Hasil Analisa Univariat

BAB VI
PEMBAHASAN
5.1        Hasil Analisa Univariat
a.       Gambaran umur perempuan usia produktif di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
Berdasarkan hasil penelitian yang terlihat pada tabel 5.1 maka distribusi umur responden yang termasuk kategori remaja (13 – 20 tahun) adalah 9 orang (19,56%), dewasa muda (21-35 tahun) sebanyak 22 orang (47,83 %) dan dewasa pertengahan (> 35 tahun) sebanyak 15 orang (32,61).
 Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar wanita usia produktif di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh adalah berusia cukup umur muda. Secara teoritis dibilang bahwa pada usia dewasa awal ini ialah abad pengaturan, kurun usia produktif, kurun memiliki masalah, kurun ketegangan emosional, abad keterasingan sosial, abad ketergantungan, periode pergeseran nilai dan kurun pembiasaan diri dengan cara hidup kreatif (Widayatun, 1999).
b.      Gambaran tingkat pendidikan wanita usia produktif di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
Berdasarkan hasil observasi yang tampakpada tabel 5.2, pendidikan wanita usia produktif di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh, responden yang berpendidikan rendah ialah 5 orang (10,87%), berpendidikan sedang 17 orang (36,96%) dan berpendidikan tinggi yakni 24 orang (52,17). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar wanita usia produktif di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh sudah berpendidikan tinggi.
Pendidikan merupakan upaya insan secara sadar yang tujuannya bersifat ganda yakni menyebarkan kepribadian dan kesanggupan insan dimana semakin tinggi pendidikan seseorang diperlukan semakin baik pertumbuhan dan kemampuannya (Kamars, 1998).
Pendidikan seseorang akan memilih caranya untuk mengerti dilema kesehatan. Nilai-nilai doktrin individu kepada kesehatan dibentuk oleh variabel intelektual yang berisikan pengetahuan, latar belakang pendidikan dan pengalaman era lalu (Potter & Perry, 1997).    
Orang dengan pendidikan formal yang rendah cenderung akan mempunyai wawasan yang lebih rendah ketimbang orang yang memiliki tingkat  pendidikan formal yang lebih tinggi, sebab akan sukar mengetahui arti dan pentingnya kesehatan dan gangguan-gangguan kesehatan yang mungkin terjadi. Pengetahuan akan mempengaruhi pola fikir seseorang, selain itu kemampuan kognitif membentuk cara fikir seseorang, meliputi kemampuan untuk mengetahui aspek-faktor yang besar lengan berkuasa dalam kondisi sakit dan untuk menerapkan wawasan ihwal sehat dan sakit dalam praktek kesehatan personal (Muhiman, 1996).
c.       Gambaran pemasukan wanita usia produktif di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
Berdasarkan hasil observasi yang terlihat pada tabel 5.3, pendapatan keluarga perempuan usia produktif di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh yakni 39 responden (63,04%) memiliki pemasukan yang rendah, 8 responden (17,39 %) mempunyai pendapatan yang sedang dan sebanyak 9 orang (19,57%) berpendapatan tinggi. Ini memberi gambaran bahwa tingkat sosial ekonomi masyarakat yang tiba ke poli kebidanan RSUZA Banda Aceh tergolong dalam katagori rendah secara umum.
Tingkat perekonomian ialah perolehan yang diterima oleh orang renta selama satu bulan yang berasal dari banyak sekali sumber dibagi dengan jumlah anggota yang ditanggung. Tingkat soial ekonomi atau tingkat penghasilan keluarga akan menghipnotis pola hidup seseorang dan cara menemukan pelayanan kesehatan kalau ada anggota keluarga yang sakit, makin baik kondisi sosial ekonomi, maka akan meningkat status kesehatan penduduk (Green, 1990).
Teori lainnya menyebutkan, jika seseorang dengan keadaan sosial ekonomi yang semakin baik, maka beliau akan cenderung membutuhkan pelayanan kesehatan yang tinggi. Dimana wanita dengan sosial ekonomi yang kian baik, akan bisa mendapatkan dan mencoba mendapatkan isu yang lebih jikalau ketimbang seseorang yang kondisi ekonominya jelek (Depkes, 1996).
d.      Gambaran pekerjaan wanita usia produktif di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
Berdasarkan hasil observasi yang tampakpada tabel 5.4, perempuan usia produktif di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh, wanita yang melakukan pekerjaan sebanyak 21 orang (45,65%) dan wanita yang tidak bekerja 25 responden (54,35 %) dan hal ini memberi citra bahwa sebagian besar wanita usia produktif yang datang ke poli kebidanan RSUZA Banda Aceh tidak melakukan pekerjaan .
