Oleh Perdana Kartawiyudha
Struktur 3 babak sebetulnya sudah diperkenalkan Aristoteles, pada jaman Yunani Kuno. Konsep ini dengan-cara turun-temurun digunakan & terbukti sukses dlm aneka macam macam bentuk penceritaan. Belakangan konsep ini disempurnakan dlm konteks dongeng film oleh Syd Field dlm bukunya Screenplay.
Disebut struktur sebab menjadi kerangka dasar yg menentukan mirip apa bangunan ceritanya nantinya. Tiga babak dlm struktur ini terdiri dr babak 1 yg berisi perkenalan (beginning), babak 2 berisi kemajuan pertentangan (middle), & babak 3 berisi resolusi (end). Antar babak dipisahkan oleh tiang-tiang penyangga kisah yg disebut Plot Point (PP) atau disebut pula Key Turning Point (KTP) yg menjadi penunjukposisi huruf dlm meraih maksudnya.
Struktur Cerita Tiga Babak Pada Film |
Dengan memakai struktur 3 babak, kita bisa mendapatkan kerangka kisah yg solid, terarah, sekaligus dramatik sebelum masuk hal-hal detil mirip plot, adegan atau obrolan.
Pada bagian ini kita akan membahas lebih jauh mengenai struktur 3 babak & bagaimana penerapannya dlm film pendek.
Babak 1
Babak 1 dengan-cara umum berisi perkenalan abjad, beserta problematika yg hadir & kemudian meningkat pada babak-babak berikutnya. Berikut yakni hal-hal yg mestinya terwujud dlm Babak 1 antara lain:
1. Karakter dlm Eksposisi Awal (Status Quo)
Pada bagian ini protagonis ditampilkan dlm kesehariannya. Tatkala membicarakan kesehariannya, tak kemudian diartikan bahwa kita cuma menampilkan kejadian kegiatan rutin yg terlihat membosankan mirip berdiri pagi, sarapan, berangkat kerja, & seterusnya. Kita bisa menentukan potongan yg menarik & dramatik dr keseharian aksara kita untuk memulai kisah. Oleh karena itu penting bagi kita untuk merancang karakter kita seutuh mungkin sejak permulaan, sehingga kita bisa mudah mengidentifikasi rutinitas huruf seperti apa yg mempesona untuk ditampilkan pada penonton.
Jika abjad kita ialah seorang pencuri, kita bisa gambarkan keseharian ia berupaya untuk lolos menjalankan aksi pencuriannya. Contoh lain ialah kalau protagonis kita adalah seorang pedagang masakan di pinggir jalan, kita bisa tampilkan bisnisnya mempesona pejalan kaki untuk mampir & membeli dagangannya, atau bisa jadi rutinitasnya yakni diburu-buru Satpol PP.
Pengenalan awal ini bertujuan untuk membuat penonton mengenal siapa protagonis kita & kesehariannya, sebelum persoalan gres datang & bermetamorfosis dongeng dlm film ini. Pada saatnya persoalan tiba, penonton bisa berharap untuk huruf bisa kembali pada kondisi tanpa gangguannya (status quo) atau bahkan lebih baik lagi dr itu. Konsekuensi dr ini, penonton jadi lebih terikat & peduli pada huruf sehingga mereka merasa perlu untuk terlibat dlm perjalanan abjad di sepanjang film.
Meski demikian, penulis perlu berhati-hati untuk tak menawarkan berita yg terlampau banyak pada belahan ini alasannya adalah penonton butuh sesegera mungkin diperkenalkan pada masalah utama. Eksposisi awal yg terlalu panjang menciptakan penoton jenuh. Pengenalan abjad bisa terus dilanjutkan seiring berkembangnya dongeng, jadi tak perlu semua ditumpuk di depan.
Tidak pernah ada ukuran baku untuk berapa sebaiknya kepingan ini dlm sebuah kisah. Justru di sinilah seninya. Penulis mesti dapat menakar dgn baik apakah pengenalan ini sudah cukup membuat penonton merasa terikat dgn karakter terutama tanpa membuat penonton merasa bosan menontonnya.
2. Inciting Incident (point of attack)
Pada pecahan ini, untuk pertama kalinya abjad mendapat “serangan”, baik dengan-cara fisik, emosional, ataupun campuran keduanya. Serangan fisik bisa berupa gangguan dr karakter lain atau suasana alam, sedangkan serangan emosional bisa berupa kejenuhan, kerinduan, kecemasan, & lain sebagainya.
