close

Analisis Akustik Pantun Melayu

Analisis Akustik Pantun Melayu 
1. Pendahuluan
Pantun ialah bentuk puisi Indonesia (Melayu) yang asli dan unik. Pantun merupakan khazanah dalam kehidupan penduduk di Alam Melayu, baik dari segi anutan, kesenian maupun, nilai-nilai sosialnya. Akal akal orang Melayu dapat dilihat dalam pantun yang diungkapkan secara impulsif dengan begitu ringkas dan padat untuk menjana makna yang dalam dan menggerak hati serta lukisan rasa yang indah yang berhubungan dengan unsur-komponen alam.
Pantun ialah kesusastraan Melayu yang terdiri dari kesusastraan verbal dan tulisan. Kesusastraan verbal disebut juga tradisi ekspresi yang muncul dan berkembang seiring dengan masuknya agama Islam ke tempat Deli. Tradisi lisan tersebut berisikan pantun, bidal, tambo dan kobel. Sedangkan tradisi tulisan mencakup gurindam, hikayat, puisi, syair, dan sajak.
Setiap tahap kehidupan manusia Melayu dihiasi oleh pantun mulai dari dalam buaian sampai ke alam percintaan. Pantun wujud dalam pelbagai bentuk dan tampang. Jenis-jenis pantun terdiri dari pantun percintaan, pantun jenaka, pantun akad nikah, dan sebagainya. Genre ini menduduki daerah yang penting dalam kehidupan masyarakat Melayu. Dapat dikatakan bahwa pantun yaitu genre yang tersebar luas. Di Alam Melayu, bentuk ini hidup subur dalam sekitar 30 bahasa dan dalam 35 dialek Melayu. Diantara berbagai jenis pantun tersebut, pantun jenaka merupakan kajian yang dianalisis menurut ciri-ciri akustiknya.
Kehadiran pantun di Eropah dan Amerika sudah menarik minatpenyair-penyair sampai mengakibatkan timbulnya genre pantoum dalam kesusasteraan Barat mulai abad ke-19. Kini pantun sudah banyak dikaji di dalam dan di luar bidang sastera alam Melayu dan juga di luarnya. Pantun terus dikaji di pusat-pusat Pengkajian Melayu dan di dalam bentuk pelatihan-seminar. 
Sugiono (2003) menyampaikan berapapun jumlah kajian yang telah dilaksanakan terhadap bahasa-bahasa di Indonesia, mampu ditentukan bahwa kajian-kajian itu belum mencakupi seluruh kajian bahasa dengan proporsi yang bagus. Dengan berbagai alasan, kajian kepada bahasa ekspresi dari aspek fonetik, amat ”sungguh kurang”. Padahal, disadari atau tidak, keadaan mirip itu tidaklah menguntungkan, baik bagi kodifikasi bahasa-bahasa di Indonesia maupun bagi perkembangan pengajaran bahasa dan linguistik di Indonesia.
Kajian terhadap tatabahasa mulut tidak sempurna kalau tidak memfokuskan kajian pada faktor-faktor kelisanan bahasa tersebut. Dapat disangka bahwa eksploitasi akustik kepada simbol-simbol bahasa pasti banyak terjadi alasannya adalah justru dari ciri-ciri akustik simbol itulah penutur bahasa yang bersangkutan dapat mengekspresikan makna tuturannya secara sempurna. Dengan kata lain, esensi bahasa ekspresi yakni tanda-tanda akustik yang ialah realisasi faktor semantis baik dalam tataran suara atau segmen tunggal, kata, kalimat, maupun tataran yang lebih tinggi.
Awalnya suara hanya dikaji secara segmental dan sedikit suprasegmental, tetapi sesudah berkembangnya observasi yang mengkaji bidang fonetik maka bunyi bahasa dapat diukur dengan lebih canggih. Pada kajian lain tentang bunyi suprasegmental pada bahasa Indonesia pun masih meninggalkan pertanyaan, sejauh mana bunyi bahasa atau intonasi dapat diukur dengan lebih sempurna dan mutakhir?