Pekerjaan yakni kegiatan yang dijadwalkan, pekerjaan membutuhkan aliran yang khusus, yang dijalankan tidak hanya alasannya pelaksanaan acara itu sendiri menggembirakan, melainkan alasannya adalah cita-cita yang betul-betul untuk mencapai suatu hasil. Kegiatan itu mampu berbentukpemakaian tenaga jasmani maupun rohani (Pandji, 1992).
Dalam sebuah penelitian di Inggris, para spesialis meneliti 1.200 wanita antara usia 15 dan 54 tahun dan menulis balasannya di Jurnal Epidemiologi dan Kesehatan Masyarakat, menunjukkan bahwa ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan dan dalam akad nikah yang stabil tergolong perempuan tersehat, sementara ibu rumah tangga yang tinggal di rumah berpotensi lebih besar menderita kegemukan sehingga status kesehatannya juga rendah (Anonymous, 2007).
e.       Gambaran status perkawinan perempuan usia produktif di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
Berdasarkan hasil observasi yang tampakpada tabel 5.5, perempuan usia produktif di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh yang sudah menikah ialah sebanyak 25 responden (54,35%) dan responden yan belum menikah yaitu 21 orang (45,65 %). Hal ini memperlihatkan bahwa jumlah perempuan yang belum menikah lebih besar dari mereka yang menikah.
Perkawinan yaitu suatu relasi hukum selaku pertalian sah untuk jangka waktu selama mungkin, antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah menyanggupi syarat-syarat perkawinan (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990).
Status perkawinan dan status kesehatan juga memiliki keterkaitan. Wanita yang telah menikah pada umumnya mempunyai angka kesakitan dan kematian yang lebih rendah dan lazimnya mempunyai kesehatan fisik dan mental yang lebih baik daripada perempuan yang tidak menikah (Burman & Margolin dalam Haijiang Wang, 2005).
f.       Gambaran tingkat premenstrual syndrome (PMS)
Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat pada tabel 5.6 premenstrual syndrome (PMS) sebanyak 17 responden (36,96%) dan non premenstrual syndrome (PMS) dialami oleh 29 responden (63,04%). Sehingga didapat gambaran bahwa premenstrual syndrome (PMS) lebih minim dari non premenstrual syndrome.
Terdapat banyak aspek yang mempengaruhi tingkat gejala PMS yang dialami oleh responden, hal ini mampu dihubungkan dengan pekerjaan responden. Selain itu, kalau dilihat dari aspek pendidikan responden juga mampu dihubungkan dengan gejala. Hal ini dapat berpengaruh alasannya tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pola fikir dan wawasan seseorang perihal kesehatan, perempuan yang berpendidikan rendah kurang mengerti tanda-tanda-gejala yang mungkin terjadi sebelum haid sehingga mereka condong mengeluh dengan tanda-tanda PMS yang dinikmati.
6.2.  Hasil Analisa Bivariat
a.       Hubungan antara umur perempuan usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
Berdasarkan hasil analisa diperoleh nilai x² hitung adalah 2,275 berikutnya dilakukan pengujian hipotesa dimana x² tabel dengan α = 0,05 dan df = 2 adalah 5,991. Perbandingan antara kedua nilai x² tersebut diperoleh dari hasil x² hitung 2,275 < x² tabel 5,991. Sehingga dapat dimengerti bahwa hipotesa kerja (Ha) ditolak yang mempunyai arti tidak ada korelasi bermakna antara umur perempuan usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
Hal ini menunjukkan bahwa umur bukan ialah aspek yang sangat mempengaruhi kepada premenstrual syndrome (PMS), walaupun dalam teorinya Cornforth (2000), mengatakan bahwa aspek resiko yang paling berafiliasi dengan PMS ialah faktor kenaikan umur dan sebagian besar wanita yang mencari pengobatan PMS ialah mereka yang berusia lebih dari 30 tahun.
Oakley (1998), juga mengatakan bahwa tingkat usia seseorang kuat terhadap respon kesehatan, motivasi dan psikologi serta frustasi, rata-rata orang yang lebih bau tanah akan mengalami lebih banyak frustasi dan tekanan psikologi daripada yang muda. Namun, pada usia bau tanah gangguan ini lebih cepat pulih ketimbang usia muda sebab mempunyai cita-cita dan kematangan mental yang lebih baik.
