Gelar | Cerpen Mashdar Zainal

MENURUTKU, gelar & nama yaitu dua hal yg tak boleh dipisah-pisahkan. Seperti badan & busana, sebuah nama akan telanjang tanpa gelar. Itulah kenapa gue sungguh mengutuk orang-orang—utamanya mahasiswaku—yang luput mencantumkan gelar pada namaku. Sebagai seorang dosen senior, gue sudah menerapkan beberapa pantangan bagi seluruh mahasiswa yg mengikuti perkuliahanku. Salah satu di antaranya yakni mengenai gelar itu sendiri.

Mereka—para mahasiswaku—yang berulang kali salah menyebutkan nama berikut gelarku, kujamin akan bernasib buruk. Seperti yg sudah kukatakan, gelar & nama yaitu sesuatu yg sakral bagiku, jadi tak boleh diotak-atik oleh semua orang.

Sebenarnya, untuk mengantisipasi hal itu, gue senantiasa berbaik hati. Pada setiap permulaan semester, di perkuliahan, gue senantiasa berpanjang lebar memperkenalkan diri. Para mahasiswa yg belum pernah mengikuti perkuliahanku, mereka akan mendengarkan semua ceritaku dgn khidmat & sesekali manggut-manggut. Jabatanku di kampus ialah pembantu rektor satu, sekaligus guru besar. Sudah berapa dosen di kampus ini yg dulunya bekas mahasiswaku? Toh, mereka semua menghormatiku.

Tak perlu ditebak, pastinya gelarku cukup mentereng. Setiap awal semester, pada acara perkenalan dgn mahasiswa baru, gue selalu menuliskan nama lengkapku besar-besar di jantung papan tulis. Aku senantiasa menuliskannya begini: Prof Dr H M Kibari MA.

Bila para mahasiswa yg kuajak bicara mengernyitkan dahi, dgn semangat gue akan menjelaskan pada mereka, bahwa kata prof, dr namaku itu bermakna profesor, yakni seorang ahli dlm suatu bidang, bidangku tentu kebahasaan. Untuk meyakinkan mereka, gue senantiasa menyebutkan prestasi-prestasi akademik & non-akademik yg sudah kukantongi. Sudah bertebaran pula buku-buku barat yg gue terjemahkan ke dlm bahasa ibu. Rasanya tak ada yg kurang dgn prestasiku.

Adapun mengenai huruf Dr, dr namaku merupakan akronim dr kata doktor yg gue temukan dr S3-ku yg kedua, di Jakarta. Tak pernah ketinggalan pula gue menerangkan wacana abjad H, yg bertengger pada namaku. Huruf H di sana tentu saja singkatan dr kata haji, itu alasannya adalah memang sudah berkali-kali gue ke Makkah. Dan untuk karakter M, gue takkan menerangkan panjang lebar alasannya M di sana ialah kependekan dr nama depanku, Muhammad.

Dan yg terakhir, aksara MA, master of art, merupakan oleh-oleh dr S2-ku dr negeri yg punya ibu Menara Eifel, Prancis. Hebat bukan?

Tak ada yg perlu diragukan, rasanya gelar itu cukup sepadan dgn kemampuan akademik yg kumiliki. Mungkin bisa dikatakan gue ini seorang multitalent. Mulai dr kecerdasan matematis, bahasa, kinestetik, sampai musikal, gue menguasainya. Tak banyak orang tahu bahwa membisu-membisu gue ini berbakat menggesek biola, itulah yg kukatakan sebagai kecerdasan musikal. Bukannya gue angkuh, alasannya adalah arogan itu ialah menolak kebenaran & merendahkan orang lain. Aku tak begitu, justru gue mengagungkan kebenaran, semua tentangku memang benar adanya, bukan mengada-ada. Aku pula tak pernah menatap rendah orang lain, mungkin orang lain saja yg mesti mengakui bahwa gue memang ada di atas mereka, dlm banyak hal.

