Bandung tempo dahulu 1932 |
Kisah Lucu di Bandung Tempo Dulu
Akhir Abad ke-19 yang kemudian, di Bragaweg (Jl.Braga) hiduplah suami istri Jan Faricius. Belanda totok itu sehari-harinya bekerja sebagai wartawan Koran Belanda di Batavia dan lalu juga pada Preangerbode di Bandung. Waktu senggangnya dia gunakan untuk menulis naskah pentas populer. Sekaligus dia bertindak sebagai Sutradara merangkap pemain.
Bandung saat itu sudah mempunyai suatu asosiasi Tonil Sandiwara pimpinan Asisten Residen Priangan Pieter Sitjoff. Perkumpulan tonil Braga yang diresmikan pada tanggal 18 Juni 1882, ialah seni pentas di Bandung jaman dulu. Sedangkan Jan Fabricius terbilang dedengkot senimannya dalam asosiasi itu. Rumahnya yang terletak beberapa langkah di sebelah utara Bioskop Majestic Braga kini, jadi kawasan mangkal seniman pada jamannya.
Sebagai seorang seniman Jan Fabricius kelewat tengil dan banyak ulah. Sedangkan istri si Jan yang gede-gempal termasuk wanita galak dan cemburuan.
Lewat penuturan Meneer W.H.Hoogland (1957) bisa dimengerti kehidupan Teater Kolonial seabad yang kemudian, utamanya tingkah-polahnya si Jan seniman Bandung.
Sejarah sudah mencatat bahwa salah seorang Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang mempunyai apresiasi kesenian yakni D.J.de Eerens (1836-1840). Atas anjurannyalah di Batavia sudah bangun suatu perkumpulan para penggemar Tonil (Bataviasch Liefhebberij Tonil).
Konon kata yang mulia Eerens: Itung-itung buat mengusir rasa sepi, jemu dan melepas rasa ketegangan hidup sehari-hari di Batavia”. Maklumlah hidup di tanah jajahan tidak lepas dari ancaman ancaman pemberontakan orang pribumi. Sedangkan Perang Diponorogo gres saja berlalu.
Sejak tahun 1788 di Batavia sudah berdiri suatu gedung pertunjukan (Shouwburg) yang menampilkan saban hari Rabu.
Buat mengembangkan mutu seni di Hindia Belanda, de Eerens sering mendatangkan seniman dari Perancis. menurut pendapatnya, orang Perancis memang memahami akan arti Seni.
Rupanya rombongan Tonil Perancis itu sempat mampir di pegunungan Bandung.
Siapa lagi penduduknya yang paling sibuk di kota, kalau bukan Jan Fabricius, Sutradara tunggal di Bandung tempo doeloe.
Tak diceritakan oleh Hoogland, seorang wartawan Bandung pada kala itu, apakah group tonil Perancis itu melaksanakan latihan general repetisi sebelumnya. Yang jelas, Seniman kita Jan Fabricius ikut mengambil peranan dalam pertunjukan tersebut.
Hampir seluruh warga Belanda di Kota Bandung tempo doeloe tiba menghadiri pentastonil yang langka itu.
Sebagai mana layaknya pentasdi kampung, penonton menjadi tidak tabah menanti cara dimulai. Lewat agenda waktu pembukaan, pengunjung mulai bertepuk tangan dan cuat-cuit gaduh biar pertunjukan segera dimulai. Lho kenapa sih, pentasbelum saja di mulai…? tanya penonton dalam hati. Ada insiden apa dibalik layar…?
Setelah dinantikan usang, karenanya gordin (bukannya layar) terbuka juga. Diatas panggung tampillah pengurus Sositet Concordia mendampingi seorang aktris Perancis yang manis molek. Tepuk tangan para penonton pun langsung membahana dalam ruangan.
Rampung memperkenalkan para pemain Tonil, Pengurus Sositet Concordia turun dari panggung dan menduduki korsi penonton di deretan korsi penonton dengan bingung.
