Ketika tubuhnya menjadi lapuk digasak wabah yg tak diketahui , tak disangsikan lagi, kematian Kalan sudah berada di ujung tanduk. Melihat parahnya penyakit yg bersarang di badannya, rasanya tak mungkin nyawanya terselamatkan. Apabila ia meninggal, mungkin inilah selesai dr hikayat tukang kayu yg kisahnya kesohor di sepanjang daratan Karuman.
Awalnya, pekerjaan selaku tukang kayu hanyalah pekerjaan biasa, tak berlawanan semacam tukang rotan, tukang besi, tukang dempul, & tukang-tukang yang lain. Namun, lantaran saban hari harus merayapi hutan, menjejak perdu, serta menebang beraneka-rupa pohon, mau tak mau, beberapa tukang kayu yg sungguh erat memegang etika selalu membentengi diri dgn mantra. Orang-orang Kutai percaya bahwa hutan memiliki penunggu, pohon-pohon mempunyai penjaga, & bala celaka senantiasa mengintai pendatang aneh yg berulah tingkah semaunya.
Sejak ketika itu, tukang-tukang kayu diberi mandat selaku penjaga akhlak. Penguasa mantra & aji pelindung. Turun-temurun mereka diajarkan silat tuha, bela diri yg kini sudah langka, bila tak bisa disebut punah lantaran tak lagi ada penerusnya. Bukan apa-apa, selain lantaran hutan Karuman disesaki binatang buas, tak jarang para tukang kayu tak sengaja bersitatap dgn orang-orang Benuang, rumpun suku pedalaman yg kerap berburu babi hutan dgn tombak & sumpit berbisa. Sedikit goresan, bisa berakibat fatal. Tombak yg semestinya diloloskan ke tubuh babi, karena salah paham, mampu beralih target menuju para tukang kayu. Di potensi semacam itulah, ajang pamer kesaktian diadu. Lincah kaki menyingkir dari tombak serta kemahiran tangan mengayunkan mandau bukan lagi sebuah kebanggaan. Cukuplah Kalan, si ketua tukang kayu, memasang dada selaku perisai untuk dilempar tombak & ditiup sumpit yg konon katanya dapat menembus kayu ulin lantaran ketajaman mata baja yg diasah semalaman suntuk, tak segaris pun menggores kulit tukang kayu setengah baya tersebut. Tak henti tunggang-langgang orang-orang Benuang melarikan diri dr rombongan tukang kayu, padahal sebilah mandau pun belum ditarik dr sarungnya. Dari kejauhan, mampu tampakmereka terbahak-bahak, mentertawakan pongah orang-orang Benuang yg terkencing-kencing cemas.
Namun, itu hanyalah riwayat masa kemudian, kejayaan tukang kayu sudah bergeser. Tak usang, mungkin tiga tahun silam sejak wabah mematikan itu menyerang tukang-tukang kayu yg ada di dusun ini. Satu demi satu mereka dijangkiti penyakit yg tak ada penawarnya. Entah sudah berapa puluh tabib didatangkan dr banyak sekali pelosok kawasan, namun semuanya angkat tangan. Karena tak seorang tabib pun bisa menyembuhkan penyakit itu, para dukun yg tidak sedikit pun mengerti ramuan & obat-obatan mulai berspekulasi bahwa para tukang kayu sudah memasuki wilayah paling dlm di hutan Karuman. Lelembut yg berdiam di wilayah sana menjadi murka & meniupkan penyakit sebagai tanggapan sebab sudah menghancurkan rumah-rumah mereka. Perkataan ini cukup masuk akal lantaran wabah tersebut cuma menjangkiti tukang-tukang kayu & tak menyerang tukang rotan, tukang besi, tukang dempul, & tukang-tukang yang lain.
Tak lama sejak wabah itu melanda, maut datang mirip kokok ayam di fajar yg masih petang, bersahut-sahutan dr satu rumah ke tempat tinggal lainnya, seperti pada bulan itu, malaikat pencabut nyawa berpesta-pora merayakan kematian.
