Edudukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (Dkpp) Dalam Melakukan Pengawasan Kepada Penyenggara Pemilu Ditinjau Dari Uu No 15

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pemilihan umum adalah salah satu hak azasi warga negara yang prinsipil. Karenanya dalam rangka  pelaksanaan hak-hak azasi adalah suatu keharusan bagi pemerintah untuk melaksanakan penyeleksian lazim. Sesuai dengan azas bahwa rakyatlah yang berdaulat, maka seluruhnya itu harus dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Adalah sesuatu pelanggaran terhadap hak-hak azasi apabila pemerintah tidak menyelenggarakan pemilihan lazim atau memperlambat pemilihan lazim tanpa persetujuan dari wakil-wakil rakyat.
Menurut kamus hukum pemilu dapat diartikan pemilihan umum untuk mendapatkan forum-forum perwakilan rakyat yang betul-betul terdiri atas wakil-wakil rakyat.[1]
Pemilu ialah sarana utama merealisasikan demokrasi dalam suatu Negara. Substansi pemilu yaitu penyampaian bunyi rakyat untuk membentuk lembaga perwakilan dan pemerintahan selaku penyelenggaraan Negara. Suara rakyat diwujudkan dalam bentuk hak pilih, adalah hak untuk menentukan wakil dari aneka macam kandidat yang ada. Sebagai sebuah hak, hak memilih harus dipenuhi dan sesuai dengan amanat konstitusi. Hal itu ialah tanggung jawab Negara yang dalam pelaksanaannya dilaksanakan oleh KPU selaku lembaga penyelenggaraan pemilu. Oleh alasannya itu, dalam UU pemilu dinyatakan bahwa pemilih didaftar oleh KPU.[2]
Semangat untuk mendirikan partai baru di Indonesia masih belum memudar, walaupun dua kali pemilu pasca-pemerintahan orde baru (1999 dan 2004) telah memberi pelajaran cukup berguna bahwa ternyata cuma partai-partai tertentu saja yang menemukan derma mempunyai arti dari para pemilih (konstituen). Jauh dari sebelum partai lama menjadi partai baru, yang terdaftar pada departemen aturan dan hak asasi insan.pada September 2006,terdapat 27 partai gres yang terdaftar[3]. Jumlah ini mengalami kenaikan menjadi 43 pada permulaan maret 2007, dan menjadi lebih dari 100 partai pada awal 2008. Pada balasannya KPU memang cuma mengizinkan 38 partai nasional dan 6 partai local aceh yang mengikuti pemilu 2009. Tetapi, jumlah ini jelas jauh lebih besar dibandingkan pemilu 2004.
Semangat seperti itu masih mengemuka karena salah satu karakteristik dasar dari suatu Negara demokratis itu yaitu adanya keleluasaan di dalam membentuk organisasi, tergolong partai politik. Munculnya partai-partai gres itu,sebagaimana paratai-partai pada umumnya, dengan demikian, didorong oleh proses demokratisasi yang terus bergulir sejak runtuhnya pemerintahan orde baru.
Sekiranya realitas munculnya partai-partai baru terus berlanjut, terdapat pertanyaan serius wacana arah system kepartaian yang di anut. Memang, semenjak runtuh nya pemerintahan orde gres, kita lebih condong menganut metode multipartai. Di samping digerakan oleh proses demokratisai yang terus bergulir, system mirip ini didasari oleh realitas penduduk Indonesia yang beragam. Di dalam penduduk demikian, tidak hanya terpilahkan secara kalangan melainkan juga oleh bermacam-macam kepentingan-kepentingan.