Dari teori diatas peneliti dapat beranggapan bahwa seiring dengan kenaikan usia, resiko gangguan kesehatan juga makin tinggi, akan tetapi pada kejadian PMS tidak terlalu besar lengan berkuasa karena pada usia sampaumur telah terjadi kematangan perkembangan emosional, dimana pertumbuhan emosional ini akan sungguh berpengaruh kepada tanggapanserta tindakan seseorang kepada status kesehatan. Hal tersebut disokong oleh teori yang dikatakan oleh Freeman (2007), dimana banyak wanita melaporkan mengalami gejala-tanda-tanda PMS  lebih permulaan dan ada fakta yang mengungkapkan bahwa sebagian dewasa mengalami gejala-gelaja yang sama dan kekuatan PMS yang serupa sebagaimana yang dialami oleh wanita yang lebih tua.
Makara, terdapat perbedaan antara teori dan hasil penelitian, yakni aspek umur tidak bekerjasama dengan PMS, hal ini juga mungkin disebabkan karena perempuan pada usia dewasa yang gres mengalami menstruasi masih terfokus pada tanda-tanda-gejala yang mereka alami sebelum menstruasi, sementara pada usia sampaumur tidak terlampau dihiraukan alasannya adalah fikiran mereka sudah terpecah terhadap hal-hal yang lain dan pada usia dewasa lazimnya wanita belum mampu memakai prosedur koping yang bagus untuk mengatasi stres yang memperberat gejala-gejala PMS  tersebut.
b.      Hubungan antara pendidikan wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
Berdasarkan hasil evaluasi diperoleh nilai x² hitung ialah 1,552 berikutnya dilakukan pengujian hipotesa dimana x² tabel dengan α = 0,05 dan df = 2 adalah 5,991. Perbandingan antara kedua nilai x² tersebut  diperoleh dari hasil x² hitung 1,552 < x² tabel 5,991. Sehingga dapat  dimengerti bahwa hipotesa kerja (Ha) ditolak yang berarti tidak ada  kekerabatan mempunyai arti antara pendidikan wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
Hal ini menawarkan bahwa pendidikan bukan ialah faktor yang besar lengan berkuasa kepada PMS, walaupun dalam teorinya Suryono (1998), mengatakan bahwa latar belakang pendidikan dan pengalaman menghipnotis seseorang dalam berfikir dan bertindak. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan pengalaman maka semakin tinggi pula motivasi untuk mempergunakan akomodasi kesehatan karena telah mempunyai wawasan dan pengetahuan yang lebih.
 Hal ini menunjukkan bahwa pada PMS  faktor pendidikan tidak mempunyai pengaruh yang mempunyai arti, disebabkan alasannya adalah penelitian yang dilakukan mengambil kategori pendidikan dalam bentuk formalitas, dimana tidak semua pendidikan dilembaga formal mengajarkan perihal kesehatan, sehingga peneliti beranggapan bahwa orang yang berpendidikan tinggi belum tentu mempunyai wawasan yang tinggi wacana kesehatan dan bagaimana gaya hidup yang sehat serta cara mempertahankan kesehatan yang optimal, terutama ihwal cara-cara pencegahan PMS.
c.       Hubungan antara pendapatan perempuan usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
Berdasarkan hasil evaluasi diperoleh nilai x² hitung adalah 0,720 berikutnya dikerjakan pengujian hipotesa dimana x² tabel dengan α = 0,05 dan df = 2 adalah 5,991. Perbandingan antara kedua nilai x² tersebut  diperoleh dari hasil x² hitung 0,720 < x² tabel 5,991. Sehingga dapat  dikenali bahwa hipotesa kerja (Ha) ditolak yang bermakna tidak ada  relasi memiliki arti antara pendapatan wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
Seseorang yang berasal dari keluarga dengan penghasilan tinggi condong lebih gampang dalam memperoleh pelayanan dan informasi tentang kesehatan ketimbang orang yang berasal  dari keluarga dengan penghasilan rendah (Azwar, 1996).
Teori lain juga menyebutkan bahwa kemiskinan dan kesehatan mempunyai korelasi yang bermakna. Pendapatan perempuan yang sedikit membuat status kesehatan rendah dan memiliki kesusahan yang lebih besar untuk mengakses pelayanan kesehatan dibandingkan dengan wanita yang berpendapatan tinggi (Youngkin & Davis, 1998).
