close

Wawasan Budaya Nasional Indonesia

Wawasan Budaya Nasional Indonesia 
Tujuan pendidikan ilmu budaya dasar (IBD) terutama membekali warga Negara sebagai SDM Indonesia yang menghayati jatidiri nasionalnya. Karenanya, mulai dengan tenaga guru yang mempunyai pengetahuan dasar: psikologi (konsepsi kepribadian); mendasar human rights (HAM, natural rights) sampai nilai-nilai filsafat hidup bangsa (Pancasila); sekaligus dasar Negara PAncasila sebagai ideologi nasional. SDM Indonesia menghayati dan mengamalkan nilai budaya dan peradaban sebagai fungsi martabat kepribadian manusia: sebagai subyek budaya dan subyek tabiat (tergolong: insan selaku subyek aturan), dalam kategori: integritas unggul dan mulia.
Kepribadian anak berpotensi selaku manusia akil balig cukup akal, berdikari dan berbudi (bermartabat selaku subyek budaya dan subyek moral) secara normatif dididikkan/ dibekali dengan dasar-dasar pengertian dan penghayatan nilai-nilai fundamental dalam wawasan horisontal (filsafat, ipteks, budaya); dan vertikal (sopan santun-spiritual, theisme-religious) selaku penghayatan: wawasan insan dan budaya (nasional, universal) dijiwai asas nilai filsafat Pancasila yang beridentitas theisme-religious; secara ringkas dibahas selaku berikut.
I. LATARBELAKANG DAN DASAR PEMIKIRAN
Generasi muda sebuah bangsa, terutama anak usia Sekolah Dasar – SM merupakan peluangregenerasi yang menjamin kejayaan negara; sekaligus menjamin semangat persahabatan dan kerjasama antar bangsa demi kesejahteraan insan dalam perdamaian.
Sikap dasar saling pengertian dan menghargai antar sesama manusia mutlak ditanamkan dan dikembangkan secara psikologis dan paedagogis; artinya, tujuan demikian bukanlah suatu perilaku dasar yang tumbuh secara alamiah.
Belajar dari sejarah dunia yang cukup pahit, mulai kolonialisme-imperisliasme, sampai Perang Dunia I dan II dibarengi himpitan perang masbodoh antara dua blok adikuasa, umat insan mengalami syok sosial politik, psikologis dan kultural, bahkan budbahasa selaku dampak negatif dari pengalaman sejarah peradaban terbaru demikian. Akibatnya, stress berat politik mengakibatkan sikap praduga rasial antar bangsa. 
Pengembangan wawasan insan, wawasan budaya dan multibudaya diperlukan memajukan saling pemahaman antar manusia, antar bangsa dan antar budaya, yang dalam zaman terbaru, lebih-lebih postmodernisme mengalami dinamika persaingan yang semakin meningkat….bermuara untuk supremasi dan dominasi sistem filsafat (sistem ideologi: yang melembaga dalam metode kenegaraan) dengan banyak sekali jabarannya lintas bidang kehidupan. 
Manusia hidup dan berkembang dipengaruhi oleh kemajuan (kerjasama) faktor internal dan faktor eksternal; berwujud peluangkepribadian manusia (jasmani-mental kerokhanian) dengan alam lingkungan hidup selaku sumber daya alam (ALH-SDA; sebagai ekosistem) termasuk antar eksklusif dan antar budaya.
Kita menyaksikan bagaimana pertumbuhan (hidup) insan dalam wujud prestasi, budaya dan peradaban sebagai wujud cipta-karya insan dengan mendayagunakan SDA dan ekosistem. 
Supaya SDM bisa membuatkan kepribadiannya dan ALH-SDA (ekosistem) selaku budaya dan peradaban yang unggul, maka pendidikan in casu tata cara pendidikan nasional menjadi prakondisi yang mutlak, conditio sine quanon.
