I. PENDAHULUAN
Mengapa insan belajar? Pertanyaan ini berhubungan dengan milenium ketiga yang sudah berada di depan pinto. Era ini ditandai oleh banyak sekali perubahan cepat yang terjadi dan sering tidak diantisipasi sebelumnya. Era global menjadikan kita terekspos oleh berbagai peristiwa dan tuntutan keadaan yang dipersyaratkan di kurun yang akan tiba. Secara akil perlu ada refleksi kepada cara kita melengkapi diri dalam memenuhi permintaan tersebut. Berbagai pergeseran tersebut dikomuni lewat informasi dengan aneka macam media, mirip komputer data base dan jaringan isu mutakhir yang beraneka ragam. Semakin lama makin canggih gosip yang mesti disampaikan ke tangan pemakainya. Bila kita tidak inginterpelanting dalam kurun global tersebut, maka peralatan manusia hares diikuti upaya belajar. Sementara itu, belajar merupakan keperluan hidup yang “self-generating” yang mengupayakan dirinya sendiri, alasannya adalah semenjak lahir insan memiliki dorongan melangsungkan hidup, menuju tujuan tertentu, sadar atau tidak sadar (Adler: Leitlinie = garis hidup). Hal tersebut bukan saja alasannya adalah ikhtiar untuk melangsungkan hidup bersumber dari dirinya, mirip ada self-starter dalam dirinya, melainkan juga alasannya sebagai makhluk sosial beliau harus mempertahankan hidup. Demikian dua dorongan esensial dalam diri manusia, yakni dorongan untuk tumbuh kembang dan dorongan untuk mempertahankan diri menerangkan alasan manusia itu mencar ilmu. Kaprikornus, insan mencar ilmu terus menerus untuk mampu meraih kemandirian dan sekaligus bisa menyesuaikan diri kepada berbagai perubahan lingkungan.
II. BELAJAR: KONSEP DAN TEORINYA
Berbagai teori tentang mencar ilmu terkait dengan aksentuasi terhadap efek lingkungan dan pengaruh potensi yang dibawa sejak lahir. Potensi itu umumnya merupakan kemungkinan kemampuan lazim. seseorang secara genetis sudah lahir dengan suatu organ yang disebut kemampuan biasa (intelegensi) yang bersumber dari otak. Apabila struktur otak sudah ditentukan secara biologis, berfungsinya otak tersebut sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungannya (Semiawan, C., 1997). Kaprikornus, jika lingkungan berpengaruh positif bagi dirinya, kemungkinan besar peluangtersebut berkembang mencapai realisasi maksimal.
Otak yang dibawa semenjak lahir tersebut terdiri atas dua penggalan otak, kiri dan kanan (left hemisphere and right hemisphere), yang disambung oleh segumpal serabut yang disebut corpus callosum. Kedua serpihan otak tersebut mempunyai fungsi, peran dan respon yang berlawanan, dan semestinya berkembang dalam keseimbangan (Semiawan, C., 1997). Dalam upaya manusia berguru, pecahan otak kanan berfungsi menangkap keseluruhan yang berarti, kreatif dan imajinatif, sedangkan kepingan otak kiri berfungsi untuk mengamati hal-hal yang logis, linier, dan terencana. Kedua kepingan otak itu dalam pembelajaran sebaiknya berfungsi dalam keseimbangan. Jadi, konsep belajar mengandung implikasi memfungsikan aspek akal, logis maupun inovatif (baca pula definisi belajar dalam pengertian mencar ilmu berdasarkan para hebat). Berikut ini ada beberapa pedoman yang berpengaruh di dunia ilmu dalam mengartikan belajar.
Belajar menurut Visi Behaviorisme
Behaviorisme ialah aliran psikologi yang yakin bahwa manusia khususnya berguru alasannya efek lingkungan. Belajar berdasarkan teori behaviorisme yang agak radikal yakni pergantian perilaku yang terjadi lewat proses stimulus dan tanggapanyang bersifat mekanisme. Oleh sebab itu, lingkungan yang sistematis, terstruktur dan terpola mampu memperlihatkan pengaruh (stimulus) yang bagus sehingga insan bereaksi terhadap stimulus tersebut dan memperlihatkan respon yang sesuai.
