Arsitek Islam-Jawa

PENDAHULUAN
Pada zaman hindu arsitektur adalah karya seni rupa yang melambangkan keesaran kerajaan. Sekalipun sebagian besar karya seni rupa mengandung nilai fungsi sebagai media kebaktian agama, namun tugasnya dalam mengabadikan kekuasaan dan kebesaran raja ataau sultan tetap menonjol.
Pada zaman hindu bangunan candi tidak cuma mencerminkan hasrat untuk melambangkan ajaran dan falsafah agama, tetapi bangunan ini sekaligus menjadi karya monumental kerajaan.
Nilai nilai monumental arsitektur islam antik yang dimulai semenjak zaman wali songo memang kurang menonjol bila daripada zaman hindu atau dengan bangunan bangunan islam diluar indonesia. Hal ini dikarenakan kondisi budaya yang kurang menguntungkan pada waktu itu untuk mendirikan bangunan bangunan yang serba megah dan serba besar dengan nilai nilai monumental. Konsolidasi kekuasaan politik dan peperangan yang terus menerus antar kekuasaan dan melawan kekuasaan asing.
Dengan materi baku yang kurang tahan lama seperti kerikil bata dan kayu, susah dicapai nilai nilai seni bangunan tersebut. Tradisi arsitektur majapahit yang diwariskan telah kehilangan kekuatan kualitas klasik arsitektur zaman hindu. Kepandaian tekhnik bangunan dengan materi watu alam tidak diwariskan pada para andal bangunan pada zaman islam. Karenanya arsitektur islam kuno kembali pada tradisi bangunan kayu yang meraih puncak perkembangannya dalam arsitektur masjid dan istana raja.
Dalam makalah ini akan dibahas hal hal wacana interelasi islam dengan jawa dalam bidang arsitektur yang melingkupi bangunan masjid, istana, makam dan juga tata kota.
PEMBAHASAN
1. ARSITEKTUR JAWA PADA MASA HINDU BUDHA
Konsep dasar rancangan candi klasik jawa ialah cita-cita membuat tiruan gunung pada pusat alam semesta, daerah roh para ilahi mampu dibujuk untuk berubah menjadi menjadi patung atau lingga yang ditempatkan dalam ruang yang mirip gua.[1]
Bentuk arsitekttur hindu dapat dilihat dalam bangunan candi gedong songo di ungaran yang dibangun pada pertengahan era ke-8. Candi gedong songo menempati petak petak di lereng atas gunung dengan pemandangan yang indah di atas sebuah petak besar jawa tengah dan mengapit suatu jurang yang mengalirkan air vulkanis yang panasnya nyaris meraih titik didih. Ciri ciri alami ini mungkin merupakan beberapa unsur utama orang jawa dulu memilih daerah ini untuk kawasan gugus keagamaan. Dan mungkin menghubungkan sumber panas dan ciri lain gunung api dengan kekuatan ghaib. Sumber sumber menawarkan gunung dianggap selaku kawasan roh nenek moyang dapat dihubungi, dimintai perlindungan, diredakan kemurkaannya dengan persembahan, diserapnya kekuatan untuk menjaga hidup mereka. Prasasti nusantara kadang-kadang merujuk candi sebagai gunung.
Candi gedong songo dibedakan satu dari lainnya oleh perbedaan bagan bagian dalam. Tiga candi utama dalam kalangan III menghadap barat. Candi tengah dipersembahkan terhadap siwa berbentuk persegi, dengan suatu serambi masuk. Relung relung disusun menjadi bab luar tiga dinding lain yang berisi patung agatya, ganesha dan durga. Ini merupakan penampilan pertama tritunggal ikonografi yang kemudian menjadi kewajiban maya perancang semua candi siwa di jawa selama enam kurun mendatang.
Candi lebih kecil di utara gugus ini dipersembahkan bagi wisnu. Candi sesudahnya yang berdiri diujung selatan mungkin dipersembahkan bagi brahma. Pembagian tiga candi untuk trinitas hindu memperlihatkan citra permulaan tata letak gugus siwa lara jonggrang. Bangunan kecil lain yang menghadap candi tengah siwa menyerupai candi semar di dieng. Kemungkinan berisi patung nadin, sapi jantan kendaraan siwa.
