Reformasi Pemerintahan Daerah Dalam Membangun Model Pelayanan Publik Yang Dapat Memenuhi Keinginan Masyarakat
I. PENDAHULIAN
Keberadaan desentralisasi di Negara Indonesia telah menjadi konsensus nasional. Dalam setiap Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku selalu terdapat pasal yang mengontrol penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia. Untuk merealisasikan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar hampir setiap kabinet yang terbentuk di kurun lalu mencantumkan desentralisasi sebagai salah satu acara kerjanya. Bahkan dalam kala Orde Baru, taktik bagi penyelenggaraan desentralisasi selalu tertuang dalam GBHN, sedangkan kebijakan dan programnya terjabar dalam Repelita Nasional. Ratusan peraturan perundang-permintaan telah terbentuk dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi. Sejumlah sumber daya sudah terserap untuk memperkuat program desentralisasi lewat serangkaian kajian dan observasi. Masa sekarang desentralisasi merupakan salah satu jadwal reformasi. Sungguh tidak keliru apabila dalam tahun limapuluhan Maryanov (1958) dari Universitas Cornell pernah menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa desentralisasi di Indonesia telah diterima sebagai aksioma.
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang sudah digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 2001 menenteng pergantian dalam pelaksanaan pemerintahan di tempat. Salah satu pergantian itu adalah pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan beberapa bidang pemerintahan. Seiring dengan bertambah luasnya kewenangan ini, maka pegawapemerintah birokrasi pemerintahan di daerah mampu mengelola dan menyelenggaraan pelayanan publik dengan lebih baik sesuai dengan keperluan masyarakatnya.
Sebagaimana dikemukakan Hoessein (2001) : Otonomi daerah merupakan wewenang untuk mengendalikan problem pemerintahan yang bersifat lokalitas berdasarkan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Dengan demikian desentralisasi bahu-membahu menjelmakan otonomi penduduk setempat untuk memecahkan berbagai dilema dan pinjaman layanan yang bersifat lokalitas demi kemakmuran penduduk yang bersangkutan. Desentralisasi mampu pula disebut otonomisasi, otonomi daerah diberikan kepada masyarakat dan bukan terhadap daerah atau pemerintah tempat.
Namun, hingga sekarang ini mutu pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, mekanisme yang berbelit-belit saat harus mengurus suatu perijinan tertentu, ongkos yang tidak terang serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), ialah indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Di mana hal ini juga sebagai akibat dari berbagai urusan pelayanan publik yang belum dinikmati oleh rakyat. Di samping itu, ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana penduduk yang termasuk miskin akan susah mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki “duit“, dengan sangat gampang menerima segala yang dikehendaki. Untuk itu, jika ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus terjadi, maka pelayanan yang berpihak ini akan menimbulkan peluangyang bersifat berbahaya dalam kehidupan berbangsa. Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar antar yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, kenaikan ekonomi yang lamban, dan pada tahapan tertentu dapat meledak dan merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Kemudian, terdapat kecenderungan di banyak sekali instansi pemerintah pusat yang enggan menyerahkan kewenangan yang lebih besar kepada kawasan otonom, hasilnya pelayanan publik menjadi tidak efektif, efisien dan ekonomis, dan tidak menutup kemungkinan unit-unit pelayanan cenderung tidak mempunyai responsibilitas, responsivitas, dan tidak representatif sesuai dengan permintaan penduduk . Banyak pola yang dapat diidentifikasi; seperti pelayanan bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, kemudahan sosial, dan berbagai pelayanan di bidang jasa yang dikontrol pemerintah daerah belum memuaskan penduduk , kalah bersaing dengan pelayanan yang dikontrol oleh pihak swasta. Norman Flyn (1990) mengemukakan bahwa pelayanan publik yang dikelola pemerintah secara herarkhis cenderung bercirikan over bureaucratic, bloated, wasteful, dan under performing.
