Biografi Ayam Betina | Cerpen Dody Widianto

Dibanding yg lain, ia terlahir dgn tubuh paling imut-imut. Saat gue memberi pakan beras atau dedak, ia sering jadi incaran kemarahan saudaranya. Bulu di kepalanya ludes hingga batang leher. Rontok kena patokan paruh kakak-kakaknya. Kepalanya pelontos & lucu. Kadang temboloknya kempis. Ia takut berebut kuliner dgn lima saudaranya. Lebih memilih terdiam menahan lapar di pojok luar kandang. Membiarkanku memberi pakan tersendiri jauh dr saudaranya.


Ayam paling penakut itu kuberi nama Roy. Lalu kelima saudaranya kuberi nama Bima, Arjuna, Yudhistira, Nakula, & Sadewa. ia terlahir dr induk yg sama. Keluar dr telur & lubang pengeluaran yg sama. Entah kenapa ia mendapat perlakuan berbeda dr saudara-saudaranya. Dan Roy yakni nama anak laki-laki kecil malang dlm sinetron yg sering Emak tonton disalah satu stasiun televisi swasta. Nasibnya seperti sekali dgn tokoh itu. Ia pula tinggal dgn saudara tiri.


“Kenapa kauberi nama Roy. ia perempuan satu-satunya.”

Emak tiba-tiba timbul dr balik punggungku.

“Tak apa, Mak. Besar nanti ia pula bisa memilih ganti kelamin apa. Artis-artis kini pula begitu. Lagipula induk ayam ini sudah kita makan dikala gue sunatan. Emak Roy pasti tak tahu ayam ini mau menentukan kelamin apa.”


“Sejak kapan ananda tahu artis bisa ganti kelamin? Itu dosa.”

“Sejak Emak sering nonton infotainment. Ayam ini tak tahu dosa kan?”

Emak mengerutkan alis. Geleng-geleng sambil ngeloyor pergi. Memendam kata “terserah” yg tak jadi keluar dr bibirnya. Merasa bersalah alasannya adalah sering menonton tayangan yg menurutnya tak baik untukku.

Aku mengeluarkan seluruh pakan bercampur nasi dr ketel & memasukkan ke mangkuk. Lalu menyisihkan segenggam untuk Roy. Aku tahu, ia takut berebut dgn saudaranya. Aku senantiasa memberinya pakan ditempat terpisah, sebelum memasukkan mereka semua ke kandang. Sebelum magrib tiba.

Dibelakang rumah, dua bulan lalu ayam babonku menetaskan sebelas anak ayam yg lucu-lucu. Hingga hari ini cuma enam ekor yg hidup. Lima tewas jadi suguhan garangan hanya dlm rentang waktu sepekan. Rumah kami memang dikelilingi kebun kosong.

Beberapa hari setelah itu, demi keamanan, gue berbagi rumah-rumahan ayam berskala satu kali setengah meter setinggi semeter kurang dibelakang rumah. Empat tiang penyangga utama dr batang bambu masih utuh. Pinggirannya dr bambu yg kubelah empat. Kususun rapi terpaku & berjajar. 


Dipinggir agak paling bawah, ada lubang kecil selaku pintu untuk tempat keluar-masuk ayam. Bawahnya gue tutupi irisan bambu yg kususun jarang-jarang biar kotoran ayam tak tertahan & gampang jatuh ke tanah. Untuk atap, gue gunakan sobekan seng pemberian tetangga.

  Mata di Bibir Subuh | Cerpen Artie Ahmad

Bapak memang jarang dirumah. Aku mencar ilmu bagaimana menciptakan ayam-ayamku bisa cepat tumbuh besar & tidur tenteram. Berkat ayam-ayam itu, gue masih bisa terus sekolah. Jika mereka sudah besar & pantas jual, bisa untuk membayar SPP jikalau Bapak tak kunjung pulang dr Surabaya tempatnya melakukan pekerjaan .

