PENDAHULUAN
Dalam perjalanan sejarah insan, ajaran filosofis senantiasa meningkat . Hal itu dikarenakan pedoman ialah hal yang paling mendasar dalam kehidupan insan, bahkan ialah ciri khas manusia. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari anugerah akal yang dimiliki oleh manusia. Pemikiran filosofis meniscayakan kelahiran filsafat sebagai induk dari semua
ilmu. Di antara corak anutan manusia yaitu wawasan tentang wujud, permulaan bermulanya sampai karenanya. Oleh alasannya itu, buah anutan dari insan melahirkan berbagai macam fatwa dalam filsafat adalah, anutan empirisme, rasionalisme, idealisme, pragmatisme, eksistensialisme, positivisme, vitalisme, strukturalisme, post-strukturalisme dan lain-lain.
Selain itu, persoalan yang menjadi objek kajian (pembahasan) dalam filsafat mengalami kemajuan yang signifikan. Filsafat tidak hanya berhenti pada problem wujud, namun juga merambah pada pembahasan berkenaan dengan ilmu. Selain itu, filsafat juga menjamah tataran mudah, terutama berkaitan dengan sopan santun. Perkembangan tersebut ialah implikasi logis dari kemajuan teladan pikir insan itu sendiri. Hal tersebut tidak lain ialah upaya untuk memperoleh “kebenaran”.
Pencarian kepada kebenaran seiring dengan tujuan dari filsafat itu sendiri, adalah untuk mencari kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain, mengetahui segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya (problem ontologis). Kemudian, muncul pertanyaan sesudah mencari “Apa itu kebenaran?” yakni “Bagaimana kita mampu mendapatkan wawasan yang hakiki itu atau sesuatu yang ada sebagaimana adanya (kebenaran)? Persoalan ini merupakan masalah epistemologis. Selanjutnya, setelah kita mengenali kebenaran dan cara untuk mendapatkannya, timbul pertanyaan untuk apa pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, fatwa selanjutnya berkaitan dengan pengaplikasian ilmu yang sudah ditemukan pada tataran praktis. Ini disebut dengan masalah aksiologis, artinya apakah ilmu pengetahuan yang didapat itu mampu diterapkan untuk kemaslahatan umat atau justru sebaliknya, khususnya kaitannya dengan moralitas. Singkatnya, kawasan ontologi bertanya wacana “apa” wilayah epistemologi mengajukan pertanyaan perihal “bagaimana” sedangkan, kawasan aksiologi bertanya wacana “untuk apa”.
Tiga masalah filosofis inilah “ontologi, epistemologi dan aksiologi” yang hingga sekarang masih menimbulkan perdebatan. Hal itu dikarenakan masing-masing fatwa filsafat mempunyai sudut pandang tersendiri berhubungan dengan ketiga hal tersebut. Oleh sebab itu, pembahasan tentang Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi topic penting pembahasan penting dalam dunia Filsafat. Hal inilah yang penulis bahas dalam makalah ini.
Semoga makalah ini dapat menawarkan pengetahuan yang lebih luas kepada pembaca apalagi bagi penulis. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penulis mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.
PEMBAHASAN
A. Ontologi
Istilah ontologi, secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, ontos dan logos. Ontos mempunyai arti sesuatu yang berwujud, sedangkan logos berarti ilmu atau teori. Dengan demikian secara bahasa ontologi mampu diartikan sebagai ilmu atau teori wacana wujud, tentang hakikat yang ada. Sedangkan yang dimaksud ontologi dalam pengertian terminologisnya yaitu kajian ihwal hakikat segala sesuatu atau realitas yang ada yang memiliki sifat universal, untuk mengerti adanya keberadaan.[1]
Sementara itu, Mulyadi Kartanegara menyatakan bahwa ontology diartikan sebagai ilmu wacana wujud selaku wujud, acap kali disebut selaku ilmu metafisika.[2] Metafisika disebut sebagai “induk semua ilmu” alasannya dia ialah kunci untuk menelaah pertanyaan paling penting yang dihadapi oleh insan dalam kehidupan, yaitu berkenaan dengan hakikat wujud.[3]
Mulla Shadra berpendapat ‘Tuhan sebagai wujud murni’. Hal ini dibenarkan oleh Suhrawardi bahwa alam merupakan emanasi. Alam merupakan manifestasi (tajalli). Sedang Plato beropini bahwa dunia yang bekerjsama yaitu dunia inspirasi. Dunia ide yaitu suatu dunia atau anggapan universal. Aristoteles tidak menyangsikan usulan gurunya (Plato), cuma saja dia lebih yakin bahwa yang kita lihat yakni riil. Sedangkan Thales beranggapan bahwa sumber dari segala sesuatu adalah air. Kita tidak tahu niscaya apa yang dimaksudkannya dengan itu, dia mungkin percaya bahwa seluruh kehidupan berasal dari air dan seluruh kehidupan kembali ke air lagi dikala telah berakhir.
