Cerita Jenaka Nu’aiman Bersama Rasulullah Saw

Nu’aiman adalah salah seorang sahabat Nabi yang merupakan masyarakatMadinah dari kelompok kaum Ansar. Pada waktu perang Badar, ia turut berjihad bersama Rasulullah S.A.W. Di kalangan para sobat, Nu’aiman populer sebagai teman yang suka bergurau. Nu’aiman merupakan sahabat nabi yang miskin dan pemabuk. Karena kebiasaan mabuknya itu, Nu’aiman ditegur dan dimarahi oleh para teman Nabi Muhammad SAW. Walaupun begitu, Nabi Muhammad SAW tetap membela Nu’aiman dan berkata terhadap para sobat yang memarahinya, “Jangan pernah sekali lagi kalian semua menghujat dan melaknat Nu’aiman. Meskipun beliau mirip ini, namun ia senantiasa membuatku tersenyum, beliau masih mengasihi Allah dan Aku.”

Selain itu, dibalik sosoknya yang pemabuk, Nua’aiman selalu saja berperilaku konyol nan jail sampai menciptakan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya diliputi gelak tawa. Selama candaan dan kejahilannya tidak melanggar fatwa Islam, mungkin selama itu pula akan dimaklumi.

Rasulullah SAW bersabda dalam hadisnya,

“Nu’aiman akan masuk nirwana sambil tertawa, kerana beliau suka membuat ku tertawa”.

Nu’aiman memasarkan sahabatnya selaku budak

Diceritakan bahwa sebuah waktu Nu’aiman diajak oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk ikut berjualan ke Negeri Syam. Sebelum berangkat, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq datang menghadap Rasulullah Saw untuk meminta izin mengajak dua sobat untuk ikut berdagang dengannya. Dua sobat itu diantaranya adalah Nu’aiman.

“Wahai Rasulullah …, saya meminta izin untuk membawa dua sobat agar ikut berjualan ke Negeri Syam, adalah Nu’aiman dan Suwaibith bin Harmalah,” Pinta Abu Bakar, yang selanjutnya diizinkanlah mereka bertiga oleh Rasulullah SAW untuk bepergian.

Sesampainya di Negeri Syam, keduanya dibagikan tugas masing-masing oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, Suwaibith bin Harmalah diperintahkan menjaga perbekalan, sebab beliau dikenal sebagai orang yang sungguh amanah. Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq sendiri bab pergi untuk berniaga.

Saat Suwaibith mempertahankan kuliner, datanglah Nu’aiman di waktu siang dan menyampaikan bahwa dirinya sudah merasa lapar.

“Wahai Suwaibith, saya telah lapar, maka berikanlah saya sepotong roti untuk aku makan ketika ini,” ujar Nu’aiman.

Namun, seruan Nu’aiman tersebut tidak dihiraukan oleh Suwaibith, alasannya adalah dirinya yang begitu besar lengan berkuasa dalam mempertahankan amanah malah menentukan untuk menunggu Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq tiba. Melihat tingkah Suwaibith yang begitu teguh menjaga amanah itu, lantas Nu’aiman mengancamnya,

“Berikan aku sepotong roti itu atau kamu akan kuberikan pelajaran.”

Namun ancaman itu tak digubrisnya, Suwaibith tetap bersikukuh mempertahankan amanah dari Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq dan tidak memperlihatkan sepotong roti itu kepada Nu’aiman.

Nu’aiman pun bergegas pergi ke pasar, lalu berusaha untuk mencari daerah yang memasarkan hamba sahaya di sana.

Disaat Nu’aiman sukses menemukan pedagang yang dimaksud, ia pribadi menanyakan satu per satu dari hamba sahaya tersebut yang ternyata berkisar dari harga 100 sampai 300 dirham. Kemudian, ia menyampaikan terhadap pedagang hamba sahaya itu, “Aku juga punya hamba sahaya, namun hanya aku jual 20 dirham, murah,” katanya.

Mendengar tutur pernyataan dari Nu’aiman tersebut, si penjual tak lantas percaya alasannya adalah harganya yang sungguh murah. Lebih lanjut, Nu’aiman menerangkan bahwa hamba sahaya yang dimilikinya itu murah alasannya adalah memiliki aib (ketaknormalan/ minus) di mana dia takkan mengaku sebagai hamba sahaya dan senantiasa menyebut-nyebut dirinya sebagai orang yang merdeka. Hingga alhasil semua orang berkumpul untuk membeli hamba sahaya yang dimaksudkan oleh Nu’aiman.

Tak disangka, ternyata Nu’aiman malah mengarahkan mereka kepada Suwaibith yang tak lain ialah sahabatnya sendiri. Nu’aiman pun menerima uang sebesar 20 dirham, lalu disusul dengan penangkapan Suwaibith selaku hamba sahaya yang dimaksudkan oleh Nu’aiman.

Ketika ditangkap, Suwaibith berteriak, “Aku bukan hamba sahaya. Aku orang merdeka!”

Namun, teriakan itu ditanggapi oleh sekumpulan orang yang menangkapnya, “Kami telah tahu kekuranganmu.”

Mereka yang menangkap Suwaibith terus menghiraukan teriakan darinya sambil menjinjing Suwaibith dan menjualnya ke pasar. Selepas itu, Nu’aiman menjadi orang yang memegang duit banyak. Ia menggunakannya untuk berbelanja masakan, minuman, sampai hadiah untuk Rasulullah Saw.

Tak lama kemudian, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq pun pulang dan kebingungan alasannya dirinya tak mendapatkan Suwaibith di mana pun. Dengan gampangnya dan penuh kejujuran, Nu’aiman pun berkata, “Sudah saya jual, wahai Abu Bakar.”