Manusia juga hidup dan berkembang dengan motivasi, wawasan dan harapan yang mereka yakini; umumnya selaku nilai dasar (fundamental values) atau persepsi hidup (filsafat hidup, Weltanschauung) sekaligus mampu berfungsi sebagai dasar negara filsafat negara, ideologi negara (Mohammad Noor Syam/MNS 2000: 1 – 3; 19 – 21). Tidak ada suatu bangsa, juga langsung insan yang hidup tanpa nilai-nilai fundamental yang menjiwai dan memandu hidupnya!
Nilai mendasar ini juga merupakan perwujudan jatidiri bangsa, asas kerokhanian bangsa dan negara, sumber cita dan asas etika manusia bangsa itu sebagaimana diakui oleh Friederich Carl von Savigny (1779 – 1861) yang menyatakan karakteristika nasional yang menjiwai bangsa, selaku spirit nasional (Volkgeist) (Bodenheimer, 1962: 71). Nilai ini menjiwai, melandasi, memancarkan jatidiri (identitas) dan memandu tatanan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan (utamanya bidang hukum nasional, politik dan sosial ekonomi). Karena itu pula nilai demikian menjadi sumber motivasi dan cita nasional untuk menegakkan identitas nasional, bahkan supremasi nasional (bangsa negara). 
Adalah kodrat sosial budaya umat insan untuk berjuang berebut supremasi (kelebihan); balasannya secara alamiah, sosial kultural terjadi dinamika dan persaingan yang mampu juga menimbulkan konflik; bahkan perang antar negara!
Bagaimana manusia dan bangsa-bangsa dapat hidup dalam semangat persahabatan, perdamaian dan kerjasama demi kemerdekaan, keadilan dan kemakmuran umat insan. Demi tujuan luhur demikian, manusia wajib saling mengerti antar nilai (filsafat negara, ideologi negara), antar budaya bahkan juga antar kepentingan dan kebutuhan ekonomi mereka. Bagian dari penghayatan nilai demikian, perlu dikembangkan pengetahuan multi budaya; lebih mendasar dan komprehensif: wawasan manusia dan wawasan budaya (human and cultural concept).
II. POKOK-POKOK AJARAN FILSAFAT PANCASILA
Memahami, membandingkan dan menghayati kandungan nilai filsafat Pancasila, kita bersyukur mewarisi nilai dan pemikiran filsafat Pancasila selaku bagian dari metode filsafat Timur. Karenanya, identitas dan integritas Pancasila selaku metode filsafat memancarkan integritas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religius. Identitas dan integritas demikian memancarkan kelebihan dibandingkan aneka macam metode filsafat yang lain, yang beridentitas: polytheisme, monotheisme, sekularisme, pantheisme hingga atheisme dalam banyak sekali anutan mirip: theokratisme, zionisme, kapitalisme-liberalisme; marxisme-komunisme-atheisme, sosialisme; fundamentalisme  dan Pancasila.
Integritas mendasar ajaran filsafat Pancasila secara ringkas terlukis dalam denah 4 dengan klarifikasi ringkas berikut: 
skema 1
Klarifikasi pokok-pokok aliran filsafat Pancasila
1. T = Abstraksi makna dan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kita yakini sebagai Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha Berdaulat, Maha Pengatur dan Maha Pengayom semesta. Dalam kedaulatan Maha Pencipta, kesemestaan berkembang dalam harmoni dan kesejahteraan berkat pengayoman infinit Yang Maha Berdaulat melalui ikatan fungsional-integral-universal (imperatif, mutlak) dalam tatanan aturan:
a. hukum alam; yang bersifat obyektif, fisis, kausalitas, mutlak, kekal, dan universal; dan
b. aturan sopan santun yang bersifat obyektif‑subyektif, psiko‑fisis, sosial‑subyektif, mutlak, teleologis, baka dan universal tercermin dalam budinurani dan kesadaran keagamaan
2. AS = simbolik alam semesta, makro‑kosmos yang mencakup realitas eksistensial‑fenomenal dan tidak terbatas dalam eksistensi ruang dan waktu selaku prakondisi dan prawahana kehidupan semua makhluk (tanaman, fauna, insan dsb). Alam semesta menjamin kehidupan semua makhluk, lewat tersedianya: cahaya sebagai energi; udara, air, tanah, tambang, tumbuhan dan fauna. Semuanya menjamin kehidupan dan berkembangnya kebudayaan dan peradaban. 
