Hati-Hati Kue Anak Sekolah, Berbahaya!

Jajanan anak sekolah perlu lebih diperhatikan keamanannya ka­rena berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak sekolah. Makanan yang sering menjadi sumber keracunan ialah ma­kanan ringan dan jajanan, alasannya umumnya makanan ini ialah hasil bikinan industri kuliner rumahan yang kurang mampu menja­min mutu produk olahannya.


Makanan jajan anak sekolah condong menggunakan materi pengawet, pewarna, aroma, penyedap, dan komplemen, sehingga meng­ancam kesehatan anak. persoalan itu ialah duduk perkara keselamatan dimana masih ditemukannya produk masakan yang tidak memenuhi kriteria kualitas dan keselamatan yang mengakibatkan banyaknya masalah keracunan masakan. Disamping masih rendahnya pengetahuan pa­ngan dan tanggung jawab produsen serta rendahnya pengetahuan dan kepedulian pelanggan ihwal mutu dan keselamatan pangan.


Menurut observasi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) tahun 2004, sebagian makanan penganan anak sekolah itu mengandung materi kimia berbahaya. Dari 163 sampel kue anak yang diuji di 10 provinsi, sebanyak 80 sampel atau 50 persennya tak menyanggupi syarat kualitas dan keamanan. Kebanyakan penganan yang berurusan itu mengandung boraks, formalin, zat pengawet, zat perwarna berbahaya, serta tak mengandung garam beryodium. Sedikitnya 19.465 jenis ma­kanan dijadikan sampel pengujian tersebut. Hasilnya, sebanyak 5,6% sampel tidak layak diedarkan. Sebanyak 185 item mengandung pewar­na berbahaya, 94 item mengandung boraks, 74 item mengandung formalin, dan 52 item mengandung benzoat atau pengawet dalam kadar berlebih. Badan POM lalu menariknya dari peredaran untuk dimusnahkan.
 perlu lebih diperhatikan keamanannya ka Hati-Hati Jajanan Anak Sekolah, Berbahaya!
Di samping itu, Badan POM juga mengusut sebanyak 1.335 unit sarana industri kuliner. Hasilnya, sebanyak 36 dari 267 industri yang terdaftar produknya, belum memenuhi tolok ukur. Dari 927 unit in­dustri rumah tangga berizin SP yang diperiksa, ternyata ditemukan sebanyak 542 unit sarana belum menyanggupi kriteria.

Berdasarkan data kejadian luar biasa (KLB) pada JAS tahun 2004­-2006, kelompok siswa sekolah dasar (SD) paling kerap mengalami keracunan pangan. Hasil survei yang dijalankan di Bogor pada tahun 2004 menyatakan sebanyak 36% keperluan energi anak sekolah diperoleh dari pangan jajanan yang dikonsumsinya. Akan namun, tingkat keselamatan pangan jajanan memprihatinkan. Penyalahgunaan bahan kimia berbahaya mirip formalin dan rhodamin B oleh produsen pa­ngan jajanan adalah salah satu contoh rendahnya tingkat wawasan produsen perihal keamanan pangan kue. Ketidaktahuan produ­sen tentang penyalahgunaan tersebut dan praktik higiene yang ma­sih rendah ialah aspek utama penyebab persoalan keselamatan pangan penganan . Kondisi seperti ini dapat menimbulkan penyakit akibat pangan pada anak-anak baik secara akut maupun kronis.

Hasil survei oleh Badan POM tahun 2007 menunjukkan 45% pro­duk pangan olahan dan siap saji di lingkungan sekolah terkontaminasi baik fisik, mikrobiologis, maupun kimia. Selain terkotori mikroba, banyak produk pangan mengandung formalin, boraks, dan zat pewarna tekstil.

