close

Berburu Malam Seribu Bulan | Cerpen Faris Al Faisal

MALAM seribu bulan. Membayangkannya sangat indah bukan bikinan. Langit malam dipenuhi bermacam purnama yg terperinci benderang. Bulatan-bulatan cahaya yg banyak jumlahnya di atas langit dipandangi dr bumi dgn pancaran cahaya keindahannya. Seindah malam dgn seribu bola lampu tanglung bahkan lebih indah lagi.

“Wah, malam seribu bulan, indah sekali! Langit akan dipenuhi bulan,” gumam Anwar dlm hati ketika menyimak ceramah ustaz Halim di sebuah musala.

Tausiyah ustaz Halim selanjutnya tak lagi disimak dgn baik oleh Anwar. Bocah berpeci putih, mengenakan baju koko yg pula berwarna putih & sarung kotak-kotak berwarna cokelat itu masih pula membayangkan tentang malam seribu bulan pada malam bulan bulan rahmat. Namun, kurang jelas ia masih mengenang perkataan penceramah yg tengah mendapat giliran kultum tiap salat tarawih di mushala erat rumahnya itu, bila malam seribu bulan yg dikenal dgn nama lalilatul qadar itu hanya akan terjadi pada malam-malam ganjil pada akhir bulan bulan rahmat.

“Berarti besok malam adalah malam ke-21,” pikir Anwar yg tertarik untuk berburu malam seribu bulan. Memang setiap kali bulan puasa datang, bocah itu belum pernah berburu lailatul qadar. Tahun ini ia bertekad untuk membidiknya.

Hari itu Anwar berpuasa dgn angan-angannya bertemu dgn malam kemuliaan itu. Di kamarnya seharian sudah ia tidur hanya untuk membekali diri semoga bisa begadang sampai waktu subuh. Lantaran niatnya untuk tidur seharian, Anwar terlewat untuk shalat Zhuhur & Ashar alasannya ketika terbangun sudah waktu berbuka puasa. Itu pun karena ibunya menerimanya di kamar sesudah apalagi dahulu sibuk mencari-cari & bertanya ke sana kemari.

  Kota ini Memberiku Kesedihan Terbaik | Cerpen Aris Kurniawan

Malam ke-21 seusai salat tarawih. Anwar memepersiapkan diri untuk berjaga jika-kalau malam ini akan terjadi malam seribu bulan. Ia sudah menyediakan obat nyamuk lotion untuk menghindari isap nyamuk-nyamuk nakal. Sepanjang malam ia menengadah ke atas langit dr beranda rumahnya. Hanya tampak bulan tunggal berupa seperti sesisir pisang cavendish. Namun, angin malam yg sepoi-sepoi menidurkannya di kursi panjang yg terbuat dr rotan produksi pengrajin rotan Cirebon. Saat terbangun ia terheran-heran, tahu-tahu ia sudah berada di kamarnya di atas pembaringannya.

“Ayahmu yg membopong masuk ke kamar,” tutur ibu Anwar sambil mempersiapkan makan sahur.

Seusai shalat Subuh & menyimak kultum subuh, orang-orang belum beranjak dr mushala karena di luar gerimis. Anwar duduk-duduk mendengarkan orang-orang berdebat perihal malam seribu bulan.

“Bukan, sepertinya semalam bukan malam seribu bulan. Pagi ini langit mendung & turun hujan. Bukannya jika semalam lailatul qadar udara & suasana pagi ini akan terasa hening.”

Dalam hati Anwar girang karena semalam bukan malam istimewa turunnya Quran. Ia masih mempunyai peluang untuk berjumpa dengannya.

Malam ke-23 seusai salat tarawih. Anwar masih pula berjaga di serambi rumahnya. Berkali-kali ayah & ibunya menegur biar ia masuk ke dlm kamarnya.

“Ia Anwar dengar, dalam waktu dekat,” jawabnya. Kemudian, ia masuk ke dlm rumah, bukan untuk tidur, tapi guna menyeduh kopi supaya matanya tahan melek.

Dalam hati Anwar heran, kenapa ayah ibunya tak berburu malam seribu bulan. Ah, mungkin ayah & ibu sudah pernah bersua dgn malam turunnya malaikat Jibril ke bumi.

