close

Pemahaman Korelasi Manusiawi

Pengertian Hubungan Manusiawi 
Apa yang dimaksud dengan relasi manusiawi? Effendy (1993) menyampaikan korelasi manusiawi dalam arti sempit adalah komunikasi persuasif yang dilaksanakan oleh seseorang kepada orang lain secara tatap paras , dalam suasana kerja (work situation) dan dalam organisasi kekaryaan (work organization), dengan tujuan untuk menggugah kegairahan dan acara melakukan pekerjaan dengan semangat kerja sama yang produktif serta perasaan senang dan puas hati. Sementara itu Praktito (1983) mengemukakan bahwa sebuah korelasi gres bisa disebut selaku korelasi manusiawi apabila kekerabatan itu yakni suatu interaksi sosial, ada terjadi proses saling mempengaruhi dan usaha saling mengganti perilaku maupun tingkah laku, untuk kemudian selsai dengan saling mencicipi adanya kepuasan hati. Terjadi bisa pada semua bidang kehidupan sosial maupun kapan saja, tidak terikat ruang dan waktu. Sementara itu Susanto (1982) berpendapat bahwa hubungan manusiawi dalam arti sempit meliputi semua dilema yang dialami insan dalam kekerabatan atasan dengan bawahan, baik dalam organisasi besar maupun kecil. 
Dari aneka macam definisi korelasi manusiawi menurut para andal tersebut, mampu dibilang bahwa hubungan manusiawi ialah sebuah hubungan yang unik. Mengapa? Karena pada tiap korelasi antarmanusia belum pasti terjadi kekerabatan manusiawi. Ciri hakiki hubungan manusiawi (human relations) bukan ‘human’ dalam pengertian wujud manusia (human being), melainkan dalam makna proses rohaniah yang tertuju kepada kebahagiaan menurut adab, sifat, perangai, kepribadian, perilaku, tingkah laris dan aspek-aspek kejiwaan yang lain yang terdapat pada diri insan (Effendy, 1993). Hubungan manusiawi cuma akan terjadi jika seseorang, dalam konteks organisasi kekaryaan, menghipnotis orang lain dengan bujukan, seruan, atau imbauan emosional untuk melakukan sebuah kegiatan dalam meraih tujuan, dan kedua belah pihak sama-sama mengalami kepuasan batiniah. Hubungan manusiawi berorientasi pada aktivitas (action-oriented) yang berupa upaya menghipnotis, bersifat psikologis, dan kedua belah pihak sama-sama merasa puas. 
Effendy (1993) menyampaikan bahwa dengan hubungan manusiawi mampu diusahakan untuk menghilangkan rintangan-rintangan komunikasi, mencegah salah pemahaman, dan membuatkan segi konstruktif sifat tabeat manusia.
Hiseradt (dalam Susanto, 1982) beropini bahwa kekerabatan manusiawi dalam arti sempit membicarakan segi-segi selaku berikut:
1. mendapatkan kesediaan kerjasama orang-orang dengan siapa orang melakukan pekerjaan ,
2. memungkinkan orang berproduksi dan berprestasi tinggi, dan
3. memungkinkan orang berafiliasi dengan mendapatkan kepuasan dari hasil-risikonya.
Senada dengan pendapat Hiseradt, Susanto (1982) menyampaikan bahwa duduk perkara-masalah yang dibahas oleh hubungan manusiawi yakni bagaimana faktor-faktor insan dalam organisasi/kalangan dapat diserasikan dengan keanggotaan yang sungguh luas dan diikat oleh disiplin kerja, serta bagaimana dalam suatu situasi di mana ada paksaan (yang merupakan realita kerja), individu mampu bekerja dengan teman sekerja maupun atasan dan tetap merasa senang.
Dari pertimbangan Susanto di atas, terlihat bahwa Susanto ingin menempatkan bagian manusia serta korelasi manusiawi menjadi faktor yang memilih sukses tidaknya suatu proses produksi berlangsung. Hal ini mempunyai arti bahwa manusia di dalam sebuah organisasi tidak boleh diperlakukan sama dengan unsur-bagian bikinan, mirip modal, mesin, alat-alat perlengkapan, dan sebagainya, alasannya manusia ialah mahluk yang sungguh unik dengan latar belakang sifat dan perangai yang sangat beraneka ragam. 
Sementara itu, Rachmadi (1996) menyampaikan bahwa korelasi manusiawi merupakan salah satu unsur penting bagi kesuksesan komunikasi, baik dalam komunikasi antarpersonal maupun komunikasi kelompok dan dalam relasi penduduk (public relations).
Dari aneka macam usulan para hebat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan manusiawi kebanyakan terjadi dalam dunia kerja, di mana terdapat interaksi baik antara atasan dan bawahan maupun antara bawahan dan atasan, serta interaksi antarkaryawan yang pada pada dasarnya bertujuan untuk membangkitkan produktivitas kerja yang tinggi tanpa ada unsur paksaan, tetapi mengakibatkan rasa puas hati pada semua pihak yang terlibat dalam acara komunikasi tersebut.
