Hipokrit | Cerpen Putra Hidayatullah

SAWUNG, politikus berjas gelap dgn rambut klimis yg senantiasa tersisir ke belakang, memangkas daging dgn asisten & memasukkannya ke ekspresi dgn ujung garpu. Sambal dilebur di atas daging sangat pedas, membuat matanya berkaca-beling. “Apa rencanamu?” Ia berkata. Seorang pramusaji laki-laki membungkuk menaruh tisu pemanis kemudian pergi.

“Sulit tinggal di sini kalau kamu tak memiliki tujuan.” Ia berdehem. “Ini Jakarta”

Dokni, seorang lelaki yg baru tiba, menatap dgn raut lesu. Ia berbadan jangkung. Kaos kumal yg ia pakai tak cocok dgn interior kedai makanan yg mewah.

“Belum tahu apa yg akan kulakukan, Bang,” Dokni grogi.

Melalui kaca jendela yg dirembes rintik hujan terlihat malam telah tiba. Di luar terdengar klakson lusinan kendaraan yg merangsek melawan kemacetan kota. Sawung mengelap bibirnya dgn tisu. Ia berdehem membersihkan sisa serak di kerongkongan.

“Aku tak memiliki waktu banyak. Sekarang katakan padaku,” Sawung bersendawa, “Kenapa kau lari ke mari? Ada masalah apa di kampung?”

“Tidak ada, Bang” wajah Dokni pucat.

Sawung menyeringai, “Dok,” ia mengeluarkan rokok & menyelipkan sebatang di bibir, “politik mengajariku banyak hal,” ia merogoh korek di saku jas. “Ada sesuatu dlm dirimu yg tak mampu membohongiku.”

Dokni tertunduk sayu. Bibirnya bergetar. “Aku menghamili anak Pak Geusyik, Bang,” Jantungnya berdebar-debar. “Maaf, Bang!”

“Untuk apa kamu minta maaf padaku?” Sawung tertawa. Di tengah gumul asap, matanya memicing. “Katakan, apa yg kau butuhkan dariku?”

“Kau orang berpengaruh, Bang. Aku perlu sumbangan. Aku tak ingin dicambuk.”

Sawung menyeringai. Ada keheningan di antara mereka.

“Berapa kali kamu melakukannya?”

Dengan bergetar, ia mengangkat kedua tangannya dgn jemari terbuka kecuali kelingking kanan.

“Sembilan kali?” Sawung terkekeh, “Kau melaksanakan itu semua sendirian.” Ia menyentil debu rokok ke asbak. “Kau mencicipinya. Dan kini kamu tiba padaku memohon pertolongan.”

Wajah Dokni berubah acuh taacuh. Di pikirannya terlintas bayang warga mengeroyok & memandikannya dgn air got yg pesing. Sebuah kardus bertulisan “saya penzina” akan digantung dilehernya. Kemudian mereka mengaraknya keliling kampung. Lalu ia akan dilapor & diangkut untuk dicambuk. Bayangan itu menjadikannya menggigil. Wajahnya bertambah pucat.

  Setan Banteng | Cerpen Seno Gumira Ajidarma

“Aku mohon, Bang! Kemarin di kampung orang-orang mulai melempari rumahku.”

“Tidakkah itu urusanmu?”

“Tolong, Bang!”

“Kau sendiri pernah mengeroyok orang mesum tidak?” Sawung berkata.

Terdiam sejenak, Dokni berkata pelan, “Pernah, Bang”

Sawung tertawa, “Kemunafikan memang mendapatkan lahan terbaiknya di sana …”

Sembari menghisap rokok, pikiran Sawung terbang. Ia memikirkan agendanya. Ia masih butuh orang untuk kampanye. Ia membayangkan beberapa yg mampu dilakukan Dokni. Sawung menjentikkan bubuk rokok ke asbak. “Kalau gue membantumu, apa yg akan kau lakukan untukku?”

“Aku mau melakukan apa saja, Bang!”

Saat pertama tiba di Jakarta, Dokni terpukau oleh gedung pencakar langit yg selama ini hanya ia lihat di layar TV. Enam bulan pertama ia tinggal di rumah Sawung di komplek perumahan elit. Ia menjadi tenaga suplemen sebagai tukang higienis rumah sementara & tukang beli rokok.

Beberapa minggu pertama, ia menikmati Jakarta. Ia berkeliling jalan kaki ke sekitar. Terkesima pada perempuan berpaha mulus yg lalu lalang, ia mulai sering ke mal tanpa berbelanja apa-apa. Diam-membisu ia menikmatinya. Beberapa minggu kemudian, ia menyaksikan wanita-perempuan berpakaian seperti itu datang ke tempat tinggal Sawung. Usai mengirimkan gelas, di balik dapur Dokni mengintip antusias. Mereka minum alkohol bersama. Tidak usang kemudian satu per satu mereka masuk ke dlm kamar Sawung untuk bersenang-bahagia.

