TERKEJUT. Seperti mendengar macan mengaum di tengah kota. Saat menanti kereta KRD di Stasiun Bandung, Enceng berbisik: “Sepertinya, jadi menjambret.”
Tangan bergetar di dlm saku jaket. Beberapa lembar uang yg jumlahnya hanya seratus dua puluh lima ribu rupiah terasa kasarnya. Hasil kerja serabutan selama dua minggu. Penghasilan yg mengenaskan.
Awalnya memang asal pergi. Setidaknya membuat harapan bagi yg di rumah. Setelah menanti jadi laden (tangan kanan) tukang tembok tak ada yg mengajak, buruh tani sudah kelewat ekspresi dominan. Hasilnya hanya ini, seratus dua puluh lima ribu rupiah dlm dua ahad.
Enceng sepertinya frustrasi dgn penghasilan seperti ini. Sudah terbayang, penghasilan sebesar itu tak akan cukup buat yg di rumah. Untuk sehari-hari saja pastinya cepat habis. Apalagi jikalau digunakan mengeluarkan uang ke warung atau tetangga. Siapa tahu tak akan terbeli beras.
Tapi tak saya layani omongan ngelantur-nya. Saya kemudian terbenam dgn anggapan, mending beli beras di jalan atau dibawa uangnya buat yg di rumah? Dibawa uangnya, tentu bisa menciptakan yg di rumah lebih besar hati, duit terlihat lebih besar. Tapi sialnya, jika begitu datang disusul oleh tetangga yg mengira saya membawa duit banyak. Mereka pasti menagih utang.
Tetangga pula keadaannya tak jauh berlawanan dgn saya. Tinggal di perkampungan, tapi bekerjsama bukan orang kampung. Kami cuma tinggal di perumahan melarat yg dibentuk developer di kampung. Katanya awalnya buat perumahan karyawan pabrik stik, namun sebelum selesai dibangun, pabriknya sudah gulung tikar.
Jadinya harga rumah di perumahan bangkrut itu sungguh murah. Hampir semua rumah harganya di bawah lima puluh juta rupiah. Malah ada yg harganya dua puluh juta rupiah. Masih adakah harga rumah sebesar itu pada 2020?
Bila tak tinggal di Perumahan Cisangsara Indah, tentunya saya tak akan percaya. Tapi meski murah untuk ukuran biasa , saya sendiri sering kesusahan cuma untuk mengeluarkan uang sewa kontrak yg hanya lima ratus ribu rupiah setahun. Ya, lantaran pekerjaan yg tak jelas ini, penghasilan pun tak terperinci.
Karenanya, sungguh mampu dikenali jika Enceng frustrasi. ia sendiri sama saja dgn saya, dgn tetangga pada umumnya. Saya sendiri tak terhitung berapa kali frustasi. Tapi hasilnya cuma menggali singkong atau ubi di kebun orang kampung. Tidak sampai berpikir menjambret atau membegal.
Itu sebabnya orang kampung, khususnya pegawai desa, terasa tak begitu suka dgn penduduk Cisangsara Indah. Ada jejak menggali ubi atau singkong, ayam hilang, sampah dibuang sembarangan, tuduhannya selalu ke orang Cisangsara Indah. Bila tak terpaksa, orang-orang kaya di kampung tak mempekerjakan orang Cisangsara Indah untuk menggarap kebun mereka.
Seperti dianaktirikan. Bila ada kebutuhan ke desa mirip meminta surat keterangan tinggal untuk menolong anak sakit di rumah sakit, sudah biasa dipersulit. Malah jadinya tak dikasih. Tidak tercatat di database kependudukan, itu alasannya. Belum pernah memberi surat pindah ke RT, RW, & desa.
Saya, sama saja dgn Enceng, kesulitan mengurus surat pindah lantaran rumah di Cisangsara Indah itu kontrakan. Bila besok atau lusa diminta oleh pemiliknya, tentu saja mesti segera pindah dr rumah ini. Selama ini persetujuan rumah saja diurus oleh tetangga yg lebih dahulu tinggal di sini, bukan benar-benar ke pemilik rumah. Ah, tetapi mungkin itu hanya permainan pegawai desa saja karena pada yg ngasih duit, suratnya eksklusif dibuatkan meski nomor KK ditembak.
Orang Cisangsara Indah cuma diaku sebagi warga jika pemilu, apakah pemilihan kepala desa, legislatif, atau bupati hingga presiden. Atau jika orang kampung mau memperbaiki jalan dgn ongkos dana desa. Warga dikumpulkan di balai RW, diajak musyawarah lantaran mesti seperti itu katanya negara demokrasi, lalu diumumkan pembangunan jalan, siapa yg mau ikut melakukan pekerjaan harus daftar. Pasti dibayar, katanya, lantaran ini menggunakan dana desa.
Saya, Enceng, & warga yang lain yg kerjanya serabutan tentu saja langsung mengacungkan tangan untuk ikut melakukan pekerjaan . Sepuluh hari memperbaiki jalan itu selesai. Setelah semuanya beres, semua ngantre dibayar yg besarnya tiga puluh ribu rupiah sehari. Guru Nata besoknya memprotes.
