Engku Badar | Cerpen Aida Radar


Oleh: Aida Radar


Badarudin Mahifa! Nama yg tertera di jadwal mata kuliahku. Pengajar salah satu mata kuliah yg gue programkan pada semester itu. Staf dosen Fakultas Keguruan & Ilmu Pendidikan, tempat gue menitipkan nama di daftar ketidakhadiran.

Meski namanya Badarudin Mahifa, orang-orang menyapanya Engku Badar. Engku yakni sebutan hormat penduduk untuk guru laki-laki pada masa itu. Aku tidak memiliki cukup informasi hingga tahun berapa sebutan Engku digunakan. Badar adalah nama kecilnya. Terkenallah ia Engku Badar.

Pertama kali bertatap tampang di kelas, ia kutaksir berkepala tujuh. Itu terlihat dr uban yg mengganti rambutnya, keriput-keriput yg bertebaran di parasnya, langkah kakinya pula sudah sepelan siput.

Meski tampilan fisiknya memperlihatkan tuanya, jangan kira ia seperti dosen-dosen renta kebanyakan. Kepalanya tak botak seperti sobat-sahabat seprofesinya. Rambut putih lebatnya senantiasa mengilap. Pelan langkah kakinya, tiada pernah menjadikannya lambat melaksanakan sesuatu, termasuk mengajar di kelas. Wajah keriputnya bercahaya setiap ia menengadahkannya. Aku tahu asal cahaya itu. Cahaya itu efek air yg senantiasa ia basuhkan pada anggota tubuhnya lima kali sehari. Aku sering menjumpainya di masjid kampus setiap waktu shalat.

Setiap bertemu, gue sekadar bertutur sapa. Tiada sedikit keberanianku untuk bercakap banyak. Apalagi hingga berlama-usang mengupas topik. Aku tak pernah berani.

Aku sadar. Aku mahasiswanya yg kurang mencolokdi kelas. Walau otak tak jongkok, pada dasarnya gue ini tak menonjol. Karena gue takut tak mampu merespons apa yg disampaikan, cukup dgn sapa saja, gue puas. Tapi, heran, ia hafal namaku. Selalu memanggilku dgn nama lengkap tanpa cacat.

“Faiz Abdul Rahman. Sudah shalat?” ia selalu mengajukan pertanyaan seperti itu.

Ah, bahagianya aku. Walau tak terlalu aktif di kelas, ia mengenalku, tahu nama lengkapku. Sebagai murid, gue merasa dihargai. Itu artinya ia mengenal semua mahasiswanya. Yang pelopor hingga pasivis kelas berat, semua Engku kenal. Satu lagi yg menurutku menawan darinya: caranya berpakaian. Ia tak pernah ketinggalan zaman. Selalu modis ditambah cara berpikir yg tak kuno.

“Walau fisik sudah tua, gaya & cara berpikir mesti tetap muda & sesuai dgn zaman biar kita tak ketinggalan. Iya toh? Tapi, ikuti kemajuan zaman yg sesuai kepribadian agama & bangsa. Selain itu, tinggalkan! Lebih banyak mudharatnya.”

Demikian ia menjawab pertanyaan seorang sobat di kelasku mengenai penampilannya.

“Seorang guru yakni panutan. Ia cermin murid-muridnya. Setiap kali murid menyaksikan gurunya, hal pertama yg mereka amati ialah penampilannya. Apakah gurunya berpenampilan baik ataukah awut-awutan? Kesan pertama sesuatu yg sulit dilupakan,” ujar Engku Badar mulai membagi ilmunya.

  Gelar | Cerpen Mashdar Zainal

“Meski di kemudian hari mereka lebih mengetahui & mengerti seberapa hebatnya guru mereka, tetap saja kesan pertama sukar terlupa. Makanya, sebagai calon guru, porsi tampilan harus mendapat perhatian khusus, di samping ilmu yg kalian miliki. Ingat itu baik-baik,” lanjutnya lagi. ia sukses! Guruku yg bangkit di depan kelas itu sukses membuatku terkesan dgn performa pertamanya. Waktu berjalan, ia sudah menjadi dosen kesayangan teman-temanku & pastinya aku.

*****

Saban Sabtu, ia mengajar di kelasku. Hari-hari lain ruang kelas sepi. Tapi, tak hari Sabtu. Mahasiswa-mahasiswa—bahkan gres pertama kulihat wajahnya—siaga di kelas. Seperti Sabtu itu.

Seseorang duduk di sampingku hari itu. Sebelumnya, ia menyapaku, kemudian memperkenalkan diri.

