mencetus awal Ilmu Nahwu. Sebagian andal mengatakan: peletak dasar Ilmu Nahwu yaitu Abul Aswad ad-Duwali. Sebagian yang lain menyampaikan, Nashr bin ‘Ashim. Ada juga yang mengatakan, Abdurrahman bin Hurmus. Namun, dari perbedaan-perbedaan itu pendapat yang paling diakui oleh secara umum dikuasai jago sejarah yakni Abul Aswad.
Pendukung pertimbangan yang menguatkan Abul Aswad ad-Duwali sebaga penggerak awal antara lain yaitu Ibnu Qutaibah (wafat 272 H), al-Mubarrad (wafat 285 H), as-Sairafi (wafat 368 H), Ar-Raghib al-Ashfahaniy (502 H), dan as-Suyuthi (wafat 911 H). Para ulama nyaris bersepakat bahwa penyusun ilmu nahwu pertama adalah Abul Aswad ad-Duwali (67 H) dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali Rhadiyallahu ‘anhu.
Daftar Isi
Perkembangan Ilmu Nahwu Klasik
Abu al-Aswad ad-Duali (603-688) merupakan ulama kelahiran Basrah Irak yang menjadi aktivis ilmu Nahwu yang pertama. Awalnya ilmu ini disusun secara sederhana dan aplikatif.
Akan tetapi, seiring pertumbuhan keilmuan, Nahwu bermetamorfosis menjadi ilmu tersendiri yang kompleks. Bahkan, dari situ terbentuk komunitas-komunitas akademik Nahwu yang disebut “Madrasah”.
Pertama, Madrasah Basrah ialah madrasah pertama yang menciptakan istilah Nahwiyah yang digunakan sampai kini. Para linguis Basrah dalam membuatkan ilmu ini memakai tata cara; qiyas, ta’lil, ta’wil, sima’ dan riwayah yang menghasilkan teori ‘Amil.
Periode ini dimulai sejak kala Abu Aswad, tetapi karakteristik Basrah timbul ketika abad Imam Khalil (718-789), Imam Sibawaih (760-796) dan linguis termasyhur pada masanya ialah al-Mubarrid (w. 898).
Kedua, Madrasah Kufah yang merupakan komunitas pakar Nahwu yang berada di Kufah, kota terbesar kedua setelah Basrah di Irak. Inisiator madrasah ini yakni Abu Ja’far ar-Ruwa’asi (w. 804). Namun, mulai terlihat jati dirinya pada abad Abu Bakr Muhammad ibn Qasim al-Anbari (w. 884) dan Sa’lab (903).
Pada masa ini Basrah sudah meraih rivalnya, sehingga terjadi perdebatan antara golongan Basrah (panglima Nahwu besarnya Imam Sibawaih) dengan kelompok Kufah (panglima Nahwunya Imam al-Kisa’i), menciptakan ilmu gres ialah dikenal Sharf (Sharaf).
Selanjutnya, muncul Madrasah Bagdad yang berupaya menjadi penengah antara Basrah dan Kufah. Madrasah ini lahir dikala para linguis Bagdad belajar Nahwu kepada Sa’lab (Kufah) dan al-Mubarrid (Basrah).
Pada awalnya, Bagdad lebih condong ke Kufah dengan tokoh-tokohnya; Ibnu Kaisan (w. 843), Ibnu Syuqair (w. 927), dan Ibnu al-Khayat (w. 932). Namun, generasi berikutnya mulai era az-Zujani (948) hingga masa az-Zamakhsyari (1074-1143), Bagdad bergeser lebih condong ke Basrah.
Selain, membandingkan, mengecek dan membuatkan kaidah-kaidah sebelumnya, Bagdad memiliki tata cara sendiri; ijma’, istihsan, dan istishab, serta menyesuaikan realitas Arab. Pakar linguistik menyebut periode ini dengan abad “Penyempurna”.
Hal ini karena Imam al-Ru’asi sudah meletakan dasar-dasar ilmu Sharaf. Kemudian Imam al-Mazini (Bagdad) menyebarkan secara progresif sehingga ketika ini Sharaf dipelajari secara terpisah dengan Nahwu.
Keempat, Madrasah Andalusia merupakan masa keemasan ilmu Nahwu pada khalifah Umaiyyah II (755-1031). Dimulai dari Khalifah Abdurrahman al-Nashir seorang Gubernur Andalusia mewakilkan Abu Ali al-Qali untuk menyebarkan pengetahuanya di bidang hadis, bahasa, sastra, Nahwu dan Sharaf.
