Cara berbusana Orang Baduy
Baduy Dalam, untuk laki-laki memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, sebab cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di tubuh. Desain baju sangsang hanya dilobangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya ialah serba putih. Pembuatannya hanya memakai tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun mesti terbuat dari benang kapas orisinil yang ditenun.
Bagian bawahnya memakai kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar besar lengan berkuasa dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Mereka tidak memakai celana, alasannya adalah busana tersebut dianggap barang tabu.
Selain baju dan kain sarung yang dililitkan tadi, kelengkapan busana pada bab kepala menggunakan ikat kepala berwarna putih pula. Ikat kepala ini berfungsi sebagai epilog rambut mereka yang panjang. Kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk yang melingkar di lehernya. Pakaian Baduy Dalam yang bercorak serba putih polos itu dapat mengandung makna bahwa kehidupan mereka masih suci dan belum terpengaruh budaya luar.
Bagi suku Baduy Luar, pakaian yang mereka pakai yaitu baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua hingga ke bawah, seperti baju yang biasa digunakan khalayak ramai. Sedangkan pecahan bajunya mengunakan kantong, kancing dan materi dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Panamping memamg ada sedikit keleluasaan kalau daripada Baduy Dalam. Melihat warna, versi maupun corak busana Baduy Luar, pertanda bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar.
Kelengkapan pakaian bagi golongan laki-laki Baduy ialah amat penting. Rasanya pakaian laki-laki belum lengkap apabila tidak memakai senjata. Bagi Baduy Dalam maupun Luar kalau bepergian senantiasa menenteng senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya. Pakaian ini biasanya masih dilengkapi pula dengan tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di pundaknya.
Sedangkan, busana yang dipakai di kelompok perempuan Baduy, baik Kajeroan maupun Panamping tidak menampakkan perbedaan yang menonjol . Model, serpihan dan warna busana, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan pakaian semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini umumnya dikenakan untuk busana sehari-hari di rumah. Bagi perempuan yang sudah menikah, umumnya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya mesti tertutup. Untuk pakain bepergian, lazimnya wanita Baduy menggunakan kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam yakni putih dan materi dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri.
Untuk menyanggupi kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri dan dikerjakan oleh kaum perempuan. Dimulai dari menanam biji kapas, kemuduan dipanen, dipintal, ditenun sampai dicelup berdasarkan motifnya khasnya. Penggunaan warna busana untuk kebutuhan busana cuma memakai warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung atau kain perempuan hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna merah.
Semua hasil tenunan tersebut lazimnya tidak dijual namun digunakan sendiri. Bertenun lazimnya dilakukan oleh perempuan pada saat setelah panen. Jenis pakaian yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung, kain perempuan, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang dijalankan oleh golongan pria di antaranya ialah membuat golok dan tas koja, yang yang dibuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.
Dari model, serpihan dan cara berbusananya saja, secara sepintas orang akan tahu bahwa itu yaitu suku Baduy. Memang, busana bagi suku Baduy bukanlah sekedar untuk melindungi tubuh saja, melainkan lebih bersifat sebagai identitas budaya yang melekatnya. Mereka percaya bahwa semuanya itu merupakan warisan yang dituturkan oleh karuhun atau nenek moyang mereka untuk dijaga.
Dari komplemen, suku Baduy menganggap manik-manik yang berwarna orange, merah, atau hijau, selaku sebuah komplemen yang berharga. Mungkin sama sebagaimana orang modern melihat emas dan berlian.