“Proyek seratus juta rupiah cuma sampai enam puluh atau tujuh puluh juta rupiah, terserah Bapak-Ibu yg mau mempertanggungjawabkannya dunia alam baka,” kata Guru Nata pada Pegawai Desa. “Tapi masyarakat yg bekerja cuma dibayar tiga puluh ribu rupiah sehari, itu keterlaluan! Kata Presiden di televisi, dana desa itu buat menyejahterakan masyarakat desa!”
Saya, mirip kebanyakan warga lainnya, tak mengetahui apa-apa. Hanya sesudah ‘seperti bertengkar’ di balai RW itu, saya & tetangga lainnya yg melakukan pekerjaan perbaikan jalan itu dikasih lagi duit selembar seratus ribu rupiah. Tapi hasil yang lain, orang Cisangsara Indah makin tak diminati Pegawai Desa.
Itu pula yg mengakibatkan kerja serabutan makin menyengsarakan saya & tetangga lainnya. Semakin sering ada petani lapor ke desa kebunnya rusak dicuri orang. Harus diakui, saya pula sering melaksanakan itu. Bila terpaksa. Bila sudah gelap mata. Bila tak tahan melihat dua anak kurus & emaknya yg menangis. Tapi tak sampai fikiran saya pada kata menjambret atau membegal.
“Bagaimana, semalam saja lagi, kita jangan pulang kini. Kita menjambret dahulu,” bisik Enceng. Saya menatap wajahnya yg mirip tak berdarah. Jantung makin terasa degupnya.
“Bila ada yg keluar dr bank, yakinkan ia membawa uang jutaan. Tugas ananda hanya mengamati!” bisiknya lagi. Tapi suaranya menciptakan sakit indera pendengaran saya.
“Saya mau pulang! Pulang!” teriak saya lalu segera naik ke KRD.
Sampai di rumah, betul saja istri saya kebingungan membagi-bagi duit. Sementara saya kian terhantui oleh kata-kata Enceng. Pernah saya mendengar bawah umur geng mabuk-mabukan lalu membegal hingga melukai korbannya, namun bisikan Enceng tak bisa disamakan dgn itu. Bisikan Enceng memendam sakit & perih yg sudah menyayat bertahun-tahun.
“Kenapa semenjak datang lesu begitu?” kata istri saya. “Tidak apa hasilnya cuma segini. Sudah biasa membagi-bagi yg sedikit. Yang penting, Akang tetap semangat. Itu yg menciptakan Nyai pula kuat.”
“Bukan soal kita, bukan mempertimbangkan kita, tetapi si Enceng.”
“Si Enceng? Orang mana?”
“Teman kerja Akang, dua tahun yg lalu hadirnya ke perumahan ini. Rumahnya di gang terakhir, empat gang dr rumah kita.”
“Yang mana, ya? Sepertinya nama panggilan, ya?”
Tidak berlanjut perbincangan itu lantaran ada tetangga yg ngajak istri ke balai RW. Katanya ada kandidat kepala desa yg mau bertemu warga sambil membagi-bagi sembako. Hanya dua hari saya di rumah. Setelah ke sana-kemari mengunjungi kenalan tapi tak ada pekerjaan, saya berangkat lagi ke kota.
Hanya berdua dgn Enceng. Setelah dua hari memperlihatkan diri untuk membersihkan halaman rumah orang tak ada yg mau, sehabis nangkring di pasar tak ada yg memerintahkan mengangkut barang apa pun, bisikan Enceng yg membuat sakit pendengaran itu ada lagi.
“Ikuti saja caranya menjambret bagaimana saya,” kata Enceng.
Dengan pikiran tak menentu saya mengikutinya. Setelah beberapa jenak memperhatikan halaman bank, saya menunjuk seorang wanita gemuk keluar dr bank sambil memasukkan amplop cokelat ke tasnya. Waktu perempuan itu membuka mobil, Enceng mendorongnya sambil merebut tas. Lalu Enceng berlari. Cara menjambret yg lalai, gumam saya. Lalu saya pun ikut berlari.
Wanita gemuk itu berteriak. Tidak begitu lama, orang-orang mengepung, Enceng dijatuhkan & dipiting satpam. Saya juga. Buk-buk-buk, orang-orang memukuli & menendangi. Sakitnya hanya sebentar karena kemudian saya tak ingat apa-apa. Sadar-sadar sudah di sel Polres. Sakit & perih sekujur badan. Di hadapan, istri saya menangis, begitu memilukan.
“Maafkan, Nyai. Si Enceng yg frustrasi, yg menjambret.”
Istri saya kian mengisak, isak yg sakit hati.
“Si Enceng yang….”
“Kang, tak ada yg namanya Enceng di perumahan kita! Akang berangkat kerja sendiri. Si Enceng itu hanya ada di fikiran Akang!”
Luka kian terasa sakit & perih. Tapi luka yg di sini, di dlm hati, lebih berdarah bernanah. (*)