Meskipun pemasukan keluarga yang tinggi memungkinkan untuk dapat terpenuhinya  keperluan gizi dan yang mampu menunjang tercapainya kesehatan yang optimal. Namun, seiring dengan bertambah tingginya harga kebutuhan hidup sehari-hari tidak menutup kemungkinan keluarga yang mempunyai pendapatan yang tinggi juga akan kesusahan untuk menyanggupi kebutuhan gizi mereka dan hal ini akan kian sukar jika jumlah anggota keluarga banyak, sehingga wanita dari keluarga yang berpenghasilan tinggi juga memiliki kecenderungan untuk mengalami PMS. Selain itu, apabila dihubungkan degan sisi pendidikan dapat dilihat bahwa 2/3 dari responden yang berpendapatan tinggi tetapi mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Dimana hal ini juga dapat menjadikan kurangnya wawasan dan kesadaran responden terhadap kesehatan pribadi, khususnya PMS.
Kaprikornus secara lazim dapat disimpulkan bahwa aspek pemasukan keluarga tidak kuat kepada premenstrual syndrome (PMS) di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
d.      Hubungan antara pekerjaan perempuan usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
Berdasarkan hasil evaluasi diperoleh nilai x² hitung yakni 0,217 berikutnya dikerjakan pengujian hipotesa dimana x² tabel dengan α = 0,05 dan df = 2 yakni 5,991. Perbandingan antara kedua nilai x² tersebut  diperoleh dari hasil x² hitung 0,217 < x² tabel 5,991. Sehingga mampu  dikenali bahwa hipotesa kerja (Ha) ditolak yang bermakna tidak ada  relasi mempunyai arti antara pekerjaan perempuan usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
Pekerjaan yakni acara yang dijadwalkan. Kaprikornus pekerjaan itu membutuhkan aliran yang khusus, yang dikerjakan tidak cuma sebab pelaksanaan acara itu sendiri. Bagi wanita, melakukan pekerjaan merupakan salah satu cara untuk memberikan keberadaan di ditengah masyarakat (Pandji, 1992).
Pembagian kerja bahwa kerja domestik (rumah tangga) yaitu tanggung jawab perempuan, sementara keja diruang publik (kerja diluar rumah tangga) yaitu tugas laki-laki masih menjadi norma yang umum. Meskipun sebagian besar wanita juga ikut melaksanakan kerja diluar masalah rumah tangga untuk menambah penghasilan keluarga, akan namun perempuan tetap menanggung semua kerja domestik (Fadilah, 2004).
Dalam sebuah observasi yang dijalankan kepada 2000 perempuan Inggris oleh Dr Anne McMunn dari University College London, memperoleh hasil bahwa mereka yang mempunyai sejumlah tugas, seperti sebagai perempuan karir dan ibu rumah tangga, atau menjadi single parent sambil bekerja cenderung memiliki keadaan kesehatan yang jauh lebih baik dibanding mereka yang melulu hanya sebagai ibu rumah tangga (Anonymous, 2008).
Perempuan yang menjadi ibu rumah tangga seumur hidupnya dan tidak pernah memiliki karir, condong menyampaikan kesehatan mereka jelek. Ibu rumah tangga diketahui cenderung lebih gampang mengalami peningkatan berat tubuh dan kecepatan obesitas yang paling tinggi adalah 38%, sedangkan wanita yang bekerja sekaligus berperan sebagai istri maupun ibu rumah tangga ternyata memiliki tingkat obesitas yang terendah. Dalam penelitian Deuster (1999), berat badan juga kuat kepada PMS dimana perempuan yang memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) diatas 27 megalami tanda-tanda PMS yang lebih berat (12%) dibandingkan dengan perempuan yang memiliki IMT dibawah 27 yakni 5,9%. Teori lain juga menyebutkan bahwa menjadi wanita karier sekaligus ibu rumah tangga ternyata mempunyai tingkat stres yang rendah dibandingkan wanita yang tidak bekerja (Anonimous, 2008).
