Arwana | Cerpen Harris Effendi Thahar


Oleh: Harris Effendi Thahar


Kapan ikan tidur & istirahat? Tidak ada yg tahu. Tidak pula Wali Kota yg memelihara ikan arwana di dlm rumah dinasnya. Ikan itu terus saja berenang dlm akuarium kaca berskala cukup besar, berputar-putar dgn gagahnya. Sesekali melesat menyambar serangga yg mendekat di luar akuarium. Usaha ikan arwana itu kelihatan kolot, namun meyakinkan keganasannya. Siripnya yg mengilap keperakan kadang-kadang memantulkan sinar lampu yg menyilaukan mata tamu-tamu yg kepincut melihatnya. Tamu-tamu yg menanti giliran diundang ajudan untuk secepatnya menghadap Wali Kota di ruang penerimaan tamu di sebelah ruang duduk itu, mirip tak henti-hentinya tertarik menyaksikan gerakan akrobatik ikan elok yg berangasan itu.

Jam dinding yg tiap seperempat jam bermusik nyaring untuk kesekian kalinya bernyanyi menjelang tengah malam. Engku Nawar yg di atas tujuh puluh tahun itu hanya bisa menerka bahwa seperempat jam lagi pukul nol-nol. Rasa capai & mengantuk sengaja diusirnya dgn paksa, & tiap sebentar ia membangunkan cucu perempuannya yg berkali-kali tertidur sambil duduk di kursi tamu yg lebar itu. Di kursi-kursi berhadap-hadapan dgn Engku Nawar, duduk enam orang tamu pria & satu wanita menunggu panggilan. Tak usang, terdengar bunyi bel dr ruang tamu sebelah. Ajudan setengah berlari membuka pintu, masuk, & menutup kembali. Beberapa detik, ajudan yg lincah seperti arwana itu timbul lagi sambil tersenyum yg kelihatannya artifisial.

”Pak Muis, SH & rombongan, dipersilakan,” kata tangan kanan itu sambil tergopoh membuka pintu menuju ruang tamu utama.

Ketujuh orang yg duduk di hadapan Engku Nawar tadi ternyata satu rombongan yg melangkah dgn bergegas menuju ruang tamu utama Wali Kota. Engku Nawar menawan nafas panjang. Diikutinya tindakan rombongan terakhir yg menghadap Wali Kota itu dgn rasa cemburu & sebal. Cemburu pada tamu-tamu yg telah mendahuluinya menemui Wali Kota, & sebal dgn perlakukan ajudan yg menyerupai arwana itu. Dengan bahasa kasarnya, ajun itu tak saja menyebalkan, namun sungguh kurang didik terhadap orang bau tanah mirip dirinya yg merasa bukan sembarang orang.

Sehabis magrib, Engku Nawar telah siap bareng cucunya, Sarini, yg lulusan kursus komputer berijazah itu, menuju kediaman Wali Kota yg jauhnya lima belas kilo dr warungnya. Ia memeluk erat Sarini, cucu kesayangannya itu, tatkala dibonceng Sarini naik sepeda motor. Dialah yg paling awal tiba ke tempat tinggal dinas itu & pribadi melapor pada tangan kanan yg berambut cepak. Dengan rasa bangga ia menyatakan bahwa ia keluarga dekat, bahkan Wali Kota itu sendiri bagaikan anaknya. Oleh karena itu, ia minta izin menemui Wali Kota sebentar saja untuk urusan keluarga.

Ajudan cuma mendengar dgn wajah datar sambil berkata: ”Isi formulir ini, nama, alamat, keperluan, nanti saya sampaikan.” Lelaki renta itu merasa tak bisa lagi menulis, tapi cucunya, Sarini, yg dr tadi memegang map berisi surat-surat penting itu cepat-cepat mengisi formulir itu & menawarkan pena pada kakeknya untuk menandatanganinya. Tak usang, tamu-tamu rombongan & individual silih berganti datang berkendaraan kendaraan beroda empat, motor, & jalan kaki. Semua mengisi formulir yg sama.

Seseorang berpakaian hansip mempersilakan tamu-tamu itu duduk di ruang sebelah rumah jaga di samping rumah gedung kediaman resmi Wali Kota itu. Dari ruang tamu yg terbuka itu, Engku Nawar kepincut dgn panorama yg menakjubkannya. Lampu-lampu taman yg besar & jelas, pohon & tumbuhan hias serta halaman parkir di belakang yg luas. Semua seperti bermandikan cahaya listrik yg melimpah ruah. Dari percakapan orang-orang, terdengar seseorang berkata: ”Pak Wali lagi makan malam dgn tamu-tamunya dr Jakarta. Sebentar lagi selesai.”