Pertanyaan diatas sudah diberikan jawabannya oleh Sugiyono (2003) dalam observasi disertasinya yang berjudul: Pemarkah Prosodik Kontras Deklaratif Dan Interogatif Bahasa Melayu Kutai. Menurut pernyataan yang dikutip dia, pendekatan fonetik menurut pendekatan instrumental ialah fonetik eksperimental. Pendekatan ini memperluas kajian fonetik dan mengubah pandangan orang tentang kajian fonetik. Sugiyono dalam kajiannya memaparkan Speech Chain (rantai ujaran) yang dipopulerkan oleh Denes dan Pinson (1963) yang menyatakan bahwa ada tiga tataran dasar yang mesti dilalui suatu pesan ekspresi sampai hingga ke pengertian mitra tuturnya dalam sebuah dialog. Ketiga tataran tersebut ialah tataran linguistik, tataran fisiologis, dan tataran akustik.
Tataran linguistik yang dikaji yaitu tataran akustik. Dalam tataran akustik diterangkan bagaimana bunyi-suara bahasa dibuat dengan menggunakan parameter-parameter artikulatoris. Bagaimana suara dan bunyi apa yang kita dengar akan sungguh tergantung kepada struktur akustik suara itu. Dalam analisis ini akan dibahas ciri-ciri akustik pantun jenaka Melayu. Pembahasan ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :
1. Bagaimanakah durasi pantun jenaka Melayu dalam frasa, kata, dan sillabel?
2. Bagaimanakah frekuensi pantun jenaka Melayu?
Pada setiap ilmu terdapat tujuan untuk mampu mengukur hal-hal yang dideskripsikan sehingga hal-hal itu mampu dinyatakan dalam angka-angka yang sahih, ahli, dan signifikan. Angka yang asli yaitu angka yang benar-benar mengukur hal yang dibilang diukur. Kaprikornus Pembahasan frekuensi dan durasi cakupannya terbatas cuma pada tataran kualitatif dengan mengabaikan perhitungan statistik. Dengan kata lain, ciri-ciri akustik yang dibahas sungguh sederhana.
Yang menjadi tujuan dalam analisis akustik ini adalah selaku berikut :
1. untuk mendeskripsikan dan menggambarkan durasi pantun jenaka Melayu.
2. untuk mendeskripsikan dan menggambarkan frekuensi pantun jenaka Melayu.
2. Kerangka Teori
2.1 Fonologi dan Fonetik 
Lass (1984) mengatakan secara garis besar, fonologi ialah suatu sub-disiplin dalam ilmu bahasa atau linguistik yang membicarakan perihal ’suara bahasa’. Lebih sempit lagi, fonologi murni membicarakan perihal fungsi, perilaku serta organisasi bunyi selaku unsur-bagian linguistik; berlawanan dengan fonetik yang berupa kajian yang agak lebih netral kepada bunyi-suara sebagai fenomena dalam dunia fisik dan unsur-komponen fisiologikal, anatomikal, neurologikal, dan psikologikal insan yang menciptakan suara-suara itu. Sugiono (2003) mengatakan fonologi membahas prosodi selaku sistem suara bahasa, sedangkan fonetik memperlakukan prosodi sebagai tanda-tanda fisik yang merupakan bagian dari tindak tutur atau mampu juga dibilang bahwa fonetik mengkaji bunyi pada tataran permukaan yaitu tataran yang mencerminkan insiden artikulasi, akustis, dan perseptual. Fonologi, adalah ’linguistik’, dalam pengertian bahwa sintaksis, morfologi, dan hingga tingkat tertentu, semantik juga linguistik; sedangkan fonetik berangsur-angsur berubah dalam berbagai hal menuju ke neurologi, psikologi perseptual, akustik, dsb.
