukan pertanyaan kembali, “Kemudian siapa lagi?” Rasul menjawab, “Kemudian ayahmu.”
Kebaikan seorang ibu sangatlah luas & tak pernah mampu tergantikan dgn apa pun. Seberapa banyak harta kekayaan, tak akan pernah bisa lunas untuk membayar kebaikan ibu. Maka, buatlah ia tersenyum bahagia selama ia masih hidup di dunia. Carilah syafaat Nabi dgn cara memuliakan sang bunda. [*]