3. SM = Subyek Manusia sebagai umat manusia keseluruhan di bumi. Subyek manusia dengan peluangdan martabat kepribadiannya mengemban amanat Ketuhanan (keberagamaan), kebudayaan dan peradaban berwujud kesadaran hak asasi insan (HAM) dan kewajiban asasi insan (KAM). Penghayatan dan pengamalan manusia atas HAM secara normatif menurut asas keseimbangan HAM dan KAM demi keserasian dan kemakmuran jasmaniah-rokhaniah, dunia dan akhirat.
4. SB = Sistem Budaya, selaku prestasi cipta‑karya insan, wahana komunikasi, perwujudan potensi martabat kepribadian insan, berpuncak sebagai peradaban dan akhlak!
Sistem budaya warisan sosio‑budaya: setempat, nasional dan universal, sebagai pancaran kesempatankeunggulan martabat manusia.
5. SK = Sistem Kenegaraan sebagai perwujudan dan prestasi usaha dan cita nasional; kemerdekaan dan kedaulatan bangsa; sentra kesetiaan dan kebanggaan nasional warga negara. 
Sistem kenegaraan sebagai pusat dan puncak kelembagaan dan kepemimpinan nasional, sentra kesetiaan dan dedikasi warga negara. SK sebagai pengurus kemakmuran rakyat warga negara; penegak kedaulatan dan keadilan; dan sentra kelembagaan dan kepemimpinan nasional dalam fungsi pengayoman rakyat warga negara dan penduduk. SK meningkat dalam kejayaan berkat integritas insan waga negara dengan menegakkan kemerdekaan, kedaulatan, keadilan demi kemakmuran dan perdamaian antar bangsa dalam semangat kerjasama umat insan. 
6. P = Pribadi, subyek manusia mampu berdiri diatas kaki sendiri yang berkembang (eksklusif, berkeluarga, berkarya, berkebajikan) dalam asas dan wawasan horizontal dan vertikal (selaku fungsi kerokhanian dan susila martabat manusia). P meningkat dan mengabdi dalam antar relasi diagonal: (antar AS – SM – SB – SK) dan vertikal sebagai subyek mampu berdiri diatas kaki sendiri dalam klasifikasi integritas subyek budaya dan subyek susila……yang terus berkembangsecara spiritual (teleologis), dengan memancarkan cinta dan kebajikan dalam proses menuju Tuhan dan keabadian. 
Secara filosofis-ideologis dan konstitusional essensi pedoman filsafat akhlak Pancasila, berpedoman kepada Undang-Undang Dasar 45 seutuhnya, terutama Pembukaan dan pasal 29. 
Lukisan dalam penjelasan skematis di atas, sebagai kandungan fundamental sistem filsafat Pancasila memancarkan integritas-identitas martabatnya selaku sistem filsafat theisme-religious (monotheisme-religious) yang unggul dan luhur alasannya sesuai dengan kodrat martabat kepribadian insan. 
Uraian ringkas pokok-pokok anutan tata cara filsafat Pancasila di atas, diakui selaku suatu alternatif aliran, yang mampu dikembangkan oleh para ahli demi pengayaan khanasah kepustakaan sistem filsafat Pancasila.
III. AJARAN HAM BERDASARKAN FILSAFAT PANCASILA 
Sistem filsafat Pancasila diakui sebagai bab dari ajaran sistem filsafat Timur, yang secara kodrati mempunyai integritas dan identitas sebagai tata cara filsafat theisme-religious; dan monotheisme-religious. Karenanya, identitas martabatnya yang demikian secara intrinsik dan fungsional memancarkan integritas pedoman yang mengakui potensi martabat kepribadian manusia, sebagai terpancar dalam integritas jasmani-rokhani. Integritas dan martabat manusia yang luhur memancarkan peluangunggul dan mulia, sebagai makhluk mulia ciptaan Allah Yang Maha Kuasa). Kemuliaan martabat insan yakni kesadaran keharusan asasi untuk menunaikan amanat Ketuhanan dalam peradaban.