Pada penelitian yang dilaksanakan di Bogor telah didapatkan Salmo­nella Paratyphi A di 25%-50% sampel minuman yang dijual di kaki lima. Penelitian lain yang dilakukan sebuah forum studi di kawasan Ja­karta Timur mengungkapkan bahwa jenis penganan yang sering dikon­sumsi oleh anak-anak sekolah ialah lontong, otak-otak, tahu goreng, mie bakso dengan saus, ketan uli, es sirop, dan cilok. Berdasarkan uji laboratorium, pada otak-otak dan bakso ditemukan boraks, tahu goreng dan mie kuning berair didapatkan formalin, dan es sirop merah aktual mengan­dung rhodamin B.

Belakangan juga terungkap bahwa reaksi simpang masakan ter­pasti ternyata dapat memengaruhi fungsi otak tergolong gangguan sikap pada anak sekolah. Gangguan sikap tersebut meliputi gangguan tidur, gangguan konsentrasi, gangguan emosi, asma, alergi, hiperaktif, dan memperberat gejala pada penderita antis. Pengaruh jangka pendek penggunaan BTP ini menyebabkan gelaja-gejala yang sangat umum seperti pusing, mual, muntah, diare atau bahkan ke­sulitan buang air besar. Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) dari WHO yang mengendalikan dan memeriksa patokan BTP melarang penggunaan materi kimia tersebut pada makanan. Standar ini juga diadopsi oleh Badan POM dan Departemen Kesehatan RI melalui Peraturan Menkes Nomor 722/Menkes/Per/IX/1998.

Hiroshi Osawa, seorang profesor dari Universitas Iwate, Jepang, semenjak tahun 1984 telah meneliti perilaku kekerasan cukup umur Jepang. Hasil observasi menawarkan bahwa langkah-langkah kekerasan tersebut diakibatkan oleh konsumsi minuman ringan dalam kaleng atau botol dan masakan junk food yang terlampau banyak. Selain itu, hasil penelitian juga menawarkan kekerabatan antara perilaku pemarah dan sajian­runnya fokus dengan ketidakseimbangan metabolisms glukosa pada otak. Ketidakseimbangan ini dekat kaitannya dengan konsumsi gala dan karbohidrat olahan berlebihan.

Bagi anak yang sensitif, pengawet dan pewarna mampu mencetus­kan tanda-tanda alergi baik pada badan dan otaknya, di samping itu juga menimbulkan tanda-tanda diare. Alergi pada zat-zat aditif atau zat-zat ter­pasti pada masakan, dapat memengaruhi situasi hati, perilaku, dan proses berpikir. Bahkan dalam jangka panjang akan mempertinggi risiko kanker. Zat-zat dalam masakan lain (secara tidak langsung) yang dapat mengganggu aktivitas massa penghantar saraf otak (neu­rotransmiter) di otak, di antaranya: aroma sintetis, monosodium glu­selesai (MSG), atau salisilat sintetis. Asupan MSG dalam jumlah ba­nyak yang terus-menerus dalam jangka pendek akan menciptakan anak jadi haus, sakit kepala, dan mual.

Pengaruh konsumsi MSG berlebihan terhadap tubuh mampu lewat beberapa cara, yakni:
  1. Memengaruhi kegiatan otak atau mengacaukan pembentukan serta pengeluaran neurotransmiter yang memodifikasi situasi hati.
  2. Mengganggu atau mengharnbat anutan neurotransmiter sehingga saraf penerima pesan tidak mampu memahami sinyal listrik yang dikirim.
  3. Memengaruhi enzim-enzim yang menertibkan kegiatan neurotrans­miter.
Gejala atau efek yang ditimbulkan oleh zat-zat pembuat alergi tersebut bisa bervariasi, misalnya kurang gairah belajar, kurang kon­sentrasi, meningkatnya kenakalan, mudah mengantuk, cemas, dan daya ingat berkurang. Karma efeknya samar dan tidak begitu nyata, orangtua sering mengabaikan. Kalau anak malas mencar ilmu, dianggap ka­rena terlalu sering nonton televisi atau main video game.