Ontologi juga sering diidentikkan dengan metafisika, yang juga disebut dengan proto-filsafat atau filsafat yang pertama atau filsafat ketuhanan. Pembahasannya meliputi hakikat sesuatu, keesaan, persekutuan, alasannya dan akhir, substansi dan aksiden, yang tetap dan yang berganti, keberadaan dan esensi, keniscayaan dan kerelatifan, kemungkinan dan ketidakmungkinan, realita, malaikat, pahala, surga, neraka dan dosa.[4]
Ontologi yang berasal dari istilah philosophy, dimana ontologi diartikan selaku cabang dari ilmu metafisika yang berafiliasi dengan alam dan hubungan-relasi yang dimilikinya. Dalam pertumbuhan Christian Wolff membagi metafisika menjadi dua, ialah metafisika lazim dan metafisika khusus. Metafisiska umum dimaksudkan selaku perumpamaan lain dari ontologi.[5]
Metafisika lazim (ontologi) mempersoalkan esensi yang ada, hakikat adanya dari segala sesuatu wujud yang ada. Sedangkan metafisika khusus, mempersoalkan theology, kosmologi dan antropologi.[6]
Untuk lebih jelasnya dibawah ini akan penulis uraikan apa-apa saja yang dikaji dalam ontologi selaku berikut:
1. Metafisika
Secara etimologi metafisika berasal dari kata “meta” dan “fisika” (Yunani). “meta” mempunyai arti sesudah, di belakang atau melampaui, dan “fisika” berarti alam konkret. Metafisika ialah cabang dari filsafat yang mempersoalkan tentang hakikat, yang tersimpul di belakang dunia fenomenal. Metafisika melampaui pengalaman, objeknya di luar hal yang dapat ditangkap pancaindra.[7]
Metafisika merupakan daerah berpijak dari setiap anutan filsafati termasuk pemikiran ilmiah. Diibaratkan pikiran yaitu roket yang meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan gemawan, maka metafisika yakni landasan peluncurannya.[8]
2. Beberapa Tafsiran Metafisika
Yang pertama yakni Supernaturalisme yang menyampaikan bahwa alam ini yakni terdapat ujud-ujud yang bersifat mistik, dan ujud-ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa daripada alam yang nyata. Kepercayaan yang menurut pedoman supernaturalisme ini yakni paham Animisme. Dimana insan percaya bahwa terdapat roh-roh yang bersifat mistik yang terdapat dalam benda-benda seperti batu, pohon dan air terjun.[9]
Aliran ini sama dengan Idealisme, pedoman ini berpendapat bahwa hakikat realita yang bermacam-macam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, adalah sesuatu yang tidak berupa dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah sebuah jenis dari pada penjelmaan rohani.[10]
Yang kedua yaitu musuh dari Supernaturalisme yakninya naturalisme, kepercayaan yang berdasarkan naturalisme adalah paham Materialisme. Paham ini beropini bahwa tanda-tanda-tanda-tanda alam tidak disebabkan oleh dampak kekuatan bersifat gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dengan demikian dapat kita ketahui.[11] Aliran ini menilai bahwa sumber asal itu yaitu materi bukan rohani.[12]
Ada perbedaan antara naturalisme dengan materialisme. Naturalisme beropini bahwa alam saja yang ada, yang lainnya di luar alam tidak ada. Yang dimaksud alam ini di sini ialah segala-galanya, meliputi benda dan ruh. Makara, benda dan ruh sama nilainya dianggap selaku alam yang satu. Sebaliknya, materialisme menilai ruh ialah kejadian dari benda. Jadi, tidak sama nilai benda dan ruh mirip naturalisme.
Dengan demikian tanda-tanda alam dapat didekati dari segi proses kimia-fisika. Hal ini tidak akan mengakibatkan duduk perkara selama dipraktekkan terhadap benda-benda yang mati seperti bebatuan dan besi. Namun bagaimana dengan makhluk hidup termasuk insan sendiri?.[13]
Kaitanya dengan filsafat ilmu ialah pada hakikatnya ilmu tidak bisa terlepas dari metafisika, tetapi seberapa jauh kaitan itu semuanya tergantung kita. Ilmu merupakan pengetahuan yang menjajal menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Dengan demikian kita tidak mampu melepaskan diri dari dilema-duduk perkara yang ada di dalamnya. Semua masalah ini telah menjadi bahan kajian dari jago-andal filsafat semenjak dahulu.
3. Asumsi dalam Ilmu
Ilmu memiliki tiga asumsi tentang objek empiris:
a. Menganggap objek-objek tertentu memiliki keserupaan satu sama lain, contohnya dalam hal bentuk, struktur, sifat, dan sebagainya. Kegiatan ini terperinci tidak bisa dilakukan.
b. Anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami pergantian dalam rentang waktu tertentu. Kegiatan ini terang mustahil dikerjakan kalau objek senantiasa berganti-ubah tiap waktu.
c. Determinisme merupakan asumsi ilmu yang ketiga. Kita menilai tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan.[14]
Para filsuf menerka-duga apakah gejala alam ini tunduk terhadap determinisme, ialah hukum alam yang bersifat universal, ataukah hukum semacam itu tidak terdapat alasannya adalah setiap tanda-tanda merupakan akibat opsi bebas, ataukah keumuman memang ada namun berupa potensi , sekedar tangkapan probabilistic? Ketiga permasalahan tersebut ialah urusan filsafati yang rumit tetapi menawan. Tanpa ketiga masalah ini maka akan sulit untuk mengenal hakikat keilmuwan dengan baik.
Pembahasan tentang determinasi, pilihan bebas dan probabilistic itu baru dapat dijalankan sekiranya aturan semacam itu memang ada. Sekiranya hukum yang mengatur kejadian alam itu tidak ada maka dilema determinasi, pilihan bebas dan probabilistic sama sekali tidak akan muncul.[15]
Kaprikornus, kita asumsikan saja bahwa hukum yang mengatur berbagai kejadian itu memang ada, karena tanpa perkiraan ini maka pembicaraan kita semua lantas tidak berguna. Hukum disini diartikan selaku suatu hukum main atau pola insiden yang dibarengi oleh sebagian penerima, gejalanya beberapa kali mampu diperhatikan yang tiap kali menunjukkan hasil yang sama, yang demikian mampu kita simpulkan bahwa aturan itu berlaku kapan saja dan dimana saja.
