Contoh Makalah Akuntansi Sektor Publik Pengukuran Kinerja Organisasi Pemerintah

Akuntansi Sektor Publik Pengukuran Kinerja Organisasi Pemerintah
BAB 
I PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang 
Pada waktu-waktu terakhir ini semakin dinikmati betapa dibutuhkannya pelayanan publik yang bagus. Kenyatan yang dihadapi dewasa ini pelayanan yang diterima oleh penduduk dari organisasi publik sungguh jelek, dimulai dari pelayanan yang diberikan oleh PT Pos Indonesia yang tidak sesuai sampai pelayanan yang kurang baik yang diterima di pemerintahan daerah. 
Organisasi privat dan publik kini menerima tekanan untuk membangun kelebihan berkompetisi. Ketidakpastian lingkungan eksternal yang ditandai dengan pergantian yang cepat di bidang teknologi, kelangkaan resources, dan ekspektasi penduduk yang semakin meningkat sudah memaksa organisasi melaksanakan pengorganisasian pengetahuan semoga terus menerus mampu melakukan penemuan yang berkelanjutan sehingga selalu beberapa langkah di depan. Perbaikan transparansi dan akuntabilitas fiskal adalah merupakan salah satu kunci bagi kesuksesan perombakan tata cara sosial yang kita kerjakan selama masa reformasi, sejak krisis ekonomi tahun 1997-1998 
Pengelolaan keuangan negara atau kawasan yaitu salah satu aspek yangharus diatur secara hatihati dan merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah. Dalam upaya perwujudan reformasi pengelolaan keuangan pemerintah yang bagus terdapat pula permintaan yang makin besar untuk mengakomodasi, menginkorporasi serta mengedepankan nilai-nilai good governance. Hal ini ditandai dengan terbitnya 3 (tiga) paket perundanganundangan di bidang keuangan negara. Sejalan dengan hal tersebut pemerintah pusat kembali melaksanakan revisi kebijakan otonomi tempat lewat UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 yang juga mengontrol hal yang berhubungan dengan keuangan kawasan mirip yang diatur dalam paket perundang-undangan di bidang keuangan negara. Hal ini tidak menutup kemungkinan timbulnya multi interpretasi dalam implementasinya mengingat undang-undang yang mempunyai kekuatan hukum yang serupa ini mengatur substansi yang saling terkait. 
B. Rumusan Masalah 
  1. Apa saja isu penting dalam melaksanakan pengukuran kinerja pada pemerintah tempat ? 
  2. Mengapa penting membicarakan kinerja di sektor publik? 
  3. Apa saja keterbatasan pelaporan pengukuran kinerja ? 
  4. Apa pengaruh PP Nomor 105 Tahun 2000 Pasal 14 bagi pemerintah daearah? 
C. Tujuan 
  1. Untuk dapat mengetahui kinerja pemrintah tempat 
  2. Mempelajari pengukuran kinerja pada pemerintah daerah 
BAB II 
PEMBAHASAN 
1. Pengertian Kinerja 
Gambaran tentang tingkat pencapaian pelaksanaan sebuah kegiatan/acara/akal dalam mewujudkan target, tujuan, misi, dan visi organisasi (LAN, 1999:3) Outcome hasil jerih payah organisasi dalam mewujudkan tujuan stratejik yang ditetapkan organisasi, kepuasan konsumen serta kontribusinya kepada pertumbuhan ekonomi penduduk (Kane dan Johnson, 1995) Perilaku berkarya, tampilan atau hasil karya. Oleh alasannya adalah itu kinerja ialah bentuk bangunan yang multi dimensional, sehingga cara mengukurnya sungguh bermacam-macam tergantung pada banyak aspek (Bates dan Holton 1995). Menurut PP 58/2005, Ps 1(35) kinerja yakni keluaran atau hasil dari aktivitas program yang akan atau telah di capai sehubungan dengan penggunaan budget dengan kuantitas dan kulitas yang terukur. 
Matei dan Savulescu (2009) menjelaskan bahwa efisiensi atau efisiensi mempunyai dua makna adalah: 
  • Kinerja sebuah acara atau kegiatan sangat bagus. 
  • Dampak yang maksimum berhubungan dengan sumber daya yang dialokasikan. 
Pengukuran efisiensi dalam organisasi sektor publik ialah hal yang penting, hal ini dikarenakan kurangnya net income selaku citra akan kinerja keuangan pemerintah daerah saat ini (Hassanudin, 2009). Suatu aktivitas dikatakan efisien bila pelaksanaan pekerjaan tersebut sudah mencapai hasil (output) maksimal dengan memakai ongkos (input) yang terendah atau dengan ongkos minimal (Hamzah, 2008). Pengelolaan keuangan yang efisien akan meningkatkan mutu akan pengambilan keputusan sehingga kalau keputusan yang diambil berkualitas akan mengembangkan kinerja keuangan pemerintah tempat. 