Setelah rekan-rekannya tumbang, rupanya ganasnya penyakit tak pula kuasa merenggut nyawa Kalan, walaupun tubuhnya letai, ia masih menguarkan napas tanda tak mengalah dgn wabah keparat tersebut. Tubuhnya sekarang bertonjolan tulang, namun keinginannya untuk berobat tak kunjung padam. Sekalipun tabib-tabib dusun sudah angkat tangan, ia tahu, masih ada satu tabib yg belum dipanggil. Namun, akan senantiasa ada konsekuensi apabila mengundang tabib yg satu ini.
“Kami tak sudi menghadirkan tabib renta itu,” tukas kepala budbahasa tatkala Kalan mengajukan kemauannya dgn bunyi parau tersendat-sendat.
“Tapi siapa lagi yg bisa menyembuhkanku?”
Kepala etika tafakur, melempar pandang ke sekujur jasad ketua tukang kayu itu. Penyakit itu telah menghisap seluruh tenaga & kemudaan Kalan. Kekuatannya diperas keluar dgn paksa, seperti ganggang sungai yg aslinya lembap, tetapi sekarang berubah kerontang karena mengering.
Sebenarnya sebelum wabah mematikan itu menyerang, kejayaan para tukang kayu pun sudah selsai. Sejak kompor-kompor minyak bertebaran di pasar kecamatan, penduduk dusun lebih senang memasak tanpa menggunakan kayu bakar. Selain mudah, kompor-kompor pula praktis, berbeda dgn kayu. Menanak nasi atau merebus ubi menggunakan kayu bakar terlampau ruwet, selain harus menyalakan api apalagi dahulu, asap-asap yg menguar dr tungku senantiasa memerihkan mata. Tak jarang seluruh ruang rumah menjadi sesak diluapi asap dr dapur.
Perubahan itu menimbulkan kayu-kayu bakar tak lagi laris terjual. Kalau bukan diandalkan sebagai penjaga budpekerti, tentulah pekerjaan sebagai tukang kayu layak disebut pekerjaan hina, martabatnya meluncur di bawah tukang besi, tukang rotan, tukang dempul, & tukang-tukang lainnya. Sisa-sisa kayu yg tak laku terjual, oleh beberapa tukang kayu dibakar untuk dijadikan arang. Saat itu, orang-orang kecamatan lebih menghargai arang dibandingkan dengan kayu mentah. Kalau bukan mengolok-olok pula, tentulah mereka tak bisa disebut selaku tukang kayu lagi, rasanya tukang arang lebih patut disematkan sebagai julukan baru semenjak kayu-kayu itu beralih fungsi menjadi bongkahan-bongkahan hitam sebagai materi bakar untuk menyate daging atau memanggang ikan. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat, hingga ketika ini mereka tetap dipanggil tukang kayu. Karena jasa mereka jugalah, para penebang liar tak berani menjamah hutan Karuman. Pernah suatu sewaktu, seorang bos penebang kayu murka karena tahu gelondongan kayu yg mereka tebas dibelah-belah menjadi penggalan kayu bakar. Ia tiba menuju gubuk kediaman Kalan. Tak sampai sepuluh menit sehabis masuk gubuk, seorang bos yg datang dgn dada pias sarat amarah, mesti digotong pulang dgn hidung disumpal kapas karena berani melawan tukang kayu tersebut. Sejak itu, tak seorang pun penebang liar yg berani mengambil kayu-kayu ulin yg terserak di kedalaman hutan Karuman.
“Baiklah, kalau bukan karena terpaksa, tidak ingin gue memanggil tabib itu,” dengus ketua etika, “Akan kusuruh anakku sendiri untuk menjemputnya.”
Kalan cuma mengulum senyum getir, segetir kakinya yg tergetar-getar kesakitan.
Tabib itu tiba sehari sesudah dipanggil ketua adat. Telinganya besar, panjang, & menjuntai dipenuhi anting-anting yg saling berdesakan. Sangat khas, identitas perempuan pedalaman yg teguh dgn takhayul & ilmu hitam.
“Meskipun gue berada di dusunmu, kau tak bisa mengaturku semaunya.” Itu kata-kata pertama yg keluar dr rongga mulut yg merah dilepahi sirih & pinang.