Sehingga mampu ditarik kesimpulan bahwa wanita yang tidak melakukan pekerjaan atau tidak melakukan pekerjaan tidak kuat kepada terjadinya PMS. Adanya PMS ga selain disebabkan oleh faktor IMT, kemungkinan juga disebabkan oleh kondisi psikologis dimana wanita yang bekerja condong mempunyai kepuasan tersendiri dan perasaan yang lebih hening alasannya mereka mampu menunjjukkan keberadaan ditengah masyarakat, sedangkan perempuan yang cuma berperan selaku ibu rumah tangga sering mengalami stres yang diakibatkan oleh kebosanan mereka kepada aktivitas yang monoton.
e.       Hubungan antara status perkawinan wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
Berdasarkan hasil evaluasi diperoleh nilai x² hitung yakni 2,116 berikutnya dilaksanakan pengujian hipotesa dimana x² tabel dengan α = 0,05 dan df = 2 yaitu 5,991. Perbandingan antara kedua nilai x² tersebut  diperoleh dari hasil x² hitung 2,116 < x² tabel 5,991. Sehingga dapat  dimengerti bahwa hipotesa kerja (Ha) ditolak yang mempunyai arti tidak ada  korelasi mempunyai arti antara status perkawinan wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
Sebuah observasi mendapatkan fakta bahwa mereka yang telah menikah cenderung mempunyai resiko yang lebih kecil untuk mengalami PMS (Deuster, 1999). Sedangkan observasi Julianne Holt-Lunstad dari Young University Amerika Serikat (AS) mengungkap, bahwa akad nikah yang serasi berperan besar dalam menjaga kesehatan seseorang (Nurfahmi, 2008).
Kaprikornus mampu ditarik kesimpulan bahwa tidak ada dampak status perkawinan terhadap premenstrual syndrome (PMS). Meskipun dalam teori disebutkan bahwa status perkawinan dan status kesehatan juga mempunyai keterkaitan, namun hal itu nampaknya tidak terlalu berpengaruh kepada premenstrual syndrome (PMS), disebabkan alasannya adalah terdapat banyak aspek lain yang mempengaruhi keserasian pernikahan. Dimana perempuan yang menikah juga rentan mengalami stres berhubungan rumah tangga seperti merasa tertekan hidup bareng mertua, hidup dibarengi saudara, finansial yang kurang, tidak mempunyai keturunan dan tindak kekerasan dari suami.


BAB VII
PENUTUP
7.1        Kesimpulan
            Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan pada BAB V dan VII maka mampu ditarik kesimpulan sebagai berikut:
  1. Hasil observasi menawarkan bahwa responden dalam klasifikasi berumur cukup umur permulaan ialah sebanyak 22 orang (47,83 %), pendidikan responden sebagian besar yakni akademi tinggi/sederajat (tinggi) sebanyak 24 orang (52,17%), pemasukan responden dalam kategori rendah sebanyak  29 orang (63,04 %), tidak melakukan pekerjaan yaitu sebanyak 25 orang (54,35%) dan responden dalam klasifikasi kawin yakni 25 orang (54,35%).
  2. Premenstrual Syndrome (PMS) terdapat pada sebanyak 17 orang (36,96%) dan nonpremenstrual syndrome terdapat pada 29 orang (63,04%).
  3. Dari hasil uji statistik yang dilaksanakan untuk mengenali kekerabatan antara umur perempuan usia produktif dengan Premenstrual Syndrome (PMS) diperoleh hasil x² hitung (2,275) < x² tabel (5,991). Sehingga dapat diketahui bahwa hipotesa kerja (Ha) ditolak yang mempunyai arti tidak ada hubungan mempunyai arti antara umur wanita usia produktif dengan Premenstrual Syndrome (PMS) di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
  4. Dari hasil uji statistik yang dikerjakan untuk mengenali relasi antara pendidikan perempuan usia produktif dengan Premenstrual Syndrome (PMS) diperoleh hasil x² hitung (1,552) < x² tabel (5,991). Sehingga mampu dikenali bahwa hipotesa kerja (Ha) ditolak yang memiliki arti tidak ada hubungan memiliki arti antara pendidikan wanita usia produktif dengan Premenstrual Syndrome (PMS) di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
  5. Dari hasil uji statistik yang dilakukan untuk mengenali kekerabatan antara pemasukan wanita usia produktif dengan Premenstrual Syndrome (PMS) diperoleh hasil x² hitung (0,720) < x² tabel (5,991). Sehingga mampu dikenali bahwa hipotesa kerja (Ha) ditolak yang berarti tidak ada korelasi memiliki arti antara pendapatan wanita usia produktif dengan Premenstrual Syndrome (PMS) di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
  6. Dari hasil uji statistik yang dilaksanakan untuk mengetahui kekerabatan antara pekerjaan perempuan usia produktif dengan Premenstrual Syndrome (PMS) diperoleh hasil x² hitung (0,217) < x² tabel (5,991). Sehingga dapat dimengerti bahwa hipotesa kerja (Ha) ditolak yang mempunyai arti tidak ada korelasi bermakna antara pekerjaan wanita usia produktif dengan Premenstrual Syndrome (PMS) di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
  7. Dari hasil uji statistik yang dilaksanakan untuk mengetahui relasi antara status perkawinan wanita usia produktif dengan Premenstrual Syndrome (PMS) diperoleh hasil x² hitung (2,116) < x² tabel (5,991). Sehingga dapat dimengerti bahwa hipotesa kerja (Ha) ditolak yang memiliki arti tidak ada korelasi mempunyai arti antara status perkawinan perempuan usia produktif dengan Premenstrual Syndrome (PMS) di poli kebidanan RSUZA Banda Aceh.