Berdasarkan asas dan wawasan tata cara filsafat demikian, maka filsafat Pancasila mengajarkan asas-asas fundamental Ketuhanan dan kemanusiaan selaku inti ajaran budbahasa; yang mampu dianalisis secara normatif menunjukkan kedudukan yang tinggi dan mulia atas kedudukan dan martabat insan (sila I dan II). Karenanya pemikiran HAM berdasarkan Pancasila memancarkan asas normatif theisme-religious: 
1. bahwa HAM ialah karunia dan anugerah Maha Pencipta (sila I dan II); sekaligus amanat untuk dicicipi dan disyukuri oleh umat manusia.
2. bahwa menegakkan HAM senantiasa berdasarkan asas keseimbangan dengan kewajiban asasi manusia (KAM). Artinya, HAM akan tegak cuma berkat (umat) manusia menunaikan KAM sebagai amanat Maha Pencipta.
3. kewajiban asasi insan (KAM) berdasarkan filsafat Pancasila, yaitu:
a. manusia wajib mengakui sumber (HAM: life, liberty, property) yaitu Tuhan Maha Pencipta (sila I).
b. insan wajib mengakui dan mendapatkan kedaulatan Maha Pencipta atas semesta, termasuk atas nasib dan takdir insan; dan
c. insan wajib berterima kasih dan berkhidmat terhadap Maha Pencipta, atas anugerah dan amanat yang dipercayakan terhadap (kepribadian) insan.
Tegaknya ajaran HAM ditentukan oleh tegaknya asas keseimbangan HAM dan KAM; sekaligus selaku integritas martabat etika insan.
Sebagai manusia percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kita juga bersyukur atas peluangjasmani-rokhani, dan martabat unggul, agung dan mulia manusia berkat anugerah kerokhaniannya —sebagai terpancar dari nalar-budinuraninya selaku subyek budaya (tergolong subyek aturan) dan subyek moral. (M. Noor Syam 2007: 147-160). 
Berdasarkan ajaran sebuah metode filsafat, maka pengetahuan insan (termasuk wawasan nasional) atas martabat insan, memutuskan bagaimana metode kenegaraan ditegakkan; sebagaimana bangsa Indonesia menetapkan NKRI sebagai negara berkedaulatan rakyat dan negara hukum. Kedua asas fundamental ini memancarkan identitas dan keunggulan metode kenegaraan RI menurut Pancasila – Undang-Undang Dasar 45.
Ajaran luhur filsafat Pancasila memancarkan identitas theisme-religious selaku keunggulan sistem filsafat Pancasila dan filsafat Timur lazimnya sebab sesuai dengan kesempatanmartabat dan integritas kepribadian insan
IV. WAWASAN MANUSIA 
Diharapkan semua pribadi manusia mempunyai kesadaran (doktrin, pujian) atas potensi dan martabat kepribadian manusia yang unggul, agung dan mulia sebagaimana diisyaratkan oleh Maha Pencipta. Penghayatan demikian memperlihatkan pengetahuan insan yang benar secara filosofis dan religious bukan cuma secara psikologis atau ilmiah. Menghayati wawasan insan secara valid, akan menawarkan kesadaran untuk dengan sungguh-sungguh menghargai (respectful) atas martabat insan. Penghargaan demikian menjamin integritas kepribadian insan baik untuk dirinya maupun untuk insan lain!
Sebagaimana eksklusif mengetahui diri sendiri (self-concept), sebagai landasan mengerti peluangkepribadian dan manusia lain; maka pengetahuan manusia (human concept) ialah modal dasar untuk membuatkan kepribadian (mampu berdiri diatas kaki sendiri, berbudi) dalam rangka nation and character building. Kemudian, manusia dengan kesempatankeunggulan membuatkan sistem budaya (cultural system) selaku cipta-karya manusia; berpuncak dengan peradaban (civilization; tergolong moral) yang memancarkan martabat kepribadian dan mental kerokhanian insan, selaku nilai beradab dan bermoral! 
