Bangsa yang Menghargai Para Koruptor | Cerpen Pudi Jaya

Halaman rumah itu cuma enam kali luas sepetak tanah makam. Namun pembicaraan kedua orang yg duduk di dua bangku di halaman rumah itu senantiasa seluas kehidupan.

“Bung, gue sangat berterima kasih padamu yg senantiasa berkenan kukunjungi untuk sekadar bertukar keluh-kesah,” ucap Eddi.

“Aku yg lebih pantas berterima kasih padamu, Bung. Bung telah mencurahkan segenap pikiran, tenaga, waktu, & biaya untuk menilik sepak-terjang nenek moyang istriku,” jawab Ali.

“Itu memang tugasku selaku pelaksana tim usaha Soeratin selaku jagoan nasional, Bung.”

“Bukan main. Jawabanmu macam sedang mengalami masa pubertas,” sahut tuan rumah.

“Aku memang sedang mengalami masa pubertas, Bung. Sayang, masa pubertas ketiga ini bukan semangat menggebu. Namun malaikat yg mengejar-ngejar ,” balas sang tamu.

“Hus! Bagaimana proses pencarian data mengenai kakek istriku, Bung Eddi? Sudah mencukupi selaku bekal ke pemerintah?”

“Ya beginilah, Bung,” jawab Eddi. “Sudah lebih dr sekadar kokoh sebagai bekal ke pemerintah. Namun gue ingin tau, barangkali masih ada data tersembunyi. Aku takut kena tanggung, Bung.”

“Tak usah kaupikir terlalu serius, Bung!” tandas Ali. “Orang-orang seumuran kita sepatutnya sudah ongkang-ongkang. Ingat umur, ingat kesehatan. Ha-ha-ha!” Ali terkekeh, meminimalisir kesan renta pada kulit keriput & rambut putih di kepalanya.

“Kepalang lembap, Bung! Memang insiden tamat-selesai ini seperti pukulan Ellyas Pical kepadaku, ke sansak,” keluh Eddi. “Aku hanya membisu tak berdaya menerima pukulan pertama. Itulah tatkala Nurdin menunjukkan muka tebal dgn kukuh tetap menjabat ketua PSSI meski telah masuk bui. Pukulan kedua, dualisme liga sepak bola & kisruh organisasi. Disusul prestasi tim nasional yg jeblok, pemain tak digaji, sampai ada pemain mati, pengaturan skor, bahkan merebak lagi cecunguk wasit! Semua itu memukulku dengan-cara bertubi-tubi. Pukulan Ellyas Pical! Aku tetap diam & terus mengerjakan amanat.”

  Hikayat Kakek tentang Lapar | Cerpen Mashdar Zainal

“Karena itulah kubilang tak usah kaupikir terlalu serius,” ujar Ali dgn mimik serius. “Jangan salah paham. Aku tak bermaksud menyarankan Bung menyerah. Bung bilang kepalang basah, gue pun menyadari itu. Namun cobalah sedikit melihat kenyataan. Cuma segelintir orang sipil yg bergelar pahlawan. Kebanyakan gelar pendekar disandang militer. Kenapa? Karena peluang militer lebih besar untuk menyandang gelar hero daripada orang sipil,” tegas beliau.

“Apakah menurutmu Soeratin tak layak menyandang gelar satria, Bung? Beliau sosok pemberani, pembela kebenaran, & rela berkorban untuk kemerdekaan. Saat mendirikan PSSI pun, Soeratin tegas menggunakan nama Indonesia & mengibarkan bendera Merah-Putih tahun 1933 di Stadion Sriwedari. Beliau lugas keluar dr perusahaan kontruksi Bauwkundig Bureau Sitzen Lausad milik Belanda alasannya menentukan mengelola PSSI. Beliau pula membatalkan persetujuan dgn Belanda dengan-cara sepihak; selaku tantangan balik pada mereka yg tak konsisten dgn perjanjian pembentukan tim sepak bola dengan-cara kolektif!” jawab Eddi dgn nada meninggi & tangan menuding.

“Jangan terburu-buru, Bung. Kakek istriku sangat pantas menyandang gelar pahlawan. Bung mungkin telah tahu peraturan presiden yg mengontrol penetapan gelar pahlawan. Bagi orang sipil mesti ada persyaratan ‘tak ternoda’selama hidup. Makara, meski besar lengan berkuasa sungguh besar sekalipun dlm usaha kemerdekaan, kemungkinan orang sipil sangatlah kecil menyandang gelar jagoan. Kutegaskan, kemungkinan orang sipil menyandang gelar satria sangat kecil.”

Eddi terdiam. Begitu pun Ali.

Halaman rumah itu terasa menyempit diapit rumah-rumah bertingkat di Ibu Kota. Tanaman hias yg kerap menenteramkan pun berkesan enggan menari alasannya sirkulasi udara terhambat.

Nuansa, anak bungsu Ali, keluar rumah menenteng baki berisi dua gelas besar air putih & setoples cemilan. ia menaruh suguhan itu di atas meja mereka.

“Kenapa lama sekali?” tanya Ali pada sang anak.

  Samsara Samsa | Cerpen Kiki Sulistyo

“Aku sedang berguru, Yah,” jawab sang anak.

