Burung-burung Mbah Sinting | Cerpen Ang Ariandi

Lelaki yg tak pandai mengelola janggut itu—para pemuda tanggung menjulukinya Mbah Sinting—konon veteran berpangkat sersan. Namun bukan sembarang sersan.

Desas-desus yg gue dengar dr warung kopi di ujung perumahan, Mbah Sinting yg sehari-hari cuma berbicara dgn burung-burung peliharaannya bukan pensiunan tentara asal pilih. ia orang suci yg menerima pencerahan di bawah pohon kersen suatu malam. Dengan pencerahan agung itu, para burung menobatkan Mbah Sinting sebagai satu-satunya wali dr kelompok militer Angkatan Darat. Itulah paling tak kabar yg kuterima dr kelakar orang-orang di sekitar perumahan.

Aku awalnya tak begitu peduli pada laki-laki veteran berbadan cungkring itu. Namun karena gue mengontrak di samping rumahnya, di kompleks perumahan cacat veteran yg nyaris seluruh rumah kini dikontrakkan pada warga sipil yg tak cacat & bukan veteran, mau tidak ingin gue sering berpapasan dgn janggut kusut silver-nya, meski sekadar bertukar salam atau basa-kedaluwarsa saling sapa tentang sembilan burungnya.

Aku tak terlalu paham kesembilan burung itu. Yang gue tahu, semua burung itu memiliki warna & kicauan berlainan-beda. ia memberi sangkar setiap burung dgn motif & warna tak sama. Ya, sembilan burung dgn sembilan warna di dlm sembilan sangkar & dgn sembilan bunyi begitu runcing & menjengkelkan. Lebih menjengkelkan dr dengung kaus kaki Afrizal Malna.

Sembilan hari gue menjadi tetangganya, hidup secara tiba-tiba menjadi lebih ingar dr bayanganku. Selalu ada bunyi cericit-cuit. Selalu ada bunyi petikan jari & siulan. Selalu ada kedongkolan. Selalu ada bunyi-suara!

Namun tatkala gue mencoba membuka pintu dialog untuk menuntaskan permasalahan bunyi itu, Mbah Sinting mengelak & berlagak sibuk dgn burungnya.

“Maaf, orang yg Anda maksud sedang sibuk! Silakan lewati pesan Anda sesudah terdengar nada berikut. Klik!”

Semula gue hanya menilai itu dagelan. Namun tatkala kali ketiga ia mengatakan hal serupa, gue pun meladeni kegilaannya.

  Buron | Cerpen Adam Yudhistira

Ketika jarinya menjentik “klik!”, sebuah pesan pun kutinggalkan. “Anu, Mbah, volume bunyi burung Mbah mampu dikecilin dikit gak ya, Mbah? Makasih!”

Tut…tut…tut…. Sepi.

Malam hari, sesudah gue pulang lembur, tak seperti lazimMbah Sinting duduk melongo di depan rumah.

“Malam, Mbah!” sapaku sambil memasukkan kaus kaki ke mulut sepatu.

“Setiap waktu yakni sore!” jawab Mbah Sinting ketus.

Sialan! Jika bukan alasannya adalah pendatang baru, tentu gue tak akan memilih tersenyum pada Mbah Sinting. Namun sebagai pendatang baru, gue dituntut mengenali waktu yg sempurna untuk tersenyum.

“Sudah ngopi, Mbah?”

Mbah Sinting hanya melirik.

Setelah melengos ke bilik dapur, mengolah makanan air & menuangkan kopi sasetan ke dlm gelas, gue pun mengganti seragam pabrik dgn kaus oblong supaya tampaklebih manusiawi di mata Mbah sinting.

Ditengahi dua gelas kopi, lima batang rokok, & suatu asbak dr kulit kerang kima, malam itu obrolan dgn Mbah Sinting berjalan khidmat, tetapi penuh retorika, asap rokok yg berpilin, & kecerdikan yg menjelimet.

“Kaprikornus gimana, Mbah? Pesan saya sudah Mbah terima kan?” kataku sambil menyulut sebatang rokok.

Mbah Sinting mengangguk. Setelah menyulut sebatang rokok yg kugeletakkan di atas meja tanpa permisi, ia pun berkata dgn tenang. “Aku sudah berbicara pada burung-burungku agar mereka mengecilkan bunyi.”

“Hasilnya, Mbah?” tanyaku berpura-pura penasaran.

“Mereka menolak!”

Sial!

“Jika kau tak puas, silakan usikan gugatan. Namun jikalau kau ingin menuntaskan dengan-cara kekeluargaan, bicaralah eksklusif dgn burung-burungku. Mereka pendengar yg baik!”

Aku menyeruput kopi & membetulkan posisi duduk.

“Bagaimana Mbah percaya saya bisa bicara pada burung-burung itu?”

Mbah Sinting membiarkan pertanyaanku melayang-layang beberapa saat.

“Aku melihatmu mampu mengatakan & mendengar. Begitu pun burung-burungku. Makara kupikir tak ada masalah!”

“Saya bukan Kanjeng Nabi Sulaiman, Mbah. Jadi bagaimana mampu bicara pada burung-burung?”

“Bicara saja! Apa sulitnya bicara?”

Walah!

Begitulah, sehabis obrolan malam itu, diam-diam ada serpihan dlm diriku yg lain dengan-cara memalukan tiba-tiba begitu mengagumi sosok Mbah Sinting.