2.2 Pendekatan Fonetik (Eksperimental dan Impresionistik)
Pendekatan fonetik dalam memperlakukan objeknya mampu dibentuk dengan dua pendekatan yaitu pendekatan eksperimental dan pendekatan impresionistik atau disebut juga pendekatan auditoris dan pendekatan instrumental. 
Meskipun terang bahwa objek fonetik ialah gejala akustik yang konkrit, pengusutan atas objek itu semula cuma mampu dilaksanakan dengan mengandalkan impresi ahli fonetik. Identifikasi dan analis kepada objek suara yang dikaji didasarkan sepenuhnya pada kesanggupan telinga, pandangan, dan kesadaran akan aktivitas organ tuturnya sendiri ketika suatu suara diujarkan.
Dalam berbicara, jika sebuah kata diucapkan dengan sangat cepat maka ucapan itu berlalu begitu saja. Jika kita ingin menganalisisnya lebih mendalam, maka kata-kata tersebut harus diulang pengucapannya, dengan resiko suara-suara yang kita ucapkan itu akan berbeda dengan pengucapan pertama. Perbedaan itu terjadi pada tekanan, panjang-pendeknya bunyi, tinggi rendahnya bunyi dan lain sebagainya.
Rangkaian ujaran (Speech Chain) dimulai dengan pembentukan ucapan-ucapan dalam otak penutur, apakah itu frasa, kata, maupun kalimat. Kemudian syaraf motoris dalam otak memerintahkan alat ucap untuk mengucapkan tuturan yang direalisasikan dalam gelombang suara yang lalu hingga ke indera pendengaran pendengar dan diterima syaraf indera pendengaran dan diteruskan lagi ke otak untuk diinterpretasi. Ketika pesan ada dalam otak, hal ini menyangkut tataran fisiologis, dan ketika pesan berada diluar alat ucap, hal ini menyangkut tataran akustik. Dengan demikian kajian fonetik akustik ialah bidang fonetik eksperimental.
Dalam fonetik eksperimental diketahui adanya frekuensi, durasi, dan intensitas. Frekuensi diukur dengan berapa banyak gelombang yang terdapat dalam satu detik. Gelombang disebut juga siklus, jadi jumlah siklus diukur dalam satu detik. Durasi adalah waktu yang diperlukan untuk satu gelombang, disebut periode, jadi jumlah durasi diukur dalam era. Intensitas berafiliasi dengan amplitudo, ialah simpang getar antara puncak gelombang dengan sumbu X. Dalam hal ini amplitudo menyangkut kenyaringan suara Sehingga dikaitkan dengan tenaga yang diharapkan ketika mengucapkan suara. Semakin besar tenaga yang dikeluarkan semakin nyaring bunyi yang didengar.
Frekuensi suara diukur dengan satuan Hertz yang disingkat dengan Hz, satu Hz sama dengan satu siklus dalam satu detik, sedangkan durasi atau periode dijumlah dengan milidetik, disingkat md. Intensitas dihitung dengan satuan desibel disingkat dB. Masing-masing pengukuran dinyatakan dalam rumus: F = 1/T, T = 1/F, I = 10 (LOG(IA/IB)).
3. Metodologi
3.1 Instrumen 
Instrumen yang dipakai dalam mengumpulkan data ialah dengan merekam responden atau informan dengan memakai program Praat. Dalam merekam data tuturan, ada beberapa cara yang dapat digunakan, mirip perekaman dengan komputer, perekam DAT (digital audio tape) atau CD (compact disk), perekam konvensional analog, dan sebagainya. 
Ada banyak peranti lunak komputer yang digunakan untuk menganalisis akustik, contohnya CSRE (Computerized Speech Research Environment, Cecil (Speech Analysis), dan Praat. Dalam analisis ini penulis menggunakakan acara Praat versi 4.1.07 selaku alat bantu dalam analisis akustik karena program Prat ini lebih terkenal di tempat Asia dan merupakan program yang sangat sederhana. Data yang hendak dianalisis direkam dalam bentuk digital. Perekaman dengan komputer akan memperoleh data dalam bentuk digital.
