Apresiasi Sastra (Pengantar)

1. Pengertian

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita mendengar istilah apresiasi. Barangkali dalam benak kita timbul pertanyaan: apa itu apresiasi? Istilah apresiasi timbul dari kata appreciate (Ing), yang mempunyai arti menghargai. Sehingga secara sederhana mampu dibilang bahwa apresiasi sastra ialah kegiatan untuk menghargai sastra. Namun, dalam pertumbuhan berikutnya pemahaman apresiasi sastra makin luas. Banyak tokoh mencoba menawarkan batasan perihal apresiasi sastra. S. Effendi menunjukkan batasan bahwa apresiasi sastra adalah acara menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga berkembang pemahaman, penghargaan, kepekaan pada cipta sastra tersebut. Sedangkan tokoh lain, Yus Rusyana mendefinisikan apresiasi sastra sebagai pengenalan dan pemahaman yang sempurna kepada nilai karya satra, dan kegairahan serta kenikmatan yang timbul sebagai balasan dari semua itu.

Dua batasan yang dikemukakan oleh dua tokoh di atas pada prinsipnya tidak saling berlawanan, tetapi justru saling melengkapi. Perbedaan yang terlihat hanyalah terletak pada penggunaan ungkapan saja. Lepas dari perbedaan ungkapan yang dipakai oleh dua tokoh tersebut, pada pada dasarnya acara apresiasi sastra didasari oleh pengertian bahwa karya sastra itu indah dan berguna (dulce et utile). Dengan kata lain, di dalam karya sastra terkandung nilai-nilai hidup. Untuk itu, apresiasi sastra bertujuan mengasah perilaku peka kepada dilema hidup, mempertebal nilai watak dan nilai estetis dalam diri . Untuk dapat memahami dan menemukan nilai-nilai dalam karya sastra, tidak ada cara lain kecuali membaca, bergaul, dan mengakrabi karya sastra itu sendiri.

Istilah Apresiasi berasal dari bahasa latin Apreciation yang memiliki arti “mengindahkan”. Dalam konteks yang lebih luas itilah apresiasi menurut Gove dalam Aminuddin (1987:34) mengandung makna (1) pengenalan lewat perasaan atau kepekaan, dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Pada sisi lain, Squire dan Taba dalam Aminuddin (1987:35) berkesimpulan bahwa selaku sebuah proses, apresiasi melibatkan tiga bagian inti, ialah (1) aspek kognitif, berhubungan dengan keterlibatan unsur intelek pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur kesusastraan yang bersifat objektif (2) faktor emotif, berhubungan dengan keterlibatan komponen emosi pembaca dalam upaya menghayati komponen-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca (3) aspek evaluatif, bekerjasama dengan acara menunjukkan evaluasi terhadap baik jelek, indah tidak indah, sesuai tidak cocok serta segala ragam evaluasi lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, namun secara personal cukup dimiliki oleh pembaca.

  Pengembangan Batik Terbaru Melalui Pendidikan Formal

Sejalan dengan rumusan pengertian apresiasi di atas, Effendi (1973:33) mengungkapkan bahwa apresiasi sastra yaitu acara menggauli karya sastra secara betul-betul sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan fikiran kritis, dan kepekaan pikiran yang bagus terhadap karya sastra. Dari pertimbangan itu juga ditarik kesimpulan bahwa kegiatan apresiasi itu selaku bab dari hidupnya, selaku sebuah kebutuhan yang mampu memuaskan rohaniahnya.

Sehubungan dengan dilema di atas, Djunaedi (1992:2-4) menyebutkan tingkat penerimaan seseorang kepada karya sastra (novel) ada empat, yaitu : (1) Tingkat reseftif adalah tahap penerimaan berdasarkan apa adanya (2) Tingkat reaktif adalah tahap pertolongan reaksi kepada kedatangan sebuah karya sastra (3) Tingkat produktif ialah tahap santunan reaksi kepada karya sastra yang dibacanya (dinikmati) dan sekaligus mampu memproduksi dan menelaah karya sastra tersebut (4) Tingkat implementatif yakni tahap memahami, memeriksa dan memproduksi sastra, serta dapat merealisasikan kebenaran yang diperolehnya dari bacaan sastra dalam kehidupan sehari-hari.