Yang kita butuhkan yaitu pengetahuan yang berada di tengah-tengah, antara kemutlakan yang dipunyai agama, dan keunikan individual yang bersifat seni. Nah, kompromi tersebut yang digunakan landasan ilmu, alasannya adalah ilmu sebagai wawasan yang berfungsi menolong manusia dalam memecahkan dilema praktis sehari-hari, tidaklah perlu mempunyai kemutlakan seperti agama berfungsi menawarkan pemikiran kepada hal-hal yang paling hakiki dari kehidupan ini. Walaupun demikian sampai tahap tertentu ilmu perlu mempunyai keabsahan dalam melaksanakan generilisasi, alasannya adalah pengetahuan yang bersifat personal dan perorangan sepeti upaya seni, tidaklah bersifat mudah. Jadi, di antara kutub determinisme dan opsi bebas ilmu menjatuhkan pilihannya terhadap penafsiran probabilistic.
4. Peluang
Berdasarkan teori-teori keilmuwan tidak akan pernah mendapatkan hal yang pasti mengenai sebuah kejadian. Tetapi ada peluang untuk menentukan suatu peristiwa. Pertama harus disadari bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan wawasan yang bersifat mutlak. Ilmu memperlihatkan wawasan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, di mana keputusan harus didasarkan terhadap penafsiran kesempulan ilmiah yang bersifat relative.[16]
5. Beberapa Asumsi dalam Ilmu
Terdapat perbedaan persepsi yang nyata terhadap objek yang begitu realistis seperti suatu bidang? Atau pandangan kepada amuba yang seolah-olah hidup dalam dunia yang sungguh berlawanan? Sebabnya menurut ahli fisika Swiss Charles-Eugene Guye, tanda-tanda itu diciptakan oleh skala observasi.
Menurut filsafati mungkin ini merupakan dilema yang besar tetapi bagi ilmu masalah ini didekati secara praktis. Seperti yang disebutkan terdahulu ilmu sekedar ialah pengetahuan yang mempunyai kegunaan simpel yang dapat menolong kehidupan insan secara pragmatis.[17]
Oleh karena itu, alam berbagi perkiraan kita harus memperhatikan beberapa hal selaku berikut:
a. Asumsi mesti berhubungan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi ini mesti operasional dan ialah dasar dari pengkajian teoretis. Asumsi bahwa manusia manajemen adalah “insan manajemen” kedengarannya memang filsafati namun tidak mempunyai arti apa-apa dalam penyusunan teori-teori manajemen. Asumsi manusia dalam administrasi yang bersifat operasional ialah makluk hemat, makhluk social, makhluk akulturasi diri atau makhluk yang kompleks. Berdasarkan asumsi ini maka mampu dikembangkan banyak sekali versi, seni manajemen dan praktek administrasi. Asumsi bahwa manusia adalah insan administrasi, dalam pengkajian administrasi, akan mengakibatkan kita berhenti di situ. Seperti bulat, setelah berputar-putar, kita kembali ke daerah semula, jadi kesitu-situ juga ujungnya.
b. Asumsi mesti ditarik kesimpulan dari “kondisi sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Asumsi yang pertama adalah perkiraan yang mendasari telaahan ilmiah sedangkan asumsi yang kedua adalah perkiraan yang mendasari telaahan moral. Sekiranya dalam acara hemat maka manusia yang berperan adalah insan “yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dalam korbanan sekecil-kecilnya” maka itu sajalah yang kita jadikan sebagai pegangan tak usah ditambah dengan sebaiknya begini, atau seharusnya begitu. Sekiranya perkiraan semacam ini dipakai dalam penyususnan kecerdikan atau taktik, serta penjabaran peraturan yang lain, maka hal ini mampu saja dikerjakan, asalkan semua membantu kita dalam menganalisis permasalahan. Namun penetapan perkiraan yang menurut kondisi yang sebaiknya ini seyogyanya tidak dilakukan dalam analisis teori keilmuan alasannya adalah metafisika keilmuan berdasarkan kenyataan bekerjsama sebagaimana adanya.[18]
Seorang ilmuawan harus sungguh-sungguh mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab memanfaatkan asumsi yang berlainan, maka bermakna berlawanan pula desain pemikiran yang dipergunakan.sering kita jumpai bahwa asumsi yang melandasi sebuah kajian keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang bersifat tersirat ini kadang kala menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berlawanan penafsiran ihwal sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan perkiraan yang tegas.
6. Batas-batas Penjelajahan Ilmu
Yang menjadi karakteristik objek ontologis ilmu yang membedakan dengan pengetahuan-wawasan yang lain yakni ontologi ialah ilmu yang mengawali penjelajahannya pada pengalaman insan dan berhenti di batas pengalaman manusia saja. Makara ilmu yang mempelajari hari akhir, surga dan neraka bukan ialah kajian dari ilmu, karena di luar pengalaman insan.
Ilmu cuma dibatasi pada pengalaman insan sebab sesuai dengan fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia yakni sebagai alat pembantu insan dalam menaggulangi dilema-dilema yang dihadapi sehari-hari. Masalah yang berkaitan dengan hari simpulan, surga ataupun neraka tidak mampu ditanyakan kepada ilmu, melainkan ditanyakan kepada agama.
Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya kepada batas pengalaman insan juga disebabkan tata cara yang dipergunakan dalam menyusun yang sudah teruji kebenarannya secara empiris. Dengan demikian batasan ilmu yaitu sangat sempit, bahkan dalam batas pengalaman insan pun, ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya sebuah pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua berpaling terhadap sumber tabiat, tentang indah dan jelek, semua berpaling kepada pengkajian estetik.[19]
Ilmu tanpa panduan agama adalah buta, demikian kata Einstein. Kebutaan susila dari ilmu mungkin membawa manusia terhadap jurang bencana.
B. Epistemologi
Epistemologi ialah tahapan berikutnya sesudah pembahasan ontologi dalam filsafat. “Istilah epistemologi dipakai pertama kali oleh J.F. Feriere yang tujuannya untuk membedakan antara dua cabang filsafat, adalah epistemologi dan ontologi (metafisika umum). Kalau dalam metafisika pertanyaannya yakni apa yang ada itu? Maka pertanyaan dasar dalam epistemologi adalah apa yang dapat saya pahami?”
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme dan logos. Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan logos diartikan fikiran, kata, atau teori. Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang benar dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi theory of knowledge.[20]
Dengan kata lain, epistemologi ialah bidang ilmu yang membicarakan wawasan manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran kebenarannya.[21] Isu-info yang hendak muncul berkaitan dengan masalah epistemologi yaitu bagaimana pengetahuan itu mampu diperoleh? Jika eksistensi itu mempunyai gradasi (tingkatan), mulai dari yang metafisik sampai fisik maka dengan menggunakan apakah kita bisa mengetahuinya? Apakah dengan menggunakan indera sebagaimana kaum empiris, logika sebagaimana kaum rasionalis atau bahkan dengan memakai intuisi sebagaimana urafa’ (para sufi)? Oleh alasannya itu yang perlu dibahas berhubungan dengan problem ini yaitu tentang teori pengetahuan dan metode ilmiah serta tema-tema yang berhubungan dengan problem epistemologi.
Berbicara ihwal asal-ajakan pengetahuan maka ilmu wawasan ada yang berasal dari manusia dan dari luar insan. Pengetahuan yang berasal dari insan mencakup wawasan indera, ilmu (logika) dan filsafat. Sedangkan wawasan yang berasal dari luar manusia (berasal dari Tuhan) yakni wahyu. Pembahasan epistemologi meliputi sumber-sumber atau teori pengetahuan, kebenaran wawasan, batas-batas dan kemungkinan wawasan, serta klasifikasi ilmu wawasan.
1. Sumber-Sumber Pengetahuan
Salah satu pokok pembahasan epistemologi yakni mengenai sumber-sumber pengetahuan. Dengan apa insan meraih pengetahuan? Bagaimanakah nilai pengetahuan yang diperoleh insan? Sampai batasan mana insan memeroleh wawasan? Pertanyaan-pertanyaan ini terkait erat dengan sumber-sumber wawasan.
Apa saja sumber-sumber wawasan? Murtadha Muththahari mengatakan bahwa sumber pengetahuan tidak cuma rasio dan hati, melainkan alam dan sejarah.[22] Sedangkan M. Taqi Mishbah Yazdi lebih menekankan fakultas indriawi dan akal sebagai sumber pengetahuan. Adapun fakultas hati, dalam mencapai wawasan, merupakan ranah ‘irfan bukan filsafat.[23] Agaknya karena argumentasi inilah bahwa fakultas hati (qalb, fu’ad) ialah pembahasan ‘irfan bukan filsafat, kita bisa mengetahui pandangan Yazdi yang tidak begitu menekankan daya hati dalam epistemologi yang ialah cabang filsafat. Ada juga yang menganggap bahwa sumber pengetahuan yang hakiki (primer) adalah wahyu sedangkan daya-daya lain lebih selaku sumber sekunder:
a. Indera
Salah satu sumber ilmu pengetahuan adalah indera. Manusia mampu menerima wawasan dengan menggunakan indera yang dimilkinya. Dengan mata manusia mampu melihat, dengan hidung kita mampu mencium, dengan kulit kita mampu meraba, dengan indera pendengaran kita bisa mendengar dan dengan pengecap kita mampu merasakan. Kaprikornus, yang bisa ditangkap oleh indera adalah benda-benda yang sifatnya fisik. Di luar fisik indera tidak bisa menangkapnya atau mengetahuinya.
Aliran dalam filsafat yang menyampaikan bahwa insan menemukan pengetahuan melalui indera disebut dengan empirisme. Aliran ini beropini, bahwa empirisme atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Akal bukan jadi sumber pengetahuan, namun akal mendapat peran untuk mengolah materi-materi yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang diterapkan ialah induksi. Para Filosof empirisme antara lain John Locke, David Hume dan William James. David Hume termasuk dalam empirisme radikal menyatakan bahwa ide-ide mampu dikembalikan pada sensasi-sensasi (rangsang indera). Pengalaman merupakan ukuran terakhir dari kenyataan. Wiliam James mengatakan bahwa pernyataan wacana fakta adalah relasi di antara benda, sama banyaknya dengan pengalaman khusus yang diperoleh secara eksklusif dengan indera.[24]
b. Akal
Akal menjadi sumber ilmu wawasan selanjutnya sesudah indera. Akal semakin diperhitungkan sebagai sumber pengetahuan alasannya kekurangan kesanggupan yang dimiliki oleh indera yang cuma sebatas pada benda-benda fisik saja. Padahal di luar fisik masih terbentang luas samudera pengetahuan.