A. Konsep Diri 
Guna memahami wawasan manusia, secara skematis dapat dicermati bagan berikut:
KONSEP DIRI DAN WAWASAN MANUSIA
denah 2
Penjelasan:
Lukisan denah ini mengandung makna dan nilai mendasar: 
1. Menghayati alam (ALH-SDA) sebagai anugerah dan amanat Maha Pencipta; akhirnya manusia wajib mencintai, menikmati dan bertanggungjawab atas kelestariannya.
2. Menghayati nilai budaya selaku cipta-karya dan prestasi serta identitas bangsa-bangsa; sebagai juga cipta-karya langsung sebagai amal kebajikan.
3. Menghayati: saling pengertian dan penuh hormat antar sesama; bersyukur atas martabat unggul dan mulia insan dengan memancarkan martabat insan: kebijaksanaan, cinta dan kebajikan sebagai pancaran tabiat dan perilaku khidmat atas anugerah, amanat dan kedaulatan Maha Pencipta. 
Sesungguhnya nilai dan fungsi yang tersurat dan tersirat dalam skema 2, diputuskan juga oleh kesadaran fungsional aneka macam unsur (alamiah, natural) sebagai terlukis dalam bagan 3. 
skema 3
B. Wawasan Budaya dan Suprabudaya
Tiap bangsa memiliki dan mewarisi nilai sosio budaya yang terbentuk sebagai transformasi nilai (potensi) SDM dengan ALH-SDA, utamanya Volkgeist dan ekosistem. Artinya, potensi kepribadian, mulai sosio-psikologis berafiliasi (dalam dinamika dan tantangan) dengan ALH-SDA (ekosistem) membentuk sistem budaya (lokal, nasional) kemudian berkembang kuantitatif-kualitatif selaku peradaban atau nilai budaya universal (MNS 1983; 1988: 23 – 30; 59 – 85; 378-380).
Sebelum menghayati dan menikmati (nilai) pengetahuan budaya (= cultural concept) manusia sebetulnya secara alamiah (natural concept) sepenuhnya tergantung (hidupnya) dengan alam dan hukum alam (dalam bagan 3: ada 7 bagian alam sebagai prakondisi kehidupan insan). Berkat peluangdan martabat insan (unggul dan mulia) dikembangkanlah ke-7 komponen ALH-SDA dimaksud menjadi cipta-karya = budaya dan peradaban (culture and civilization) yang memancarkan prestasi (keunggulan), integritas (keluhuran, kemuliaan) martabat insan. 
Berdasarkan analisis psikologis dan filosofis kesempatanunggul dan mulia itu terpancar dari integritas jasmani rokhani dengan penghayatan nilai mendasar martabat manusia selaku pancaran integritas-moralitas berwujud: logika dan budinurani manusia yang aktualisasinya: saling pengertian, menghargai, berhubungan, cinta dan kebajikan. 
Wawasan budaya ialah kesadaran manusia atas peluangcipta-karya (dari nalar-kecerdikan), terutama berwujud: berbagai komponen nilai budaya, seperti: bahasa, adat, nilai, norma, aturan, tatanan dan kelembagaan sosial, termasuk ipteks. Semuanya dikembangkan dari bagian natural (non-budaya), adalah 7 unsur dasar ALH-SDA. Artinya, manusia berbudaya dan berperadaban berkat tersedianya secara memadai ke-7 komponen ALH-SDA di atas. Sebaliknya, tanpa ke-7 unsur ALH-SDA itu, umat manusia bukan saja tidak mampu membuat budaya; melainkan, bahkan mustahil dapat hidup layak!