Mengetahui hal itu, lantas Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq tertawa dan menanyakan apa yang bantu-membantu terjadi. Nu’aiman pun menceritakan seluruhnya secara rincian hingga titik di mana Suwaibith yang notabene sebagai sahabatnya sendiri risikonya dia jual. Hingga hasilnya Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq pun eksklusif bergegas ke pasar dan membeli kembali Suwaibith, hingga beliau bebas kembali selaku orang yang merdeka.

Sepulangnya mereka ke Madinah, cerita ini diceritakan terhadap Rasulullah Saw. Maka, dikala diceritakan dongeng Nu’aiman tersebut, Nabi Muhammad Saw. tertawa sejadi-kesannya sampai gigi geraham dia tampak terlihat terperinci di depan para teman. Hingga setahun berlalu dari kisah tersebut, Rasulullah Saw. senantiasa menceritakan ulang kisah Nu’aiman kepada siapa pun tamu yang tiba kepadanya.

Hadiah Madu Nu’aiman Untuk Rasulullah SAW

Suatu dikala, Nu’aiman ingin memberikan hadiah terhadap Rasulullah dengan seguci madu. Lantas Nu’aiman mengunjungi penjual madu dan memintanya untuk mengantarkan madu tersebut terhadap Rasulullah SAW.

“Nanti anda minta juga uangnya seharga madu itu,” Ucap Nu’aiman terhadap pedagang madu itu.

Betapa bahagianya penjual madu tersebut sebab barang dagangannya sudah laku. Ia hasilnya menuruti apa yang dibilang Nu’aiman. Selanjutnya dia tiba menghadap Rasulullah SAW dengan menjinjing seguci madu, kado dari Nu’aiman. Saat itu, Rasulullah senang sekali sebab mendapatkan kado madu dari sobat Nu’aiman itu.

Namun keriangan Rasulullah SAW itu langsung bermetamorfosis suatu ‘keterjekejutan’ disaat pedagang madu juga menyodorkan tagihan. “Ini madunya Rasulullah. Harganya sekian,” kata pedagang madu.

Rasulullah SAW pribadi sadar memang seperti itulah kelakukan Nu’aiman. Memberi kado, namun ia malah yang harus membayarnya. Mau tidak mau, dia kesannya memperlihatkan sejumlah duit terhadap pedagang madu itu. Jadilah Rasulullah mendapatkan hadiah madu, sekaligus tagihan harganya.

Beberapa ketika sehabis insiden itu, Rasulullah memanggil Nu’aiman. Ia mengajukan pertanyaan kepadanya sahabatnya itu mengapa melaksanakan hal itu.

“Saya ingin berbuat baik kepada Anda ya Rasulullah, tapi aku tidak punya apa-apa,” jawab Nu’aiman. 

Rasulullah lalu tersenyum sehabis mendengar tanggapan sahabatnya itu.

Nu’aiman Menyembeli Onta Tamunya Rasulullah SAW

Suatu hari, para teman nabi berkata terhadap Nu’aiman bahwa sudah lama tidak makan daging unta. Mereka lantas mempunyai ilham untuk menyembelih unta seseorang yang tengah bertamu kepada Rasulullah. Nu’aiman langsung saja menyambut ilham tersebut. Unta tamu Rasulullah tersebut akibatnya jadi disembelih Nu’aiman.

Tamu Rasulullah yang mengenali untanya disembelih tersebut langsung mengadu terhadap Rasulullah. Setelah ditanya, para teman yang mempunyai ilham makan daging unta tersebut menjawab bahwa yang melakukan itu adalah Nu’aiman.

Salah seorang dari mereka lalu menunjukkan kepada Rasulullah dan tamunya daerah persembunyian Nu’aiman.

Saat ditanya Rasulullah mengapa melakukan itu, balasan Nu’aiman malah menciptakan Rasulullah tersenyum.

“Tanyakan saja terhadap orang yang menawarkan kepadamu daerah persembunyianku,” jawab Nu’aiman.

Rasulullah lalu menunjukkan ganti rugi terhadap pemilik unta tersebut dengan jumlah yang lebih dari pada cukup.

Nu’aiman Mentraktir Rasulullah SAW

Alkisah, suatu malam menjelang subuh Nu’aiman mabuk berat dan tak mungkin pulang. Tepat di depan masjid beliau merebahkan badannya untuk sedikit menetralisir kemabukannya. Ketika beliau terbangun hari telah siang, maka Nu’aiman merasa perutnya amat sungguh lapar.

Kebetulan dikala beliau menengok, terlihat pedagang masakan yang melalui di depan masjid tempat ia bersandar, dan tanpa pikir panjang Nu’aiman pun eksklusif mencegat penjual makanan tersebut. Tanpa sengaja ekor matanya menyaksikan Rasulullah sedang berada di dalam masjid.

Nuaiman lalu memesan dua kuliner kemudian mencari Rasulullah di dalam masjid dan mengajaknya makan. Keduanya pun makan sampai habis. Saat masakan telah habis Rasulullah kemudian bangkit hendak masuk ke masjid. Namun, Nuaiman mencegatnya sembari berkata.

“Mau ke mana engkau Ya Rasul? Sepertinya tak ada beban, habis makan kok enak saja ditinggal, mau tidak bayar yaa?” ucap Nu’aiman dengan ringan.

Rasulullah pun menjawab, “Kan yang memesan dan menawariku makan bukannya kau?”.

“Iya… memang betul ya Rasul, namun di mana-mana seorang raja atau pemimpin itu bukankah melayani, mengayomi, dan mentraktir anak buahnya. Masa saya yang mesti bayar untuk seorang Nabi Allah?” kata Nuaiman.

Melihat kelakuan Nuaiman Rasulullah lalu tersenyum dan merasa geli hatinya.