3.2 Responden/Informan
Suara responden yang direkam ialah penutur asli bahasa Melayu dengan keterangan selaku berikut :
Nama : Putri Ayu Erwita
Usia : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jalan Polonia Gang A No. 31A, Medan
3.3 Tehnik Analisis Data
Data yang telah direkam dianalisis dengan menggunakan tehnik berikut :
1. memasukkan data ke komputer dengan acara PRATT
2. mengekstrak bagian-bagian data yang tidak diharapkan
3. segmentasi phrasa, kata, dan silabel
4. mengekstrak durasi dan frekuensi
5. menyimpulkan
4. Data dan Analisis Data
Sebelum menganalisis data akustik dengan program Pratt, langkah yang pertama sekali dijalankan ialah memasukkan data ke komputer. Yang menjadi data analisis dalam tulisan ini adalah PANTUN JENAKA MELAYU yang isinya seperti berikut : 
Dibalik Pulau Ombak Menggulung
Lautnya Tenang Selat Melaka
Kakak Terpukau Memandang Bingung
Melihat Nenek Bersepatu Roda
Pantun tersebut di atas terdiri dari bait dan larik. Tiap bait (kuplet) terdiri atas empat baris yang bersajak (a-b-a-b) dan tiap larik umumnya terdiri atas empat kata, baris pertama dan baris kedua umumnya untuk tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan keempat ialah isi. 
Setelah data direkam melalui acara PRATT ke dalam komputer, maka data hasil rekaman tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut :
Gambar 1 : Jendela Teksgrid Rekaman Pantun Jenaka Melayu
Langkah kedua yaitu mengekstrak hasil rekaman tersebut. Hal ini bertujuan untuk mencampakkan bab-bab yang tidak diharapkan, bukan mengekstrak bagian yang dibutuhkan. Hasil data yang sudah diekstrak (higienis dari bagian-bagian yang tidak diperlukan) mampu dilihat dalam gambar 2 berikut :
Gambar 2. : Jendela Teksgrid Rekaman Pantun yang sudah diekstrak
Langkah berikutnya adalah menandai batasan satuan analisis yang sudah ditentukan, dalam hal ini penandaan berupa segmen-segmen silabel, kata, dan frasa.
Total durasi pantun jenaka Melayu pada Frasa adalah 7,498/detik seperti dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 1. Hasil Durasi Frasa Pantun Jenaka Melayu
No
Frasa
Durasi/detik
1
Dibalik Pulau Ombak Menggulung
2,040
2
Lautnya Tenang Selat Melaka
1,757
3
Kakak Terpukau Memandang Bingung
1,688
4
Melihat Nenek Bersepatu Roda
2,013
Total
7,498
Durasi tertinggi terdapat pada phrasa pertama Dibalik pulau ombak menggulung. Hasil segmentasi yang oleh acara Praat disimpan dalam fail Textgrid berisi durasi total turunan yaitu 2,040 detik. File Textgrid yang dibuka dalam MS-Word atau Notepad akan memperlihatkan isu durasi phrase tertinggi selaku berikut. 
File type = “ooTextFile”
Object class = “TextGrid”
xmin = 0
xmax = 2.040079946752674
tiers?