Ada dua tokoh populer dalam behaviorisme yang memelopori teori ini dan mempunyai perbedaan dalam menerangkan proses terjadinya berguru. Pertama, yaitu Pavlov yang mengatakan perihal stimulus yang dipersyaratkan (conditioning reflex) untuk memberikan capons yang dibutuhkan oleh lingkungan sesuai dengan permintaan lingkungan (refleks yang dikondisikan) selanjutnya disebut classical Conditioning. Kedua, yakni Skinner yang agak berlainan pendiriannya dengan Pavlov. Skinner berasumsi bahwa sikap insan yang dapat diperhatikan secara langsung yaitu akhir konsekuensi dari tindakan sebelumnya. Kalau konsekuensinya mengasyikkan, maka hal tersebut akan diulanginya lagi. Konsekuensi-konsekuensi tersebut ialah kekuatan pengulang (reinforcement) untuk berbuat sekali lagi. Teori ini diketahui dengan istilah operant conditioning. Belajar yakni akibat (konsekuensi, kekuatan pengulang) dari sebuah perbuatan yang mendatangkan tindakan tersebut kembali. Apabila tindakan tersebut menyenangkan (misalnya seseorang yang lapar dan makan, merasa lezat kalau kenyang), lain kali akan makan lagi kalau lapar (positive reinforcement). Sebaliknya, bila kesudahannya tidak lezat (misalnya bila terlalu kenyang), maka tidak akan terdorong untuk dijalankan lagi (negative reinforcement).
Sekelumit perihal Belajar menurut Konstruktivisme
Berbeda dari pendapat behaviorisme ialah konstruktivisme yang ialah salah Saw pandangan psikologi kognitif Konstruktivisme bertolak dari usulan bahwa belajar yaitu membangun (to construct) wawasan itu sendiri (Bootzin, 1996), setelah dipahami, dicernakan dan merupakan tindakan dari dalam diri seseorang (form within).
Dalam perbuatan berguru mirip itu bukan apa (isi) pembelajarannya yang penting, melainkan bagaimana memanfaatkan perlengkapan mental kita untuk menguasai hal-hal yang kita pelajari. Pengetahuan itu diciptakan kembali dan dibangun dari dalam diri seseorang melalui pengalaman, observasi, pencernaan (digest), dan pemahamannya.
III. KONSEP BELAJAR SEPANJANG HAYAT
Belajar berdasarkan Klien (Learning Principles and Application, 1993, halaman 2), ialah: Proses eksperiensial (pengalaman) yang menghasilkan pergeseran perilaku yang relatif permanen dan yang tidak mampu dijelaskan dengan kondisi sementara kedewasaan, atau tendensi alamiah.
Rumusan Klien yang agak behavioristik meskipun dipengaruhi oleh fenomenologi dan menunjuk pada experiential learning, perlu disela dengan orientasi konstruktivisme yang ialah bagian dari psikologi mencar ilmu yang berorientasi humanistik. Artinya, memang belajar tidak terjadi sebab proses kematangan dari dalam saja (innate tendencies, yang ialah aspek genetis), melainkan juga sebab pengalaman yang perolehannya bersifat eksistensial. Penulis menambahkan bahwa psikologi berguru yang berorientasi pada pendekatan humanistik dipengaruhi oleh adanya keleluasaan individu yang dilandasi oleh potensi bakat dan minatnya untuk berbagi perilaku yang terarah atas tanggung jawab dan pilihannya sendiri.
Aktualisasi diri yang berawal dari tergeraknya peluangdari dalam (from within) adalah permulaan insan mencar ilmu mencapai realisasi diri secara optimal. Untuk itu, ia mencar ilmu bagaimana dia harus belajar sepanjang hayat.
IV. BAGAIMANA KITA BELAJAR?
Bagaimana kita berguru, mampu ditelaah secara mikro dan makro. Secara mikro berguru terkait dengan proses pembelajaran itu sendiri. Pengaruh negatif mampu datang dari luar dinding sekolah ditambah pula oleh orientasi pembelajaran yang ditandai oleh ciri alienatif sebab keterasingan pebelajar dari proses berguru yang bergotong-royong. Hal ini terutama berkaitan dengan proses berguru yang bersifat satu arah, di mana guru mempertanggungjawabkan “body of material” secara sepihak. Si pelajar secara mayoritas bersifat pasifkarena guru mengalirkan sejumlah ilmu kepadanya, menyerupai suatu bejana yang airnya dituangkan dari luar ke dalam dirinya.
Padahal psikologi kontemporer tentang berguru (konstruktivisme) mengisyaratkan bahwa belajar ialah mengonstruksikan wawasan yang terjadi from within. Kaprikornus, tidak memompakan wawasan itu ke dalam kepala pebelajar, melainkan wawasan diperoleh melalui sebuah dialog yang ditandai oleh suasana berguru yang bercirikan pengalaman dua segi (two-sided experience, Buber, 1970). Ini berarti bahwa pemfokusan tidak lagi semestinya pada kuantitas bahan, melainkan pada upaya supaya siswa mampu menggunakan perlengkapan mentalnya (otaknya) secara efektif dan efisien sehingga tidak ditandai oleh segi kognitif belaka, melainkan khususnya oleh keterlibatan emosi dan kemampuan inovatif.