*****


Pada simpulan semester mirip ini biasanya gue akan lebih sibuk dr biasanya. Banyak sekali agenda-agenda kampus yg harus rampung sebelum rapat wisuda digelar nanti. Belum lagi persoalan konsultasi para mahasiswa yg bebal itu. Beberapa kali mereka datang ke rumah, mengemis-ngemis semoga gue mampu menerima konsultasinya kemudian mengasese skripsinya yg amburadul itu.

  Kupanggil Dia Wesa | Cerpen Uniawati

Seminggu terakhir ini, sudah terhitung tiga mahasiswa yg terpaksa gue depak untuk mengulang semester depan. Aku sudah sudah biasa dgn wajah-wajah kecewa mereka.

Awal pekan lalu, seorang wanita berkunjung ke rumah. Setelah kuhitung-hitung, gue yakin, itu kedatangannya yg ketujuh. Sepertinya ia lebih pandai mengobral argumentasi daripada menekuni tugas akibatnya. Kali ini ia datang malam-malam dgn segepok kertas di tanganya. Aku menyesal sekali, istriku mempersilakannya masuk. Terpaksa gue meladeninya.

“Apa kita sudah buat janji sebelumnya?” ujarku tanpa basa-bau.

“Maaf Pak, saya tadi tak sempat, tadi seharian sarat saya menuntaskan bagian terakhir ini. Dan, waktu saya ke kampus bapak tak ada.” Dalihnya enteng.

Walah… itu alasan ananda saja, wong sedari pagi saya di kampus kok! Urusan kampus ya tuntaskan di kampus. Lha, kenapa ananda berani menemui saya tanpa membuat janji apalagi dahulu. Sudah…, sebaiknya ananda pulang saja, saya mau istirahat….” Tukasku kalem.

“Tapi Pak, ahad depan sudah ujian. Izinkan saya bicara sebentar dgn bapak. Saya mau minta pertimbangan-pertimbangan lagi dr bapak supaya semuanya clear dan lusa saya sudah bisa daftar cobaan skripsi.” Ia merajuk, membuatku semakin muak.

“Entah besok cobaan, entah minggu depan ujian, itu masalah kamu. Pertanyaannya, selama satu semester ini ananda ngapain aja? Bukannya dead line yg kuberikan sudah kedaluwarsa?”

“Sungguh, Pak…! Ada urusan penting yg mesti saya utamakan.”

“Lebih penting dr skripsimu?” tandasku.

Wanita itu tak bergeming, namun matanya mengilat mirip beling.

“Sudah, terserah draf itu mau ananda apakan. Yang terang malam ini saya mau istirahat. Badan saya rasanya remuk semua. Maaf.” Ucapku singkat, kemudian beringsut meninggalkannya yg tergugu di ruang tamu. Entah dgn cara apa ia enyah, lagi-lagi gue takkan peduli. Aku sungguh-sungguh muak dgn mahasiswa versi begitu.

Mahasiswa kedua yg tak kugubris kedatangannya pula seorang perempuan. Ia mengaku tak memiliki banyak waktu untuk menyentuh skripsinya alasannya adalah ia repot mengorganisir balitanya. Bagiku, itu risiko yg mesti ia tanggung. Maka, baginya tak ada lagi toleransi. Aku cuma menyarankan padanya supaya ia berakal-akil membagi waktu.

Yang ketiga merupakan seorang cowok kumal. ia seorang pencetus organisasi tambahan kampus. Bertubi-tubi ia mengemukakan argumentasi dgn bahasa yg diplomatis & dibentuk-buat. Dipikirnya itu akan mengubah nasibnya, sama sekali tidak. Bahkan, terang-terangan gue memberinya dua pilihan, skripsi atau organisasi. Aku menyuruhnya pulang & datang kembali semester depan dgn opsi yg tepat.