Kejadian-kejadian tersebut lebih disebabkan alasannya paradigma pemerintahan yang masih belum mengalami pergeseran fundamental. Perilaku aparatur negara di lingkungan birokrasi yang masih menempatkan dirinya untuk dilayani bukannya untuk melayani. Seharusnya, dalam masa demokratisasi dan desentralisasi dikala ini, seluruh perangkat birokrasi, perlu menyadari bahwa pelayanan memiliki arti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku “melayani, bukan dilayani”, “mendorong, bukan menghalangi”, “memudahkan, bukan mempersulit”, “sederhana, bukan berbelit-belit”, “terbuka untuk setiap orang, bukan cuma untuk segelintir orang” (Mustopadidjaja, 2002).
Agar pelayanan publik berkualitas, sudah sepantasnya pemerintah mereformasi paradigma pelayanan publik tersebut. Reformasi paradigma pelayanan publik ini ialah penggeseran contoh penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah selaku penyuplaimenjadi pelayanan yang berorientasi terhadap kebutuhan masyarakat selaku pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk mengawali perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin mendengarkan bunyi publik itu sendiri. Inilah yang akan menjadi jalan bagi peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik. Oleh alasannya adalah itu reformasi paradigma pelayanan publik tersebut mesti disertai dengan reformasi penyelenggaraan pemerintahan, dalam konteks otonomi daerah mempunyai arti bagaimana mereformasi contoh penyelenggaraan pemerintahan kawasan.
II. PEMBAHASAN
A. Reformasi Pemerintahan Daerah
Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa konsepsi tentang desentralisasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan sebuah konsensus nasional yang mengandung arti bahwa penyelenggaraan organisasi dan manajemen negara Indonesia diwujudkan dengan pelaksanaan otonomi kawasan. Oleh alasannya itu konsepsi tentang asas sentralisasi dan desentralisasi yang masing-masing merupakan azas organisasi tidak ditempatkan pada kutub yang bertentangan (dichotomy), tetapi kedua asas tersebut merupakan suatu rangkaian kesatuan (continuum). Kedua asas ini memiliki fungsi yang berbeda, tetapi saling melengkapi bagi kebutuhan organisasi negara. Sentralisasi berfungsi menciptakan keseragaman, sedangkan desentralisasi membuat keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Reformasi pemerintahan daerah di Indonesia ditandai dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan lewat UU No. 32 Tahun 2004 wacana Pemerintahan Daerah. Reformasi yang diinginkan di dalam UU tersebut termasuk reformasi yang radikal (radical change) atau drastik (drastic change) dan bukan reformasi yang bersifat gradual (gradual change). Oleh alasannya adalah itu, pertentangan, krisis dan goncangan yang menyertai reformasi tersebut lebih besar daripada serangkaian reformasi yang pernah terjadi sebelumnya. Dibandingkan dengan reformasi pemerintahan daerah di banyak sekali negara meningkat lainnya pun reformasi pemerintahan tempat di Indonesia masih termasuk sangat besar. Reformasi pemerintahan kawasan di Indonesia termasuk big bang approach.
Besarnya perubahan yang terjadi di dalam reformasi pemerintahan kawasan tersebut dapat dilihat dari pergantian paradigma pemerintahan kawasan yang terjadi. Paradigma “structural efficiency versi” yang menekankan efisiensi dan keseragaman pemerintahan setempat (local government) ditinggalkan dan dianut paradigma “local democracy model” yang menekankan nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan tempat. Seiring dengan itu terjadi pula perubahan dari pemfokusan dekonsentrasi ke penekanan desentralisasi ( Hoessein, 2001 ).
Namun pergeseran sejumlah paradigma dan versi tersebut tidak berakar pada seni manajemen. Desentralisasi bukanlah tujuan namun selaku fasilitas untuk meraih tujuan. Dalam TAP MPR No. IV/2000 ditegaskan bahwa kebijakan otonomi kawasan diarahkan terhadap pencapaian peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreativitas pemerintah daerah, keselerasan relasi antara Pemerintah dengan Daerah dan antar Daerah dalam kewenangan dan keuangan, untuk menjamin kenaikan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian Daerah. Tujuan desentralisasi tersebut belum tertampung dalam seni manajemen reformasi pemerintahan tempat yang digulirkan lewat kedua undang-undang tersebut. Oleh alasannya itu berbagai tantangan dan masalah muncul sebagai konsekuensi dari pelaksanaan desentralisasi tersebut.