Government Accounting Standard Board (GASB), dalam Concept Statements No. 2, mengungkapkan bahwa terdapat tiga kategori indikator dalam mengukur kinerja, adalah 
  1. Service efforts, 
  2. Service accomplishment, dan 
  3. Hubungan efforts dengan accomplishment. 
Penelitian Perwitasari (2010) menerangkan bahwa Service efforts adalah bagaimana sumber daya dipakai untuk melakukan berbagai program atau pelayanan jasa yang bermacam-macam. Lebih lanjut, service accomplishment diartikan sebagai prestasi dari acara tertentu (Perwitasari, 2010). Berdasarkan GASB (1994) bahwa evaluasi efisiensi pemerintah tempat dapat dijalankan dengan cara membandingkan antara service efforts dengan service accomplishment. 
Penelitian yang dikerjakan Sardjiarto (2000) mendefinisikan Efforts atau usaha selaku jumlah sumber daya keuangan dan non-keuangan, dinyatakan dalam duit atau satuan lainnya, yang dipakai dalam pelaksanaan suatu acara atau jasa pelayanan. Pengukuran service efforts mencakup pemakaian rasio yang membandingkan sumber daya keuangan dan non-keuangan dengan ukuran lain yang memberikan ajakan memiliki potensi atas jasa yang diberikan (Perwitasari, 2010). 
Penelitian yang dilakukan Sardjianto (2000) mengungkapkan bahwa ukuran accomplishment atau prestasi adalah outputs dan outcomes. Outputs mengukur cuma sebatas kuantitas jasa yang ditawarkan, atau lebih dari itu, mengukur kuantitas jasa yang ditawarkan yang memenuhi patokan kualitas tertentu. Sedangkan, Outcomes mengukur hasil yang timbul dari penyediaan output tersebut. Pengukuran Outcomes menjadi bermakna kalau dalam penggunaannya dibandingkan dengan outcomes tahun-tahun sebelumnya atau dibandingkan dengan sasaran yang sudah ditetapkan sebelumnya. 
Pengukuran efisiensi dengan cara membandingkan antara efforts dengan outputs mampu menunjukkan isu berupa sejauh mana hasil yang didapatkan sehubungan dengan penggunaan sejumlah sumber daya yang dipakai (Sardjiarto, 2000). Disamping itu, para pengguna laporan keuangan diberikan pula explanatory information atau banyak sekali macam gosip yang berhubungan dan berhubungan dengan layanan yang diberikan dan aspek-faktor yang mensugesti kinerja organisasi pemerintah, yang dikelompokkan dalam dua bagian adalah: unsur di luar kontrol pemerintah seperti kondisi demografi dan lingkungan dan unsur yang dapat diatur oleh pemerintah secara signifikan seperti teladan dan komposisi personalia. Kedua unsur tersebut mampu dianalogikan selaku komponen-bagian yang terangkum dalam karakteristik pemerintah daerah. Berdasarkan hal tersebut, dalam melaksanakan pengukuran kinerja perlu memeperhatikan faktor-aspek yang mempengaruhi kinerja pemerintah kawasan, salah satu aspek tersebut ialah karakteristik pemerintah kawasan. 
Akuntabilitas mampu terwujud salah satunya dengan cara melakukan pelaporan kinerja lewat laporan keuangan (Mahmudi, 2007). Entitas yang mempunyai kewajiban menciptakan Pelaporan Kinerja Organisasi Sektor publik dapat diidentifikasi selaku berikut: pemerintah sentra, pemerintah tempat, unit kerja pemerintahan, dan unit pelaksana teknis. Pelaporan tersebut diserahkan ke penduduk secara biasa dan Dewan Perwakilan Rakyat (dewan perwakilan rakyat), sehingga penduduk dan anggota DPR (users) bisa mendapatkan info yang lengkap dan tajam tentang kinerja program pemerintah serta unitnya (PP RI No. 24 tahun 2005). Pelaporan kinerja yang diterbitkan secara terus-menerus akan menjadi langkah maju dalam mendemonstrasikan proses akuntabilitas. Perbandingan pengukuran kinerja dapat dibangun atas pengukuran kinerja dan menambah dimensi lainnya untuk akuntabilitas perbandingan dengan unit kerja organisasi lain yang sama. 
Dengan berfokus pada hasil pengukuran dan pelaporan kinerja dapat membantu mengomunikasikan terhadap publik ihwal tingkat solusi unit kerja organisasi yang sama lainnya. Lebih jauh lagi, lewat pengembangan pertanyaan biasa terhadap pengguna layanan dan kelengkapanya, perbandingan pengukuran kinerja dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kepuasan warga atau pengguna layanan atas pelayanan yang diberikan oleh beberapa unit kerja organisasi. Pengukuran kinerja sektor publik ialah suatu tata cara yang bermaksud untuk membantu manajer publik dalam menilai pencapaian suatu seni manajemen lewat alat ukur finansial dan non finansial. 
Sistem pengukuran kinerja dapat dijadiakan sebagai pengendalian organisasi alasannya adalah pengukuran kinerja diperkuat dengan memutuskan reward and punishment system. Schiff dan Lewin (1970), mengemukakan bahwa budget yang telah disusun memiliki peranan sebagai perencanaan dan sebagai standar kinerja, yakni anggaran dipakai selaku metode pengendalian untuk mengukur kinerja manajerial. Seiring dengan peranan budget tersebut, Argyris (1952) dalam Titisari (2004) juga menyatakan bahwa kunci dari kinerja yang efektif ialah kalau tujuan dari anggaran tercapai dan partisipasi dari bawahan memegang peranan penting dalam meraih tujuan tersebut. 