Tetapi kembali, Anwar terlelap di kursi panjang setelah letih mendongak ke atas langit berkali-kali & bulan masih pula sendiri dgn bentuk lengkungnya kian runcing macam celurit. Ia gres tersadar setelah mendengar ayahnya membangunkannya untuk makan sahur.

  Yu Nalea | Cerpen Sungging Raga

“Kamu tidur di luar lagi? Ayo bangun kita santap sahur dulu.”

Pulang dr mushala, tak terdengar orang-orang bedebat wacana lailatul qadar. Anwar kecewa sebab merasa ia tertinggal potensi untuk menyaksikan malam keamanan itu. Namun, ketika pagi tiba, ia teringat sesuatu selain ciri udara & suasana pagi yg hening pula malam seribu bulan ditandai matahari terbit hingga tinggi tanpa sinar bak nampan.

“Pagi ini matahari sudah panas sekali! Kurasa semalam belum datang seribu bulan.”

Malam ke-25 pula malam ke-27. Anwar tak tidur di rumah, melainkan sengaja berburu malam seribu bulan di mushala bersama jamaah lain. Tampak ustaz Halim berada di tengah-tengah orang-orang yg sedang beribadah iktikaf. Karena aib gres bermalam di tempatnya salat tarawih, Anwar berpura-pura tiduran tetapi terlelap jua. Bocah yg masih duduk di dingklik sekolah dasar kelas III itu masih terlalu kecil untuk tak tidur semalaman.

Anwar kembali kecewa alasannya adalah dua kali di malam ganjil itu ia ketiduran melulu. Namun, ia masih tersenyum karena mendengar orang-orang masih pula berburu malam seribu bulan pada malam ganjil selanjutnya.

“Berarti belum pula bulan menjadi seribu.”

Malam ke-29. Anwar yg tengah bersila & merapal zikir kagettatkala punggungnya ditepuk oleh seseorang. Ia menengokkan kepalanya lalu menghadapnya.

“Oh, ustaz Halim. Mari silakan, Ustaz,” sembari mempersilakannya duduk bareng .

“Nak Anwar putranya bapak Salim, kan?”

“Betul, Ustaz.”

“Beberapa malam ini saya sering lihat Nak Anwar tidur di mushala ini, apa ayahmu tak mencari-cari?”

“Saya sudah izin, Ustaz.”

“Oh, bagus,” ucapnya sambil manggut-manggut.

“Ustaz, aku ingin bertanya,“ ucap Anwar kemudian berhenti untuk menyusun kata-kata, “beberapa malam ganjil ini saya berburu lailatul qadar seperti ceramah ustaz Halim.”

  Laki-laki Sejati | Cerpen Putu Wijaya

“Wah, manis itu Nak Anwar, terus?”

“Saya senantiasa tertidur sebelum menyaksikan malam seribu bulan. Apakah bulannya sejumlah seribu? Saya tengok bulannya tetap satu bahkan kian berubah malam-malam ganjil bentuk bulannya makin kecil & hilang.”

“Aih,“ ustaz Halim tergelak, “Nak Anwar ada-ada saja. Bukannya malam seribu bulan itu bulannya berjumlah seribu, melainkan keistimewaannya melebihi seribu bulan. Seribu bulan jikalau dihitung kurang lebih 83 tahunan.”

“He he he, saya yg keliru.”

“Lailatul qadar ialah rahmat dr Allah untuk umat Nabi Muhammad SAW yg usianya tak hingga seratus tahun sehingga tak mampu untuk beribadah selama seribu bulan. Oleh sebab itu, diberilah kedatangannya di setiap bulan bulan rahmat pada malam-malam ganjil yg senantiasa dirahasiakan kapan kehadirannya supaya umat Islam berlomba-lomba menerima malam seribu bulan itu dgn beribadah supaya memperoleh ampunan Allah.”

Anwar manggut-manggut lalu tersenyum. “Berarti malam ini masih ada peluang untuk menerima malam seribu bulan itu?”

“Insya Allah, Nak Anwar.”

Malam itu Anwar kembali terlelap, tetapi dlm tidurnya ia bermimpi diperlihatkan malam seribu bulan. Saat di bangunkan sahur, ia bergegas menemui ustaz Halim.

“Saya bermimpi bertemu malam seribu bulan.”

“Subhanallah, mimpi yg indah.”

Pagi itu hari terasa begitu menyejukan & matahari bersinar keperakan sebagaimana cahaya rembulan. (*)