Akal dengan kemampuannya mampu membedakan antara mana yang salah dan mana yang benar. Selain itu juga nalar melakukan pekerjaan dengan memakai hukum-aturan logika yang diakui kebenarannya. Akal dengan tegasnya mampu memperlihatkan kekurangan empiris selaku sumber kebenaran. Misalnya dikala sebatang kayu dicelupkan ke dalam air, kayu tersebut oleh indera akan tampak membengkok. Tapi apakah benar kayu tersebut mengalami pembengkokan setelah dicelupkan ke dalam air. Secara rasional pastinya tidak mungkin menyaksikan huruf kayu itu bukan benda yang mudah bengkok apalagi hanya dicelupkan ke dalam air. Di sinilah nalar diakui sebagai sumber kebenaran.
Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang digunakan oleh semua wawasan ilmiah. Pengalaman cuma dapat digunakan untuk meneguhkan pengetahuan yang didapat oleh logika. Akal dapat menurunkan kebenaran dari pada dirinya sendiri, yakni atas dasar asas pertama yang niscaya. Metode yang diterapakan ialah deduktif. Teladan yang dikemukakan ialah ilmu niscaya. Di antara para filosof rasionalis yaitu Rene Descartes, B. Spinoza, dan Leibniz.”[25]
Descartes merupakan filosof pendobrak dalam tradisi kefilsafatan Barat. Ia dianggap selaku bapak filosof modern. Gagasannya yang paling monumental adalah Cogito Ergo Sum “saya berpikir maka saya ada”. Sejak itulah logika benar-benar menerima kawasan yang agung sebagai sumber wawasan. Manusia mempunyai posisi yang sungguh lebih banyak didominasi selaku subjek yang berpikir sebab dia mempunayi logika. Ia yaitu subjek yang sadar akan eksistensi dirinya sendiri dan eksistensi dunia di sekitarnya.
Berawal dari kesangsian dirinya akan segala hal, beliau berupaya membangun landasan filososif perihal kebenaran yang tak kuat. Ia berpikir bahwa segala sesuatu mampu kita sanksikan. Bahkan eksistensi dirinya sendiri ia meragukannya. Tapi ada satu hal yang mustahil mampu ia sanksikan bahwa dia dalam kondisi hukuman itu sendiri. Semakin dia sanksi semakin beliau yakin akan kebenaran kesanksian atas dirinya dan semakin pula dia yakin akan eksistensi dirinya. Dari sinilah lalu Descartes gres mengakui akan keberadaan yang lain. Namun bagaimana kalau manusia itu berhenti berpikir, saat dalam keadaan tidur contohnya? Descartes menyampaikan bahwa masih ada Tuhan yang selalu hidup, yang tidak pernah berhenti dari semua aktivitasnya.
c. Intuisi
Jika indera dan nalar mampu digunakan untuk memperoleh wawasan maka demikian halnya dengan intuisi. Bahkan wawasan yang berasal dari intuisi inilah yang diakui kebenarannya. Sebab indera dan akal hanya bisa mendiskripsikan, melukiskan dan memeriksa sedangkan intuisi mampu mendatangkan wawasan secara eksklusif ke dalam diri seseorang. Maka wawasan inderawi dan nalar mampu disebut sebagai wawasan hushuli artinya wawasan perolehan yang didapat lewat mediator. Sedangkan pengetahuan intuisi ialah wawasan hudluri karena objek dari ilmu itu sendiri hadir ke dalam diri subjek yang mengetahui tanpa suatu perantara apapun. Sehingga wawasan hushuli cenderung rentan kepada kesalahan. Misalnya saja dikala ada yang tidak benar dengan indera maupun logika kita. Sebaliknya pengetahuan intuisi tidak diragukan lagi kebenarannya.
Pengetahuan intuisi itu sifatnya penyingkapan atas sebuah kenyataan. Kaprikornus seorang subjek sungguh-sungguh mencicipi secara langsung apa yang beliau alami. Tidak ada pengenalan secara pribadi kepada sebuah realita selain melalui intuisi. Di sinilah letak kevalidan pengetahuan intuisi berbeda dengan pengetahuan inderawi dan logika yang hanya memberikan penampakannya saja.
Di antara para filosof intusionisme sebuah fatwa yang mengakibatkan intuisi sebagai sumber pengetahuannya yaitu Henry Bergson seorang filosof Perancis. Pengetahuan intuisi ini juga sangat familiar di golongan para mazhab irfani (kaum sufi). Metode yang digunakan kita kenal dengan metode irfani.
d. Wahyu
Satu-satunya sumber wawasan yang tidak mampu diusahakan oleh insan yakni wahyu. Artinya dia betul-betul bersumber dan pinjaman dari Tuhan. Sehingga kebenarannya tidak perlu disanksikan lagi. Biasanya pengetahuan ini disampaikan melalui orang-orang pilihan dan utusan Tuhan dalam bentuk kitab suci.
Dasar dari pengetahuan ini yaitu iman dan menjadi salah satu pilar doktrin beragama. Orang yang beragama mesti meyakini kebenaran semua isi kandungan kitab suci. Di dalam kitab suci umumnya terkandung dongeng-kisah era lalu. Berita perihal surga, neraka, pahala dan dosa. Tentu saja yang tak kalah pentingnya adalah kebenaran akan eksistensi Tuhan pencipta alam. Dan masih banyak informasi-isu yang yang lain. Wahyu merupakan sumber pengetahuan yang kaya. Metode yang dipakai yaitu tata cara bayani.