Wawancara dengan PKL, memperlihatkan bahwa mereka tidak tahu adanya BTP ilegal pada bahan baku jajanan yang mereka jual. BTP ilegal menjadi primadona bahan suplemen di jajanan kaki lima karma harganya murah, dapat memberikan performa makanan yang me­narik (misalnya warnanya sungguh cerah sehingga menawan perhatian belum dewasa) dan mudah didapat. Lebih jauh lagi, kita pahami bahwa kuliner yang dijajakan oleh PKL biasanya tidak dipersiapkan de­ngan secara baik dan bersih.

Kebanyakan PKL memiliki pengetahuan yang rendah tentang penanganan pangan yang kondusif, mereka juga kurang mempunyai jalan masuk terhadap air bersih serta kemudahan basuh dan buang sampah. Terjadi nya penyakit. bawaan makanan pada kue kaki lima dapat berupa kontaminasi baik dari materi baku, penjamah kuliner yang tidak sehat, atau peralatan yang kurang higienis, juga waktu dan temperatur penyimpanan yang tidak tepat.

Menurut survei Yayasan Kusuma Buana, sebuah LSM di Jakarta yang bergerak di bidang kesehatan, cukup banyak anak yang berang­kat ke sekolah tanpa sarapan (16,9% dari 3.495 siswa yang diteliti). Akibatnya, mereka jajan di warung dekat sekolah atau penjualkaki lima di sekitar sekolah. Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan tahun 2001/2002 di 13 SD di Jakarta, ternyata aktivitas orang tua di pagi hari atau belum adanya selera makan di pagi hari menjadi alasan anak berangkat sekolah tanpa sarapan. Namun demikian, teladan jajan di sekolah ternyata dikerjakan juga oleh siswa yang telah sarapan di rumah masing-masing.

Ketika penganan anak di sekeliling sekolah-sekolah tersebut diteliti di La­boratorium Institut Pertanian Bogor, dari 34 sampel makanan dan 15 sampel minuman yang diteliti, tenyata 58,8% makanan dan 73,3% mi­numan mengandung kuman E. coli dan enterobacter (penyebab diare), zat pewarna, zat pengawet, atau suplemen produksi sakarin.

Sementara para siswanya, 3.160 orang, ketika diperiksa darahnya, sebanyak 1.565 anak ternyata mengidap anemia (kurang darah). Saat 332 orang di antaranya diperiksa secara acak, sebanyak 18,1 persen menderita kurang gizi.

Setelah rakyat Indonesia dihantui panik mengonsumsi mie basah, tahu, dan ikan, sebab kandungan formalinnya tinggi sekarang per­hatian sepertinya akan beralih ke jajanan anak sekolah. Pasalnya, Ba­dan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mendapatkan fakta barn. Sekitar 60% jajanan anak sekolah mirip minuman ringan, es cendol, dan kue ringan yang lain tidak pantas konsumsi karena mengandung zat pewarna tekstil serta 50% di antaranya mengandung komponen mikroba. Kedua komponen ini membahayakan kesehatan manusia alasannya zat pewarna tekstil dan mikroba pada belum dewasa akan mengakibatkan reaksi alergi, asma, dan hiperaktif pada anak serta efek kurang baik kepada otak dan perilaku anak. Survei dilakukan BPOM Pusat tahun 2005 dan di­kerjakan di 18 provinsi berpenduduk padat di Indonesia di mana 816 sampel yang diambil terindikasi zat tersebut.

Demikian uraian perihal ancaman jajanan anak sekolah, agar bawah umur kita mampu terus diawasi demi kesehatannya. Tulisan ini bersumber dari Buku Pengantar Gizi Makanan Cetakan Ke-2, Mei 2013 yang ditulis oleh Guru Besar Bidang Ilmu Gizi Universitas Airlangga yang juga yakni Ketua Dewan Pakar Gizi Klinik Rumah Sakit Tropis UNAIR, Prof. dr. Bambang Wijatmadi. M.S.,MCN.,Ph.D.,Sp.Gk bareng Dr. Merryana Adriani, SKM., M.Kes yang juga yaitu peneliti di bidang kesehatan penduduk dan diterbitkan oleh Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Semoga berguna !