Kekuasaan dinasti sailendra yang berkuasa antara tahun 780 dan 830 M telah membuat candi secara besar besaran untuk tuhan mahayana. Garis kekuasaan yang menggantikannya condong pada hindu, tetapi juga memberi santunan pada pembuatan bangunan suci budha, yang sungguh terkenal yakni candi sari dan candi plaosan. Gugus ini dibangun sesudah kebangkitan kaum elit hindu pada tahun 832M. Kedua gugus tersebut serupa satu sama lain. Candi plaosan terdiri dari dua gugus. Plaosan kidul ialah candi utama yang dikelilingi dua persegi memusat dari candi dan stupa. Dan plaosan lor yang terdapat halaman dengan sisa sisa dasar watu persegi untuk atap kayu yang telah lama hilang.
Seniman jawa memiliki bermacam dekorasi yang mereka gunakan untuk menghiasi candi. Ragam dekorasi ini dipilih dari perbendarahan pola asia selatan dan dikembangkan dalam lingkungan jawa. Hiasan juga dipadukan untuk membentuk gubahan; ragam hias tertentu secara teratur didapatkan ditempat kawasan dan pengelompokkan candi. diantaranya adalah gambar burung beo, mula mula muncul dikala lara jonggrang dibangun tahun 835M. Singa dalam relung, penjaga pintu kembar, nandiswara dan mahakala yang mula mula timbul pada gedong songo. Ragam dekorasi mengungkapkan pesan tentang sifat kedewaan bangunan dan tidak dikelola secara acak. Ragam hias tersebut terdiri atas banyak hal yang dipercayai orang jawa, baik hindu maupun buda, terdapat di nirwana.
Jenis dekorasi yang paling biasa dipakai dalam candi jawa yaitu antefix dekorasi ini merupakan bagian segitiga yang diukir dalam banyak ragam. Hiasan tersebut dipakai sebagai dekorasi pada puncak dinding dan cornice. Pada relung relief terdapat hiasan kalpataru atau pohon hayat selaku ragam hias kahyangan di jawa. Lambang biasa lain termasuk kendi yang dipakai sebagai wadah air suci yang digunakan dalam upacara agama dan untuk melambangkan cairan keabadian, dan kinnara atau pemusi kahyangan, lazimnya wanita dengan tubuh setengah insan dan setengah burung.[2] 
2. ARSITEKTUR JAWA ISLAM
Surutnya imbas majapahit pada simpulan masa ke-15 diimbangi oleh meningkatnya kekuatan pemerintahan islam. Agama gres ini memperkenalkan jenis bangunan gres, seperti masjid dan makam. Ada beberapa pembaharuan arsitektur pada masa ini, misalnya, dalam membuat versi istana dan tata ruang kota. Dalam sejarah jawa, penguasa islam mengambil alih kekuasaan politis raja hindu. Elit politik baru tidak sepenuhnya merombak ideologi ataupun lambang performa luar peguasa usang, melainkan mereka sangat mempertahankan kesinambungan dengan era kemudian sambil mengukuhkan peralihan dan perluasan pemerintahan hindu terdahulu.
1) Masjid
Pengaruh era pra islam terlihat terang dalam bangunan islam di jawa. Ciri ciri umum meliputi pembagian bangunan menjadi tiga, yakni dasar, utama dan bab atas, skema terpusat, atap tumpang, deretan tiang atau tiang tiang keliling bagian luar, serambi aksesori di depan bangunan, halaman berdinding dengan pintu masuk, menara dan pemakaman menyatu di halaman masjid. Sebagian masjid jawa, dari masjid masjid agung dalam gugus istana hingga masjid desa sederhana secara khas mempunyai ciri ciri seperti ini, khususnya penggunaan atap tumpang ganda atau tiga. Penggunaan atap tumpang meneruskan tradisi penggunaan atap yang dipakai bangunan keagamaan era pra islam sebagaimana yang mampu dilihat dari relief candi jawa timur masa ke-13 dan 14. Atap meru yang terdapat pada dikala ini ialah turunan dari kala yang sama. Perlengkapan arsitektur utama pada atap meru ialah golongan empat tiang. Dikenal dalam bahasa jawa sebagai saka guru, yang menyangga atap tingkat paling atas dengan satu lintas yang berkelanjutan dari tingkat dasar. Tiang di timur laut dalam beberapa masjid disebut sebagai saka tatal yang mempunyai arti tiang serpih serpih, yang terbuat dari bilah bilah kayu yang direkatkan menggunakan lempengan logam. Serambi merupakan perhiasan penting bagi masjid jawa. Ciri ini biasanya didapatkan di segi timur kawasan pintu masuk. Bagian luar dinding timur masjid masjid permulaan dihiasi dengan ragam hias rumit seperti di mantingan, terbuat dari pahatan plakat dari kerikil. Di kudus, serambi sepenuhnya dikelilingi watu bata gerbang berbentuk paduraksa. Selain itu masjid permulaan mempunyai ciri mempunyai pintu berdaun ganda, serupa dengan candi jawa pra islam atau kawasan tinggal orang bali kini. 
Bentuk bangunan kedua yang digunakan untuk beberapa masjid permulaan ialah saka tunggal. Atap jenis bangunan ini disangga oleh satu tiang tengah. Asalnya mungkin dari bangunan lebih kecil. Sebagaimana ditemukan di relief candi jawa timur, untuk semedi atau pertapa individual atau kelompok kecil. Contoh bangunan mirip ini didapatkan di kraton kasepuhan, makam sunan bonang dan masjid desa kecil bersahabat yogyakarta.[3]
Masjid Kudus
Tata ruang masjid ini berbeda dengan masjid masjid jawa yang lain, tidak ada komponen alun alun atau istana. Yang ada adalah kauman atau kampung muslim. Mengitari di barat, utara, selatan dan timur. Hal ini mungkin alasannya adalah lingkungan dibangunnya masjid bukanlah lingkungan pemerintahan. Adanya kauman mengelilingi sekitar masjid memperlihatkan bahwa kudus dulu pusat pengajaran dan penyebaran islam di jawa. Dari fisik bangunan, faktor hindu tampakpada tiga gapura yang arsitekturnya mirip dengan bab gerbang pada candi candi hindu dan buda. Gapura gapura tersebut berbaris dari depan searah dalam garis sumbu kiblat[4]. Keunikan seni masjid ini memiliki ciri khas tersendiri contohnya bentuk menara sungguh unik mirip menara kul kul di bali,konstruksinya dari bata merah,berdenah bujur sangkar, tinggi dari tanah hingga lantai dari semacam gardu di atas 10m. Badan menara terbagi menjadi tiga bagian dari bentuknya makin kecil keatas, juga dengan garis garis molding, dimana pembagian ini juga juga sungguh tampakdalam arsitektr bali dan tradisional lain, personifikasi bab konstruksi bab dari kepala, tubuh dan kaki.
Gardu diatas konstruksinya juga tajug, tapi hanya dua lapis, bagian teratas piramidal puncaknya dihiasi mustaka. Bila pada kul kul diletakkan kentungan, pada menara masjid diletakkan bedug yang berskala cukup besar. Dua lapis atap ada yang menginterpretasikan simbol dari adanya dua kalimat dalam syahadat. Bentuk bangunan menara dimaksudkan untuk mempesona simpati penduduk Hindu pada waktu itu untuk memeluk agama Islam.[5] 
Perkawinan antara arsitektur hindu dengan jawa pada masjid ini kembali terlihat dengan adanya gerbang pada setiap akan masuk dalam petak makam (dipagar dinding)terdapat gerbang yang dalam arsitektur bali disebut bentar. Dengan adanya gerbang yang berlapis lapis tersebut timbul tata ruang yang bertingkat tingkat, yang di dalam lebih terhormat dari sebelumnya.
Lubang pancuran kuno yang berupa kepala arca yang digunakan selaku tempat wudlu. Bentuk arcanya kadang kala dikaitkan dengan kepala sapi yang diberi nama “kerbau gumarang”, sebab binatang sapi dulunya di agungkan oleh orang-orang hindu di kudus, bahkan hingga kini mereka sudah menjadi muslim.
2) Bangunan Makam
Perubahan iman keislam memunculkan kembali arsitekur makam. Dari kebiasaan usang mengubur, menghilang sehabis berabad abad di bawah pengaruh hindu buda yang melakukan pembakaran jenazah dalam prosesi kematian.