Secara lazim urusan yang ada menurut Hendarin (1997) dapat digambarkan sebagai adanya ketidakseimbangan antara supply dan demand yang dihadapi oleh pemerintah daerah. Permasalahan pertama dari segi supply yakni dengan semakin terbatasnya daya dukung alam dan sumber pembiayaan, serta kesanggupan pemerintah daerah dalam penyediaan barang dan jasa publik, sedangkan di pihak lain permintaan kebutuhan penduduk semakin meningkat.
Permasalahan yang kedua, dari segi demand bahwa pemerintah tempat menghadapi usul yang terus menerus meningkat terhadap pemenuhan barang dan jasa publik, yang diartikan sebagai urban services. Transportasi massal, pengendalian banjir, dan pemeliharaan kebersihan atau lingkungan merupakan contoh urban services yang kebutuhannya kian meningkat.
Kedua urusan tersebut ialah fenomena government growth yang dihadapi banyak pemerintah daerah, jika fenomena ini tidak bisa diantisipasi secara sempurna, maka proses pembangunan pun akan mengalami hambatan. Antisipasi yang dilakukan tersebut dimaksudkan demi tercapainya pemerintah yang bisa menunjukkan penemuan pelayanan yang lebih baik pada penduduk .
B. Konsepsi Reinventing Government Management
Sejak pertengahan tahun 1980-an sudah terjadi pergeseran administrasi sektor publik yang cukup drastis dari sistem administrasi tradisional yang terkesan kaku, birokratis, dan hierarkis menjadi versi administrasi sektor publik yang fleksibel dan lebih mengakomodasi pasar. Perubahan tersebut bukan sekedar perubahan kecil dan sederhana. Perubahan tersebut sudah mengganti peran pemerintah khususnya dalam hal korelasi antara pemerintah dengan penduduk . Paradigma baru yang muncul dalam administrasi sektor publik tersebut ialah pendekatan New Public Management.
Model New Public Management mulai dikenal tahun 1980-an dan kembali populer tahun 1990-an yang mengalami beberapa bentuk inkarnasi, misalnya hadirnya rancangan “managerialism”; “market-based public administration”; “post-bureaucratic paradigm”; dan “entrepreneurial government” (Osborne and Gaebler, 1992). New Public Management berkonsentrasi pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan berorientasi kebijakan. Penggunaan paradigma New Public Management tersebut menjadikan beberapa konsekuensi bagi pemerintah di antaranya yaitu tuntutan untuk melaksanakan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetisi tender.
Salah satu model pemerintahan di kurun New Public Management adalah model pemerintahan yang diajukan oleh Osborne dan Gaebler (1992) yang tertuang dalam pandangannya yang dikenal dengan desain “reinventing government management”. Untuk melaksanakan reformasi manajemen pemerintahan guna meningkatkan pelayanan publik menjadi lebih baik, dapat diupayakan lewat acara reinventing government management. Pada dasarnya konsepsi tentang reinventing government management bermaksud untuk memperbaiki efisiensi, efektivitas dan kinerja pemerintahan serta mempekerjakan masyarakat.