Menurut Lukka (1988) dan Brownell (1982), imbas budget partisipatif pada kinerja manajerial ialah tema pokok yang mempesona dalam penelitian akuntansi administrasi, hal ini disebabkan alasannya adalah partisipasi biasanya dinilai selaku suatu pendekatan manajerial yang mampu mengembangkan kinerja anggota organisasi dan disamping itu aneka macam penelitian yang menguji korelasi antara partisipasi anggaran dengan kinerja manajerial hasilnya sering berlawanan.pengukuran kinerja ialah suatu hal yang penting,karena: 
  • Semakin besarnya peran sektor publik dalam melayani aneka macam aktivitas disertai oleh kian kompleksnya tuntutan masyarakat akan pelayanan publik yang prima. 
  • Adanya kewajiban mempertanggung-balasan langkah-langkah bagi para pejabat publik alasannya adalah mendapat mandat dari publik (alasan legal) 
  • Agar langkah-langkah pejabat publik dapat diterima oleh komunitasnya dan menghindarkan berbagai penyimpangan 
  • Agar langkah-langkah pejabat publik lebih efisien dan efektif dalam memakai sumberdaya yang ada 
  • Pengalaman menunjukan pemerintah gagal melaksanakan prinsip-prinsip yang sudah diletakan dalam konstitusi 
  • Adanya tuntutan akuntabilitas publik bahwa setiap pejabat mesti mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakannya dalam rangka dukungan barang dan jasa publik 
  Bag Viii, Teknis Budidaya Tanaman Karet
2. Indikator Kinerja. 
Indikator Kinerja adalah ukuran kuantitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang sudah ditetapkan. Oleh alasannya adalah itu, indikator kinerja mesti merupakan suatu yang hendak dihitung dan diukur serta dipakai sebagai dasar untuk menganggap atau melihat tingkat kinerja baik dalam tahapan perencanaan, tahap pelaksanaan maupun tahap setelah aktivitas akhir dan bermanfaat (berfungsi). 
Indikator kinerja mencakup : 
  • Masukan (Input) yakni sumber daya yang dipakai dalam sebuah proses untuk menciptakan keluaran yang telah direncanakan dan ditetapkan sebelumnya. Indikator masukan mencakup dana, sumber daya insan, fasilitas dan prasarana, data dan isu yang lain yang diperlukan. 
  • Keluaran (Output) adalah sesuatu yang terjadi akibat proses tertentu dengan menggunakan masukan yang telah ditetapkan. Indikator keluaran dijadikan landasan untuk menganggap pertumbuhan sebuah acara atau persyaratan dikaitkan dengan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dengan baik dan terukur. 
  • Hasil (Outcome) yakni sebuah keluaran yang mampu eksklusif digunakan atau hasil positif dari suatu keluaran. Indikator hasil ialah target program yang telah ditetapkan. 
  • Manfaat (Benefit) yaitu nilai tambah dari sebuah hasil yang manfaatnya akan nampak sesudah beberapa waktu kemudian. Indikator faedah menawarkan hal-hal yang dibutuhkan dicapai kalau keluaran dapat teratasi dan berfungsi secara maksimal. 
  • Dampak (Impact) efek atau akibat yang ditimbulkan oleh manfaat dari suatu kegiatan. Indikator dampak ialah akumulasi dari beberapa faedah yang terjadi, dampaknya baru terlihat sehabis sementara waktu lalu. 
2.1 Manfaat Pengukuran Kinerja 
Wayne C. Parker (1996:3) menyebutkan lima faedah adanya pengukuran kinerja sebuah entitas pemerintahan, yaitu: 
  1. Pengukuran kinerja mengembangkan kualitas pengambilan keputusan. Seringkali keputusan yang diambil pemerintah dilaksanakan dalam kekurangan data dan aneka macam pendapatpolitik serta tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Proses pengembangan pengukuran kinerja ini akan memungkinkan pemerintah untuk menentukan misi dan menetapkan tujuan pencapaian hasil tertentu. Di samping itu dapat juga diseleksi tata cara pengukuran kinerja untuk menyaksikan kesuksesan program yang ada. Di sisi lain, adanya pengukuran kinerja membuat pihak legislatif mampu memfokuskan perhatian pada hasil yang didapat, memberikan penilaian yang benar kepada pelaksanaan budget serta melakukan diskusi perihal anjuran-tawaran program baru. 
  2. Pengukuran kinerja memajukan akuntabilitas internal. Dengan adanya pengukuran kinerja ini, secara otomatis akan tercipta akuntabilitas di seluruh lini pemerintahan, dari lini terbawah sampai teratas. Lini teratas pun lalu akan bertanggungjawab terhadap pihak legislatif. Dalam hal ini disarankan pemakaian system pengukuran persyaratan seperti halnya management by objectives untuk mengukur outputs dan outcomes 
  3. Pengukuran kinerja memajukan akuntabilitas publik. Meskipun bagi sebagian pihak, pelaporan penilaian kinerja pemerintah kepada penduduk dicicipi cukup angker, tetapi publikasi laporan ini sungguh penting dalam kesuksesan metode pengukuran kinerja yang baik. Keterlibatan penduduk kepada pengambilan kebijakan pemerintah menjadi kian besar dan kualitas hasil sebuah program juga makin diperhatikan. 