Untuk persoalan tidur, gue biarkan Roy tidur satu sangkar dgn saudara-saudaranya. Walaupun ia paling imut-imut, gue tak akan pernah membiarkannya tinggal dikandang sendiri seperti kamar VIP. Roy bukan tahanan korupsi. Biarkan ia satu kamar dgn yg lain.

Malam hari, saat akan tidur, ia tetap jadi incaran keusilan saudara-saudaranya. Sampai kadang terdengar bunyi kaok-kaok yg lantang. Aku tetap membiarkannya. Aku tak mau Roy yg baru berumur dua bulan bermetamorfosis ayam babon yg bagus, lalu lupa saudaranya. ia tetaplah saudara dr kelima ayamku yg lain.

Belakangan gue jadi ingat Uwa Darni, abang kandung Ibu yg paling kaya di kampung ini. Suaminya melakukan pekerjaan di pertambangan, Martapura. Dua anak gadisnya telah bermetamorfosis sampaumur. Satu bareng suaminya di Aceh, satu lagi kuliah di Jogja. Namun ia tak pernah mau tahu kesusahan kami. 


Pagi tadi, Ibu tiba baik-baik demi meminjam uang untuk biaya sekolahku. Kata pihak sekolah, gue tak boleh ikut ujian simpulan kalau masih menunggak SPP. Itu berarti gue tak akan pernah lagi mampu meneruskan ke SMP. Uwa Darni bilang suaminya belum transfer uang bulan ini. Padahal lengannya penuh gelang emas. Mungkin benar, harta tak pernah kenal saudara.

Ibu sebenarnya sungkan berutang. Namun demi aku, apa pun akan ia lakukan semoga gue tetap mampu bersekolah. Ibu tahu kami bukan dr keluarga kaya. Dari kisah Ibu, Bapak hanyalah kuli panggul di gudang beras dinas perbekalan Tentara Nasional Indonesia AL Surabaya. Bapak & Ibu bilang tak ada yg bisa mereka berikan untukku selain pendidikan yg pantas. Demi masa depanku kelak.

Kami pulang dr Uwa Darni bukan mendapat duit, melainkan nasi kemarin yg agak basi dlm kantong plastik. Katanya itu bisa kugunakan selaku adonan pakan ayam. Ibu tak memperlihatkan muka murka atau kecewa. Sambil menggandeng tanganku menyusuri jalan, ia malah pulang dgn senang. Aku sedikit meradang. Menganggap ini penghinaan.

  Cerpen: Lestarikan Budaya Dalam Balutan Pakaian

“Nanti kau paham. Orang yg senantiasa berupaya menyambung silaturahmi akan senantiasa menerima kebaikan. Rezeki tak mesti berupa uang. Besok pagi Emak akan datang ke sekolah.”

Aku tak paham maksud Emak. Bukankah kami sedang butuh duit suplemen, bukan nasi busuk? Sambil terus berlangsung pulang, ia malah terus memijit-mijit belakang kepalaku.

Emak senantiasa menyuruhku mandi sehabis memasukkan ayam-ayam. Setengah jam lagi program mengaji di tabrak menjelang salat magrib. Aku anak laki-laki satu-satunya di rumah. Emak menginginkanku jadi anak yg tak sekadar paham agama, tetapi mampu menjalankan semua keharusan. Bagi Emak, ilmu sekolah pula penting. Namun dia bilang, ilmu agama semuanya.

Tiba-tiba Emak memberiku satu kantong berisi mangga kuweni dan sayur urap kembang turi dlm bungkusan plastik. Dua kuliner dgn aroma menarik hati.

“Sebelum hingga sabung, mampir dahulu ke rumah Uwa Darni. ia bilang ingin sekali makan mangga kuweni kita. Ada mangga harum manis yg masih mentah didalamnya. Kemarin ia pesan begitu. Tubuhnya tampakagak beda dr biasa, lebih berisi tetapi pucat. Takut ia sakit. Jangan lupa, pribadi berikan pada ia ya.”

Aku mengangguk. Agak jengkel. Nasi busuk kemarin ditukar sayur kesukaanku. Namun demi menciptakan hati Emak senang, gue tak kuasa menolak permintaannya.