Adapun judul karangan kitab al-Qali antara lain; al-Amali, al-Mamdud wa al-Maqsur, al-Ibil wa Nitajuha, Hily al-Insan, Fa’alta wa Af’alta, tafsir Mu’allaqat al-Sab, dan al-Bari’ fi al-Lughah.
Selain itu, al-Qali mempunyai dua murid yang berjulukan Ibnu Quthiyah dan Abu Bakar al-Zubaidiy. Ibnu Quthiyah seorang ahli bahasa, penyair, sejarawan dan pengarang kitab nahwu berjudul al-Af’al. Sedangkan Abu Bakar seorang pakar nahwu dan pengarang kitab Mukhtashar al-‘Ain.
Sebenarnya masih banyak lagi ulama Nahwu dari kalangan Andalusia; al-Syalubaini, Ibnu Kharuf, Ibnu ‘Ushfur dan Ibnu Malik pengarang kitab Alfiyah Ibnu Malik, sebuah karya paling fenomenal di seluruh dunia terutama di Indonesia.
Dapat dilihat bahwa permulaan aktivis Nahwu di Andalusia ialah Abu Ali al-Qali. Namun, disebutkan oleh Ahmad Amin, bahwa semua mahir Nahwu semenjak al-Qali, masih taqlid pada Nahwu Sibawaih. Hal ini karena Khalil al-Farahidi beserta muridnya Sibawaih sudah meletakan pilar-pilar Nahwu yang kokoh dan sukar digoyahkan.
Akan namun, Ibnu Madha al-Qurthubiy berusaha menggoyahkannya. Ibnu Mada ingin mengembalikan Nahwu Masyriq dan menolak ta’wil yang telah using. Hal itu dinyatakan dengan mengarang kitab al-Musyriq fi al-Nahwu, Tanzih al-Qur’an ‘Amma la Yaliqu bil Bayan, dan al-Radd ‘Ala al-Nuhat. Kitab-kitab ini berisi bantahan nahwu Sibawaih dan tawaran menyusun nahwu jadid.
Selanjutnya, madrasah Mesir, merupakan pewaris dari perdebatan dan kompleksitas Nahwu Basrah, Kufah, Bagdad, dan Andalusia, yang berkembang sampai pada kala terbaru.
Perkembangan Ilmu Nahwu Modern
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, para linguis saling berlomba-kontes mengembangkan disiplin ilmu itu. Sampai pada masanya Nahwu berada pada puncak paradigma keilmuan. Istilah dari Thomas Kuhn (w. 1996), mengalami “krisis Nahwu” yang disebabkan Nahwu dihasilkan justru demi kepentingan ilmu itu sendiri.
Bahkan, tidak jarang Nahwu menjadi “momok” ilmu yang rumit dan sukar dipahami. Sedangkan tujuan awal diciptakan ilmu ini untuk mempermudah untuk memahami bahasa Arab.
Pada rentang tahun 1258-1798 Nahwu condong mengalami kemunduran. Sehingga para linguis modern; Ibrahim Mustafa (1888-1962), Abbas Hassan (1890-1978) Mahdi al Makhzumi (1919-1993), al Jawari (1898-1924), Syauqi Dhoif (1910-2005), dan Tammam Hassan (1918-2011), memperbarui Nahwu klasik lalu menyusunnya menjadi Nahwu terbaru.
Mereka menganggap Nahwu klasik menciptakan nahwu ‘ilmi. Maksud dari ungkapan ini yaitu Nahwu yang diciptakan untuk kepentingan ilmu itu sendiri selaku pembelajaran orang yang konsentrasi di bidang tersebut. Oleh alasannya adalah itu, mereka menyusun nahwu jadid agar mudah dipelajari dengan istilah nahwu tathbiqi-ta’limi.
Berikut ini ada beberapa model Nahwu terbaru:
- Pertama, madrasi, adalah versi studi menurut kaidah-kaidah Nahwu klasik demi kepentingan pembelajaran bahasa Arab. Kritik versi ini kepada aliran klasik yakni pada sistematika penyusunan bab.
- Kedua, zahiriyyah, yaitu model pembaharuan Nahwu terbaru yang dikembangkan linguis empiris untuk kepentingan pembelajaran bahasa Arab. Metodenya yakni memakai metode sima’i (istiqara’). Tokoh dari model ini ialah Ibnu Mada dan Abu Hayyan.
- Ketiga, tajdidiyah fi ad-dars an-nahwi jadid, yaitu versi yang menggunakan teori fungsional. Bentuknya adalah mendahulukan kepentingan Nahwu dan penerapan dalam tekstual supaya gampang dimengerti oleh pemula. Tokohnya antara lain; Ibnu Rusyd (1126-1198), al-Jurjani (1009-1078) dan Ibnu Khaldun (1332-1406).