Ketika itu pula Dokni merasa beban di benaknya menyusut, karena apa yg ia lakukan terhadap Yanti, anak Pak Geusyik, tak ada apa-apanya dibanding dgn yg dilakukan oleh Sawung. Kenyataan bahwa Sawung mampu melaksanakan semua itu dgn besar hati & leluasa, diam-membisu membuat Dokni iri. Tidak pernah ia menyaksikan sisi ini dr diri Sawung yg selalu tampil wibawa.

  Fabel: Koala Yang Gegabah Dan Badung

Pada awalnya Dokni memang menikmati kehidupan ibu kota. Seiring berlalu waktu, kejenuhan mulai menyeruak dlm dada. Dan yg paling penting dr itu semua, ia merasa ibu kota rakus mengisap uang di kantongnya. Ia ingin mudik dgn biaya hidup murah, tak macet. Ia merindukan angin tengah sawah, & Kedai Kopi Pesal kawasan ia umumberhutang. Ia merasa tempatnya bukan di sini.

Ia mulai membulatkan kalender menghitung hari. Hingga dua belas bulan lima belas hari kemudian, Sawung memanggilnya & bercerita ihwal jadwal partai & rencana kampanye. Ia meminta Dokni membikin persiapan.

Dokni mengelola ukuran spanduk, pawang hujan, biaya yg diharapkan, & sopir untuk perjalanan kampanye. Semua lebih gampang dr ia bayangkan alasannya Sawung pula punya anak buah di Banda & di kampung-kampung yg ia pelihara dgn rupiah.

Sore itu ahad kedua di bulan Januari. Rombongan mereka tiba di lokasi. Sawung keluar dr mobil & melambaikan tangan. Ia menyaksikan spanduk & fotonya tersebar di segala segi. Beberapa kali muncul di televisi, & senantiasa mengucapkan selamat berbuka puasa setiap Ramadan di radio, menjadikannya percaya bahwa setiap orang kini mengenalnya. Ketenaran menjadikannya percaya diri. Sawung naik ke atas panggung. Ia menggunakan peci putih, jas, & sehelai kain rida’ melingkar di lehernya. Ia mengatakan leluasa dgn kalimat yg sebelumnya telah ia ulang berulang kali di depan cermin.

“Kita semua perlu mengikuti jalan agama,” ia memegang mikrofon & berdiri di impian ribuan pendatang di lapangan. “Kita sudah melihat betapa rusaknya generasi muda lantaran narkoba & zina! Semua mesti kembali pada Islam! Hanya itu solusi untuk kita semua! Allahu Akbar!” Ia mengepalkan tangan ke udara. Semua orang tersihir & terlarut dlm suasana haru “Allahu akbar!” Suara bergemuruh.

  Riwayat Gelang Akar | Cerpen Adam Yudhistira

Ketika kampanye usai, sebagaimana biasa, Sawung melaksanakan tur sederhana menjumpai orang-orang kampung di kedai kopi. Salah satunya adalah kampung yg meninggalkan kenangan baginya tatkala ia jatuh cinta pertama pada almarhum seorang wanita muda & Dokni telah meninggalkan jasa sebagai mediator di antara mereka. Itu terjadi beberapa tahun kemudian sebelum takdir mengantarnya menjadi dirinya yg kini.

“Kau lihat orang-orang ini, Dok,” Sawung berbisik. “Mereka semua bisa kita beli dgn segelas kopi,” ia terkekeh. Dokni mengangguk & tak pernah menyadari ini.

Melihat Sawung, para orang bau tanah & belum dewasa yg bertelanjang dada dgn basi keringat yg busuk menyesaki kedai kopi. Sawung menyembunyikan kemuakannya dgn senyum khas yg ia punya. Ia berdehem & meludah.

“Tahun depan, kita akan usahakan sepanjang jalan ini di aspal.”

Sebagian warga berbinar dibalur harapan. Orang-orang memesan makanan & minuman dengan-cara membabibuta & itu menjadi hari raya kecil bagi mereka. Sawung mentraktir semua sebelum beranjak pergi.

Dokni kini tiba di kampung yg ia rindukan. Ia merasa menjadi orang yg berlawanan sekarang & melihat realita dgn kacamata baru.

Merasa deg-degan dgn reaksi warga, setiap sore di minggu-minggu pertama di kampung, Dokni tekun ke meunasah untuk azan magrib. Dalam benaknya terngiang nasihat Sawung, “Kau cuma butuh mencari celah kosong, lalu mengisinya dgn bermain cantik.”

Di bawah bayang-bayang Sawung, Pak Geusyik pula tak berani berbuat apa-apa. Jauh-jauh hari, demi menutup aib keluarga, anaknya, Yanti, sudah ia nikahkan dgn seorang lelaki bau tanah pincang berkelainan mental. “Semua ini pasti ada hikmahnya,” Pak Geusyik berkata getir.

Di Kedai Kopi Pesal, dgn peci tak lepas di kepala, Dokni mulai membual tentang pengalamannya di Jakarta. “Aku asisten Bang Sawung,” Dokni berkata dgn mata berbinar-binar.

Sejak saat itu, warga pun kembali menyapa, & tersenyum sarat hormat kepadanya. (*)