  4. Pengukuran kinerja mendukung perencanaan stategi dan penetapan tujuan.Proses perencanaan taktik dan tujuan akan kurang bermakna tanpa adanya kesanggupan untuk mengukur kinerja dan pertumbuhan suatu program. Tanpa ukuran-ukuran ini, kesuksesan sebuah program juga tidak pernah akan dinilai dengan obyektif. 
  5. Pengukuran kinerja memungkinkan suatu entitas untuk memilih penggunaan sumber daya secara efektif. Masyarakat kian kritis untuk menganggap acara-program pokok pemerintah sehubungan dengan meningkatnya pajak yang dikenakan kepada mereka. Evaluasi yang dikerjakan condong mengarah kepada penilaian apakah pemerintah memang mampu memberikan pelayanan yang terbaik terhadap masyarakat. Dalam hal ini pemerintah juga mempunyai peluang untuk menyerahkan sebagian pelayanan publik kepada sektor swasta dengan tetap bertujuan untuk memperlihatkan pelayanan yang terbaik. 

3. ELABORASI SISTEM AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH PADA REGULASI PEMERINTAH 
Merujuk Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 wacana Pemerintahan Daerah dan UndangUndang Nomor 25 Tahun 1999 ihwal Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pemerintah daerah ialah bab integral dari pemerintah pusat atau dengan kata lain merupakan bagian yang tidak mampu dipisahkan bagi pemerintah pusat. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ialah pengganti dari Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 ihwal Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang dinilai tidak cocok lagi dengan prinsip penyelenggaraan Otonomi Daerah dan perkembangan yang terjadi tamat-akhir ini. Selanjutnya, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 86 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Pasal 26 Undangundang Nomor 25 Tahun 1999 terutama mengenai pengelolaan keuangan dalam pelaksanaan desentralisasi, ditetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Peraturan tersebut memperlihatkan ajaran yang bersifat umum dan lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat prinsip, normatif, dan asasi yang merupakan landasan lazim dalam pengelolaan keuangan kawasan. 
Adapun pengaturan tentang pengelolaan keuangan kawasan sebagaimana tercantum dalam PP Nomor 105 Tahun 2000 Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3) ialah: 
  1. Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan kawasan ditetapkan oleh masing-masing daerah dengan Peraturan Daerah sesuai dengan ketentuan perundang-seruan yang berlaku. 
  2. Sistem dan mekanisme pengelolaan keuangan tempat dikontrol dengan Keputusan Kepala Daerah masing-masing sesuai dengan perda tersebut. 
Berdasarkan peraturan tesebut maka tempat menerima fleksibilitas dalam memperbaiki dan melakukan pemutakhiran metode dan mekanisme pengelolaan keuangan kawasan. Keleluasaan tersebut hendaknya menjadi pijakan dalam melaksanakan upaya maksimalisasi dan efisiensi serta efektifitas dengan upaya pembenahan yang berlanjut sesuai dengan keperluan dan kesanggupan kawasan masing-masing. 
Selama ini kawasan memakai Manual Adminsitrasi Keuangan Daerah (Makuda) sebagai bimbingan dan ajaran kerja untuk pengelolaan keuangan tempat, hal ini mengacu pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 900-099 Tahun 1980, yang penyusunannya mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dan peraturan perundangan lainnya yang terkait mirip Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1975tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 wacana Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata usaha keuangan kawasan, dan penyusunan perkiraan budget pendapatan dan belanja. dengan diberlakukannya undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan peraturan pemerintah nomor 105 tahun 2000 maka undang-undang nomor 5 tahun 1974, peraturan pemerintah nomor 5 tahun 1975, dan peraturan pemerintah nomor 6 tahun 1975 memiliki arti tidak berlaku lagi. tetapi demikian, pada dasarnya makuda dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum ada penggantinya. untuk menanggulangi problem tersebut perlu ketentuan pengganti makuda yang beberapa bagiannya telah tidak sesuai lagi dengan ketentuan perundang-permintaan yang ada, utamanya yang berkaitan dengan bentuk dan susunan budget, tata pembukuan budget dan laporan pertanggungjawaban keuangan daerah. dengan demikian, ketentuan yang baru tersebut diharapkan akan menjadi buku pemikiran bagi setiap daerah untuk penyusunan anggaran pemasukan dan belanja kawasan (apbd), pelaksanaan tata perjuangan keuangan tempat, dan penyusunan perkiraan budget pendapatan dan belanja kawasan. ketentuan yang gres atau buku pemikiran yang baru tersebut diharapkandapat diartikulasikan menjadi produk aturan. 