  Makelar | Cerpen Sri Lima Ratna Ndari

Mendengar pernyataan itu, Engku Nawar berdiri & mendekati orang yg bicara barusan sambil berbisik.

”Boleh saya menemuinya sebentar saja, habis itu saya pulang. Saya cuma sebentar, barangkali lima menit.”

”Sabar, Pak. Sebentar lagi Bapak pula dipanggil. Tadi sudah isi formulir bukan? Nah, ajun sudah menjinjing formulir Bapak itu ke dalam. Tunggu saja. Minum dulu, tuh, minuman tiba.”

Seseorang berpakaian seragam datang menenteng sekardus air minum bungkus dlm gelas-gelas plastik.

”Silakan Pak, Ibu, yg sudah merasa haus. Ambil saja airnya di sini.”

Engku Nawar menjajal bersabar. Baginya waktu terasa berjalan lambat. Ia merasa sesak duduk beramai-ramai di ruang tamu yg sempit itu. Ia lalu berdiri, keluar & mencari dingklik-bangku beton di taman halaman samping rumah dinas Wali Kota itu bersama Sarini yg mengikutinya dr belakang. Ia amat berharap Wali Kota yg muda & gagah itu muncul menemuinya di tempat terpisah dr tamu-tamu lain. Meski batuk-batuk & dihentikan cucunya, ia masih menjajal merokok, menghilangkan rasa bosan. Baju koko terbaik yg dipakainya terasa sangat tipis dr sentuhan angin malam kepada tubuhnya yg telah ringkih. Ia mempererat belitan sarung di lehernya. Diam dgn pikirannya yg menerawang. Dan, Sarini hanya bisa mengunyah permen karet di samping kakeknya sambil mengasuh impian-peluangnya untuk diterima Wali Kota menjadi pegawai honorer.

Hampir dua tahun kemudian, tatkala Wali Kota ini terpilih dgn cara demokratis, Engku Nawar merasa sungguh senang. Wali Kota baru itu adalah putra Kapten Tulus, komandan pasukan PRRI di garis depan yg bermarkas di kaki bukit, tak jauh dr Kampung Padangilalang. Hanya ada satu kincir penggilingan gabah di kampung itu, yakni milik Wali Kampung muda, Engku Nawar, yg diketahui berani. Pada masa itu, tak ada yg mau menjabat sebagai Wali Kampung karena posisinya terjepit di antara dua kekuatan yg sedang berperang, antara pasukan TNI atau yg disebut dgn Tentara Soekarno & pasukan PRRI yg memberontak. Mau tidak ingin, Engku Nawar harus berwajah dua, meski sungguh berbahaya. Nyawa tantangannya. Dialah yg menjabat sebagai Wali Kampung yg diandalkan oleh TNI & Tentara PRRI.

Bagian depan kincir penggilingan gabah itu berfungsi sebagai warung kopi & sekaligus tempat tinggal Engku Nawar sekeluarga. Kantor Wali Kampung yaitu warung itu juga, tempat masyarakat mengorganisir surat-surat & KTP. Kalau pasukan TNI patroli ke perbatasan, umumnya mampir di warung kincir itu. Komandan patroli senantiasa berbincang-bincang & saling bertukar gosip dgn Engku Nawar.

Lain halnya kalau malam sudah larut, Kapten Tulus, komandan pasukan PRRI, & beberapa orang anak buahnya sering menyusup ke warung kincir itu melalui sungai kecil yg mengalir dgn deras di belakang kincir. Air sungai itulah yg memutar roda kincir penggiling gabah dgn tujuh balok tegak yg menjadi alu penumbuknya. Beras yg dihasilkan kincir itu lazimnya diangkut ke kota dgn pedati yg ditarik oleh sapi benggala jantan yg besar lengan berkuasa. Tapi, sebagian beras itu dipasok untuk keperluan pasukan PRRI di kaki bukit. Hal itu sudah berjalan semenjak perang dimulai 15 April 1958, di bulan pahala. Perjanjian rahasia antara Kapten Tulus & Engku Nawar itu pada tahun pertama belum tercium oleh pihak Tentara Soekarno. Akan tetapi, di mana ada perang, di situ ada pengkhianat yg menyediakan diri untuk jadi agen rahasia. Rahasia Engku Nawar alhasil terbongkar pula oleh pihak Tentara Soekarno.