Menurut Osborne dan Gaebler (1992) ada sepuluh prinsip reinventing government management, adalah yang pertama yaitu pemerintahan katalis yang memisahkan fungsi pemerintah selaku pengarah dan fungsi sebagai pelaksana. Kedua pemerintah milik masyarakat, ialah mengalihkan wewenang kontrol yang dimiliki pemerintah ke tangan masyarakat. Ketiga, pemerintah yang kompetitif, yang mensyaratkan persaingan di antara para penyampai jasa atau pelayanan untuk berkompetisi berdasarkan kinerja dan harga. Keempat, pemerintah yang digerakkan oleh misi, yaitu mengganti organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi. Kelima, pemerintah yang berorientasi hasil, yaitu pemerintah yang result-oriented mengganti konsentrasi dari input menjadi akuntabilitas pada hasil. Keenam, pemerintah berorientasi pada konsumen, adalah pemerintah yang lebih memenuhi kebutuhan konsumen, bukan kebutuhan birokrasi. Ketujuh, pemerintahan wirausaha, adalah pemerintah yang berupaya memfokuskan energinya bukan sekedar untuk menghabiskan anggaran, tetapi juga menghasilkan duit. Kedelapan, pemerintah antisipatif, yaitu pemerintah yang berupaya menangkal daripada mengobati. Kesembilan, pemerintah desentralisasi, yakni pemerintah yang dilakukan dari hierarkhi menuju partisipatif dan tim kerja. Kesepuluh, pemerintah berorientasi pada (prosedur) pasar, adalah pemerintah yang mampu menyelenggarakan pergeseran dengan prosedur pasar (metode insentif) dan bukan dengan mekanisme administratif (metode mekanisme dan pemaksaan).
Sementara itu ada beberapa catatan yang bisa dikembangkan untuk melakukan reformasi manajemen pemerintahan, seperti yang sudah dijalankan oleh Bill Clinton pada saat menjadi Presiden Amerika Serikat, yang mengemukakan pentingnya menyaksikan empat prinsip yang menonjol dan perlu diperhatikan secara khusus (Al Gore, 1996), ialah :
- Memangkas penyakit birokrasi (cutting rate tape)
- Menempatkan pelanggan selaku fokus (putting customer first)
- Memberdayakan pegawai untuk meraih hasil (empowering employes to get result)
- Melihat dan mengembalikan pada faktor mendasar (cutting back to basic)
Relevansi rancangan reinventing government management terhadap upaya pengembangan aparatur dan mekanisme penyelenggaraan aparatur pemerintah tempat sungguh banyak. Antara lain adanya kesepakatan yang berpengaruh untuk melakukan reformasi birokrasi di lingkungan pemerintah daerah, disertai perlu adanya visi dan misi yang terperinci dari pimpinan untuk melakukannya. Dengan kekuatan visi dan misi yang dimiliki oleh pimpinan diperlukan bisa menyeimbangkan gaya dan teladan administrasi dengan pergantian dan dinamika lingkungan yang kian kompleks.
Hal lain yang sangat esensial dalam reinventing government management ini ialah berbagai prosedur penyediaan infrastruktur dan akomodasi umum yang semestinya dikerjakan oleh pemerintah daerah secara bertahap dialihkan dengan mempekerjakan masyarakat. Dengan demikian kekurangan pendanaan dan sebagainya dapat tertutupi dengan teladan mirip ini.
C. Konsep dan Dinamika Pelayanan Publik
Pelayanan publik merupakan produk birokrasi publik yang diterima oleh warga pengguna maupun masyarakat secara luas. Karena itu berdasarkan pelayanan publik mampu didefinisikan selaku serangkaian kegiatan yang dijalankan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan warga pengguna. Pengguna yang dimaksud disini ialah warga negara yang memerlukan pelayanan publik, mirip pembuatan KTP, IMB, akte kelahiran, akta tanah dan lain sebagainya.
Berbeda dengan produk pelayanan berbentukbarang yang gampang dinilai kualitasnya, produk pelayanan berbentukjasa tidak mudah untuk dinilai kualitasnya. Pelayanan jasa tidak berwujud sehingga tidak nampak (intangible). Namun demikian proses penyelenggaraannya bisa diamati dan dicicipi. Demikian pula halnya dengan pelayanan publik, yang merupakan sebuah produk pelayanan jasa yang diselenggarakan oleh birokrasi pemerintah. Pelayanan publik merupakan pelayanan yang diselenggarakan oleh birokrasi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat penggunanya (warga negara).