2. Kebenaran Pengetahuan
Sebelum membicarakan perihal teori kebenaran apalagi dahulu penting kiranya untuk mendefinisikan apa arti kebenaran itu sendiri. Kebenaran menjadi isu sentral dalam ilmu pengetahuan karena tujuan dari ilmu wawasan yakni untuk mencari kebenaran.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadaminta ditemukan arti kebenaran, ialah kondisi (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sebetulnya).[26] Menurut William James yang dikutip oleh Titus dkk kebenaran (truth) yaitu yang mengakibatkan berhasil cara kita berpikir dan kebenaran ialah yang menimbulkan kita berhasil cara kita bertindak. Sedangkan menurut Louis Kattsoff ‘kebenaran’ memperlihatkan bahwa makna suatu ‘pernyataan’ artinya, proposisinya benar-benar merupakan halnya. Bila proposisinya bukan merupakan halnya, maka kita mengatakan bahwa proposisi itu “sesat”.[27] Selanjutnya berkaitan dengan teori kebenaran ada berbagai jenis:
a. Teori Koherensi
Teori koherensi dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bradley. Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya Elements of Philosophy, teori koherensi dijelaskan “suatu proposisi cenderung benar jikalau proposisi tersebut dalam kondisi saling berafiliasi dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling bekerjasama dengan pengalaman kita.[28]
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa menurut teori koherensi, sebuah pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa “semua manusia niscaya mati” yakni suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan, “si polan yaitu insan dan si polan niscaya mati” yakni benar, alasannya adalah pernyataan kedua yakni konsisten dengan pernyataan yang pertama.[29]
b. Teori Korespondensi
Teori korespondensi biasanya dianut oleh para pengikut realisme, dan mereka berpegang pada pendirian fakta-fakta. Dan teori ini yang diterima secara luas oleh golongan realis. Menurut paham ini, kebenaran adalah kesetiaan terhadap kenyataan objektif. Kebenaran ialah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri.[30]
Kebenaran teori korespondensi berdasarkan pengalaman inderawi sehingga ada atau tidak adanya iman tidak mempunyai korelasi langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Misalnya pernyataan “Kota Bandung berada di daerah Jawa Barat” bukan karena pernyataan ini memiliki kegunaan atau apa, tetapi alasannya adalah secara geografis dan menurut pengalaman maupun bukti empiris memang demikian.
c. Teori Kebenaran Pragmatis
Teori kebenaran pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”. Teori ini lalu dikembangkan oleh beberapa hebat filsafat yang pada umumnya berkebangsaan Amerika yang menjadikan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-hebat filsafat ini contohnya William James, John Dewey, George Herbert Mead dan C. I. Lewis.[31]
Teori pragmatisme beranggapan bahwa sesuatu itu dianggap benar kalau secara fungsional dia menunjukkan manfaat. Jadi ukurannya ialah hasil yang didapatkannya. Jika risikonya menguntungkan maka beliau baik dan benar dan sebaliknya jikalau kesannya merugikan maka beliau buruk dan salah.
Kattsoff (1986) menguraikan wacana teori kebenaran pragmatis ini adalah penganut pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau proposisi itu mampu membantu untuk menyelenggarakan penyesuaian yang membuat puas terhadap pengalaman, pernyataan itu ialah benar. Misalnya pengetahuan naik bus berhenti di posisi kiri. Dengan berhenti di posisi kiri, penumpang bisa turun dengan selamat. Makara, mengukur kebenaran bukan dilihat alasannya adalah bus berhenti di posisi kiri, namun penumpang bisa turun dengan selamat alasannya berhenti di posisi kiri.[32]
3. Batasan Pengetahuan
Berbicara ihwal duduk perkara ontologi memang sungguh luas sekali cakupannya. Ia tidak hanya berbicara soal keberadaan yang sifatnya materi tetapi juga immateri. Kalau wujud yang materi mampu dikenali dengan menggunakan pendekatan empiris maka wujud immateri hanya kita yakini keberadaannya begitu saja. Paling kita percaya sebab wujud yang immateri itu mirip keberadaan Tuhan, surga, neraka dan lainnya diterangkan dalam kitab suci (wahyu) bagi golongan yang beragama. Bagi para penganut paham ateisme tentu saja mereka tidak memercayai hal-hal yang bersifat immateri tersebut.
Lantas apakah batas yang ialah ruang lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan menyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik objek ontologis ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan yang lain? Jawaban dari semua pertanyaan itu sangat sederhana. Ilmu mengawali penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari hal perihal surga dan neraka? Jawabnya ialah tidak alasannya adalah nirwana dan neraka berada di luar jangkauan pengalaman insan. Apakah ilmu mempelajari alasannya adalah musabab peristiwa terciptanya insan? Jawabnya juga yaitu tidak karena kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman kita. Baik hal yang terjadi sebelum hidup maupun yang terjadi sesudah kematian kita, semua itu berada di luar penjelajahan ilmu.[33]
Dengan demikian yang dimaksud dengan ilmu di sini yaitu pengetahuan yang hanya bisa dijangkau oleh akal manusia dan bahkan yang bisa diuji kebenarannya secara empiris. Sebuah ilmu mesti memenuhi standar metodologis dan bisa diuji dengan memakai metode-tata cara ilmiah. Jika suatu ilmu itu berada di luar jangkauan pengalaman insan bagaimana kita mampu menguji kebenarannya dengan kriteria metodologis dan tata cara-metode ilmiah.