Ada bebearapa informasi penting dalam melakukan pengukuran kinerja pada pemerintah tempat : 
  • Dalam menganggap kinerja jarang diamati keterkaitan antara pekerjaan dengan tujuan dan misi organisasi 
  • Alat ukur penilaian kinerja kurang valid dan reliabel 
  • Banyak pegawai yang tidak mengenali apa yang dibutuhkan dari mereka (penilaian tanpa rencana kerja) 
  • Penilaian sering mengandung bias langsung
  • Penilaian kinerja tidak didasarkan pada data yang tepat 
  • Penilaian kinerja penuh muatan politik dan kepentingan 
  • Banyak mengakui kelemahan alat ukur tapi tetap dipakai secara formal 
  • Penilaian tidak memperlihatkan bantuan bagi perbaikan kinerja 
  • Penilaian tidak diikuti dengan feedback untuk perbaikan kinerja 
  • Penilaian tidak bersifat diagnostik 
  Laporan Penelitian Pengembangan Game Mobile Game Based Learning

4. KEBIJAKAN DAN KAPASITAS FISKAL 

Kebijakan disuatu tempat bisa memiliki konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang. Suatu kebijakan public mestinya lebih banyak diarahkan pada upaya pencapaian utilitas tertinggi dari penduduk . Pada pelaksanaannya berbagai yang menjadi kendala antara lain anggaran yang terbatas. Penerimaan suatu tempat malahseringkali tidak dapat menutup pos pengeluaran sekalipun belanja berkala . Kesulitan ini bertambah manakala pemerintah kawasan berhadapan dengan perubahan kebijakan. Tidak dapat dibantah kemudian kekuatan kompromi politik kemudian menentukan arah kebijakan. Salah satu efek yang dicicipi kawasan yaitu adanya perubahan perundangundangan. Secara teoritis adanya pergantian itu mampu dibuat skim pelaksanaan dengan baik. Namun, pada praktek di dunia faktual hal ini tidak mudah dijalankan. 
Banyak hal yang menjadi pertimbangan ialah antara lain; pertama, penyamaan pandangan antara pemerintah daerah kepada peraturan gres. Kedua, rentang waktu adaptasi alasannya adalah ritme kerja yang telah terencana. Ketiga, kesiapan pegawanegeri tergolong kesiapan secara mental (psikis). Keempat, pendanaan sosialisasi dan komunikasi. Ini sungguh diharapkan terlebih kalau menyangkut dengan pungutan. 
4.1 kinerja kebijakan fiskal tempat 
Kebijakan fiskal disini diartikan selaku kegiatan pemerintah dalam pengelolaan keuangan wilayahnya. Terdapat dua komponen yang diamati yakni struktur penerimaan dan struktur belanja. Variabel terpilih didasarkan pada besarnya peranan kepada kapasitas fiskal kawasan dan kedekatan korelasi antar variabel. Artinya, variable input dianggap sangat dekat kaitannya dengan pencapaian variabel output.
Variabel yang dikategorikan selaku variabel input yaitu: 
  1. Dana Alokasi Umum (DAU) yang sering disebut dengan General PurposeGrant. Variabel ini dipakai sebagai indikator penerimaan di daerah yang memiliki bantuan penting dalam pembangunan. 
  2. Belanja Rutin: selaku alokasi anggaran paling besar di tempat yang juga digunakan selaku proksi kepada penggunaan sumber daya manusia di kawasan. 
  3. Pengeluaran Transportasi: selaku proksi terhadap perhatian pemerintah kepada keberadaan infrastruktur. Pengeluaran untuk sektor ini dapat dikategorikan sebagai belanja pembangunan terbesar di kawasan. 
Selanjutnya, disusun pula dua variable output ialah pajak dan retribusi kawasan. Variabel ini dijadikan variabel output mengingat pentingnya peranan kedua penerimaan ini pada perekonomian dan kapasitas fiskal tempat. Pengukuran efisiensi didasarkan pada pengembangan programasi linear pada empat titik observasi (1999-2002). Pemilihan abad ini didasarkan pada observasi sikap efisiensi kebijakan fiskal abad krisis. 
4.2 Akuntabilitas dan Pelaporan Keuangan 
Tujuan pemerintah ialah melayani keperluan penduduk dengan sebaikbaiknya, yang dilakukan dengan pembentukan departemen atau dinas yang melakukan acara. Kinerja departemen atau dinas tersebut tidak mampu diukur dengan rasio-rasio yang biasa didapatkan dari sebuah pembukuan keuangan mirip return on investment, jumlah sumber daya yang dipakai atau rasio pendapatan daripada sumber daya yang dipakai. Hal ini disebabkan alasannya adalah bekerjsama dalam kinerja pemerintah tidak pernah ada “net profit”
Kewajiban pemerintah untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya dengan sendirinya dipenuhi dengan menyampaikan informasi yang berkaitan sehubungan dengan hasil dari program yang dilakukan kepada wakil rakyat dan juga kalangan-golongan masyarakat yang memang ingin menganggap kinerja pemerintah. Pelaporan keuangan pemerintah kebanyakan cuma menekankan pada pertanggungjawaban apakah sumber daya yang diperoleh telah digunakan sesuai dengan budget atau perundangundangan yang berlaku. 
Dengan demikian pelaporan keuangan yang ada hanya memaparkan isu yang berkaitan dengan sumber pendapatan pemerintah, bagaimana penggunaannya dan posisi keuangan pemerintah dikala itu. Jika hal ini dikaitkan dengan perspektif fungsional akuntabilitas, maka gres tahap probity and legality accountability (compliance) yang dipenuhi. Di sini tampak bahwa jikalau Indonesia cuma menerapkan pertanggungjawaban budget belanja dan pendapatan tempat atau negara, maka dalam kaitannya dengan klarifikasi di atas, akuntabilitas pemerintahan di Indonesia baru sebatas tahap kepatuhan atau compliance. Harus dikenang, tahap ini barulah tahap permulaan dari lima tahap akuntabilitas sesuai perspektif fungsional.. 
Pembandingan tujuan pelaporan keuangan antara perusahaan (business enterprises) dengan organisasi nir keuntungan (not-for-profit organizations) selaku berikut.Dalam perusahaan, pelaporan keuangan mesti menawarkan isu sehubungan dengan kinerja keuangan perusahaan (financial performance) dalam kurun tertentu. Fokus khususnya yaitu isu tentang kinerja perusahaan dengan mengukur pemasukan (comprehensive income) dan komponen-komponennya. Sedangkan dalam organisasi nir laba pelaporan keuangan mesti menawarkan berita sehubungan dengan kinerja (performance) dalam abad tertentu.Informasi yang paling dibutuhkan untuk menilai kinerja ini adalah pengukuranperiodik atas perubahan jumlah dan sifat net resources dari organisasi yang bersangkutan dan informasi mengenai service efforts and accomplishment. 
Elemen Pelaporan Pengukuran Kinerja Government Accounting Standard Board (GASB), dalam Concept Statements No. 2, membagi pengukuran kinerja alam tiga klasifikasi indikator, yakni 
  1. Indicator pengukuran service efforts, 
  2. Indikator pengukuran service accomplishment, dan 
  3. Indikator yang menghubungkan antara efforts dengan accomplishment. 

Service efforts bermakna bagaimana sumber daya digunakan untuk melaksanakan banyak sekali acara atau pelayanan jasa yang bermacam-macam. Service accomplishment diartikan selaku prestasi dari acara tertentu. Di samping itu perlu disampaikan juga klarifikasi tertentu berhubungan dengan pelaporan kinerja ini (explanatory information). Pengukuran-pengukuran ini melaporkan jasa apa saja yang disediakan oleh pemerintah, apakah jasa tersebut telah memenuhi tujuan yang diputuskan dan apakah efek yang ditimbulkan kepada peserta layanan/jasa tersebut. Pembandingan service efforts dengan service accomplishment ialah dasar penilaian efisiensi operasi pemerintah (GASB, 1994). 

4.3 Kinerja Keuangan Pemda 
Bastian (2006) mendefinisikan kinerja sebagai prestasi yang dicapai oleh organisasi dalam masa tertentu. Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik oleh langsung maupun organisasi (Hamzah, 2008). Penelitian yang dijalankan Azhar (2008) mengungkapkan bahwa kinerja diartikan sebagai acara terukur dari suatu entitas selama periode tertentu selaku bab dari ukuran keberhasilan pekerjaan. Pengukuran kinerja (performance measurement) ialah proses pengawasan secara terus menerus dan pelaporan capaian acara, terutama kemajuan atas tujuan yang direncanakan (Westin, 1998). Perhatian yang besar terhadap pengukuran kinerja disebabkan oleh opini bahwa pengukuran kinerja dapat memajukan efisiensi, keefektifan, penghematan dan produktifitas pada organisasi sektor publik (Halacmi, 2005). Pengukuran kinerja ini dimaksudkan untuk mengetahui capaian kinerja yang telah dilaksanakan organisasi dan selaku alat untuk pengawasan serta evaluasi organisasi. 
Pengukuran kinerja akan memperlihatkan umpan balik sehingga terjadi upaya perbaikan yang berkesinambungan untuk mencapai tujuan di kurun mendatang (Bastian, 2006). Penelitian yang dilakukan Mandell (1997) mengungkapkan bahwa dengan melakukan pengukuran kinerja, pemerintah daerah mendapatkan isu yang dapat meningkatkan kualitas pengambilan keputusan sehingga akan memajukan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah kawasan dengan melihat tingkat efisiensi pemerintah kawasan tersebut (Hamzah, 2008). 
5. PERBEDAAN BUKU PEDOMAN BARU DENGAN MAKUDA 
Buku fatwa tersebut secara umum berisi ajaran pengelolaan keuangan tempat yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan keuangan tempat. Dari uraian di atas kalau lalu dibandingkan dengan Makuda yang selama dipakai maka akanterdapat beberapa perbedaan. Perbedaan keduanya menyangkut faktor bahan antara lain penyusunan rencana keuangan daerah, pelaksanaan keuangan daerah, dan pertanggungjawaban keuangan tempat. 
a. Perencanaan Keuangan Daerah 
Sistem penganggaran daerah pada dasarnya meliputi beberapa hal, yakni: 
  1. Struktur APBD yang dimuat dalam Buku Pedoman yang baru berisikan komponen Pendapatan Daerah, elemen Belanja Daerah, Surplus (Defisit) Anggaran, dan komponen Pembiayaan. 