Masyarakat setiap waktu senantiasa menuntut pelayanan publik yang berkualitas dari birokrasi pemerintah, walaupun tuntutan tersebut sering tidak cocok dengan keinginan mereka, karena secara empiris pelayanan publik yang terjadi selama ini masih terkesan berbelit-belit, lambat, mahal dan bikin capek. Kecenderungan mirip itu terjadi karena penduduk masih ditempatkan sebagai pihak yang “melayani”, bukan yang “dilayani”. Oleh alasannya adalah itu pada ketika ini kebutuhan mendesak yang perlu dijalankan oleh birokrasi pemerintah ialah melaksanakan reformasi pelayanan publik dengan mengembalikan dan mendudukkan “pramusaji ” dan yang “dilayani” ke pemahaman yang bekerjsama.
Osborne & Plastrik (1997) mencirikan pemerintahan (birokrasi) sebagaimana dibutuhkan di atas yakni pemerintahan milik penduduk , yakni pemerintahan (birokrasi) yang mengalihkan wewenang kontrol yang dimilikinya kepada masyarakat. Masyarakat diberdayakan sehingga bisa mengatur pelayanan yang diberikan oleh birokrasi. Dengan adanya kendali dari masyarakat pelayanan publik akan lebih baik, alasannya adalah mereka akan mempunyai akad yang lebih baik, lebih peduli dan lebih kreatif dalam memecahkan problem. Pelayanan yang diberikan oleh birokrat ditafsirkan sebagai kewajiban, bukan hak karena mereka diangkat oleh pemerintah untuk melayani masyarakat, oleh karena itu mesti dibangun kesepakatan yang besar lengan berkuasa untuk melayani sehingga pelayanan akan dapat menjadi lebih responsif terhadap keperluan masyarakat dan mampu mendesain versi pelayanan yang lebih inovatif serta lebih efisien.
Sementara itu dalam konteks desentralisasi (otonomi tempat), Mohamad (2003) menyampaikan bahwa pelayanan publik semestinya menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik. Paradigma pelayanan publik berkembang dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih menunjukkan konsentrasi pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan (customer-driven government) dengan ciri-ciri:
- Lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan lewat berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya keadaan kondusif bagi kegiatan pelayanan terhadap masyarakat,
- Lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga penduduk memiliki rasa memiliki yang tinggi terhadap akomodasi-akomodasi pelayanan yang sudah dibangun bersama,
- Menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga penduduk mendapatkan pelayanan yang berkualitas,
- Terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil (outcomes) sesuai dengan masukan yang dipakai,
- Lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh penduduk ,
- Pada hal tertentu pemerintah juga berperan untuk mendapatkan pendapat dari penduduk dari pelayanan yang dijalankan,
- Lebih mengutamakan persiapan terhadap urusan pelayanan, (h) lebih memprioritaskan desetralisasi dalam pelaksanaan pelayanan, dan
- Menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan.
Pada dasarnya pemerintah sudah melakukan berbagai upaya semoga menghasilkan pelayanan yang lebih cepat, tepat, manusiawi, murah, tidak diskriminatif, dan transparan. Namun, upaya-upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah kelihatannya belum maksimal. Salah satu indikator yang mampu dilihat dari fenomena ini yaitu pada fungsi pelayanan publik yang banyak dikenal dengan sifat birokratis dan banyak menerima keluhan dari penduduk alasannya adalah masih belum memperhatikan kepentingan masyarakat penggunanya. Kemudian, pengurus pelayanan publik condong lebih bersifat direktif yang cuma memperhatikan/ memprioritaskan kepentingan pimpinan/organisasinya saja. Masyarakat selaku pengguna mirip tidak memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak senang, mau tidak mau, mereka harus tunduk kepada pengelolanya. Seharusnya, pelayanan publik dikelola dengan paradigma yang bersifat supportif di mana lebih memfokuskan diri terhadap kepentingan masyarakatnya, pengelola pelayanan mesti mampu bersikap menjadi pramusaji yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.
Hasil survey UGM pada tahun 2002, secara biasa stakeholders menilai bahwa kualitas pelayanan publik mengalami perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah; tetapi dilihat dari segi efisiensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif) masih jauh dari yang dibutuhkan dan masih mempunyai berbagai kelemahan.