Di dalam Negara modern, partai politik ialah salah satu pilar pokok untuk memperjuangkan kepentingan golongan-golongan itu. Hanya saja, dikala dikaitkan dengan efektivitas dan stabilitas pemerintahan yang terbentuk, tata cara mirip itu juga dipertanyakan, adalah sistem multipartai yang mirip apa yang hendak dibangun? Muncul nya pertanyaan mirip ini tidak lepas dari persepsi bahwa besarnya partai-partai yang memperoleh pemerintahan yang mampu dibangun, sebagaimana di Negara-negara yang menganut tata cara parlementer; dan sejauh mana direktur menemukan tunjangan di dalam metode presidensial. Penerapan ambang batas perwakilan (parliemantary threshold) pemilu DPR untuk memilih partai politik masuk ke DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, dapat melanggar konstitusi sebagaimana di jamin oleh pasal 27 ayat 1(satu) UUD 1945. Sebab, penerapan ambang batas mirip itu terperinci-terperinci menghilang kan bunyi pemilih.
Sistem presidensial sebenar nya tidak mampu dipraktekkan di Negara yang multipartai.hal ini di sebab kan di dalam suatu sistem presidensil dan multipartai,membangun koalisi partai politik adalah hal yang biasa terjadi. Koalisi partai poitik adalah hal umum yang terjadi. Koalisi partai politik terjadi alasannya untuk menerima bantuan secara umum dikuasai dari badan legislatif ialah sesuatu yang yang sungguh sulit. Namun masalahnya adalah koalisi yang dibangun di dalam sistem presidensial tidak bersifat mengikat dan permanen. Tidak adanya jaminan bahwa kolisi terikat untuk mendukung pemerintah  samapai dengan berakhirnya kala kerja presiden.hal ini memperlihat kan partai politik tidak memiliki ideologi dan koalisi. Mereka berkoalisi sesuai dengan info yang ada dalam pemerintahan.variasi mirip ini akan menghasil kan instabiitas pemerintahan.hal ini mampu terjadi jikalau ada pertentangan antara eksekutif dengan legislatif yang menyebab kan deadlock.
Pemilu adalah fasilitas utama mewujudkan demokrasi dalam suatu negara. Substansi pemilu adalah penyampaian bunyi rakyat untuk membentuk forum perwakilan dan pemerintahan selaku penyelenggaraan negara. Suara rakyat diwujudkan dalam bentuk hak pilh, yaitu hak untuk memilih wakil dari banyak sekali kandidat yang ada. Sebagai  suatu hak, hak memilih mesti dipenuhi sesuai dengan amanat konstitusi. Hal itu ialah tanggung jawab negara yang dalam pelaksanaan nya dikerjakan oleh KPU selaku penyelenggara pemilu. Oleh alasannya adalah itu, dalam Undang-Undang pemilu dinyatakan bahwa pemilih didaftar oleh KPU.[4]
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat dengan tujuan untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis. Sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pemilu diselenggarakan dengan memedomani asas-asas Pemilu, yakni Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia, serta Jujur dan Adil (Luber dan Jurdil).
Agar mampu terwujud Pemilu sebagaimana impian tersebut, maka Pemilu menyaratkan adanya penyelenggara Pemilu yang memiliki integritas yang tinggi, memahami, dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara. Sebaliknya, penyelenggara Pemilu yang lemah, besar potensinya untuk menghalangi terwujudnya Pemilu yang bermutu. Penyelenggara Pemilu yang dimaksud ialah terdiri atas anggota KPU, anggota Bawaslu, dan segenap jajaran di bawahnya.
Para pembentuk undang-undang ialah dewan perwakilan rakyat RI dan Pemerintah terungkap keinginanuntuk terus memperbaiki penyelenggaraan Pemilu yang lebih baik dan berkualitas. Untuk maksud tersebut, maka semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 ihwal Penyelenggara Pemilu, dibentuklah sebuah lembaga yang dikhususkan untuk mengimbangi dan memantau (check and balance) kinerja KPU dan Bawaslu dengan jajarannya. Nama lembaga dimaksud ialah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau disingkat DKPP.