  2. Selain itu, dalam Buku Pedoman yang gres diterangkan proses penyusunan APBD mulai dari penyiapan Rancangan APBD hingga dengan penetapannya menjadi APBD. Proses ini tidak secara eksplisit diangkut dalam Makuda. 
  3. Proses penyusunan APBD yang baru dengan pendekatan Kinerja. Makuda belum menggunakan pendekatan Kinerja. 
  Peradaban Islam Pada Kurun Daulah Bani Abbasiyah
b. Pelaksanaan Keuangan Daerah (Penata usahaan) 
Penatausahaan keuangan daerah pada dasarnya meliputi pengurusan operasional dan manajemen kebendaharawanan (uang dan barang), sistem pembukuan dan pelaporan (pertanggungjawaban) keuangan kawasan. Buku aliran yang baru berlainan dengan Makuda utamanya dalam metode pembukuan dan pelaporannya. 
Aspek pengurusan duit dan barang oleh bendaharawan tidak dikelola secara rinci sebagaimana dalam Makuda, karena hal tersebut diserahkan kepadasetiap kawasan untuk pengaturannya. Oleh karena itu, daerah mampu memakai instrumen pengurusan kebendaharawan yang ada di Makuda kecuali yang berkaitan langsung dengan tata cara pembukuan dan pelaporannya mirip yang diberikan pemikiran dalam Buku Pedoman yang baru. Sistem pembukuan tunggal yang digunakan dalam Makuda menjadi kekurangan utama, selain pencatatannya yang berbasis kas dan tidak adanya kebijakan akuntansi. Selain itu, Makuda juga mempunyai kelemahan lain ialah tidak menyediakan catatan keuangan untuk kategori pengeluaran modal. 
Oleh sebab itu akan menjadi kurang mencukupi jika digunakan untuk menyanggupi keperluan tata perjuangan keuangan daerah yang berpedoman pada Standar Akuntansi keuangan Daerah, dimana penyusunan Neraca menjadi salah satu jenis laporan pertanggungjawaban selesai tahun budget. Tata cara pembukuan yang diangkut dalam Buku Pedoman yang gres tersebut menggunakan metode pembukuan ganda (berpasangan) dengan pencatatan berbasis kas atau akrual modifikasian. 
Elemen-elemen akuntansi keuangan kawasan yang dimuat dalam Buku Pedoman yang gres tersebut mencakup: 
  1. Kebijakan Akuntansi, menampung perlakuan akuntansi yang meliputi: Definisi Pengakuan, Pengukuran, dan Penilaian kepada unsur Laporan Keuangan (Pendapatan, Belanja, Pembiayaan, Aktiva, Utang, dan Ekuitas Dana). Kebijakan akuntansi disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Daerah yang bermaksud untuk menjamin konsistensi pelaporan keuangan tempat. 
  2. Catatan Akuntansi berupa Buku Jurnal, Buku Besar, dan Buku Pembantu. Buku Jurnal ialah catatan yang berfungsi untuk mencatat dan menggolongkan transaksi keuangan. Buku Jurnal diklasifikasikan ke dalam Jurnal Penerimaan Kas, Jurnal Pengeluaran Kas, Jurnal Umum (selain Kas). Buku Besar berfungsi untuk meringkas transaksi keuangan. Buku pembantu berfungsi sebagai alat uji silang dan melengkapi informasi tertentu dalam Buku Besar. 
  3. Sistem dan Prosedur, berisi ihwal deskripsi pengorganisasian dokumen, duit, catatan akuntansi, dan pelaporan keuangan oleh fungsi akuntansi dan fungsi lain yang terkait dengan fungsi akuntansi. 
c. Pertanggungjawaban Keuangan Daerah 
Pelaporan keuangan kawasan dalam Makuda cuma mengendalikan penyusunan Laporan Perhitungan dan Laporan Aliran Kas. Dalam Buku Pedoman yang baru, di samping kedua laporan tersebut diangkut pula anutan penyususnan Nota Perhitungan APBD dan Neraca Daerah serta Kertas Kerja yang berfaedah untuk mempermudah penyusunanlaporan keuangan menurut metode akuntansi berpasangan. 
Laporan perkiraan APBD, sebagaimana dimengerti menampung isu tentang anggaran dan realisasi APBD. Sedangkan Laporan Aliran Kas memuat berita mengenai saldo, sumber, dan penggunaan kas yang dikelompokkan dalam aktivitas operasi, investasi dan pembiayaan. Nota Perhitungan APBD intinya memuat ringkasan realisasi APBD dan kinerja keuangan tempat. Sumber penyusunan Perhitungan APBD berasal dari penganggaran Daerah yang dimuat dalam Pernyataan Anggaran (PA) dan realisasinya, serta Laporan Perhitungan APBD. Sedang Neraca Daerah menampung info tentang posisi Aktiva (Kekayaan), Utang (Pinjaman) dan Ekuitas Dana (Kekayaan Bersih) Daerah.