“Kalau bukan lantaran kemampuanmu yg kesohor, tak mungkin gue memanggilmu.”
“Jaga mulutmu ketua adat, kamu sama sekali tak memiliki sopan santun pada seorang tamu yg bersedia membantu,” cetusnya membalas.
Dengan wajah yg terperinci-jelas tak suka, akhirnya tabib itu disuruh pula menyelidiki keadaan Kalan.
Tanpa mencampakkan waktu, perempuan itu pun meletakkan selembar tangannya di atas dahi tukang kayu itu. Berkali-kali mantra penawar rasa sakit ia rapal, bibir gelapnya ia komat-kamitkan. Matanya yg dipenuhi celak hitam, terbuka-terpejam sambil membelit kedua tangan Kalan dgn seutas kain, menahan getar yg timbul dr tubuh ringkih yg diempas rasa sakit yg amat dalam.
“Tinggalkan gue sendirian bersama tukang sakit ini!” Raung si tabib, “Aku tak bisa bekerja di bawah tatapan banyak orang.”
Ketua budpekerti mendengus. Sedongkol apa pun hatinya, mau tak ingin ia mesti menuruti kata-kata tabib keparat itu—bila ia mau melihat kesembuhan tukang kayu terakhirnya. Dengan kode tangan, ia memerintahkan beberapa saudara yg membesuk Kalan untuk segera beranjak keluar. Mereka tahu, tabib Benuang ini yaitu tabib paling hebat dr semua tabib dusun yg ada di dataran Karuman. Sayangnya, ia berasal dr suku Benuang, suku yg telah usang bertikai dgn orang-orang Kutai.
Entah kapan pertikaian itu bermula, tak seorang penduduk yg tahu permulaan muasalnya, yg mereka tahu, sejak mereka lahir, para tetua budbahasa sudah menanak dendam & meniup dengki satu sama lain. Secuil apa pun api yg terpantik dapat mengobarkan perang antarsuku. Bahkan untuk memanggil tabib yg satu ini, anak ketua adat mesti membujuknya dgn tiga keping logam emas untuk meluluhkan wanita bertelinga lebar yg kesohor pula mata duitannya itu.
Setelah hanya ada Kalan & si tabib di ruangan gubuk, tanpa basa-busuk, dgn lekas, dgn tangkas, perempuan tua itu membungkus mulut Kalan dgn kain hitam yg telah ia siapkan. Kedua kaki Kalan mengentak-entak kaget ditingkahi mulutnya yg berceracau tak terperinci lantaran teredam belitan kain. Ia mengaum-aum seperti harimau sekarat menanti kematian.
Dengan perlahan, tabib itu mengeluarkan belati kecil dr lipatan pinggangnya. Belati yg sudah ia baluri air payau semoga bisa menembus kulit kebal si tukang kayu. Sudah bertahun lamanya ia mempelajari tandingan aji & mantra orang-orang Kutai, baru kali ini ia memiliki peluang mengujinya. Ia memandang jasad Kalan dgn mata membara seperti seorang jagal menghadapi kerbau yg akan ia dikorbankan….
Kelak, inilah keputusan yg paling disesali ketua akhlak. Setelah sejam tak terdengar bunyi apa-apa, mereka curiga, lalu mendobrak pintu gubuk Kalan. Di sanalah, di depan mata mereka, terhampar pemandangan yg paling memilukan. Jasad yg selama ini mereka pelihara, terbujur kaku tak bernyawa. Ruangan itu sunyi, seolah terbalut duka. Tabib yg sebaiknya menilik tukang kayu itu lenyap, hilang dr daerah. Seakan-akan ia tak pernah ada. Tak pernah tiba. Tidak pernah diundang.
Saat itu, setiap pasang mata yg melihat mayit Kalan tahu, para tetua etika tak akan tinggal membisu.
Malam itu juga, orang-orang Kutai akan mengangkat senjata. (*)
Catatan:
* Silat tuha, beladiri tua yg ada di tanah Kutai, bersenjatakan mandau & mantra-mantra. Dipercaya memakai jin sehingga tatkala Islam memasuki tanah Kutai, beladiri ini makin jarang ditekuni.