Makam adalah bangunan selaku sarana dari sistem penguburan jemazah orang muslim. Makam bernentuk bangunan persegi panjang dengan arah lintang utara selatan yang terdiri dari bangunan bawah yang disebut kijing dan bangunan atas yang disebut nisan.
Kijing dibuat dari watu alam dengan cara susun timbun seperti dalam tradisi candi pada struktur bangunan punden dari zaman megalitikum. 
Salah satu bukti tertua yang menunjukkan sebagian besar orang jawa beralih ke islam yakni ditemukannya sejumlah makam di desa tralaya, erat trowulan. Makam ini memiliki kerangka yang diilhami kalamakara, salah satu hiasan klasik jawa. Salah satu segi watu berhiaskan ayat ayat al qur’an. Sisi lain dihiasi dengan hiasan memperlihatkan motif tumbuhan dengan garapan pernak-pernik berdasarkan tradisi seni hias majapahit. Motif tumbuhan ini diselingi dengan motif geometris seperti bentuk meander dan tumpal yang juga sering muncul dalam hiasan candi majapahit. Disain struktur batu nisan dari kebanyakan makam tua tersebut berbentuk kurawal yang seperti dengan bentuk mahkota pintu gerbang candi yang dibentuk oleh motif abad makara.
Secara struktural bangunan makam yang bertolak dari punden daerah arwah sudah tampak pada bangunan candi hindu. Struktur bangunan mirip ini seperti dengan citra bentuk meru selaku lambang gunung suci dalam agama hindu.
Makam sebagai bangunan suci pelu dilindungi dengan komplemen bangunan yang disebut cungkup. Tamabahan bangunan cungkup bekerjsama bersumber pada pikiran usang mirip dalam mendirikan candi zaman hindu sehingga berpengaruh pada bentuk dan struktur bangunan cungkup.
Khusus untuk raja atau tokoh terkemuka dalam masyarakat, struktur bangunan cungkup mirip dengan bangunan candi yang terdiri dari bab kaki, badan dan atap dengan batas batas pembingkaian mendatar, seperti makam fatimah binti maimunah di leran dekat gresik. 
Selain dilindungi oleh cungkup, juga dilindungi oleh semacam pagar pelindung atau yang disebut rana. Dinding rana basanya hamya melindungi jirat pada kedua segi panjang dan pada segi ujung di sebelah utara. Hiasan kelir rana disebut gunungan alasannya garis keliling dari dari dekorasi menyerupai motif gunungan atau motif pohon seprti dekorasi candi.
Ada kebiasaan untuk mendirikan makam keluarga, terutama untuk keluarga raja dalam susunan atau penataan tertentu. Pada makam kumpulan keluarga raja, tampak formasi makam lengkap dengan cungkupnya yang disusun seperti bangunan dalam kompleks istana usang dengan tembok keliling beserta gapuranya.
Pada mulanya peletakan makam makam dari suatu formasi disesuaikan dengan jenjang jenjang di lerng bukit atau gunung . jenjang pelataran teratas dan yang paling belakang adalah makam raja dan keluarga yang paling bersahabat. Selanjutnya secara sedikit demi sedikit menuju kejenjang bawahnya melalui tangga dan gapura. Di tiap pelataran jenjang mamak makam dari keturunan raja atau saudara istana.
Prinsip dasar penyusunan makam kumpulan teresbut tidak berbeda dengan susunan kumpulan candi pada kala hindu. Contoh kumpulan makam dengan susunan mirip ini yakni makam kumpulan di imogiri jogjakarta dan makam kumpulan di lereng gunung jati dan sembung bersahabat cirebon.
Gaya seni bangunan dari zaman hindu masih menampakkan diri pada makam kumpulan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari gapura makam serta materi dan teknik bangunannya memberikan bentuk dan struktur candi hindu yang berasal dari zaman majapahit.