*****

Sinar matahari masih suam-suam kuku tatkala gue terbangun & mendapati Mbah Sinting di pekarangan menjemur burung-burungnya. Setelah menyeduh kopi & menyiapkan beberapa batang rokok sebagai pancingan, gue menghampiri Mbah Sinting yg sibuk menggantung sangkar burung di dahan rambutan cangkokan.

  Lima Cerpen Sapardi Djoko Damono | Cerpen Sapardi Djoko Damono

“Saya bantu, Mbah!” ujarku mencari-cari perhatian.

Tanpa menanti jawaban, gue mengambil kandang berwarna hijau. Dalam sangkar itu seekor burung kecil berwarna hijau meloncat-loncat lincah.

“Ini burung apa, Mbah?” tanyaku.

“Burung yg enggan disebutkan namanya!”

Hm… boleh saya panggil Zamrud, Mbah?”

“Tanya saja pada beliau!”

Sebelum menggantungkan kandang di dahan rambutan, gue mengajukan pertanyaan pada si hijau tentang kesediaannya kupanggil Zamrud. Namun tak ada jawaban.

Selesai menggantungkan sangkar burung, gue & Mbah Sinting duduk di suatu dingklik. Kami menikmati kehangatan matahari Minggu. Tentu dgn rokok & segelas kopi.

“Kalau saya perhatikan, kadang kehidupan saya selaku buruh pabrik tak jauh beda dr burung-burung Mbah. Bisa minum & makan…, tetapi terkekang!”

Mbah Sinting mendelik.

“Kenapa tak Mbah biarkan burung-burung itu bebas? Biar merdeka mirip Indonesia. Hi-hi-hi….”

Mbah Sinting menyulut rokok yg semula terselip di kopiahnya. Setelah dua isapan panjang, ia berujar. “Karena dunia ialah penjara & kebebasan itu tak pernah ada! Lagipula burung-burung itu sangat menikmati keterpenjaraan. Bukankah kau dengar kicau obrolan mereka?”

Hm… iya, Mbah. Kalau keleluasaan nggak ada, Mbah, terus…. Mbah dahulu mati-matian perang bukan buat merebut kemerdekaan? Maksud saya merebut keleluasaan dr cengkeraman penjajah.”

“Aku cuma mengisi waktu luang!”

“Maksud, Mbah?”

Mbah Sinting beringsut.

“Ketika seekor burung dilepaskan dr sarang, sebenarnya cuma melemparkan diri ke penjara lebih luas. Tidak ada keleluasaan mampu betul-betul disebut kebebasan. Tak terkecuali manusia, tak terkecuali deretan pulau yg bernama Indonesia, alasannya adalah dunia yakni penjara!”

Hm… dr mana Mbah percaya keleluasaan tak ada?”

“Dari burung-burung itu!”

“Namun burung hijau yg saya gantungkan itu ingin bebas lo, Mbah! ia yg omong pada saya!” jawabku sekenanya.

  Cerpen: Sarung Ayah

Di luar prasangka, Mbah Sinting menatap tajam kepadaku dgn geram.

“Kamu berdusta! Burung yg kau gantungkan itu tak mengucapkan apa pun, kecuali satu hal!”

“Apa, Mbah?”

Subhanallah ‘amma yashifuun, subhanallah ‘amma yusrikuun!

Edan!

*****

Begitulah seterusnya. Melewati obrolan demi pembicaraan, kekagumanku pada Mbah Sinting makin ahad kian sampai ke puncak. Terlebih tatkala sekali waktu ia menyampaikan, “Bawalah kamus dlm dirimu. Karena segala sesuatu selalu bicara dgn bahasanya & setiap kawasan memiliki bahasa masing-masing.”

Aku seperti seseorang yg sedang gencar dimabuk asmara. Sampai-hingga tatkala setiap pagi gue melihat Mbah Sinting memandangi burung-burungnya, rasanya gue ingin sekali mencopot baju seragam pabrikku & mengubah dgn sarung & kaus oblong demi menghabiskan kebersamaan dgn kekonyolan yg menakjubkan.

Aku merasa Mbah Sinting satu-satunya di kompleks ini mitra merokok yg kuharapkan. ia kawan dekat yg sanggup menaungi kesunyianku, sehingga gue tak peduli kalau seluruh tukang ojek & pemuda tanggung terus mengolok-olok ia selaku wali yg menerima pencerahan di bawah pohon Kersen sebab hatiku sudah diliputi kedahsyatan & kekaguman. Namun pada suatu Jumat paling murung, kekagumanku pada Mbah Sinting tercederai oleh wasiatnya yg menggemparkan.

“Dunia ini penjara. Jika sudah datang kebebasanku, ambillah burung-burung itu sebagai hadiah waktu luangku atau lepaskanlah!”

Aku tercekat. Aku merasa tak sebaiknya Mbah Sinting berkata selancang itu, justru tatkala kekagumanku sampai ke puncak! Maka tatkala waktu menggenapi wasiatnya itu, tepat pada pukul 09.00, 19 bulan berkat, gue pun sungguh-sungguh kehilangan seorang teman. Aku merasa hidup lebih sunyi dr bayanganku. Sementara itu ketinggian pagar pabrik yg mengurungku makin hari kian tak terlampaui. Bahkan oleh sembilan ekor burung Mbah Sinting sekalipun. (*)