Hikayat Kakek tentang Lapar | Cerpen Mashdar Zainal

Di beranda rumah yg sungguh sederhana itu, seorang bocah yg sedang kelaparan, tengah dihibur kakeknya dgn sebuah kisah. Sebuah hikayat. Hikayat perihal lapar.

“Jika ada suatu cerita yg bisa membuatmu kenyang, apakah kamu mau mendengarkan kisah itu?” Sang kakek mengawali cerita itu dgn suatu pertanyaan.

“Apakah ada cerita yg seperti itu, Kek. Cerita yg mampu membuat seseorang menjadi kenyang?” si cucu balas mengajukan pertanyaan.

“Mari kita buktikan,” kata sang kakek kemudian. Dan sang kakek pun mengawali hikayatnya.

Ada suatu kota di mana orangnya senantiasa merasa lapar, jangan kau kira mereka tak pernah makan. Mereka makan. Mereka selalu makan. Makan apa saja. Seolah-olah perut mereka bisa menampung semua masakan yg ada di muka bumi ini. Tapi begitulah, mereka senantiasa merasa lapar. Mereka tak pernah merasa kenyang.

“Apakah masyarakatkota itu para raksasa?” si cucu bertanya karena merasa penasaran.

“Kau simpan saja pertanyaanmu untuk nanti,” sahut sang kakek.

Bocah itu terdiam, memperhatikan. Dan sang kakek pun melanjutkan ceritanya…

Kota itu dulunya sungguh permai, dipimpin oleh seorang paduka yg tak rakus lagi bijaksana. Sudah lama sekali kota itu melestarikan budaya & tradisi yg dicipta leluhurnya, salah satunya yaitu berpuasa pada waktu-waktu tertentu. Ya, berpuasa.

Seperti pemimpin-pemimpin sebelumnya, sang paduka pun mewajibkan seluruh rakyatnya untuk berpuasa pada waktu-waktu tertentu. Bertahun- tahun lewat & mereka hidup berdampingan, dgn damai. Mereka menjaga alam & sesamanya, mereka menjaga petuah & nasihat-pesan tersirat. Hingga sang paduka menua kemudian meninggal, & kedudukannya digantikan oleh putranya.

Putra sang paduka ini diundang paduka muda, & ia mempunyai watak mirip musang. Kau paham tabiat musang? Ya, rakus.

  Kolak | Cerpen Teguh Affandi

Begitulah, dlm memimpm rakyatnya, sang paduka muda ini selalu berbuat sesuka hatinya. Ia akan melaksanakan apa saja untuk mengasyikkan hatinya. Dan ia yaitu orang pertama yg membenci kebiasaan berpuasa. Maka, di bawah kepemerintahannya tradisi puasa yg dikerjakan beberapa waktu sekali itu pun dihapuskan.

Tradisi leluhur itu pun dimusnahkan. Maka, sejak ketika itu, para penduduk tak pernah lagi berpuasa. Dan alasannya mereka telah menyalahi tradisi, mereka pun menerima sebuah cobaan dr langit berupa rasa lapar yg begitu dahsyat. Rasa lapar yg mirip kutukan. Rasa lapar yg terus melilit perut warga kota.

Maka, lambat laun, para penduduk kota itu berkembang menjadi menjadi hewan semacam tikus besar. Semacam musang. Semacam binatang-binatang yg cuma tahu makan & makan. Maka, tak bisa dicegah, warga kota pun mulai memakan apa saja, mulai dr pepohonan, kerikil-kerikil, tanah, rongsokan besi, & bahkan bangkai.

Satu perutu apa-apa yg dimiliki kota itu habis alasannya adalah dimakan oleh penduduknya sendiri. Sesaat saja mereka menahan lapar, perut mereka akan segera berbunyi keras-keras, mirip suatu ledakan di dlm perut, & mereka akan secepatnya merasa kesakitan.

Dan tahukah kau apa yg terjadi jika sudah begitu? Ya. Setiap orang akan berlomba-kontes untuk mencari sesuatu yg bisa mengisi perut mereka. Mereka akan saling menyikut, mendengkul, menyodok, & bahkan saling membunuh.

Mereka lupa pada keluarga & sanak saudara. Karena mereka telah berkembang menjadi hewan pengerat. Mereka selalu berada di jalan-jalan dgn verbal terus bergerak mengunyah sesuatu. Perut mereka membengkak & menggelambir alasannya terlampau banyak makan.

Mereka beristirahat makan cuma tatkala sedang tidur. Jadi, mulai bangun tidur hingga tidur kembali, penduduk kota itu akan berjibaku untuk mencari sesuatu yg bisa mereka pakai untuk mengisi perut mereka.

  Kelabu di Kepala | Cerpen Rizki Turama

Mereka akan menyebar mirip layaknya binatang pengerat & mulai menggerogoti apa saja yg ada di kota itu. Pohon-pohon sudah habis, rumah-rumah pun sudah ludes, bahkan tanah-tanah pun berkubang-kubang alasannya dikeruk oleh perut-perut yg lapar.

Beberapa penduduk lemah yg tak pernah menerima jatah masakan dengan-cara cukup lebih menentukan untuk tertidur sedikit lama, hingga tanpa sadar beberapa dr mereka mati dlm tidur mereka. Mati dlm keadaan lapar. Mati oleh rasa lapar. Jasad mereka pun segera raib dicabik & disantap oleh saudara mereka sendiri yg senantiasa lapar.

Itu memang angker. Sangat seram. Rasa lapar memang lebih angker dr hal paling seram sekalipun.

Sang paduka muda tak pernah mampu mengontrol rakyatnya, sebab ia sendiri telah menjadi binatang pengerat paling besar lengan berkuasa yg mulutnya paling lebar & giginya paling runcing & perutnya paling besar. Benar-benar suatu kota yg menyedihkan.

Sang kakek terdiam & memandangi raut cucunya yg perlahan mulai tenang. Tidak lagi meringis menahan lapar.

“Apa yg kemudian terjadi pada kota itu & orangnya? Apakah mereka masih terus saling menyantap?” si cucu mengajukan pertanyaan ingin tahu.

“Begitulah & jadinya kota itu pun binasa oleh orangnya sendiri,” sang kakek mengakhiri ceritanya & sang cucu hanya terbengong-termenung.

“Tak ada simpulan yg bahagia?”

“Takkan pernah ada simpulan senang bagi sesuatu yg salah.”

Si cucu mengangguk-angguk seolah paham.

“Apa kini kau masih merasa lapar?” Tanya sang kakek kemudian.

“Sedikit,” sahut si cucu.

“Kau tahu kenapa insan senantiasa merasa lapar?”

Si cucu menggeleng, maka sang kakek menjawabnya sendiri, “Karena dlm perut insan ada makhluk manja bernama lambung, lambung itu melar seperti karet. Jadi. sebanyak apa pun kau mengisinya, ia akan selalu mempunyai sisa kawasan untuk kamu isi lagi & lagi hingga lambung itu sendiri meledak & rusak.”

  Keadilan | Cerpen Putu Wijaya

Si cucu mengernyit ngeri.

“Lambung itu, Nak,” lanjut sang kakek, “mirip hewan piaraan yg manja, kita tidak punya cara yg lebih baik untuk mengendalikannya selain berpuasa. Seperti yg kita lakukan hari ini. Jadi, apa kau masih sungguh lapar?”

Si cucu menggeleng & tersenyum, “Cerita kakek membuatku kenyang,” singkatnya. (*)