Sementara itu, dari segi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka sumbangan pelayanan terhadap masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dikerjakan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien (Mohamad, 2003).
D. Reformasi Paradigma Pelayanan Publik
Secara teoritis, Denhardt and Denhardt (2000) menyampaikan bahwa telah terjadi pergeseran paradigma pelayanan publik dari model administrasi publik tradisional (old public administration) ke versi manajemen publik baru (new public management) dan hasilnya menuju model pelayanan publik baru (new public service) seperti terlihat pada tabel berikut ini.
Pergeseran Paradigma Model Pelayanan Publik
Aspek
|
Old Public Administration
|
New Public Manajemen
|
New Public Service
|
Dasar Teori
|
Teori Politik
|
Teori Ekonomi
|
Teori Demokrasi
|
Konsep Kepentingan Publik
|
Kepentingan publik yakni sesuatu yang didefinisikan secara politik dan yang tercantum dalam hukum
|
Kepentingan publik mewakili agregasi dan kepentingan individu
|
Kepentingan publik yaitu hasil dari agregasi dialog ihwal berbagai nilai
|
Kepada Siapa Birokrasi harus Bertanggung jawab
|
Klien dan Pemilih
|
Pelanggan
|
Warganegara
|
Peran Pemerintah
|
Pengayuh (rowing)
|
Mengarahkan steering
|
Menegosiasikan dan mengeloborasi banyak sekali kepentingan warganegara dan kelompok komunitas
|
Akuntabilitas
|
Menurut hierarki administratif
|
Kehendak pasar yang ialah impian pelanggan
|
Multi faktor; akuntabel pada aturan, nilai komunitas, norma politik, tolok ukur profesional, kepentingan warga negara
|
Sumber : Denhardt and Denhardt (2000).
Dalam versi new public service, berlandaskan teori demokrasi yang mengajarkan adanya egaliter dan persamaan hak diantara warga negara. Dalam versi ini kepentingan publik dirumuskan selaku hasil dialog dari banyak sekali nilai yang ada di dalam masyarakat. Kepentingan publik bukan dirumuskan oleh elit politik seperti yang tertera dalam aturan. Birokrasi yang memberikan pelayanan publik mesti bertanggung jawab terhadap penduduk secara keseluruhan. Peran pemerintah adalah melakukan perundingan dan menggali berbagai kepentingan dari warga negara dan berbagai golongan komunitas yang ada. Dalam versi ini birokrasi publik bukan cuma sekedar harus akuntabel pada banyak sekali hukum aturan, melainkan juga harus akuntabel pada nilai-nilai yang ada dalam penduduk , norma politik yang berlaku, persyaratan profesional dan kepentingan warga negara. Itulah serangkaian konsep pelayanan publik yang ideal periode kini di kala demokrasi.
Dasar teoritis pelayanan publik yang ideal berdasarkan paradigma new public service yaitu bahwa pelayanan publik harus responsif terhadap berbagai kepentingan dan nilai-nilai publik. Tugas pemerintah adalah melaksanakan perundingan dan mengelaborasi banyak sekali kepentingan warga negara. Dengan demikian huruf dan nilai yang terkandung di dalam pelayanan publik harus berisi preferensi nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Karena masyarakat bersifat dinamis, maka abjad pelayanan publik juga harus selalu berganti mengikuti pertumbuhan masyarakat.
Disamping itu pelayanan publik versi baru harus bersifat non-diskriminatif sebagaimana dimaksud oleh dasar teoritis yang digunakan, yaitu teori demokrasi yang menjamin adanya persamaan tanpa membedakan asal usul, suku, ras, etnik, agama, dan latar belakang kepartaian. Ini bermakna setiap warga negara diperlakukan secara sama dikala berhadapan dengan birokrasi publik dalam menerima layanan sepanjang syarat-syarat yang dibutuhkan tercukupi. Hubungan yang terjalin antara birokrat publik dengan warga negara adalah korelasi impersonal sehingga terhindar dari sifat nepotisme dan primordialisme. Model pelayanan publik mirip ini diperlukan dapat menjadi sebuah model yang sesuai dengan harapan masyarakat.