2. Tingkatan-Tingkatan dalam Apresiasi Sastra

Mengingat tujuan apresiasi sastra sebagaimana telah diuraikan di atas ialah untuk mempertajam kepekaan terhadap problem hidup, membekali diri dengan pengalaman-pengalaman rohani, mempertebal nilai etika dan estetis; maka tingkatan dalam apresiasi sastra diukur dari tingkat keterlibatan batin apresiator. Untuk dapat mengetahui tingkat keterlibatan batin, seorang apresiator harus mempunyai “patos”. Istilah “patos” berasal dari kata ‘patere’ (Latin) yang mempunyai arti ‘merasa’. Dengan kata lain, untuk dapat meraih tingkatan-tingkatan dalam apresiasi, seorang apresiator harus dapat membuka rasa.

Tingkatan pertama dalam apresiasi sastra adalah “simpati”. Pada tingkatan ini batin apresiator tergetar sehingga timbul cita-cita untuk menunjukkan perhatian kepada karya sastra yang dibaca/digauli/diakrabinya. Jika kita membaca karya sastra kemudian mulai muncul perasaan bahagia terhasdap karya sastra tersebut, mempunyai arti kita sudah mulai masuk ke tahap pertama dalam apresiasi sastra, yaitu simpati.

  Pemanfaatan Tik Selaku Penunjang Prestasi Akademik

Tingkatan kedua dalam apresiasi sastra adalah ‘tenggang rasa’ Pada tingkatan ini batin apresiator mulai bisa ikut merasakan dan terlibat dengan isi dalam karya sastra itu. Dengan kata lain, jika kita membaca prosa kisah, lalu kita mampu ikut mencicipi kejadian-peristiwa yang terjadi dalam kisah tersebut, bermakna tingkat apresiasi sastra kita sudah hingga pada tingkat kedua, ialah tenggang rasa.
Tingkat ketiga atau tingkat tertinggi dalam apresiasi sastra ialah ‘refleksi diri’. Pada tingkatan ini, seorang apresiator tidak cuma sekedar tergetar (simpati), atau mampu merasakan (tenggang rasa) saja, tetapi dapat melaksanakan refleksi diri atas nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu. Dengan kata lain, pada tingkat ketiga ini seorang apresiator mampu memetik nilai-nilai karya sastra sebagai sarana untuk berrefleksi, bercermin diri.

3. Pentahapan dalam Kegiatan Apresiasi Sastra

Jika di atas telah diuraikan ihwal tingkatan-tingkatan dalam apresiasi sastra yang didasarkan pada keterlibatan batin apresiator, berikut ini akan dipaparkan tahapan-tahapan dalam aktivitas apresiasi sastra. Pentahapan dalam aktivitas apresiasi sastra ini dilihat dari apa yang dilaksanakan oleh apresiator.

Pada tahap pertama, seorang apresiator membiarkan pikirannya, perasaan dan daya khayalnya mengembara sebebas mungkin mengikuti apa yang dimaui oleh pengarang karya sastra yang dibacanya. Pada tahap ini apresiator belum mengambil perilaku kritis kepada karya sastra yang dibacanya.
Pada tahap kedua, seorang apresiator menghadapi karya sastra secara intelektual. Ia menanggalkan perasaan dan daya khayalnya, dan berusaha memahami karya sastra tersebut dengan cara mengusut karya sastra dari unsur-bagian pembentuknya. Ini mempunyai arti, apresiator memandang karya sastra selaku sebuah struktur. Pada tahapan ini, penyelidikan bagian-komponen karya sastra oleh apresiator dimaksudkan untuk mendekatkan diri pada karya sastra itu.

  Peranan Negara Dalam Perekonomian

Pada tahap ketiga, apresiator memandang karya sastra dalam kerangka historisnya. Artinya, dia menatap karya sastra selaku langsung yang mempunyai ruang dan waktu. Dalam pandanganya, tidak ada karya sastra yang tidak diciptakan dalam ruang dan waktu tertentu. Dengan kata lain, pada tahapan ini seorang apresiator menjajal mengetahui karya sastra dari komponen sosial budaya, suasana pengarang, dan segala hal yang melatarbelakangi karya sastra itu diciptakan.

Lalu, bagaimana perilaku apresiator yang bagus? Apresiator yang bagus ialah apresiator yang mampu menerapkan ketiga tahapan tersebut secara padu, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu betul-betul dia pahami dengan membiarkan perasaannya, mencoba menilik komponen-unsurnya, dan berusaha pula memahami situasi sosial budaya saat karya sastra tersebut diciptakan.