  Pergi Dari Tanah Sendiri | Cerpen Achmad Al Hafidz

Suatu malam bergerimis, tatkala Engku Nawar & Kapten Tulus menikmati kopi tubruk di gudang gabah, warung kincir itu dikepung & ditembaki oleh Tentara Soekarno. Kapten Tulus & Engku Nawar lolos dr kepungan lewat lubang sumbu roda air pencetus gilingan gabah. Mereka selamat ke kaki bukit melalui sungai kecil yg berhulu di kaki bukit itu. Akan namun, dr kejauhan, kedua lelaki itu menyaksikan warung kincir itu terbakar. Istri & dua anak Engku Nawar yg masih balita ikut jadi bubuk.

Sejak peristiwa itu, tak ada jalan lain bagi Engku Nawar, kecuali bergabung menjadi tentara pemberontak bersama Kapten Tulus. Esok malamnya, dgn ganas Engku Nawar ikut membumihanguskan pos Brimob yg berjarak tiga kilo dr Kampung Padangilalang bersama pasukan Kapten Tulus. Tak seorang pun anggota Brimob yg lolos di hujan lebat erat subuh itu. Untunglah perang cepat selesai. Engku Nawar dicarikan jodoh oleh Kapten Tulus, seorang gadis masih sepupu erat Kapten itu.

Beberapa bulan setelah menjadi Wali Kota putra Kapten Tulus itu, datang menjumpai Engku Nawar.

”Engku Nawar, bila Engkau sayang sama almarhum bapak saya, juallah tanah kosong di kaki bukit itu pada pemerintah kota. Tanah itu tak subur, lebih baik dijadikan uang untuk modal Engku naik haji & anak cucu.”

”Untuk apa tanah buruk itu sama ananda Indober, anakku?”

”Untuk dijadikan TPA. Tempat pembuangan simpulan sampah kota.”

Ketika orang renta itu mengiyakan, Wali Kota bertepuk tangan & menginformasikan pada stafnya: ”Orang renta ini adalah orangtua saya juga. Ia bagaikan sepasang sejoli dgn ayah saya dulunya ketika masih menjadi serdadu pemberontak PRRI. Di mana ada bapak saya, di situ ada Engku Nawar. Semua orang tahu….”

Engku Nawar gembira campur terharu tatkala Wali Kota menginformasikan relasi & persahabatan almarhum Kapten Tulus dgn dirinya.

”Kapan Engku ada perlu dgn saya, datang saja ke tempat tinggal sehabis magrib,” bisik Wali Kota sebelum meninggalkan gubuk Engku Nawar.

Sejak itu, Engku Nawar berganti nasibnya sebagai pemilik warung di depan susukan ke TPA. Sebelumnya, ia hanya jadi pengrajin lidi daun kelapa untuk materi sapu. Tapi, semenjak tanahnya yg di kaki bukit itu dijadikan TPA, ia bisa hidup lebih baik. Warung itu dikelola oleh anak perempuan satu-satunya dgn suaminya yg dulunya jadi sopir oplet. Satu-satunya warung di ekspresi jalan ke TPA milik Engku Nawar itu makin hari makin ramai. Sopir-sopir truk sampah, para pemulung & calo-calo tanah, mampir minum kopi di warung itu. Karena ekonomi mulai membaik itulah cucu Engku Nawar mampu menamatkan Sekolah Menengan Atas & melanjutkan ke kursus komputer di pusat kota. Bahkan, cucunya itu sudah dibelikan sepeda motor.

Tapi, itulah yg menciptakan Engku Nawar gelisah. Sudah setahun lamanya Sarini tamat kursus komputer, tak satu pun kantor yg mau menerima lamarannya. Padahal, Engku Nawar ingin benar salah seorang keturunannya jadi pegawai pemerintah. Tiap kali ikut tes, Sarini tak lulus. Orang-orang bilang, mesti pakai duit jutaan. Engku Nawar tak baiklah. Ia mau mengadukan nasib cucunya itu pada Wali Kota Indober Tulus. Orang-orang bilang, lebih baik menemuinya di rumah. Kalau ke kantor, nyaris tak mampu layanan jikalau dilema keluarga.