“Hai, apakah tempat ini ada yg punya?” tanya lelaki itu kepadaku.

“Oh, tak ada. Tempat ini senantiasa kosong. Duduk saja,” jawabku.

“Terima kasih. Saya Andi Fauzan. Panggil saja Uja. Mahasiswa konversi semester dua.”

“Saya Faiz Abdul Rahman. Panggil Faiz. Mahasiswa kelas ini.”

Dari perkenalan itu, gue tahu banyak hal tentang Engku. Ternyata, Uja pula pengagum Engku. Sebenarnya, ia memilih ikut kelasku karena ingin diajar Engku. Sebab, dosennya untuk mata kuliah ini bukan Engku. Makara, ia tak ikut kelasnya.

Tidak hanya Fauzan yg kukenal di kelas Engku. Sabtu selanjutnya, gue berkenalan dgn Doni, mahasiswa satu angkatan di atasku. Sabtu selanjutnya lagi, dgn Zulkifli, mahasiswa yg sedang menyusun skripsi. Sabtunya lagi, gue berkenalan dgn orang-orang yg berbeda. Selalu orang yg berlawanan seterusnya. Rata-rata, mereka berdalih sama tatkala kutanya kenapa ikut kelasku.

Dari perkenalan-perkenalan itu, gue mengetahui lebih banyak perihal dosen kesayanganku.

“Engku Badar itu dosen yg pandai. Beliau banyak mendapat penghargaan alasannya kecerdasannya. Beliau telah mengajar sejak berumur lima belas tahun.”

“Menurutku, Engku Badar diciptakan untuk menjadi guru. Terbukti, ia sangat mahir dlm masalah itu.”

“Engku Badar itu seorang duda. Istrinya meninggal alasannya adalah sakit tatkala Engku Badar mendapat tugas di luar tempat. Waktu itu, pernikahan mereka gres lima tahun. Mereka tak memiliki anak. Sepeninggal istrinya, Engku Badar tak menikah lagi. Ia sungguh mencintai istrinya & merasa bersalah alasannya tak menemaninya di ketika-dikala terakhir. Jadi, sekarang Engku Badar masih tetap sendiri.”

Masih banyak lagi yg gue tahu perihal prestasi-prestasinya. Bahkan, kehidupan pribadinya.

*****

Sebenarnya, tak terpikirkan olehku kuliah di Keguruan & Ilmu Pendidikan. Apalagi menjadi guru. Aku hanya mengikuti kemauan orang tuaku yg menginginkanku menjadi guru mirip mereka. Aku jauh-jauh dr kampung untuk obsesi itu. Obsesi orang tuaku.

  Boko | Cerpen Putu Wijaya

Karena setengah hati menuntut ilmu di Keguruan, gue kurang suka kuliah selama semester satu & dua. Aku senantiasa membayar & menuntaskan kebutuhan manajemen sebelum perkuliahan dimulai. Baik & sempurna waktu. Namun, semua itu kulakukan agar namaku tetap berada di ketidakhadiran kelasku. Dan, tentu saja guna menyenangkan hati kedua orang tuaku.

Itu tentunya sebelum gue menjadi mahasiswa Engku Badar. Setelah gue berguru & lulus dr mata kuliah Engku—dengan nilai tidak mengecewakan untuk mahasiswa kurang mencoloksepertiku—menjadi guru sudah tertanam dlm jiwa & ragaku.

Meski sudah lulus dr mata kuliahnya, Engku tetap guruku. Bukan alasannya adalah ia kembali jadi dosen mata kuliah yg kuprogramkan semester selanjutnya. Tapi, guru tempatku bertukar anggapan. Di semester itu, gue telah menjadi mahasiswa yg tidak mengecewakan menonjol. Aku sudah memiliki keberanian & rasa yakin diri yg tinggi. Ah, ya, satu lagi. Aku sudah bersungguh-sungguh kuliah. Aku mulai terpesona menjadi guru sepenuh hati. Semua itu anugerah Yang Kuasa melalui Engku Badar.

“Kamu tahu kenapa saya jadi guru, Faiz?” tanya Engku Badar padaku dlm suatu kesempatan usai shalat Zuhur di masjid kampus.

“Pasti sebab panggilan jiwa, kan, Engku?” jawabku kembali mengajukan pertanyaan.

“Ya, itu salah satunya. Tapi, ada yg lebih mendorong saya mengasihi profesi ini. Kamu tahu apa itu?”

Aku menggelengkan kepala.