Pembatasan ruang lingkup ilmu yang mirip ini tampaknya sungguh sempit sekali. Memang hal ini tidak mampu dilepaskan dari tradisi keilmuan yang meningkat di Barat. Ilmu yang dalam bahasa Barat disebut dengan science ialah suatu wawasan yang tidak diragukan lagi kebenarannya alasannya ia menyanggupi kriteria-patokan ilmiah. Ia mampu dibuktikan secara empiris dan mampu di eksperimentasi. Sehingga suatu ilmu yang tidak menyanggupi kualifikasi itu bukanlah ialah ilmu. Oleh sebab itu sesuatu hal yang sifatnya immateri bukan termasuk objek kajian ilmu dan bahkan dia dianggap tidak ada. Seperti itulah perkiraan para saintis ihwal ilmu khususnya yang meningkat di dunia Barat.
C. Aksiologi
Jika ontologi mengatakan wacana hakikat yang ada (objek ilmu) dan epistemologi mengatakan ihwal bagaimana yang ada itu mampu diperoleh (cara menemukan ilmu) maka aksiologi berhubungan dengan faedah dari pada ilmu itu sendiri atau kaitan penerapan ilmu itu dengan kaidah-kaidah tabiat.
Dalam Wikipedia aksiologi berasal dari bahasa Yunani ialah axion yang berarti “nilai” dan logos yang mempunyai arti “ilmu” atau “teori”. Kaprikornus, aksiologi ialah ilmu perihal nilai. Adapun Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu menyampaikan bahwa aksiologi yakni cabang filsafat yang mempelajari wacana nalai secara lazim. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa wawasan yang berbentukilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah sopan santun? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-opsi sopan santun? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi tata cara ilmiah dengan norma-norma adab atau profesional?
1. Makna Aksiologi Ilmu
Makna aksiologi ilmu mampu diartikan sebagai teori nilai yang berhubungan dengan kegunaan dari wawasan yang diperoleh. Seperti dimengerti setiap wawasan, tergolong wawasan ilmiah, memiliki tiga dasar, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Aksiologi ilmu yaitu ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.
Dasar aksiologis ilmu membahas perihal faedah yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkanya. Tidak mampu disangkal bahwa ilmu sudah menunjukkan fasilitas-fasilitas bagi insan dalam mengatur kekuatan-kekuatan alam. Dangan mempelajari atom kita dapat memanfaatkan untuk sumber energi bagi keamanan manusa, tetapi hal ini juga dapat mengakibatkan bencana bagi insan. Penciptaan bom atom akan memajukan mutu persenjataan dalam perang, sehingga jikalau senjata itu dipergunakan akan mengancam keselamatan umat manusia.[34]
2. Hakikat dan Makna Nilai
Pertanyaan perihal hakikat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara: orang mampu menyampaikan bahwa:[35]
a. Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif
Ditinjau dari sudut persepsi ini, nilai-nilai ialah reaksi-reaksi yang diberikan oleh insan selaku pelaku dan keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka. Yang demikian ini mampu dinamakan “subjektivitas”.
b. Nilai ialah kenyataan ditinjau dari segi ontologi, tetapi tidak terdapat dalam ruang dan waktuNilai-nilai tersebut ialah esensi-esensi logis dan mampu diketahui melaui akal. Pendirian ini dinamakan “obyektivitas logis”.
c. Nilai ialah unsur-bagian obyektif yang menyusun kenyataan Pendirian ini disebut “obyektivitas metafisik”.
Secara singkat mampu dibilang bahwa “nilai” mempunyai bermacam makna, diantaranya:[36]
a. Mengandung nilai (artinya berkhasiat)
b. Merupakan nilai (artinya “baik” atau “benar” atau “indah”)
c. Mempunyai nilai (artinya, ialah obyek keinginan, memiliki kualitas yang mampu menjadikan orang mengambil perilaku “menyetujui”, atau mempunyai sifat nilai tertentu)
d. Memberi nilai (artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau selaku hal yang menggambarkan nilai tertentu).
3. Kegunaan dan Nilai Ilmu
Kegunaan ilmu secara sopan santun harus ditujukan untuk kebaikan insan tanpa merendahkan martabat atau mengganti hakikat kemanusiaan. Tiap ilmu utamanya dalam implementasinya selalu terkait dengan aksiologinya. Dalam hal ini akan dijelaskan seberapa jauh ilmu memiliki peranan dalam membatu mencapai kehidupan insan yang sejahtera di dunia ini atau apakah manfaat ilmu bagi kehidupan manusia di dunia ini. Manusia berguru dari pengalamannya dan berpendapat bahwa alam mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturannya. Ilmu ialah hasil kebudayaan insan, dimana lebih mengutamakan kuantitas yang obyektif dan mengesampingkan mutu subjektif yang berafiliasi dengan harapan eksklusif sehingga dengan ilmu, insan tidak akan mementingkan dirinya sendiri.
Ilmu merupakan wahana dalam menjawab semua permasalahan (sampai batas tertentu), menurut pengertian yang dimiliki sekaligus ilmu mampu memprediksikan kala depan walaupun banyak hal yang kadang terjadi di luar praduga. Peradaban manusia sekarang ini tak lepas dari perkembangan ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan ilmu dan teknologi, pemenuhan kebutuhan manusia bisa dijalankan secara lebih cepat dan lebih gampang di samping penciptaan akomodasi dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi.