  Bocah yang Ingin Melihat Neraka | Cerpen Risda Nur Widia

”Bapak Engku Nawar, dipersilakan menanti di ruang tunggu dalam,” kata tangan kanan berambut cepak tadi. Semula, Engku Nawar mengira hanya ia saja yg diundang, ternyata semua tamu yg telah terdaftar masuk ke ruang itu. Tapi ia masih berharap, ia akan mendapat giliran pertama, sesuai urutan mendaftar. Dengan sedikit lega, ia masuk bersama puluhan tamu yg hendak berjumpa Wali Kota dgn aneka macam kepentingan itu. Jam dinding bernyanyi untuk pukul sembilan malam.

Ruang tamu di pecahan tengah rumah dinas itu, besar sekali. Tamu sebanyak itu, cukup mampu daerah duduk di sofa yg empuk. Tamu-tamu itu pun disambut oleh pramusaji yg menyajikan semangkuk teh panas untuk masing-masing tamu. Semua mirip dikelola oleh ajudan yg berpakaian rapi itu sambil terus memegang kertas-kertas formulir yg sudah diisi tamu-tamu. Tiap sebentar tangan kanan itu keluar masuk ke ruang tamu depan, dgn tanda bel listrik. Sebentar-sebentar menjawab telepon. Kadang-kadang tergopoh-gopoh masuk menerobos pintu yg menghalangi ruang itu dgn ruang tamu utama lantaran telepon itu penting & dr orang penting untuk Wali Kota.

Di ruang yg terbatas itu, sang ajun mondar-mandir dgn sikap sigap & tegas, tanpa banyak senyum. Orang-orang yg tabah menunggu lebih banyak mencurahkan perhatian pada ikan arwana di dlm akuarium, kemudian pada ajun itu. Keduanya sama-sama lincah. Dan, setiap orang yg dipanggil & diantar ke ruang tamu utama menghadap Wali Kota, yg lain seperti protes, namun tak dinyatakan, kecuali Engku Nawar.

”Sabar, Pak. Ini bukan kemauan saya. Pak Wali yg minta.”

Meski tak dibantahnya, Engku Nawar tak percaya. Itu pasti berilmu-pandainya asisten arwana itu. Buktinya? Nomor satu, nomor dua, nomor tiga, & selanjutnya, Engku Nawar belum pula dipersilakan menghadap. Kalau saja ia tak tua, ia akan menerobos masuk. Tapi, niat itu ditekannya. Engku Nawar sadar, tugas asisten itu berat, & itu pernah dialaminya sewaktu menjadi ajun Kapten Tulus, orangtua Wali Kota itu.

Ikan arwana yg tetap mondar mandir di dlm akuarium itu kelihatan makin besar & terasa makin mendekat ke tempat Engku Nawar duduk sambil berselonjor kaki sebab sudah penat menunggu. Dan, akuarium itu kelihatan kian miring ke depan, seperti hendak jatuh dr kedudukannya. Air di dlm akuarium itu berguncang ahli. Engku Nawar merasa pusing & hendak jatuh ke lantai. Merasa hendak muntah. Ia menoleh & memegang pundak Sarini besar lengan berkuasa-kuat. Tapi Sarini mirip mengelak & terlempar ke lantai.

”Pak, Pak. Giliran Bapak…” ajun menggoyang-goyang Engku Nawar yg tertidur di kursi sofa itu.

”Gempa susulan?”

Ajudan tersenyum, meski matanya pula sudah merah.

Engku Nawar mengucek-ucek matanya. Menguap & cepat tersadar. Wali Kota telah berada di depannya. Wali Kota pula sudah kelihatan lelah & bermata merah.

”Maaf Engku. Saya hari ini banyak tamu. Kalau Engku ada perlu, tulis saja surat, nanti kasi sama tangan kanan saya ini di kantor, besok atau lusa lewat pukul dua. Sekarang pulanglah dulu, sudah malam. Atau saya suruh antar pakai sopir?”

”Tidak usah Pak Wali. Saya pulang dibonceng cucu saya ini.”

Wali Kota & tangan kanan arwana itu mengantar Engku Nawar yg berjalan tertatih-tatih dibimbing cucunya ke depan pintu. Angin malam menggigilkan Engku Nawar di atas sepeda motor cucunya. Di perjalanan, perutnya terasa mulas hingga ia tak mampu menahan berak di celananya.

Rawamangun, 5 Januari 2006