Belum lagi pentasdimulai, timbul kericuhan di atas panggung. Tiba-tiba penonton mendengar bunyi lantang seorang wanita : Hey Jan, jij korang didik, Pigimana, kom naar ghuis, jij niet netjes met deze prampuan andjing, jan, kom naar ghuis (Hey jan, kamu kurang didik, bagaimana nih, mari cepat pulang, kamu tidak pantas main bersama dengan perempuan anjing ini, Jan, mari pulang ..!!! )
Jan di sini pastinya Jan Fabricius yang dimaksud. kemudian terdengar bunyi si Jan membujuk istrinya: ” Kalm aan vrouwtje, kalm, kalm aan” ( Tenang istriku, tenanglah).
Rupanya, ini stori tidak hingga disini saja. Dengan gesit Mevrouw Fabricius yang jangkung-gede itu menyergap suaminya, eksklusif menggusurnya ke rumah melewati sederetan dingklik penonton.
Menyaksikan aktraksi itu, sambutan tepuk tangan dan gelak tawa penonton berkumandang tiada henti-hentinya Ger-geran terus-jalan masuk. Sehingga pertunjukan sulit dimulai.
Diantara penonton ada petani udik perkebunan (Oerplanter) yang mempunyai nada suara menggelegar, hingga patut untuk memberi arahan komando satu resimen serdadu. selaku olok-olok ia dijuluki oleh sobat-temannya selaku Willem de Zwijger, alias ” Willem si Pendiam.
Nah,si petani bodoh Willem inilah yang terus -jalan masuk Haha hoho .. tiada henti-hentinya tertawa. Melihat si Jan yang ketiban pulung.
Adegan pertunjukan yang telah menginjak sekuens dramatik jadi terganggu pula oleh tawa si Willem, sehingga Manager pertunjukan terpaksa turun tangan. Dengan bantuan para Preangerplanters , karenanya si Willem yang rada ngadat, bisa juga digotong keluar. Baru sehabis dibius oleh seorang Dokter si Willem mampu repeh-rapih cep-klakep tak bersuara. Sumber Wajah Bandoeng Tempo Doeloe.1984.Haryoto Kunto
Harita téh poe minggu, poé nu sakuduna mah dipaké reureuh sarta kumpul jeung kulawarga. namun pikeun rahayat Bandung mah, kalahka riweuh. Sapoé saméméhna, pamaréntah urang di Bandung meunang ultimatum ti pihak prajurit Inggris, eusina, pasukan-pasukan Tentara Republik Indonesia, katut nu séjénna, kudu ninggalkeun kota Bandung, paling elat tanggal 24 Maret 1946.Mémang saméméhna ogé kaayaan Kota Bandung geus harénghéng. Dumasar kana kasaluyuan Pamarentah Indonesia jeung tentara Inggris nu sapongkol jeung prajurit NICA. Baca selengkapnya >
Biografi Oto Iskandar Dinata Si Jalak Harupat
Kiwari urang boga salam nasional nu mangrupa pekik Merdéka bari nonjokeun peureup ka luhur. Salam anu ngagedurkeun sumanget para hero bangsa dina mangsa revolusi fisik, enggoning ngarebut kamerdekaan bangsa Indonesia. Eta salam nasional téh diciptakeun ka Oto Iskandar Dinata, salasaurang jagoan nasional nu asalna ti Tatar Sunda. Tangtu baé, jasa Oto Iskandar Dinata téh lain ngan sakitu-kituna. Perjoangan jeung ketakna dina ngabéla bangsa jeung lemah caina, natrat katembong dina lalakon hirupna. Baca selengkapnya >
Sawarehna jalma-jalma kiwari nu sapopoe nyeuseup hawa Kota Bandung, kawasna bae langka anu daek nyawang hese-beleke ngadegkeun jeung ngawangun ieu kota.
Buktina aya keneh, mun teu rek disebut loba oge, anu apilain kana hukum-aturan enggoning ngamumulena.
Padahal memeh aya teh euweuh heula. Memeh jadi kota, leuweung heula. Memeh rame, tiiseun heula. Baca selengkapnya >
Dongeng Sunda Si Kabayan Hitut
“Kuring rek ngabuktikeun bener henteuna, kabeneran di urang aya Walanda persetujuan,”. ceuk Si Kabayan. Baca selengkapnya>