  Kesimpulan Penelitian Perihal Posyandu

7.2         Saran
  1. Bagi Institusi pendidikan terutama Program Studi pendidikan dokter biar mampu lebih mengembangkan pengetahuan dan kemampuan mahasiswa utamanya wacana pencegahan dan penaggulangan Premenstrual Syndrome (PMS) lewat perkuliahan dan praktik keperawatan maternitas.
  2. Bagi profesi dokter semoga dapat menunjukkan isu yang benar dan lengkap wacana Premenstrual Syndrome (PMS).
  3. Bagi wanita terutama yang memiliki resiko untuk mengalami Premenstrual Syndrome (PMS) agar mampu mencari informasi yang selengkap-lengkapnya perihal cara pencegahan dan penanggulangan Premenstrual Syndrome (PMS) dari tenaga kesehatan atau institusi pelayanan kesehatan.
  4. Bagi calon peneliti lain yang ingin melaksanakan penelitian perihal Premenstrual Syndrome (PMS) agar dapat meninjau pengetahuan wanita usia produktif tentang Premenstrual Syndrome (PMS) dan diperlukan adanya tindak lanjut dari hasil observasi tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. (2007). Risk Factor Of PMS, http://www.healthscout.com.diperoleh tanggal 1 Desember 2007.
Anonymous. (2008). Wanita Karir Jauh Lebih Sehat? http://www.jawaban.com/detail.asp? Diperoleh tanggal 18 April 2008.
Anonymous. (2008). Ibu Pekerja, Kunci Sukses Hilangkan Stres, http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/berita-utama-sore/ibu-pekerja-kunci-berhasil hilangkan.html, diperoleh tanggal 18 April 2008.
Arikunto S. (1998). Manajemen Penelitian, Jakarta : PT Rineka Cipta.
Azwar A. (1996). Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Jakarta: Binarupa Aksara.
Baziad, A. (2005). Sindroma Prahaid,http://www.Kompas.com/kesehatan/news/, diperoleh tanggal 3 Agustus 2007.
BKKBN. (1996). Pedoman Penggunaan Alat Ukur Lingkar Lengan Atas (LILA) Pada Wanita Usia Subur (WUS), Kantor Menteri Negara Kependudukan , Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan dan Tim Penggerak PKK Pusat.
Bobak, M & Irene et., al. (2004). Keperawatan Maternitas, Edisi 4, Jakarta: EGC.
BPS. (2006). Statistik Kesehatan, Jakarta: BPS.
Brunner & Suddarth. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta: EGC.
Burns, A. (2000). Pemberdayaan Wanita Dalam Bidang Kesehatan, Jakarta:Yayasan Essentia Medika.
Burn. (1999). Metodelogi Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta.
Chandra, B. (2002). Pengantar Statistik Kesehatan, Jakarta: EGC.
Cornforth, T. (2007) What Risk Factors are Associated with PMS?, http://www.Women’s health.about.com. diperoleh tanggal 1 Desember 2007.
Dalton, K. (1984). The Premenstrual Syndrome and Progesterone Therapy,2nd edition, William Heinermann Medical Books Ltd.
Depkes RI. (1996). Keluarga Berencana, Jakarta.
Deuster et., al. (1999). Biological, Social and Behavioral Factors Associated with Premenstrual Syndrome, http://www.archfammed.com. diperoleh tanggal 20 Juni 2007.