“Ya telah, teruskan belajarmu, Nak.”

Nuansa gegas kembali menemui buku. Sementara Ali menyilakan Eddi menikmati santapan. Tangan keriput Eddi secepatnya mencengkeram telinga gelas. Mereka menenggak air putih bersama-sama & menuntaskan tenggakan serempak pula.

“Sudahlah, Bung,” ujar Ali. “Pekerjaan Bung sungguh mulia. Setidaknya Bung telah mengawali. Bung layak disebut sang pemula. Sepadan dgn Tirto Adhi Soerjo yg dikagumi Bung Pram. Kini saatnya kita ongkang-ongkang. Biarkan generasi gres yg meneruskan. Jangan serakah. Jika semua hendak Bung laksanakan, apa yg mampu mereka lakukan?”

Eddi terdiam. Dalam sanubarinya muncul pergolakan: memilih antara serakah atau menyerah.

“Bung! Jangan melongo! Ha-ha-ha!” Tawa tuan rumah menciptakan sang tamu tersenyum kecut. “Aku punya pemikiran untuk pekerjaan mulia yg telah Bung kerjakan. Bagaimana kalau Bung menyusun buku perihal Soeratin?”

“Aku memang berminat menyusun data dr banyak sekali kantor arsip, perpustakaan, museum, & narasumber menjadi buku, Bung. Namun ongkos yg tak berminat,” jawab Eddi meringis. “Mau bagaimana lagi, Bung? Kita berada pada zaman neolib. Kemungkinan sungguh kecil ada yg mau menyumbang untuk penerbitan buku soal Soeratin yg nasionalistik & patriotik.”

Dia mengernyitkan dahi, menampakkan raut kecewa. “Namun, tenang, Bung. Percayakan padaku. Barangkali Bung Naga Bonar mau membantu.”

Ucapan pengarang fiksi Ali Topan Anak Jalanan itu bak pelukan Ellyas Pical pada sansak yg sering dipukuli. Tetesan keringat sang petinju legendaris menceritakan kesamaan nasib dgn Eddi; ia memang menghantam bertubi-tubi, namun pula jatuh-bangkit beberapa kali. Semua itu memang mesti ia lalui jikalau ingin menjangkau prestasi.

“Yah!” Tiba-tiba Nuansa tiba menenteng suatu buku.

“Ada apa, Nak?” sang ayah meladeni.

“Bantu gue mengetes hafalan,” pinta Nuansa sambil memperlihatkan buku pada sang ayah.

“Baik. Biar nanti Pak Eddi meralat bila hafalanmu luput,” jawab Ali seraya mendapatkan buku pelajaran sejarah dr sang anak.

  Guru Ngaji Pergi Haji | Cerpen Zaenal Radar T

“Halaman berapa?”

“Halaman 88, Yah.”

“Halaman 88,” Ali membuka berlembar-lembar halaman.

“Ketemu! Ayo, lekas!”

“Muhammad Nazaruddin masuk bui sebab masalah korupsi pembangunan wisma atlet. Angelina Sondakh masuk bui karena kasus korupsi pembangunan wisma atlet. Miranda Goeltom masuk bui alasannya masalah cek pelawat DGS BI. Nurdin Halid masuk bui alasannya adalah masalah penyelundupan gula impor ilegal. Setya Novanto….”

“Sebentar, Nak!” cegat Ali. Dahinya mengerut sambil membaca buku sang anak. Sesekali ia menoleh ke arah Eddi yg tertular kerutan di dahi.

“Ada apa, Yah?” tanya sang anak.

“Coba baca ini, Bung!” Ali menawarkan buku sejarah Nuansa pada Eddi.

Belum selesai membaca satu halaman, Eddi megap-megap. ia menutup buku, lalu menarik napas dalam-dalam & mengembuskan panjang-panjang. “Nuansa tahu Gajah Mada?” tanya Eddi tatkala telah menguasai diri.

Nuansa menggeleng.

“Pangeran Diponegoro?” tanya Eddi lagi.

“Aku tak tahu siapa mereka. Yang pernah kudengar, Gajah Mada & Diponegoro adalah nama universitas,” jawab Nuansa.

“Siapa nama presiden pertama Republik Indonesia?” Eddi bertanya dgn gemas, kemudian mulutnya mengatup keras-keras.

Nuansa menggeleng.

“Kenapa Bung tak becus mendidik anak?” hardik Eddi pada Ali.

“Jangan salahkan Ayah, Pak Eddi. Aku jarang berguru di rumah alasannya senantiasa pulang sekolah petang hari. Sampai di rumah gue sudah lelah & pribadi tidur,” bela sang anak.

“Jangan lari dr dilema dgn diam saja, Bung!” bentak Eddi pada sang bapak.

“Nuansa kini kelas berapa?”

“Kelas lima, Pak.”

“Tak ada bahan pelajaran sejarah untuk menghafal nama para pahlawan?”

Nuansa menggeleng.

“Yang ada menghafal nama-nama koruptor.” (*)

Cerpen ini terinspirasi oleh buku Soeratin Soesrosoegondo karya Eddi Elison.

Pudi Jaya, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang.