Ada beberapa cara dlm proses pembentukan huruf pada anak, diantaranya dgn memberikan pendidikan abjad di sekolah, mengenalkan & membiasakan hal-hal aktual pada anak dlm lingkup keluarga & menunjukkan pengarahan atau pemahaman tentang hal-hal aktual yg mampu diterapkan & dilakukan dlm lingkungan penduduk .
Satria gelisah di kawasan duduknya. Jam dinding diatas papan tulis memperlihatkan pukul 06.50. Sudah lima menit berlalu semenjak bel masuk berbunyi. Teman-temannya di kelas 3-A yg lain sedang menjalankan ulangan matematika dgn hening. Sesekali terdengar bunyi pensil ditaruh di meja, berubah bunyi penghapus digosok diatas kertas. Semua sibuk. Bahkan Bu Guru pun sibuk berkeliling, mengawasi sahabat-temannya yg sedang cobaan. Hanya Satria yg duduk dgn gusar.
Tangan Satria mulai berair oleh keringat. Lima menit sudah berlalu. Jam dinding menunjukkan pukul 06.55. Belum ada satu soal pun yg dikerjakannya. Satria bukannya tak tahu acara cobaan hari ini. ia tahu. Dan ia sudah mencar ilmu. Seharusnya ia mampu menjawab soal-soal itu. Tapi ia belum melakukannya.
Dia melirik ke arah Bimbi yg duduk di sebelah kanannya. Bimbi sedang menunduk menghadapi kertas ulangan dgn serius. Kacamatanya berulang kali melorot. Tangan kiri Bimbi dgn gesit membenarkannya. Rambut ikal Bimbi bergoyang-goyang tatkala kepalanya bergerak. Satria sudah ingin membuka mulutnya, namun ia teringat sesuatu.
Bimbi makin cemas tatkala Satria menyorongkan ulat hijau itu kearahnya. Bimbi berlarian di dlm kelas, menghindari Satria yg membawa ulat hijau. Dan terjadilah kejadian itu. Bimbi tersandung salah satu kaki meja, jatuh, kemudian kacamatanya pecah. Tanpa kacamata, Bimbi tak mampu menyaksikan papan tulis dgn terperinci. Bimbi menangis. Satria merasa lucu menyaksikan Bimbi tanpa kacamata bulatnya.
Dan ia tertawa.
Satria urung memanggil nama Bimbi. Pandangannya beralih pada Kinan yg duduk di depan Bimbi. Kinan ialah salah satu temannya yg tekun & pula bawel. Satria mengumpulkan keberanian untuk mengundang Kinan.
“Enggak boleh.” bunyi Kinan siang itu terngiang di pendengaran Satria. Tangan Kinan mendekap akrab buku bahasa indonesia miliknya. “Kemarin dulu ananda pinjam bukuku tetapi lupa mengembalikan. Akibatnya gue dieksekusi Bu Guru karena tak mengerjakan tugas.” ujar Kinan.
“Kali ini hanya sebentar kok. Kalau enggak boleh gue bawa pulang, gue pinjam disini saja. Aku lakukan di sini.” bujuk Satria. Kinan tetap menggeleng.
“Pelit banget, sih.” Satria merajuk. Kemudian dgn sekuat tenaga ia berupaya merebut buku bahasa indonesia yg sedari tadi didekap Kinan dgn bersahabat. Terjadilah tarik mempesona antara Kinan & Satria.
Kreeekkk. Suara itu mengejutkan keduanya. Mereka sama-sama termangu. Buku itu robek. Terbelah menjadi dua serpihan. Kinan & Satria masing-masing memegang sebagian. Lalu tangis Kinan pecah. Satria lebih menentukan melarikan diri ketimbang meminta maaf. ia takut kena murka Bu Guru.
Satria semakin gelisah. Sudah pukul 07.05. Waktunya kian sedikit untuk menjalankan seluruh soal. ia berniat akan melaksanakan soal yg dikuasainya lebih dulu. Dan melakukan sisanya andai waktunya cukup. Satria meremas tangan dgn gelisah. Tangan Satria berkeringat bertambah banyak. Waktu terus berlangsung. ia mesti secepatnya menuntaskan soal-soal matematika itu sebelum bel berbunyi.
“Masih ada waktu lima puluh menit lagi, bawah umur. Jangan terburu-buru. Periksa lagi jawaban kalian dgn teliti.” suara Bu Guru terdengar terang di kelas yg sunyi. Satria semakin gusar. Apakah ia mesti mencoba meminta santunan pada Bu Guru?
Waktu terus berjalan. Empat puluh lima menit lagi. Masih cukup waktu untuk mengerjakannya andai saja…
“Sssttt… Satria!”
Satria mendengar dgn terperinci ada yg mengundang namanya.
“Satria!”
Satria memberanikan diri menengok kebelakang. Ayra, si Kuncir Kuda, sedang tersenyum padanya. Tangan kanan Aya teracung padanya, menggenggam benda yg dibutuhkannya untuk melakukan soal-soal matematika.
Satria ragu menerimanya. Tapi Ayra terus menghunus benda itu.
“Ini, pakai punyaku.” ujarnya dgn nada ikhlas. Tidak ada nada murka sama sekali. Padahal Satria senantiasa usil padanya. Setiap hari Satria senantiasa usil pada siapa saja. Termasuk pada Ayra, teman paling mungil di kelasnya. Ayra selalu menjadi korban keisengannya. Rambut Ayra yg selalu dikuncir satu bergoyang-goyang lucu, menciptakan Satria gemas & risikonya mempesona kuncir rambut Ayra.
“Sakit!” teriak Ayra tatkala kuncir rambutnya, lagi-lagi, ditarik Satria.
Bukannya minta maaf, Satria malah tertawa. Biasanya, tatkala Satria usil, sahabat-temannya akan melapor pada Bu Guru. Dan Satria akan dimarahi sesudah itu. Tapi Ayra berlainan. ia tak pernah sekalipun melapor pada Bu Guru.
“Aku bukan pengadu!” jawab Ayra tatkala Satria mengajukan pertanyaan kenapa tak pernah melapor pada Bu Guru.
“Lagipula Bu Guru sudah banyak pekerjaan. Kasihan bila harus ditambah dgn aduan kecil anak badung seperti kau.” jawab Ayra.
Satria mencibir jawaban Ayra saat itu. ia menilai Ayra sok baik supaya diminati oleh sahabat & guru. Tapi hari ini Satria sadar kalau itu salah. Ayra betul-betul nrimo & baik. Benda di tangannya yaitu bukti bahwa Ayra tak murka meski ia senantiasa menarik rambutnya setiap hari.
“Terima kasih, Ay.” bisik Satria.
“Ayo, cepat kerjakan. Masih banyak waktu.” balas Ayra sambil tersenyum.
Satria menganggukkan kepala. Kini, ia mampu menjalankan soal-soal di hadapannya. ia sudah punya benda yg dibutuhkannya. Sebatang pensil. Satria pasti lupa memasukkan kembali daerah pensilnya sehabis mencar ilmu semalam. Satria berjanji dlm hati, ia akan menjadi anak baik, mirip Ayra.