Jangan bayangkan inciting incident ini selalu hal negatif yg mengganggu kegiatan rutin karakter.Dia bisa berwujud sesuatu yg seolah positif seperti berjumpa dgn idola, berjumpa dgn benda pengabul cita-cita, atau sekadar menemukan dompet tatkala lagi butuh-butuhnya uang. Tatkala aksara menindaklanjuti inciting incident yg seakan-akan positif ini, dlm kemajuan ceritanya akan memunculkan konsekuensi-konsekuensi yg tak terbayangkan sebelumnya yg kemudian jadi pertentangan dlm dongeng ini.
Inciting incident yg baik biasanya memang harus mendesak protagonis untuk sesegera mungkin bereaksi & beraksi. Serangan ini mestinya sesuatu yg baru bagi abjad, tak dgn gampang disingkirkan atau diatasi, sehingga mempunyai urgensi untuk segera ditindaklanjuti. Karakter sebenarnya punya argumentasi untuk tak menindaklanjutinya & tetap bertahan dlm status quo, namun dorongan inciting incident ini harus sebegitu besarnya sehingga menjadikannya mesti bertekad menghadapi apapun risiko yg ada di depannya. Kalau tidak, tak akan jadi dongeng.
3. Protagonis berjumpa konflik utama
Pada dikala mendapat “serangan” dlm inciting incident yg memaksanya bereaksi, karakter pun dihadapkan pada ancaman atau hambatan yg bertubrukan dgn tujuan yg ingin dicapai. Halangan ini bisa sudah ada semenjak awal kemudian menyusul harapan (selaku reaksi atas hambatan tersebut), atau sebaliknya, bisa pula harapan hadir sejak awal & dlm proses mewujudkannya, timbul halangan.
Tatkala tujuan karakter diganggu oleh suatu atau beberapa halangan (obstacle), disitulah timbul pertentangan. Cerita film yg baik, mestinya bisa diketahui dgn terperinci benturan konfliknya sehingga penonton bisa secepatnya terikat dgn film untuk menyaksikan bagaimana huruf bekerja keras menangani konfik tersebut.
Hambatan bisa terukur tingkat kesulitannya semenjak awal namun bisa pula mengelabuhi huruf seperti efek gunung es.Artinya, hambatan tipe gunung es, adalah tipe hambatan pada mulanya terlihat kecil & mudah ditaklukkan. Realitanya, tatkala protagonis betul-betul sudah bertekad menaklukkannya, ternyata kendala ini lebih besar & berbahaya. Tatkala aksara menyadarinya, lazimnya sudah telat untuk memutar kembali karena ia sadar pada titik itu risiko untuk kembali sudah begitu besar. Karakter tidak mempunyai opsi lain selain menghadapinya.
Halangan bisa aneka macam bentuk & tak jarang lebih dr satu jenis. Berikut adalah kemungkinannya:
a. Karakter lain (antagonis)
b. Setting (ruang & waktu)
c. Sistem
d. Nasib/Takdir
e. Diri sendiri
4. Nuansa film (genre)
Nuansa dlm film sangat menentukan emosi mirip apa yg timbul dlm diri penonton selama menonton film ini. Apakah berwujud ketakutan, kecemasan, suka cita, atau duka lara? Rasa yg bisa diidentifikasi dgn terperinci pada permulaan film menciptakan penonton dengan-cara sadar ataupun tak bisa menentukan genre dr film ini, apakah drama, horror, komedi, atau genre yg lain. Dengan genre yg lebih jelas, selanjutnya penonton bisa menciptakan ekspektasi akan dibawa kemana rasa & dongeng film ini kemudian. Ekspektasi inilah yg sebaiknya terus dijaga konsistensinya disepanjang film. Meski demikian, penulis pun bisa saja membelokkan genre, memainkan ekspektasi penonton menjadi kejutan-kejutan yg tampil di tengah ataupun selesai film.
Plot Point 1 atau Key Turning Point 1
Babak 1 & Babak 2 umumnya dipisahkan oleh Plot Point 1 atau disebut pula Turning Point 1. Ini adalah titik di mana huruf, sesudah menyadari tujuan yg ingin diwujudkan & duduk perkara yg dihadapi, akhirnya menetapkan untuk berupaya untuk mendapatkan apa yg dinginkan dlm kisah ini. Let’s do this! Ini menjadi titik permulaan di mana abjad menjalani “petualangan baru” dlm hidupnya, dimulai dr babak 2.
Lanjutan postingan ini bisa dilihat di Cerita dgn Struktur Cerita Tiga Babak Pada Film (Bagian 2)
Sumber: Buku Menulis Cerita Film Pendek: Sebuah Modul Workshop Penulisan Skenario Tingkat Dasar. Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan & Kebudayaan, 2017. Tim Penyusun: Perdana Kartawiyudha (koordinator), Baskoro Adi Wuryanto, Damas Cendekia, Melody Muchransyah, & Rahabi Mandra.