“Umur 15 tahun, saya membaca suatu buku. Saya sudah lupa judul buku & pengarangnya. Tapi, saya sungguh ingat sepenggal kalimat yg begitu memberi inspirasi saya. Hmmm.” Ia menawan napas.

“Guru ialah pekerjaan yg dimuliakan Allah SWT setelah nabi & rasul-Nya. Begitu suara kalimatnya.”

“Guru yakni pekerjaan yg dimuliakan Allah SWT sehabis nabi & rasul-Nya.” Ia kembali mengulangi kalimat itu.

“Karena, guru mempunyai tanggung jawab yg besar: memanusiakan insan. Ia punya tanggung jawab mengubah tabiat jelek seseorang menjadi baik. Menjadi guru berarti ananda telah mempersiapkan pahala-pahala jariyah yg akan terus mengalir meskipun ananda telah berpulang ke pangkuan-Nya nanti. Maka, Faiz, beruntunglah ananda terpanggil untuk pekerjaan mulia ini.”

Ia tersenyum & menepuk pundakku. Aku meresapi setiap kata yg ia nasihatkan. Dalam hati, kutanamkan berpengaruh kata-kata itu.

*****

Sudah sepekan gue tak bertemu Engku Badar. Di masjid & tiap-tiap ruang kelas sudah kujajaki untuk mencarinya. Aku ingin bertanya sesuatu padanya. Namun, ia tak terdeteksi. Ia menghilang.

  Kota yang Hendak Dihapuskan | Cerpen Rumadi

Aku coba bertanya di ruang jurusan. Nihil. Mereka juga, tak tahu. Pihak jurusan pula mencarinya. Engku tak pernah mengajar sepekan belakangan.

Aku heran. Apa yg terjadi pada Engku? Tidak biasanya ia tak mengajar tanpa konfirmasi. Jangankan seminggu, sekali bolos dlm satu kelas saja hampir tak pernah. Untuk menghilangkan rasa penasaranku, gue berniat ke rumahnya sepulang kuliah.

Ketika kembali ke kelas untuk mata kuliah selanjutnya, suatu kabar meremuk redam hatiku. Tubuhku gemetar.

“Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Telah meninggal duniadosen kita, guru kita, ayah kita,pemberi ilmu bagi kita, Bapak Drs Badarudin Mahifa, MPd atau yg biasa dikenal dgn Engku Badar. Beliau berpulang hari ini di Rumah Sakit Umum dlm keadaan belum sadar dr koma akibat kecelakaan yg menimpanya satu ahad yg lalu. Semoga amal & kebaikan ia diterima di segi Allah SWT. Amin.”Informasi itu disampaikan seseorang,tetangga beliau.

Butiran asin bening tak tertahankan lagi. Aku termangu di tempat. Wajahku pucat. Mata memerah. Semua kenangan bareng Engku tiba-datang berkelebat dlm memoriku. Semua nasihatnya kembali terngiang.

“Ya, Allah, terimalah Engku di sisi-Mu,” lirihku menjajal mengikhlaskannya.

Kelas yg awalnya riuh kini tenang. Semua tertunduk lesu. Kehilangan.

“Pak Faiz, sekarang jadwal mengajar bapak di kelas kami.”

Seseorang membuyarkanku dr lamunan masa lalu. Ia yaitu Heriansyah. Mahasiswaku di Fakultas Keguruan & Ilmu Pendidikan pada perguruan tinggi tempat gue mengajar kini.

“Oh, terima kasih, Heri. Kamu duluan, ya. Nanti, Bapak menyusul,” kataku.

“Iya, Pak.” Ia pun berlalu.

Aku mengambil tas & peralatan mengajarku. Dalam hati, gue berjanji untuk memberikan segala pengetahuan yg kumiliki pada mahasiswa-mahasiswaku. Seperti yg Engku Badar ajarkan padaku tatkala gue masih berstatus mahasiswa dahulu.

Aku berjalan menuju kelas Heriansyah. Sewaktu melalui sebuah kelas, sebelum ruang kelas mengajarku, gue mendengar seseorang mengatakan di kelas itu. Tiba-tiba, langkahku terhenti mendengar apa yg orang itu bicarakan.

“Guru yaitu pekerjaan yg dimuliakan Allah SWT setelah nabi & rasul-Nya. Begitu suara kalimat dlm buku tersebut. Guru adalah pekerjaan yg dimuliakan Allah SWT sehabis nabi & rasul-Nya.”

Aku tercekat. Kata-kata itu?

“Engku Badar.” (*)

Aida Radar, anggota FLP Sulsel & LKIM-PENA Unismuh Makassar.