Dalam arti biasa , DKPP memiliki peran dan wewenang untuk menegakkan dan menjaga kemandirian, integritas, dan kredibelitas penyelenggara Pemilu. Secara lebih spesifik, DKPP dibuat untuk memeriksa, mengadili, dan menetapkan pengaduan/laporan praduga pelanggaran  arahan etik yang dijalankan anggota KPU, anggota Bawaslu, dan jajaran di bawahnya. Tugas DKPP adalah untuk: (1) mendapatkan  pengaduan/laporan dugaan pelanggaran isyarat etik oleh Penyelenggara Pemilu; (2) melaksanakan pengusutan, verifikasi, dan investigasi pengaduan/laporan praduga pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu; (3) menetapkan Putusan; dan (4) menyampaikan Putusan terhadap pihak terkait untuk ditindak lanjuti.
Menurut Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie, bahwa pentingnya budpekerti di dalam penyelenggaraan Pemilu, mengingat adab Pemilu ialah pangkal bagi perikehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. “Bahwa terbentuknya pemerintahan negara, baik di tingkat sentra maupun di kawasan, terpilihnya para wakil rakyat dan wakil daerah, di seluruh jenjang, baik di tingkat pusat maupun di tempat, semuanya dimulai dan melalui proses Pemilu yang sebaiknya beretika. Oleh alasannya adalah itu penting artinya bila Pemilu dilandasi dengan dasar etik yang jelas. Maka DKPP menjadi penting artinya karena tugasnya menemani dasar-dasar etis atas terpilihnya para penyelenggara negara”, kata Ketua dan pendiri Mahkamah Konstitusi (MK).[5]
            Namun semenjak dilantik per 12 Juni 2012 Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sudah memecat kurang lebih 95 anggota komisi penyeleksian lazim dan anggota bawalsu se-Indonesia. DKPP kini menjadi sorotan dikarenakan kebijakannya kerap melebihi kewenangannya, dan bahkan berani melanggar peraturan dan perundang-undangan.[6] Hal tersebut yang menciptakan aku kesengsem untuk mengangkat tawaran skripsi yang berjudul: KEDUDUKAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU (DKPP) DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN KEPADA PENYENGGARA PEMILU DITINJAU DARI UU NO 15 TAHUN 2011.
1.             Rumusan Masalah
Masalah dapat dirumuskan sebagai pernyataan tetapi lebih baik dengan suatu pertanyaan. Keunggulan memakai rumusan dilema dalam bentuk pertanyaan ini ialah untuk mengendalikan hasil dan penelitian. Adapun rumusan problem yang di ajukan dalam penulisan ini adalah:
  • Bagaimana kedudukan DKPP dalam penyelenggaraan pemilu?
  • Bagaimana bentuk pengawasan yang dilakukan DKPP kepada penyelenggaraan pemilu?
  • Bagaiaman proses pengambilan keputusan DKPP terhadap penyelenggaraan pemilu dan akibat akhir aturan kepada keputusan tersebut?
  Kedudukan Dkpp Dalam Penyelenggaraan Pemilu

2.        Faedah Penelitian
Diharapkan penulisan skripsi ini mampu berfaedah selaku :
a.        Secara teoritis
Diharapkan hasil dari penulisan ini menawarkan konstribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama perihal tinjauan yuridis terhadap kedudukan DKPP dalam penyelenggaraan pemilu yang bisa menjadi materi bacaan dan penelitian lanjutan.
b.                  Secara simpel
Bahwa penulis ingin memperlihatkan konstribusi serta pemahaman dan pertimbangan terhadap pihak terkait khususnya pemerintah semoga lebih mengetahui wacana lembaga DKPP.
B.            Tujuan Penelitian
            Adapun tujuan yang akan diraih dalam observasi ini yakni:
  1. Untuk mengetahui kedudukan DKPP dalam penyelenggaraan pemilu.
  2. Untuk mengetahui bentuk pengawasan yang dilaksanakan DKPP kepada penyelenggaraan pemilu.
  3. Untuk mengetahui proses pengembalian keputusan DKPP kepada penyelenggaraan pemilu dan akibat hhukum kepada keputusan tersebut.