Nilai dan makna berbudaya, dan beradab….. utamanya ialah bagaimana kualitas penghayatan kesadaran subyek insan atas nilai fundamental (vital, fungsional) nilai natural (non-budaya). Juga, insan wajib menghayati ketergantungan hidupnya dengan ALH-SDA selaku bagian dari ikatan hukum alam (kausalitas) secara universal. Penghayatan kesadaran demikian ialah landasan (berpeluang) penghayatan kesadaran sosial dan kesadaran kultural; sebagai wujud subyek beradab atau kualitas manusia selaku subyek adab! Kaprikornus, wawasan manusia, secara horisontal meraih penghayatan dan penghargaan atas nilai kemanusiaan insan sebagai super value (Bodenheimer 1962: 143); atau selaku mendasar rights and freedom as highest value as legal dan sebagai: respect to central human values (Murphy & Coleman 1996: 22; 37). Maka langsung insan demikian senantiasa mampu menghargai sesama manusia dan nilai natural selaku prakondisi dan materi baku penciptaan budaya (setempat, nasional). 
Setiap negara senantiasa menegakkan metode kenegaraan yang dijiwai dan dilandasi tata cara filsafat negaranya; dan dididikkan selaku pewarisan terhadap generasi penerus melalui pendidikan civics (CCE 1994: 24-25; 53-55) di Indonesia terkenal sebagai PPKn.
Berdasarkan pengetahuan budaya demikian, berkembanglah pengetahuan multibudaya (lintas budaya) selaku sisi eksternal dari pengetahuan horisontal sesama manusia; bahwa ada banyak sekali suku, bangsa dan ras insan dengan berbagai kuantitas-mutu kebudayaan masing-masing. Keberadaan semua mereka yaitu fenomena eksistensial martabat kemanusiaan; selaku wujud peradaban dalam integritas akhlak kepribadian insan dengan wawasan integral universal. 
Kesadaran penghayatan nilai non-budaya, meningkat selaku penghayatan budaya (lokal, nasional, universal atau multikultural) barulah penghayatan kepribadian manusia dalam mutu horisontal. Kesadaran penghayatan martabat kepribadian manusia yang unggul dan mulia tidak cukup bersifat kuantitas-kualitas horisontal saja misal: cuma menghargai budaya dan ipteks selaku cipta karya insan unggul; melainkan manusia sesuai peluangkodrati (integritas martabat insan) selaku subyek mandiri dengan kelebihan dan kemuliaan kerokhaniannya, bisa meraih, menghayati dan menikmati nilai-nilai suprabudaya (yang adanya di luar cipta-karya insan) yakni: kepribadian manusia sendiri (sebagai supervalue), nilai agama dan berpuncak nilai Ketuhanan (yang diyakini sebagai Maha Pencipta, Yang Maha Berdaulat yang mengayomi semesta dalam Kedaulatannya, melalui nilai hukum alam dan aturan moral menurut konsepsi atau fatwa agama menurut zamannya).
Bagaimana pengetahuan insan dalam mengetahui dan menghargai martabat manusia: perhatikan: konsepsi HAM kebanyakan; utamanya HAM berdasarkan filsafat Pancasila, yang menegakkan asas keseimbangan HAM dan KAM (MNS 2000: 85 – 98); vide: sketsa terlampir. Bandingkan dengan pemikiran HAM baik menurut teori Natural Law maupun teori Hegel. Kaprikornus, wawasan insan wajar dimaknai dan dihayati dalam integritas dan kualitas nilai integral: nilai nonbudaya (natural), nilai budaya (kultural) dan nilai suprabudaya (suprakultural). 
Secara teoretis ilmiah ketiga tingkat pengetahuan di atas belum dihayati oleh masyarakat terdidik sekalipun; akibatnya terjadi kecenderungan pemujaan manusia terhadap ipteks sebagai bagian secara umum dikuasai dalam konsepsi budaya. Artinya, insan belum menghayati dan menghargai bagaimana integritas kesemestaan jangkauan dan penghayatan martabat kepribadian manusia yang ideal; sebagaimana juga terlukis dalam skema 3 dan skema 4. Karena itu dengan kerendahan hati, kita seyogyanya memahami dan menghayati makna wawasan manusia (seutuhnya) selaku dimaksud dalam bagan 2, 3 dan 4. Sebagai konsepsi tujuan pendidikan yang lebih komprehensif dan mendasar, maka nilai-nilai mendasar dalam sketsa tersebut dapat dikembangkan secara paedagogis sesuai psikologi kemajuan anak didik. 