Proporsi bangunan serta hiasan struktural mirip simbar dan pelipis bingkai dari candi hindu masih taampak jelas pada gapura tersebut. Sayap tangga yang mengirim pada pindu gerbang juga mirip dengan sayap pintu candi. Di atas tembok keliling terlihat dekorasi struktur berupa candi miniatur yang disebut candi laras.[6]
3) Keraton dan tata kota
Keraton pada zaman kerajaan islam di indonesia adalah sentra kota sekaligus pusat kerajaan. Sesuai dengnan persepsi kosmologis dan religio-magis yang bersumber pada tradisi bangsa indonesia, kraton sebagai kawasan bersemayam raja atau sultan yakni pusat kekuatan ghoib yang kuat pada eluruh kehidupan masyarakat. Keraton adalah lambang kewibawaan raja, ia yaitu pencerminan kekuasaan lahiriah dan batiniah.
Unsur unsur interior bangunan tradisional utamanya bangunan istana yang memperlihatkan kualitas keindahan terletak pada tampilan konstruksi kayu dan dekorasi tabrakan kayu. Semua konstruksi dan kerangka bangunan diperlihatkan dan menjadikan situasi tersendiri pada interior bangunan.
Kuta atau kota secara harfiah mempunyai arti daerah pemukiman yang dilindungi oleh dinding yang dibangun mengeliling menurut bentuk persegi. Dinding digunakan selaku dalem untuk melindungi teritorial sekaligus memberi definisi luar dan dalamnya kehalusan dalam berkrama. Pengertian dalem untuk menyebut hunian bauk untuk istana maupun rumah biasa, adalah teritorial di dalam bata atau dinding yang memagarinya. Belum diketahui jelas asal muasal darimana struktur tembok nata penyengker ini.
Pandangan hidup jawa trerhadap kehiduupan diatas bumi dan di bawah langit berpedoman pada bayangan dari kebenaran sejati yaang transenden. Repesentrasi hunian insan tidak lebi dari penyerahan diri pada struktur kosmologis. Disinilah kota sebagai sistem tempat tinggal insan secaa sosisl telah memiliki struktur yang baku.
Didalam kuta mataram semenjak yogyakarta bangkit berlaku kerama atau ehalusan basa, yang pada pada dasarnya tidak jauh dari perilaku para bangsawan. Konsep ini dimungkinkan ialah cara efektif melenggengkan kekuasan para bangsawan. Istilah ngoko untuk wilayah luar kuta nagara dan krama untuk daerah dalam pusat kota gres nampak pada zaman sultan agung.
Secara struktur, dasar penciptaan kuta nagara tidak mampu disebut sebuah respon atau balasan fungsional berdomisili sebuah masyarakat yang struktur sosial suatu negara. Struktur kuta jawa lahir sebagai pemukiman surgawi mereka. Hal ini dapat dilihat identitas konseptualnya, kawasan dimana kuta nagara itu didirikan menampakkan struktur yang sama yaitu pada sentra. Di dalam kehidupan urban jawa nyaris semua insiden yang berhubungan dengan fenomena sentra terjadi di alun alun, masjid dan keraton.[7] 
Karya rancang berdiri dan struktur fisik dari suatu bangunan kuta mampu dilihat dari peninggalan peninggalan kota demak, kudus, dan kota gede yang masih banyak meninggalkan petunjuk gagasan kota negara, nampak pada daerah yang sekarang disebut, kauman, pecinan,dan siti hinggil.
Struktur pusat demak kemungkinan merujuk pada ibukota majapahit dengan skala lebih kecil. Dalam struktur ini halun halun menjadi struktur ruang pengikat bagi dalem/ kraton maupun masjid yang bersangkutan.
Dalam realita fisiknya, yang disebut kuta senantiasa ada halun halunnya, yang lalu disebut alun alun. Bentuknya yang berupa persegi empat berdasarkan zoetmulder menyebut adanya mancapatyang sering dianut oleh orang jawa sebagai pusat orientasi spasial. Arah empat ini dipegan oleh orang jawa dalam keterkaitannya dengan empat komponen pembentuk eksistensi bhuwana; air, bumi, udara, dan api. Dasar pembentuk kehidupan ini lalu diturunkan sebagai dasar kategorisasi untuk hal hal lain, misalnya tata ruang pada daerah alun alun.[8]
Hinduisme dan budhisme memperlihatkan donasi pertumbuhan alun alun itu, alasannya adalah upacara upacara kenegaraan hindu pada utamanya membutuhkan ruang terbuka untuk prosesi ritual. Kata halun halun sendiri berasal dari bahasa jawa kuno(kawi) bukan sansekerta. Makara mampu diduga desain alun alun merupakan prodak asli jawa.
