Cerpen Wacana Hari Kartini Singkat Dan Sarat Motivasi

Sobat , Selamat Menyambut Peringatan Hari Kartini, ya!

Pada tahun ini kita kembali tiba dan singgah di tanggal 21 April yang bertepatan dengan kelahiran Raden Ajeng Kartini sekaligus perayaan Hari Kartini.

RA Kartini yaitu perempuan inspiratif yang menjadi salah satu hero nasional di Bumi Pertiwi, terutama di bidang emansipasi perempuan.

Perempuan yang meninggal dunia pada usianya yang ke-25 tahun ini banyak menulis surat yang terdiri dari pengentasan terhadap tradisi feodal dan pembatasan hak bagi kaum wanita.

Salah satu goresan pena terkenal ia yang kemudian dijadikan buku yaitu Habis Gelap Terbitlah Terang.

Nah, pada kesempatan kali ini, Cerpen Ayahku Pahlawanku

Aku juga begitu.

Semenjak kecil hinggalah hari ini, candaku ihwal cinta, kesetiaan, dan kepedulian kerap kali lebih banyak kepada ayah.

Syahdan kepada ibu? Tetap saja kasih ibu sepanjang kurun, kasih ayah juga. Karena beliaulah lelaki terbaik di dunia. Lebih terbaik lagi kalau beliau mendukung sarat cita-citaku, sih.

Iya. Aku ingin kuliah di bidang farmasi, tapi di desaku ini tidak ada satu pun kampus maupun perguruan yang membuka jurusan tersebut.

Aku juga sadar bahwa keluarga kami sederhana, amat sederhana malahan. Makanya aku berjuang untuk merengkuh beasiswa. Selama ini juga aku mencoba dan berusaha untuk selalu mendapat peringkat.

Dan…

Kututup semua dongeng perihal cinta monyet dan semisalnya.

Aku ingin mengejar-ngejar cita-cita tersebut. Kupikir, aku hanyalah anak tunggal. Ayah dan ibuku adalah buruh tani. Jika saya tidak akademi, bagaimana saya bisa memperbaiki kehidupan dan mengangkat derajat keluarga?

Duh. Pikiranku agaknya telah cukup jauh. Apa mungkin diri ini sudah mulai akil balig cukup akal? Mungkin tidak. Saat ini sepertinya aku lebih peduli dengan diriku sendiri.

  Jalan Asu | Cerpen Joko Pinurbo

Terlebih ketika tanggal 21 April datang. Aku jadi ingat sosok Raden Ajeng Kartini. Beliau gadis muda dari kalangan darah biru, tapi dia masih mau belajar giat dan memperjuangkan emansipasi perempuan hinggalah menjadi tokoh nasional.

Tapi…

Harapanku tidaklah setinggi itu. Tiada terbesit di pikiranku bahwa aku berambisi untuk menjadi satria maupun tokoh nasional.

Aku cuma ingin menggapai impian dan membahagiakan kedua orang tuaku. Setidaknya nanti di usia dewasa aku tidak membebani mereka.

Kalaulah saya dijodohkan dengan lelaki opsi ayah yang katanya berasal dari keluarga aristokrat itu, agaknya keluarga kami semakin aib. Nanti dianggaplah penduduk bahwa kami ini orang miskin sekaligus menjilat.

Haduh! Pikiranku semakin ngawur.

*

“Dinda, ayo kita makan siang dahulu. Ini ayah sudah pulang dari sawah.”

“Iya, Bu. Sebentar.”

Di ketika saya sedang asyik membaca buku, datang-tiba ibuku memanggil seraya mengajakku makan siang. Dengan muka masbodoh, eksklusif saja kudatangi meja makan seraya menyapa ayah.

“Ayah kelelahan? Bagaimana pekerjaan hari ini di sawah, apakah pengairan tanpa hambatan?” tanyaku seraya ingin mendapat perhatian dari ayah.

“Lumayan, Nak. Pengarian sejauh ini tanpa gangguan, kok. Eh, Dinda berguru apa barusan?”

“Belajar materi farmasi, Yah.”

“Oalah. Memangnya Dinda tidak ingat ya dengan permintaan Ayah kemarin?”

“Dinda ingin kuliah, Yah. Masa iya Dinda nanti sesudah final SMA kerjanya hanya di sumur, kasur, dan dapur. Sekarang kan telah masa milenial, Yah.”

“Tamat SMA sudah okelah. Ayah saja dahulu bareng Ibumu hanya selesai SD. Kita keluarga sederhana, Nak. Ayah pun rasanya tak bisa membiayaimu kuliah.”

“Tapi, Yah. Dinda kan mampu cari beasiswa?”

Aku tetap bersikukuh untuk menerima persetujuan ayah. Jika tidak kini maka kapan lagi. Masa iya dalam 3 tahun ke depan saya akan terus acuh taacuh-dinginan dengan ayah di meja makan.

  Angin dari Desa | Cerpen Ratna M. Rochiman

“Memangnya Ayah mau jika Dinda nanti tamat SMA lalu pribadi nikah, kemudian keluarga kita dibicarakan orang seakan-akan jadi penjilat keluarga kaya, kemudian tiba-datang anak kita tertimpa insiden buruk mirip perceraian. Memangnya sekarang tamatan Sekolah Menengan Atas mampu mampu kerja apa?”

Tiba-tiba ibuku membelaku dengan lantang, dengan kalimat panjang satu napas. Sontak saja ayahku melongo. Beliau pun mulai berpikir dan termangu sejenak.

“Hemm. Nak, bikinkan ayah kopi hitam, ya. Gulanya kali ini sedikit saja. Banyakin kopinya supaya lebih pahit.”

“Oke, Ayah.” Ayah memang rajanya tukang membuatorang ingin tau. Sama seperti para bujang remaja tanggung yang suka menggantungkan perasaan wanita yang disukainya.

Bedanya, kesepakatan ayah itu niscaya ditepatinya, bukan rayuan gombal. Tapi ya, tetap saja saya jadi ingin tau.

“Ini, Yah. Kopinya.”

“Nak. Nanti hari minggu pokoknya kamu sempatkan diri untuk menolong ayah di sawah ya, Nak. Bawakan ayah nasi, dan bawakan ayah kopi. Soalnya mungkin 3 tahun lagi ayah tidak akan bisa sering-sering meminta bantuanmu di sawah.”

“Kaprikornus, Yah? Dinda boleh cari beasiswa?” tanyaku penasaran

“Pokoknya kamu tidak boleh pacaran dahulu, mesti tekun belajar, mesti tekun tolong Ayah dan Ibu, dan mesti jadi wanita ahli seperti Kartini. Bisa, kan?”

“Diusahakan, Yah!”

Rasa penasaranku terjawab sudah. Aku sudah berikrar terhadap diriku sendiri untuk menerobos dunia dengan pendidikan dan semangat juang.

Toh RA Kartini dulunya juga begitu.

Semenjak masih cukup umur beliau telah rajin menulis pemikiran , bahkan gagasannya sampai terbit di Holandsche Lelie, salah satu majalah terkenal di Belanda pada masanya.

TAMAT

Boleh Baca: Cerpen Ayah Cinta Pertamaku

***

Demikianlah tadi sajian berupa cerpen Hari Kartini yang penuh motivasi. Adapun pelajaran inspiratif yang bisa didapat yakni, mengatakan dan bermusyawarah dengan orang tua itu haruslah dengan cara dan bahasa yang santun.

  Pengintai | Cerpen Mashdar Zainal

Semoga berfaedah
Salam.