Wawasan insan berpuncak dengan penghayatan nilai suprabudaya, yang secara normatif dan psikologis terlukis dalam sketsa 3, berikut:
sketsa 4
Penjelasan:
Skema 3 mengandung 5 bagian nilai mendasar dan fungsional:
1. Potensi kepribadian insan: integritas jasmani-rokhani.
2. Potensi dan fungsi kepribadian (7 kesempatankodrati).
3. Potensi dan martabat kepribadian (5 klasifikasi berpotensi: intelektual, emosional, sosial, spiritual dan watak).
4. Wawasan dan penghayatan nilai: horisontal dan vertikal; dan 
5. Wawasan dan penghayatan integritas kesemestaan universal: fisika-metafisika dalam dimensi ruang dan waktu: praeksistensial, eksistensial (dalam ikatan hukum alam dan aturan moral dalam asas integral-fungsional-universal; memasuki pascaeksistensial (keabadian rokhani manusia di alam posthumous) dalam Pengayoman Yang Maha Berdaulat (Ar Rahman Ar Rahim).
Wawasan integral universal sebagai penghayatan kodrat martabat adab kepribadian insan sebagai amanat tujuan penciptaan manusia selaku : khalifah (Q. 2: 30; 24: 55) dan selaku abdi (Q. 51: 56) Maha Pencipta; demikian essensi pedoman tata cara filsafat Pancasila yang beridentitas theisme-religious (MNS 2000: 37 – 39). SDM bermutu demikian, diakui martabatnya selaku subyek budaya dan subyek moral (MNS 2000: 37-45; 183-189). 
Karenanya, program pendidikan multibudaya sinergis dengan program pendidikan Humaniora.
V. WAWASAN MULTIBUDAYA
Filsafat Pancasila mengajarkan sila II dan sila III; dalam makna bahwa umat manusia dengan potensi martabat Kemanusiaan yang adil dan beradab meliputi pula adanya suatu bangsa (in casu: bangsa Indonesia, dengan asas Persatuan Indonesia = wawasan nasional dan wawasan nusantara dalam integritas NKRI).
Bangsa Indonesia sepenuhnya sadar kebersamaannya dalam kehidupan antrar bangsa (dunia yang damai, dekat dan bekerjasama berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial). Berdasarkan asas kemerdekaan (kebangsaan, kedaulatan, kemandirian) bangsa dan NKRI menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan nasional dalam rangka kehidupan internasional. 
Semangat kebangsaan (wawasan nasional) memiliki arti secara filosofis-ideologis dan konstitusional bahwa integritas Indonesia (budaya lokal dan nasional) ialah bab dari integritas universal internasional (antar bangsa, umat insan dan kemanusiaan). Nilai demikian tersurat dalam istilah Presiden Soekarno: “….mankind is one, dengan makna kemanusiaan ialah tunggal. Artinya, umat insan bersaudara, sekaligus mempunyai integritas kepribadian dan budinurani yang sama sebagai essensi aliran HAM: demi persamaan, kemerdekaan dan keadilan demikian pula (tuntutan, hak) martabat manusia juga sama: kemerdekaan, persamaan, perdamaian, keadilan, kesejahteraan dan persahabatan.
Sesungguhnya asas normatif filosofis filsafat Pancasila mengandung pedoman menghargai manusia selaku ciptaan Tuhan Yang Maha Esa secara universal. Artinya, terkandung makna kita saling menghargai identitas nasional (kemerdekaan dan ideologi masing-masing) termasuk budaya sebagai integritas dan identitasnya.