Dewasa ini ilmu bahkan telah berada di ambang kemajuan yang menghipnotis reproduksi dan penciptaan insan itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja mengakibatkan gejala dehumanisasi, namun bahkan kemungkinan mengganti hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi ialah sarana yang membantu insan mencapai tujuan hidupnya, tetapi juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Menghadapi kenyataan mirip ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat semestinya: untuk apa sebenarnya ilmu itu mesti dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaan semacam ini terang tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; tetapi bagi ilmuan yang hidup dalam masa kedua puluh yang sudah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kegundahan perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat dielakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat sopan santun.
Ada kontradiksi sengit yang dilontarkan oleh kaum ilmuwan dan humanis. Kalangan humanis mengajukan beberapa pertanyaan yang penting, antara lain: untuk apa ilmu dipakai? Dimanakah batas ilmu harusnya berkembang? Namun pertanyaan itu tidak urgen lagi bagi beberapa ilmuwan dan tidak merupakan tanggung jawab bagi perkembangan ilmu wawasan itu sendiri. Hal ini tentunya tidak berarti bahwa pertumbuhan ilmu berhenti cukup di situ saja, namun ruang gerak prospek ilmu wawasan hendaknya dibatasi.
Sebenarnya semenjak ketika pertumbuhannya ilmu telah terkait dengan problem-duduk perkara watak tetapi dalam perspektif yang berlainan. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya wacana kesemestaan alam dan memperoleh bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya mirip apa yang dinyatakan oleh fatwa agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan budbahasa (yang bersumber pada pemikiran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat cita-cita semoga ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam pemikiran-pedoman diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah pertentangan yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Tahap aksiologis inilah dari sejumlah rangkaian aktivitas keimuan suatu wawasan yang kerap menjadikan kontroversi dan paradoks. Hal ini dimungkinkan sebab adanya kesanggupan manusia melaksanakan artikulasi dan manipulasi terhadap kejadian-peristiwa alam untuk kepentingannya. Kepentingan manusia sangat ditentukan oleh motif dan kesadaran yang ada pada insan itu sendiri. Jadi konsentrasi dilema ilmu wawasan pada tingkat aksiologis ini ada pada insan. Oleh alasannya itu, maka tinjauan kita perihal insan akan sangat membantu mengerti dan menyusun pemahaman wacana bagaimana sebaiknya ilmu wawasan dan teknologi diteruskan pengembangannya dalam tataran aksiologis.
Kaprikornus pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang aksiologi ini yaitu berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa wawasan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah etika? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan etika? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang ialah operasionalisasi tata cara ilmiah dengan norma-norma tabiat/professional?[37]
Oleh sebab itu, pada tingkat aksiologis, pengertian tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai menyangkut etika, susila, dan tanggung jawab manusia itu sendiri. Oleh karena dalam penerapannya ilmu wawasan juga memiliki efek negatif dan desktruktif, maka dibutuhkan hukum nilai dan norma untuk mengontrol peluangnafsu angkara murka manusia dikala hendak bergelut dengan ilmu pengetahuan. Di sininlah adab menjadi ketentuan mutlak yang akan menjadi penyemangat yang bagus bagi pengetahuan untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Etika yakni pembahasan perihal baik, jelek, semestinya, benar atau salah. Hal ini bertalian dengan hati nurani, bernaung di bawah filsafat akhlak. Etika merupakan tatanan rancangan yang melahirkan keharusan, dengan perkiraan bahwa kalau sesuatu tidak dilakukan akan menghadirkan bencana atau keburukan bagi manusia.
PENUTUP
Dari uraian di atas kita bisa mengetahui betapa luasnya objek kajian filsafat ilmu mulai dari masalah ontologis, epistemologis sampai aksiologis. Tiga cabang utama filsafat tersebut ialah problem yang paling mendasar dalam kehidupan. Ia menawarkan sebuah kerangkan berpikir yang sungguh sistematis. Hal itu dikarenakan ketiganya merupakan proses berpikir yang diawali dengan pembahasan “Apa itu kebenaran?”, “Bagaimana menerima kebenaran?”, dan “Untuk apa kebenaran tersebut (aplikasinya) dalam kehidupan sehari-hari?”
Hal tersebut mengindikasikan bahwa filsafat patut dibilang sebagai induk dari semua ilmu wawasan. Perkembangan ilmu-ilmu lain akan mengalami kendala tanpa peranan filsafat. Hal itu dikarenakan semua permasalah fundamental dari seluruh ilmu yaitu problem filosofis. Hal tersebut mesti segera dipecahkan selaku langkah awal untuk menuntaskan permasalahan-urusan sekunder. Dengan kata lain, intinya semua ilmu pengetahun tidak terlepas dari tiga persoalan filosofis tersebut (ontologis, epistemologis dan aksiologis). Artinya semua ilmu wawasan niscaya berbicara perihal apa yang menjadi objek kajiannya, bagaimana cara mengetahuinya dan apa keuntungannya buat kehidupan insan.
Perbedaan pendapat berkaitan dengan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi di kelompok filosof semata alasannya adalah berdasarkan pada pedoman filsafat yang mereka anut. Tetapi, semua itu harus kita apresiasi karena ialah tahapan penelusuran “kebenaran yang hakiki”. Hal itu dikarenakan ilmu pengetahun berbicara perihal potensi dan prediksi. Walaupun, sebetulnya terdapat kebenaran sewenang-wenang, namun hanya Realitas Absolut yang mengenali hal itu. Kita selaku insan yang memiliki akal dan hati nurani cuma berusaha mencapai kebenaran tersebut sampai kematian dan mengaplikasikannya untuk kemaslahatan umat manusia.