size = 2
item []:
    item [1]:
        class = “IntervalTier”
        name = “phrasa”
        xmin = 0
        xmax = 2.040079946752674
        intervals: size = 1
        intervals [1]:
            xmin = 0
            xmax = 2.040079946752674
            text = “di balik pulau ombak menggulung”
    item [2]:
        class = “IntervalTier”
        name = “1”
        xmin = 0
        xmax = 2.040079946752674
        intervals: size = 1
        intervals [1]:
            xmin = 0
            xmax = 2.040079946752674
            text = “”

Segmentasi durasi phrasa yang tertinggi, ditampilkan dalam jendela Textgrid seperti gambar 3 berikut :
Gambar. 3. Segmentasi Durasi Phrasa Tertinggi
Durasi terendah terdapat pada phrasa ketiga Kakak terpukau menatap bingung, ialah 1,688 detik. Segmentasi durasi phrasa yang paling rendah, ditampilkan dalam jendela Textgrid seperti gambar 4 berikut :
Gambar. 4. Segmentasi Durasi Phrasa Terendah
Total durasi kata Pantun jenaka Melayu dalam analisis ini berisikan 17 kata dengan durasi selaku berikut: 
Tabel 2. Hasil Durasi Kata Pantun Jenaka Melayu
No
Kata
Durasi/detik
1
Di
0,189
2
Balik
0,335
3
Pulau
0,593
4
Ombak
0,388
5
Menggulung
0,709
6
Lautnya
0,585
7
Tenang
0,476
8
Selat
0,245
9
Melaka
0,419
10
Kakak
0,293
11
Terpukau
0,710
12
Memandang
0,484
13
Bingung
0,304
14
Melihat
0,327
15
Nenek
0,372
16
Bersepatu
0,624
17
Roda
0,600
Durasi tertinggi terdapat pada kata ke-11 terpukau. Hasil segmentasi yang oleh acara Praat disimpan dalam fail Textgrid berisi durasi total turunan adalah 0,710 detik. Segmentasi kata yang tertinggi ditampilkan dalam jendela Textgrid berikut :
Gambar. 5. Segmentasi Durasi Kata Tertinggi
Durasi paling rendah terdapat pada kata pertama di, ialah 0,189 detik. Segmentasi kata yang paling rendah ditampilkan dalam jendela Textgrid mirip gambar berikut :
Gambar. 6. Segmentasi Durasi Kata Terendah
Kemudian hasil analisis durasi pantun jenaka Melayu pada silabel yaitu sebagai berikut :
Tabel 3. Hasil Durasi Silabel Pantun Jenaka Melayu
No
Syllabel
Durasi/detik
1
di
0,159
2
ba
0,126
3
lik
0,190
4
pu
0,164
5
lau
0,386
6
om
0,213
7
kolam
0,234
8
meng
0,232
9
gu
0,164
10
lung
0,290
11
la
0,202
12
ut
0,202
13
nya
0,249
14
te
0,173
15
nang
0,303
16
se
0,287
17
lat
0,143
18
me
0,122
19
la
0,144
20
ka
0,188
21
ka
0,149
22
kak
0,126
23
ter
0,145
24
pu
0,139
25
kamu
0,227
26
me
0,149
27
man
0,160
28
dang
0,143
29
bi
0,185
30
ngung
0,266
31
me
0,092
32
li
0,031
33
hat
0,146
34
ne
0,199
35
nek
0,239
36
ber
0,112
37
se
0,076
38
pa
0,068
39
tu
0,145
40
ro
0,219
41
da
0,182
Tabel 3 menunjukkan bahwa durasi tertinggi terdapat pada silabel –lau dalam kata pulau. Hasil segmentasi yang oleh program Praat disimpan dalam fail Textgrid berisi durasi total turunan yakni 0,386 detik yang ditampilkan dalam jendela Textgrid .