III. PENUTUP
Reformasi pemerintahan kawasan di Indonesia termasuk dalam konsepsi reformasi yang bersifat radikal (radical change) atau drastik (drastic change) dan bukan reformasi yang bersifat gradual (gradual change).
Di dalam reformasi pemerintahan daerah tersebut, terjadi pergeseran paradigma pemerintahan tempat. Paradigma “structural efficiency versi” yang menekankan efisiensi dan keseragaman pemerintahan lokal (local government) ditinggalkan dan dianut paradigma local democracy model yang menekankan nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan tempat. Seiring dengan itu terjadi pula pergantian dari penekanan dekonsentrasi ke aksentuasi desentralisasi.
Untuk melaksanakan reformasi manajemen pemerintahan guna memajukan pelayanan publik menjadi lebih baik, dapat diupayakan lewat acara reinventing government management. Pada dasarnya konsepsi mengenai reinventing government management bertujuan untuk memperbaiki efisiensi, efektivitas dan kinerja pemerintahan serta memberdayakan penduduk .
Sementara itu terjadi pula pergeseran paradigma pelayanan publik dari model manajemen publik tradisional (old public administration) ke model manajemen publik baru (new public management) dan balasannya menuju versi pelayanan publik baru (new public service).
Sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang makin meningkat, tuntutan yang lebih terbuka, serta kemajuan globalisasi yang memicu peningkatan yang lebih cepat lagi dalam keperluan dan tuntutan akan layanan publik, maka paradigma new public service yang menghendaki pelayanan publik harus responsif kepada berbagai kepentingan dan nilai-nilai publik serta bersifat non-diskriminatif.
Abstract
Reform governance of area is in Indonesia started with its form of area autonomy. Autonomous of area represent authority to arrange governance business having the character of locality according to initiative alone pursuant to society aspiration. Reform governance of area aim to be more maximize function service of more having the character of public locality. Reform implementation governance of the area can be conducted by relate conception concerning New Public Service which orienting at service of public having the character of responsive to various public values and importance and also non discriminative.
Keyword : New Public Service
DAFTAR PUSTAKA
Al Gore. 1996. The Best Kept Secret In Government, NPR, Washington.
Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Dwiyanto, Agus, 2002, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Yogyakarta.
Flyn, Norman. 1990. Public Sector Management, Harvester Wheatsheaf, London.
Hoessein, B. 2001. “Prospek Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah dari Sudut Pandang Hukum Tata Negara”; Seminar dan Lokakarya Nasional Strategi Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah Dalam Kerangka Good Governance; Lembaga Administrasi Negara, Jakarta.
Maryanov, Gerald S. 1958, Decentralization in Indonesia: As Political Problem, Cornell University Press, New York.
Mohamad, Ismail, 2003, Aktualisasi Pelayanan Prima Dalam Kapasitas PNS selaku Abdi Negara dan Abdi Masyarakat, Makalah, disampaikan dalam Diskusi Panel Optimalisasi Peran PNS pada Pelaksanaan Tugas Pokok selaku Abdi Negara dan Abdi Masyarakat, yang diselenggarakan oleh Unit KORPRI POLRI Pusat, pada tanggal 23 Oktober 2003, Jakarta.
Mustopadidjaja AR, 2002, Kompetensi Aparatur Dalam Memikul Tanggung Jawab Otonomi Daerah Dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Ceramah Perdana Pada Program Magister Manajemen Pembangunan Daerah, Kerjasama STIA-LAN, Pemerintah Prov. Kaltim, dan Universitas Mulawarman, 15 Januari, 2002. Samarinda.
Osborne, David & Gaebler, T. 1992. Reinventing Government : How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector. Reading, Massachussetts : A William Patrick Book.
Osborne, David & Peter Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy : The Five Strategies for Reinventing Government, Addision-Wesley Publishing Company, New York.