BAB III 
PENUTUP 
Krisis yang terjadi di beberapa negara sudah menawarkan gambaran yang kasatmata terhadap kesehatan sistem pengelolaan keuangan pada beberapa negara di Asia. Hal ini mendorong negara-negara tersebut untuk berupaya melakukan reformasi struktural. Reformasi struktural mengarahkan reformasi akuntansi yang menenteng anutan pada pentingnya penyusunan dan implementasi metode akuntansikeuangan sektor publik. Pentingnya penyusunan dan implementasi juga didorong banyak sekali perspektif antara lain core business perspective, performance measurement perspective, dan pelaksanaan good governance serta pengalaman penerapan sistemakuntansi pemerintah dari berbagai negara. 
Selain itu, kurun otonomi kawasan dan desentralisasi fiskal member kelonggaran (diskresi) bagi pemerintah tempat untuk berbagi tata cara akuntansi keuangan tempat dengan paradigma gres. Hal ini akan menunjukkan pengaruh kepada keterbukaan isu kinerja pemerintah tempat dan pengelolaan asset yang dimiliki oleh tempat.Dengan demikian, akuntabilitas pemerintah daerah baik vertical maupun horizontal akan meningkat. 
Meskipun ketika ini di Indonesia banyak dilaksanakan persiapan dan diskusi tentang good governance, namun kalau dicermati lebih lanjut, tampak bahwa akuntabilitas pemerintahan di Indonesia masih berfokus hanya dari segi pengelolaan keuangan negara. Sedangkan dalam realita sehari-hari keingintahuan penduduk tentang akuntabilitas pemerintahan tidak mampu dipenuhi cuma oleh informasi keuangan saja. Kinerja departemen atau dinas tersebut tidak mampu diukur denga rasio-rasio yang biasa didapatkan dari suatu laporan keuangan seperti return on investment, jumlah sumber daya yang digunakan atau rasio pemasukan ketimbang sumber daya yang dipakai. Hal ini disebabkan karena bahu-membahu dalam kinerja pemerintah tidak pernah ada “net profit”
Pengukuran kinerja dibagi dalam tiga klasifikasi indikator, yaitu 
  1. Indicator pengukuran service efforts, 
  2. Indikator pengukuran service accomplishment, dan 
  3. Indikator yang menghubungkan antara efforts dengan accomplishment. 
Di samping itu perlu disampaikan juga klarifikasi tertentu berhubungan dengan pelaporan kinerja ini (explanatory information). Pengukuran-pengukuran ini melaporkan jasa apa saja yang ditawarkan oleh pemerintah, apakah jasa tersebut telah menyanggupi tujuan yang diputuskan dan apa efek yang ditimbulkan terhadap akseptor layanan/jasatersebut . 
Dalam hal ini dicatat adanya faedah pengukuran kinerja suatu entitas pemerintahan. Informasi tentang kinerja pemerintah akan dapat digunakan untuk : 
  • Menetapkan target dan tujuan program tertentu 
  • Merencanakan acara kegiatan untuk mencapai sasaran dan tujuan tersebut 
  • Mengalokasi sumber daya untuk pelaksanaan program 
  • Memonitor dan mengevaluasi results untuk memilih apakah ada kemajuan yang diperoleh dalam mencapai target dan tujuan tersebut 
  • Memodifikasi penyusunan rencana program untuk mengembangkan kinerja 
Seperti halnya dengan keterbatasan pelaporan pengukuran kinerja yang lain, ada beberapa kekurangan yang perlu diketahui oleh para pengguna pelaporanpengukuran kinerja ini semoga info yang didapatkan dapat digunakan sebaikbaiknya. 
DAFTAR PUSTAKA 
  • Mardiasmo.2002 : 6. ELABORASI REFORMASI AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK:Telaah Kritis Terhadap Upaya Aktualisasi Kebutuhan Sistem Akuntansi Keuangan Pemda. JAAI volume 6 no. 1. 
  • Nurkamid,Muh.2008 : 10.Implementasi penemuan tata cara pengukuran kinerja instansi pemerintah. Jurnal akuntansi pemerintah Vol. 3, No. 1. 
  • Kurnia, Syakir, Akhmad.2006 : 8. Model pengukuran kinerja dan efisiensi sector public sistem 
  • Solihin, Dadang.2007 : 5. Anggaran berbasis kinerja dalam perencanaan dan penganggaran bangunan. 
  • Sebayang, Frida , Anista.2005 : 12. Kinerja Kebijakan Fiskal Daerah di Indonesia Pasca Krisis. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 10 No. 3 
  • Sadjiarto, Arja.2000 : 11. Akuntabilitas dan Pengukuran Kinerja Pemerintahan. Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 2, No. 2. 
  • Sumarjo, Hendro . Pengaruh Karakteristik Pemda Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah 
  • Solikhin, Akhmad. 2006 : 11.Pengaruh Karakteristik Pemda Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah. Jurnal Akuntansi pemerintah Vol 2, No 2 
  • Abdullah, Syukriy dan Halim, Abdul.2006 : 11.Studi Atas Belanja Modal Pada Anggaran pemerintah Daerah Dalam Hubungannya Dengan Belanja Pemeliharaan Dan Sumber Pendapatan. Jurnal akuntansi pemrintah vol 2,no 2. 
  • Effendi, Ihsan dan Hutabarat, Kemalasari, Siti.2008 : 2. Pengaruh Kinerja Aparatur Kelurahaan Terhadap Kualitas Pelayanan Publik. Mandiri vol 3, No 1