Ensiklopedi Nasional Indonesia. (1990), Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.
Essel, E, K. (2007). Pms Is it Real?, http://www2.gsu.edu/. Diperoleh tanggal 1 Desember 2007.
Fadilah, S. (2004). Peran Ibu Untuk Pembangunan, http://www. Situs. Kesrepro.Info.co.id. Diperoleh tanggal 2 Desember 2007.
Freemen, E, W. (2007). Epidemiology and Etiology Of Premenstrual Syndromes, http://www.medscape.com. Diperoleh tanggal 1 desember 2007.
Ganong, W.F. (1983). Fisiologi, Edisi 10, Jakarta: EGC.
Greenspan S. F & Baxter D. J. (1998). Endroklinologi Dasar dan Klinik, Edisi IV, Jakarta: EGC.
Green, L. (1990). Health Education Planning Approach, 1st Edition, California: Meryland Publishing Company.
Hamilton. (1995). Dasar-dasar Keperawatan Maternitas, edisi 6, Jakarta: EGC.
Hacker & Moore. (2001). Essensial Obstetri dan Ginekologi, edidi 2, Jakarta: Hipokrates.
Haijiang, W. (2005). Marital Status, http://paa 2005.princeton.edu/download. Diperoleh tanggal 14 september 2007.
Health Media Nutrition Series. (1996). Wanita & Nutrisi, Jakarta: PT Bumi Aksara
Jacoeb T.Z., Baziad, A. (1994). Anovulasi : Patofisiologi dan Penanganannya, Edisi 2, Jakarta: Balai penerbit FKUI.
Kamars, H.M.D (1998). Sistem Pendidikan,  Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Karyadi, E. (1999). Menangkal Rasa Sakit Menjelang Haid, http://www.indomedia.com/intisari/1999/mei/haid. diperoleh tanggal 1 Juli 2007.
Llewellyn, J. D. (2005). Setiap Wanita, Jakarta: Delapratasa Publishing.
Mochtar, R. (1989). Sinopsis Obstetri, Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi, edisi 2, Jakarta.
Muhiman, M, dkk. (1996). Penanggulangan Nyeri Pada Persalinan, Jakarta: Universitas Indonesia.
Mulyono dkk. (2001). Stres Psikososial Pada Wanita Pekerja Status Kawin Di PT Tulus Trituggal Gresik, http://www.jurnal.unair.ac.id/login.jurnal/. diperoleh tanggal 14 September 2007.
Notoatmodjo. (1997). Ilmu kesehatan Masyarakat: Prinsip-prinsip Dasar, edisi pertama, Jakarta: PT Rineka Cipta.
___________ (2002), Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Nurfahmi. (2008). Pernikahan Harmonis Tingkatkan Kesehatan, http://nurfahmi.wordpress.com/2008/03/23/akad nikah-harmonis-optimalkan-kesehatan/, diperoleh tanggal 18 April 2008.
Oakley L.D. (1998). Social Cultural Context of Phsyciatric Nursing, sixth edition, Philadelphia: Mosby Year Book Inc.
Pandji. (1992). Psikologi Kerja, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Prawirohardjo. (2005). Ilmu Kebidanan, Jakarta: EGC.
Potter, P.A & Perry, A.G. (1997), Fundamental Of Nursing, Concept, Process and Practice, 1st Edition, New York : Lippincott.
Rayburn, W.F & Carey, C. (2001). Obstetri dan Ginekologi, Jakarta: Widya Medika.
Sekneg R.I .(2003). Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 wacana Sistim pendidikan Nasional, Jakarta.
Scott et. al. (2002). Buku Saku Obstetri dan Ginekologi, Jakarta: Widya Medika.
Shreeve, C. 1983. Sindrom Pramenstruasi, Jakarta : Arcan.
Suryono (1998). Motivasi dan Pengaruhnya, Jakarta: Arcan.
Syahrum M.H, Kamaludin, T. (1994). Reproduksi dan Embriologi : Dari Satu Sel Menjadi Organisme, Jakarta: FKUI.
Whalley & Wong’s. (1999). Nursing Care Of Infant and Children, 6th edition, Mosby Company, Philadelphia.
Widayatun, T. R. (1999). Ilmu Perilaku, Jakarta : Sagung Seto.

Youngkin, E.Q & Davis, M.Z. (1998). Women’s Health; A Primary Care Clinical Guide, Second Edition, Stanford : Appleton & Lange.