Pada sentra pusat kota yogyakarta dan surakarta terdapat dua alun alun, utara dan selatan. Alun alun utara ialah daerah resmi yang berhubungan dengan raja. Sementara alun alun selatan untuk putra mahkota selaku antisipasi untuk melakukan upacara kenegaraan.
Dasar lain yang membentuk tata kota jawa islam yaitu dibentuknya jajal jalan utama atau marga dan ratan. Marga mengindikasikan adanya karena atau laris sehingga sesuatu terjadi karena berkaitan dengan penyebab adanya jagad sehari hari. Dunia sehari hari orang jawa terjadi oleh adanya marga, yang mengantarkan dunia biasa menampakkan dirinya. Dalam perkembangan berikutnya, marga selaku jalan tenggelam oleh desain lain ratan yang merujuk pada dunia publik. Rat ialah bahasa jawa antik untuk konsep dunia umum. Apa yang dssebut rat kemudian ratan itu bukanlah bukanlah jalan atau permukaan yang rata, tetapi suatu desain yang bisa merangkum dunia publik, negara,rakyat dan semua peristiwa di atas bumi pada suatu kaum atau kejadian peristiwa yang dekat kaitannya dengan kesadaran. Rat ialah antonim dari kata tanrat yang artinya tak sadarkan diri. Kaprikornus desain dunia yang asli dalam kehidupan penduduk jawa kuno itu tidaklah absurd seperti apa yang diungkapkan oleh pemahaman bhuwana. Jalan diluar pawisman dimana kehidupan bermasyarakat terjadi itulah ratan.
Sementara marga memberi indikasi penyebab terjadinya rat itu, jadi marga yaitu fasilitas untuk memungkinkan eksistensinya dunia sehari hari. Bila marga menjadi pembentuk struktur dasar fisik urbannya, maka akan nampak acuan geometris yang tegas, sekalipun tidak mesti aksial. Di kota gede hal ini tidak ditemui. Marga yang terbangun lebih mudah dikenali selaku balasan bukan alasannya adalah dari pembangunan yang beratahap bermula di sekeliling sentra utama dan pusat pusat berikutnya.
Dikota yogyakarta mampu disaksikan adanya sumbu dari keraton menembus alun alun terus lewat jalan malioboro ke tugu dan gunung merapi, yang secara lengkap mampu diurutkan mulai dari garis porosd dari bahari selatan- panggung krapyak- keraton- tugu- hingga kegunung merapi. Secara filosofis sumbu ini mempunyai arti dan makna tersendiri, yaitu melambangkan keserasian dan keseimbangan korelasi antara manusia dan tuhan, dan antara insan dengan sesamanya. Kesemuannya ini berada pada satu citra sumbu kelanggengan.
Segara kidul secara kosmologi merupakan citra dinamika masyarakat, yang senantiasa bergerak dan berubah ubah seperti ombak lautan. Untuk menyelami dan mengenali gerak dinamika tersebut seseorang mesti berhubungan dengan masyarakatnya. Hal ini dilambangkan dengan perkawinan antara raja dengan nyi roro kidul sebagai penguasa bahari selatan. 
Manusia yang sudah meraih kesampurnaning kaurip inilah yang menjadi insan sejati, manusia yang memiliki pancaran rohani yang kukuh, dan tidak tergoyah dengan godaan godaan duniawi. Kondisi kukuh inilah yang merupakan tujuan final yang disimbolkan dengan gunung merapi.[9] 
DAFTAR PUSTAKA
Wiryomartono A. Bagus, seni bangunan dan seni bina kota indonesia, jakarta,gramedia pustaka utama;1995
Gunawan tjahjono, arsitekur, jakarta, widyadara,;2002
Erwan muhammad,Pengantar seni rupa di indonesia,yogyakarta,bina ilmu;2000
Mubarak zaki, Perkembangan arsitektur masjid,bandung, permata ilmu;1997
Kuntowijoyo,paradigma islam interpretasi untuk aksi, bandung: mizan,1998
  Sejarah Arsitek Islam Di Jawa