Gambar 7. Jendela Textgrid Silabel Tertinggi
Durasi silabel terendah terdapat pada silabel di ialah 0,159 detik. Segmentasi silabel yang terendah ditampilkan dalam jendela Textgrid mirip gambar berikut :
Gambar 8. Jendela Textgrid Silabel Terendah
Analisis selanjutnya dikerjakan pada frekuensi. Frekuensi bunyi Pantun Jenaka Melayu diukur dengan satuan Hertz (nama terakhir fisikawan Jerman kurun 19, Heinrich Hertz) yang diberi lambang Hz. Lapoliwa (1988) mengatakan bahwa secara teknis pengukuran frekuensi dalam Hz bukanlah ukuran yang sahih untuk tingi nada kalau kita tidak mampu menunjukkan bahwa ukuran frekuensi bekerjasama dengan cara insan tanggap kepada tinggi nada. Ukuran yang jago tidak bergantung terhadap prosedur pengukuran yang dipergunakan. Makara ukuran frekuensi yang hebat tidak akan bergantung terhadap apakah angka itu merupakan hasil pengukuran gelombang atau hasil alat pengukur tinggi nada tertentu. Jika kita mampu menyatakan secara statistik bahwa kemelesetan yang terjadi dalam seratus kali pengukuran peristiwa tertentu lebih besar dari pada satu, maka ukuran itu sangat signifikan. Namun dalam analisis ini penulis memakai statistik deskriptif. Prosedur Statistik Deskriptif dipakai untuk melukiskan dan merangkum observasi yang sudah dilaksanakan (Sudjana, 1989). Dalam hal ini statistik deskriptif cuma untuk memperlihatkan angka-angka yang menggambarkan keadaan populasi adalah distribusi frekuensi.
Frekwensi Pantun Jenaka Melayu yang dianalisis terdiri dari 4 unsur dengan hasil selaku berikut :
1. nada awal : 247.5 Hz 
  1. nada tamat : 233.7 Hz 
  2. nada rendah : 108.0 Hz 
  3. nada tinggi : 591.0 Hz 
  Pemahaman Distribusi Semilangsung
Keempat jenis frekuensi Pantun Jenaka Melayu tersebut diatas dapat dilihat dengan tanda bundar kecil warna merah dalam jendela Textgrid sebagai berikut :
Gambar 9. Jendela Textgrid Segmentasi Frekuensi Nada Awal : 247.5 Hz
Gambar 10. Jendela Textgrid Segmentasi Frekuensi Nada Akhir : 233.7 Hz
Gambar 11. Jendela Textgrid Segmentasi Frekuensi Nada Rendah : 108.0 Hz
Gambar 12. Jendela Textgrid Segmentasi Frekuensi Nada Tinggi : 591.0 Hz
Frekuensi tertinggi pantun jenaka Melayu dalam gambar manipulasi yaitu pada puncak nada yang terdapat pada kata silabel –kak dalam kata abang, ialah 591.0 Hz. Frekuensi terendah yakni 108.0 Hz pada silabel -kolam pada kata ombak. 
5. Simpulan
1. Durasi tertinggi (2,040 detik) phrasa ’Di balik pulau ombak menggulung’ pada pantun jenaka Melayu berada pada frekuensi nada permulaan dan rendah, sedangkan durasi terendah phrasa ’kakak terpukau menatap galau’ (1,688 detik) berada pada frekuensi nada simpulan dan tinggi.
2. Durasi tertinggi (0,710 detik) kata ’terpukau’ pada pantun jenaka Melayu berada pada frekuensi nada tinggi dan tamat, sedangkan durasi paling rendah kata ’di’ (0,189 detik) terdapat pada frekuensi nada permulaan (247.5 Hz).
3. Durasi tertinggi (0,386 detik) silabel ’lau’ dalam kata ’pulau terdapat pada frekuensi nada permulaan ( 268.3 Hz), sedangkan durasi terendah silabel ’se’ ( 0,076 detik) dalam kata ’sepatu’ terdapat pada frekuensi nada tamat ( 242.8 Hz).
4. Semakin tinggi frekuensi nada awal, semakin rendah frekuensinya nada selesai, dan makin rendah nada permulaan, akan kian tinggi nada akhir.
DAFTAR PUSTAKA
Lapoliwa. Hans. 1988. Pengantar Fonologi I: Fonetik. Jakarta: Depdikbud
Lass, Roger. 1988. Phonology. Australia: Cambridge University Press.
Sugiono. 2003. Pedoman Penelitian Bahasa Lisan: Fonetik Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Sudjana. 1989. Metoda Statistika (edisi ke-5). Bandung: Tarsito