Setelah para mahasiswa error itu, malam ini datang lagi seorang cowok dgn potongan alim. Kalau tak salah ia yakni seorang anggota takmir masjid kampus. Entah, gue lupa namanya siapa. Sebenarnya ia itu rajin, namun untuk soal skripsi ia tak beda jauh dgn mahasiswa kebanyakan. Dari matanya gue masih menangkap kemuakkannya terhadapku. Mungkin ia teringat kejadian beberapa bulan kemudian saat gue menegurnya sebab kesalahan fatal menyebut namaku tanpa memakaikan bajunya, gelarnya. Pada khutbah Jumat waktu itu gue mendapat jadwal khatib & ia sebagai bilal. Sebelum gue naik ke mimbar, ia menyebutkan namaku begini: “Dan pada Jumat kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Bapak Muhammad Kibari.”

  Pekerjaan Gelap | Cerpen Khairul Anam

Bukankah sebaiknya ia menyebut namaku begini: “Dan pada Jumat kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Prof Dr HM Kibari, MA.”

Iya kan? Seharusnya begitu, kan? Untung saja posisiku waktu itu selaku khatib, kalau tak niscaya gue sudah melabraknya. Tapi sudahlah, gue sudah melalaikan insiden itu & memaafkannya. Dan, malam ini gue menerima konsultasinya yg terakhir, tentu setelah ia membuat janji denganku.

“Maaf Pak, ini hasil revisi saya yg terakhir,” ucapnya sambil menyerahkan bendel skripsinya yg tebal. Dengan malas gue meraihnya, lalu membolak-balik halaman itu dgn saksama.

“Apa ini? Sudah mau diwisuda ngetik saja belum becus. Lihat itu! Apa pantes itu dibaca orang.” Pekikku sesudah mencoret beberapa kata yg salah redaksi.

“Maaf Pak, mungkin saya memang kurang teliti. Iya, akan secepatnya saya perbaiki.” balasnya. Belum selesai ia bicara gue sudah mendapatkan lagi kesalahannya yg lebih fatal.

“Ini apa lagi. Rupanya ananda betul-betul tak tahu siapa nama dosen pembimbingmu sendiri. Ini lihat!” Tanganku mengacung pada tulisan: “Dosen Pembimbing: Prof H Kibari, MA.”

“Ini doktornya mana, terus M, Muhammadnya mana? Sudah, sudah, ini bawa lagi skripsimu. Besok saya tunggu di kampus, jam sepuluh. Ingat! Itu yg terakhir kali. Kalau ananda masih salah-salah lagi, saya sarankan ananda cobaan semester depan saja! Kamu mencar ilmu ngetik dulu sambil menghafalkan gelar-gelar saya.” Emosiku meledak. Setelah sepatah dua patah kata yg terbata, ia memohon diri dgn wajah seperti terbakar.

Esoknya cowok itu menemuiku di kantor, ia kembali dgn print out yg baru, namun dasar penyakit, ia membuat kesalahan lagi dgn menetralisir tanda baca titik pada ujung kata Prof & Dr. Tanpa berpikir panjang gue menyuruhkannya menuliskan tanda titik itu dengan-cara manual, dgn pena yg digenggamnya. Setelah kurasa beres gue segera mengasesenya, gue tidak ingin lama-lama berhadapan dengannya, bisa-bisa darah tinggiku kumat.

*****

Usai sidang skripsi, gue bisa bernapas lega. Hal yg paling susah bagiku selama berpuluh-puluh tahun jadi dosen merupakan saat menjadi penguji skripsi. Aku selalu dihadapkan pada dua pilihan yg menyebalkan: yakni memelihara kebodohan para mahasiswa itu atau mempermalukan mereka. Namun, gue lebih sering mengambil pilihan yg pertama: memelihara kebodohan mereka dgn dua kata: ananda lulus.

Biasanya, sehabis nilai keluar, para mahasiswa bimbinganku yg puas dgn nilainya akan mendatangiku dgn ucapan terima kasih berikut tandanya. Minggu ini sudah terhitung lima tanda mata yg gue terima, mulai dr karangan bunga, kemeja, arloji, dekorasi dinding, bahkan hingga sepatu made in Italy.

Dan, malam ini gue mendapatkan lagi sebuah kiriman paket dlm kardus besar tanpa nama pengirim. Aku tersenyum-senyum saja mendapatkannya. Dari beratnya, gue percaya isinya bukan barang biasa.