Tiga bulan berlalu, Roy menjelma babon bagus. Belakangan ia malah tak pernah berkumpul dgn saudara-saudaranya. Kata Emak, ia kesengsem kegagahan ayam mahir tetangga belakang rumah. Berdua saja ke mana pun mereka pergi. Lima saudaranya yg gue beri nama Pandawa pula sudah menjelma ayam hebat gagah. Selalu berkokok, bersahut-sahutan pagi & petang. Emak malah kadang memandangku ajaib dgn nama mereka.

“Bukankah Pandawa itu baik? Kenapa saat kecil dulu mereka jahat pada Roy.”

“Aku tahu bantuan nama pula doa. Tapi sebuah nama bukan jaminan anaknya akan jadi baik kan, Mak? Anak Ustaz Damri itu pakai nama depan Arab & nama belakang Eropa. Aku ingin tau sampai buka Google demi mencari artinya. Eh, tak tahunya malah ia dipenjara alasannya narkoba.”

  Kupanggil Dia Wesa | Cerpen Uniawati

Emak geleng-geleng di sebelahku. Merasa kalah berdebat. Lalu memasukkan kayu-kayu yg terbakar ke dlm tungku. Sedang mengolah makanan nasi sebelum gue berangkat. Kali ini, Emak cuma mengolah makanan sayur jantung pisang & tempe goreng. Itu lebih dr cukup.

Pulang sekolah, gue terkejut menyaksikan kerumunan didepan rumah Uwa Darni. Jalan ke sekolah persis di depan rumahnya. Aku melebur bersama orang-orang, melihat Uwa Darni menangis didepan teras. Lengannya dipegangi Uwa Seto, adik Uwa Darni. Wajah Pak RT tampakmerah padam. Terdengar beberapa bentakan. Aku tak paham ada apa. Kembali keluar dr kerumunan, kemudian berlari & terus berlari pulang. Ibu pasti tak tahu. Mudah-mudahan ia sudah pulang dr panen kacang hijau di sawah.

Malam itu Ibu menangis di dlm kamar. Ibu bilang senang karena Bapak di Surabaya diangkat pegawai negeri. Bapak mengirim kabar melalui pos. Dari kelurahan, surat sarat cinta itu diberikan Istimewa untuk Ibu. Di pangkuannya, Ibu menciumi kepalaku berulang-ulang. Namun tangis itu tak pernah berhenti.

“Ini info murung & bahagia, namun Ibu menangis bukan alasannya adalah Bapak, Nak. Karena kakakku, Uwa Darni.”

Aku menyaksikan wajahnya yg kuyu. Lalu berkata pelan padaku, Uwa Darni hamil empat bulan. Bagaimana mungkin ia bisa hamil, sedangkan suaminya tinggal di Martapura & nyaris setahun tak pulang? Mendengar dr warga, Uwa Seto yg sudah melaksanakan semua. Aku membisu saja mendengar semua kisahnya hingga kantuk mengantarku tidur.

Pagi hari, ketika ayam-ayam hendak kukeluarkan, gue tak sadar Roy sudah bertelur dipojokan sangkar. Dua butir berwarna putih keabu-abuan tergeletak begitu saja diatas tanah. Emak menyuruhku mencari jerami, kemudian mengembangkan daerah pengeraman. Bulatan yg mengagumkanku. Rasa penasaranku timbul.

“Kira-kira telur ini anak siapa ya, Mak? Bulu Roy kuning merah. ia selalu berdua saja dgn ayam hebat tetangga belakang rumah yg putih polos. Aku ingin tau nanti anak-anaknya punya bulu warna apa. Tapi kemarin gue melihat Bima menunggangi tubuhnya, memberinya telur. Bima kan saudaranya?”

Emak geleng-geleng menatapku, sedikit mengulum senyum.

“Dia binatang. Mana tahu Bima saudaranya atau bukan. Kamu lucu.”

Aku mengangguk-ngangguk sambil menempelkan telunjukku diujung dagu. Terus memperhatikan dua butir telur itu. Lalu punya anggapan, besok Roy kupanggil Darni saja. (*)