Coleman di dalam bukunya “Emotional Intelligence” (1995), mengisyaratkan bahwa manusia memiliki dua sisi mental, pertama, berasal dari kepala (head) dengan ciri kognitif dan kedua, berasal diri hati sanubari (heart), dengan ciri afektif. Antara kehidupan kognitif dan kehidupan afektif ada hubungan yang akrab. Di dalam struktur otak neuron sel otak yang menghubungkan dua kehidupan ini disebut extended amygdala.
Penggunaan fungsi otak yang efektif dan efisien ialah hasil dari proses interaktif yang dinamis dengan fingkungan yang meliputi ciri-ciri fisik, mental dan emosional yang mengakibatkan integrasi yang terakselerasikan dari fungsi otak dan berakibat terhadap pemekaran kemampuan manusia secara maksimal.
Secara makro, pembelajaran ditinjau dari adanya analisis dua jalur dalam pendekatan sistemnya yang disebut analisis dua jalur two road analysis (front-end, paras belakang), ialah mencakup tiga bagian, ialah sasaran group analysis (siapa peserta bimbing yang kita hadapi), content analysis (apa target program kita), serta context analysis. Artinya, apa relevansi acara itu (konteks) dan terkait dengan itu, kompetensi apa yang diperlukan pada ujung acara tersebut (end). Untuk menjalani pekerjaan tertentu (job analysis), dapat diadakan dianalisis dari paras (front) ke belakang (end) dan dari belakang ke paras . Konten apa yang perlu diberikan untuk mempunyai kesanggupan sesuai dengan permintaan pekerjaan (front) populasi target tertentu. Makara, analisis populasi target, analisis konteks dan konten yakni kerangka dari analisis tata cara tersebut. Dalam hal terakhir berkenaan dengan konten itulah perlu dijaga kurikulum (rancangan mencar ilmu) yang menjadi cakupan (area of interest) untuk dijaga koherensinya serta menyaring “banjir” isu akibat globalisasi. Tentu saja pengembangan kurikulum seperti ini membutuhkan sosialisasi, training (pelatihan) dan pengembangan, sehingga memajukan efektivitas penyelenggara pendidikan.
V. PENUTUP
Bagaimana kita berguru dapat ditelaah secara mikro dan makro. Secara mikro terkait dengan proses pembelajaran itu sendiri. Proses berguru diupayakan agar siswa bisa menggunakan perlengkapan mentalnya (otaknya) secara efektif dan efisien sehingga tidak ditandai oleh sisi kognitif belaka, melainkan terutama juga keterlibatan emosional yang inovatif. Dengan demikian, proses mencar ilmu ini disesuaikan dengan keperluan pertumbuhan siswa.
Secara makro, pembelajaran ditinjau dari adanya analisis dua jalur yang dalam pendekatan sistemnya meliputi figa unsur, adalah analisis konten (content analysis) yang dikaitkan dengan terhadap siapa (analisis populasi sasaran atau sasaran group anaysis) konten tersebut serta dalam konteks apa (analisis konteks, context analysis) pembelajaran dilaksanakan.
REFERENSI
- Bootzin, R.R., Bower, G.H., Zajong, R.B., Hall, E. 1986. Psychology Today. An Introduction. New York: Random House.
- Buber. M. 1970. I and Thou, Translation by. Kaufman. New York: Charles Scribnee’s Sons.
- Clark, B. 1986. Growing up Gifted. Columbia, USA: CE Merril Publishing Co.
- Coleman, D. 1995. Emotional Intelligence. New York, USA: Bantam Books.
- Klien, S. B. 1996. Principles and Applications, third edition. New York: McGraw-Hill.
- Romizowsky, Aj. 1986. Producing Instructional Systems: New York: Kogan Page.
- Semiawan, C. 1997. PerspektitPendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Grasindo.
- Semiawan, C. 1998. Pendidikan Tinggi: Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat Seoptimal Mungkin. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Semiawan, C. 1998, Pelatihan TOT Evaluasi Kemampuan Mengajar (Persero Pelabuhan Indonesia 11).
Demikian pola makalah teori belajar dan pembelajaran. Semoga berkaitan menjadi referensi dalam penulisan karya ilmiah yang terkait dengan teori berguru dan pembelajaran.