C.           Metode Penelitian
            Sesuai dengan rumusan persoalan dan tujuan penelitian, maka sistem observasi yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah:
1.             Sifat dan bahan penelitian
            Metode yang dipergunakan dalam observasi ini bersifat deskriftif analisis dengan pendekatan yuridis normatif atau penelitian kepustakaan, ialah penelitian yang dikerjakan dengan cara meneliti materi pustaka dengan memakai data sekunder.
Penelitian aturan dijalankan untuk menghasilkan alasan, teori atau desain baru selaku preskripsi (petunjuk/ketentuan-ketentuan) dalam menyelesaikan persoalaan yang di hadapi. Oleh sebab itu opsi kepada satu atau beberapa tata cara penelitian terkait akrab dengan perumusan problem yang diteliti serta tradisi keilmuan itu sendiri.
2.             Sumber Data
            Sumber data dalam observasi ini berupa data sekunder, adalah data atau gosip hasil penalaahan dokumen observasi yang pernah dilakukan sebelumnya, materi kepustakaan mirip buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang cocok dengan observasi yang akan dibahas. Penelitian yuridis normatif memakai data sekunder yang mencakup:
  1. Bahan hukum primer, ialah materi-bahan aturan yang mengikat seperti peraturan perundang-seruan, dalam observasi hukum ini, bahan hukum primer yang terkait observasi ini yakni Undang-Undang No. 15 tahun 2012 perihal penyelenggaraan pemilu dan Undang-Undang No 8 tahun 2012 ihwal pemilu.
  2. Bahan hukum sekunder, adalah bahan-materi kepustakaan, yaitu buku-buku bacaan yang relavan dengan observasi ini.
  3. Bahan aturan tersier, yakni bahan-bahan pendukung yanng memberikan isyarat maupun penjelasan kepada bahan aturan primer, dan materi hukum tersier diantaranya: bahan-materi yang diperoleh melalui media internet yang relavan dengan penelitian ini, serta kamus hukum.
  Skripsi: Analisis Frustasi Tokoh Utama Novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu (Sebuah Kajian Psikologis)

3.             Alat Pengumpul Data
            Sehubungan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian normatif, maka untuk mendapatkan data yang mendukung, alat pengumpul data dalam observasi ini yaitu dengan cara pengumpulan (dokumentasi) data sekunder. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh melalui studi dokumen atau kepustakaan (library research).
4.             Analisis data
            Data yang diperoleh dari penelitian, berikutnya akan dianalisis dengan memakai teknik kualitatif, yaitu dengan memberikan interprestasi terhadap data yang diperoleh lewat telaah kepustakaan.
D.           Definisi Operasional
            Definisi operasional atau kerangka rancangan yaitu kerangka yang menggambarkan kekerabatan antara definisi-definisi/desain-konsep khusus yang mau diteliti. Namun demikian masih perlu penjabaran lebih lanjut dari konsep ini dengan jalan menunjukkan definisi operasional nya.
1.             Kedudukan yaitu tingkatan atau martabat
2.             Dewan adalah majelis; mahkamah; wakil (rakyat atau mahasiswa)
3.             Kehormatan merupakan sebuah nilai lebih yang dimiliki oleh setiap orang, akan namun bukan bermakna bahwa setiap orang memiliki sebuah nilai lebih tinggi dari pada yang lain.
4.             Penyelenggara adalah orang langsung atau badan hukum atau pejabat negara yang mengerjakan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya.
5.             Pemilu ialah fasilitas utama mewujudkan demokrasi dalam sebuah negara.
6.             DKPP yakni akronim dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
7.            Pengawasan adalah proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan tindakan yang mampu mendukung pencapaian hasil yang dibutuhkan sesuai dengan kinerja yang sudah ditetapkan tersebut.

>>>>>>>>>>berikutnya klik di bawah<<<<<<<<<<<