Sebaliknya, kolonialisme-imperialisme ialah praktek mengingkari HAM, identitas nasional antar bangsa (sebagai dinyatakan Pembukaan Undang-Undang Dasar 45). Karena itu, dunia dan peradaban kala depan akan selalu menegakkan asas-asas kemerdekaan dan keadulatan antar bangsa dan negara dengan segala peluangdan martabat serta identitas masing-masing —selaku terpancar dari metode budaya dan sistem nilai masing-masing—. Kesadaran demikian, adalah wawasan dan praktek penghayatan nilai multibudaya! Bukan hanya kolonialisme-imperialisme, dan politik supremasi serta dominasi oleh negara adikuasa amat bertentangan dengan HAM dan asas multikultural; melainkan juga politik supremasi: ipteks dan budaya, sosial ekonomi. dalam dinamika neo-liberalisme dan postmodernisme yang bermuara selaku praktek neo-imperialisme (!) wajib diwaspadai dan dihadapi oleh bangsa-bangsa yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, kemerdekaan dan peradaban, sebagai tantangan kultural dan etika! 
VI. KESIMPULAN
Dalam kesimpulan ini dapat dirumuskan ajaran alternatif, selaku konsepsi dasar Kebijaksanaan Nasional dalam Strategi Budaya Indonesia menurut asas dan pengetahuan tata cara filsafat Pancasila yang beridentitas theisme-religious, dengan pokok-pokok sebagai berikut:
1. Karsa pengembangan pendidikan IBD hendaknya dilandasi dan dijiwai sistem filsafat (Weltanschauung) selaku asas kerokhanian dan asas akhlak bangsa dan negara untuk menjamin integritas dan identitas nasional.
2. Apresiasi atas sistem budaya dan multi budaya dilandasi pengetahuan insan sebagai pencipta budaya; yang secara fungsional berdasarkan pengetahuan integral horisontal dan vertikal (nilai natural, nilai kultural; dan nilai suprakultural) yang dijiwai filsafat hidup bangsa.
3. Wawasan insan selaku subyek budaya dan subyek adab ialah persepsi hidup manusia yang ditegakkan dalam tatanan peradaban; sebagai fungsi dari visi dan misi (yang diyakini) dalam penciptaan manusia oleh Maha Pencipta.
4. Pendidikan IBD, bahkan pendidikan budaya (tergolong sastra) sebetulnya dijiwai dan berasas normatif filosofis-ideologis dalam menghargai martabat insan selaku makhluk unggul dan mulia yang mengemban amanat atau visi-misi religious (Ketuhanan). Sebaliknya, secara imperatif filosofis-ideologis dan konstitusional wajib (mutlak) dilandasi asas filsafat hidup (filsafat negara dan ideologi negara). Kaprikornus, praktek budaya non-religious, terlebih atheisme, ialah praktek budaya dan “sopan santun” sekularisme dan atheisme (neoliberalisme dan marxisme-komunisme-atheisme)!
5. Pendidikan multi budaya dapat dijadikan modal dasar mendidik wawasan antar insan yang menghargai kemerdekaan, integritas dan martabat insan, martabat bangsa dan negara…..yang berpuncak dengan tantangan atas dinamika neo-liberalisme, pascamodernisme dan neo-imperialisme yang sinergis dengan gerakan kebangkitan neo-PKI (komunis gaya gres/KGB). 
Praktek mereka ialah pelanggaran atas budaya dan tabiat politik dasar negara Pancasila sebagai tata cara filsafat negara Indonesia yang beradab dan bermartabat. Sekedar klarifikasi analisis normatif ini, renungkan dan hayati isi denah 5 (terlampir). Demikian, biar berguna.
B A C A A N
Bodenheimer, Edgar 1962: Jurisprudence the Philosophy and Methode of the Law, Massachusetts, Harvard University Press.
Center for Civic Education 1994: National Standards for Civics and Government, California, Center for Civic Education (CCE). 
Hans Kelsen 1991: General Theory of Norms, Clarendon Press, Oxford.
————— 1973: General Theory of Law and State, New York, Russel & Russel.
Huston Smith, 1985: The Religions of Man, (Agama-Agama Manusia, terjemah oleh: Saafroedin Bahar), Jakarta, PT Midas Surya Grafindo.
Mohammad Noor Syam 1983; 1998: Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya, Usaha Nasional (edisi I; edisi IV).
———————- 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (selaku Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang, Laboratotium Pancasila.
———————– 2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila. 
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
UNO 1988: HUMAN RIGHTS, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New York, Harvard College, University Press.