  Apa Nama Baumu? | Cerpen Yetti A. KA

“Dapat lagi, Bu!” kataku sambil menunjukkan paket kotak itu pada istriku.

“Wah, sepertinya berat sekali. Kira-kira isinya apa ya, Pak?” tanya istriku.

“Yah, pastinya benda berguna, Bu. Mahasiswaku kalau memberi hadiah memang tak tanggung-tanggung.” Balasku girang.

Istriku tersenyum, “Cepet buka, Pak! Saya jadi ndak tabah pingin ngeliat isinya apa.”

“Iya, iya, saya buka. Sabar. Tapi tolong, ibu bikinin teh dulu buat bapak.”

“Iya, ibu bikinin. Tenang saja. Tunggu sebentar ya, Pak,” ujarnya sambil beranjak ke dapur.

Istriku pasti akan terkagum-kagum menyaksikan kado istimewa dr mahasiswaku kali ini. Bagaimana tak istimewa, bungkusnya saja dr kertas emas berkilauan dgn pita cokelat muda, masih dihiasi bunga-bunga rumput kering pula, artistik sekali. Dan untuk lebih memberi sensasi kejutan, pengantarkado ini niscaya sengaja menciptakan saya penasaran dgn tak mencantumkan siapa nama pengirimnya.

Maka, dgn tak tabah gue membuka kardus itu. Satu per satu kulucuti pita & plester yg rapat membalut kardus itu. Kubuka kertas emas mengilat itu secara perlahan-lahan agar tak sampai sobek. Aku betul-betul sudah tak tabah untuk melihat isinya. Mulai kusingkap kardus itu dgn hati dag-dig-dug ingin tau. Setelah kubuka kardus itu gue tercekat, terkejut bukan main. Dua papan batu nisan dr marmer terbujur di sana. Pada salah satu kerikil nisan itu terukir tulisan yg sungguh indah, berseni. Tulisan itu begini:

Alm Prof Dr H M Kibari, MA.

Jidatku terasa dihantan pendulum satu ton saat kusadari apa yg baru saja kubaca. Kepalaku mulai terasa pening. Bersama dgn watu nisan itu, terselip pula selembar kertas dgn tulisan tangan yg cukup rapi, kubaca goresan pena itu perlahan:

Bapak Prof Dr H M Kibari, MA. yg ter(abnormal) hormat. Mohon maaf sebelumnya.

Ini saya kirimkan kenang-ingatan berharga buat Anda. Batu mahal berukir gelar kebanggaan Anda. Kaprikornus, kelak Anda tak usah sibuk-sibuk mengeluarkan uang orang untuk mengukir gelar Anda pada kerikil itu.

Oh ya, saya pula sudah menuliskan satu lagi Gelar bagi Anda: Almarhum. Tentu Anda bahagia, gelar Anda bertambah satu lagi. Gelar itu akan benar-benar Anda dapatkan, jadi Anda tak usah khawatir. Mohon disimpan baik-baik kado dr saya ini. Anda boleh memajangnya di ruang tamu atau di kamar tidur Anda, supaya Anda senantiasa bisa melihatnya. Semoga berfaedah.

Salam

Mahasiswamu.
Usai membacanya kepalaku berdenyut-denyut tak keruan. Wajah-wajah kecewa itu berkelebat satu per satu menggelayuti dinding kepalaku. Aku mirip memperoleh maksud indah yg enggan kuterima kebenarannya. Tanganku masih gemetar menimang kerikil kuburan itu. Aku tak mau siapa pun tahu akan hal ini. Sebelum istriku melihatnya, secepat kilat kumasukkan kembali watu itu ke dlm kardus lalu membungkusnya kembali rapat-rapat.

“Wah, isinya apa, Pak? Ibu mau ngeliat?” tutur istriku dgn secangkir teh yg masih bergoyang di tangannya.

“Ah, tak perlu, Bu. Ini cuma hiasan batu berukir biasa.” Balasku kecut. Sesuatu yg tak enak mulai menggeliat di kepalaku lalu meletup-letup di palung dadaku. (*)