Manfaat Hubungan Manusiawi dalam Mengatasi Konflik 
Setiap acara di suatu organisasi, pasti tidak terlepas dari komunikasi. Arus komunikasi di daerah kerja yang dapat kita bedakan menjadi arus dari atasan kepada bawahan (top-down communications), arus dari bawahan terhadap atasan (bottom-up communications) dan arus komunikasi antarkaryawan (cross-channel communications), cuma akan berjalan dengan tanpa hambatan bila semua komponen atau pihak yang terlibat dalam komunikasi mengerti benar bagaimana berkomunikasi dengan baik. Lalu, bagaimanakah berkomunikasi yang baik? 
Menurut Kotler, komponen-komponen dalam proses komunikasi adalah sebagai berikut:
1. Sender : Komunikator yang memberikan pesan terhadap seseorang atau sejumlah orang.
2. Encoding : Penyandian, ialah proses pengalihan anggapan ke dalam bentuk lambang.
3. Message : Pesan yang ialah seperangkat lambang memiliki arti yang disampaikan oleh komunikator.
4. Media : Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator ke komunikan.
5. Decoding : Pengawasandian, ialah proses di mana komunikan menetapkan makna pada lambang yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.
6. Receiver : Komunikan yang mendapatkan pesan dari komunikator.
7. Response : Tanggapan, seperangkat reaksi pada komunikan setelah diterpa pesan.
8. Feedback : Umpan balik, ialah jawaban komunikan kalau tersampaikan atau disampaikan kepada komunikan.
9. Noise : Gangguan tak berkala yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berlawanan dengan pesan yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.
Dari skema di atas mampu diketahui bahwa komunikasi yang bagus akan terjadi apabila komunikator mengenali dengan baik khalayak target dari pesan yang hendak disampaikan dan tanggapan apa yang diinginkannya. Ia mesti cekatan dalam menyandi pesan dengan memperhitungkan bagaimana komunikan target lazimnya mengawasandi pesan. Komunikator mesti mengantarkan pesan melalui media yang sempurna dalam mencapai sasarannya. Dalam proses komunikasi ini, komunikator juga harus bisa mengantisipasi terjadinya gangguan (noise) selama proses komunikasi berjalan. 
Dalam proses komunikasi pada sebuah organisasi, setiap distorsi yang diakibatkan oleh noise pasti akan menyebabkan pertentangan, baik konflik antarkaryawan, konflik antara atasan dan bawahan, antara golongan dan golongan ataupun antara seseorang dan kalangan. Tubbs dan Moss (1996) menyatakan bahwa para hebat teori cenderung menganggap pertentangan sebagai aspek alamiah hubungan manusia, yang tidak dengan sendirinya bersifat destruktif. Hocker dan Wilmot (dalam Tubbs dan Moss, 1996) berpendapat bahwa pertentangan yaitu sebuah proses alamiah yang melekat pada sifat semua kekerabatan yang penting dan dapat dituntaskan dengan pengelolaan konstruktif lewat komunikasi. Menurut Nitisemito (dalam Suminar, 1999), konflik perlu dipelajari alasannya konflik dapat terjadi pada setiap organisasi. Dengan jalan mempelajari persoalan pertentangan, maka kita mampu mengetahui konflik yang memiliki akhir nyata dan akhir negatif. Dengan demikian kita mampu menangkal kemungkinan timbulnya konflik-konflik yang merugikan, mengarahkan konflik-pertentangan yang konkret serta berusaha menghilangkan konflik-pertentangan yang mampu merugikan.
Suminar (1999) menyampaikan untuk dapat menghalangi pertentangan, maka pertama-tama kita harus mempelajari sebab-karena timbulnya konflik. Ada banyak faktor penyebab timbulnya pertentangan. Salah satu penyebab timbulnya pertentangan menurut Suminar yakni terjadinya salah paham. Kesalahpahaman yang terjadi dalam aktivitas komunikasi di sebuah organisasi mungkin sekali disebabkan oleh gangguan (noise) pada dikala proses komunikasi berjalan. 
Dari denah di atas, konflik (kesalahpahaman) mampu terjadi pada dikala atasan memberikan pesan (message) yang berbentukpenyampaian aba-aba kerja lewat susukan tertentu (channel), seperti memo, surat peran, telepon ataupun secara mulut, kepada bawahan. Pada saat bawahan mendapatkan pesan, bisa saja kesalahpahaman terjadi, contohnya bawahan merasa beban kerja yang diberikan atasan terlalu berlebihan atau di luar kemampuan yang bersangkutan. Padahal bisa saja atasan memberi pekerjaan tersebut karena yakin pada kemampuan bawahannya. Demikian juga dengan umpan balik (feedback) yang diberikan bawahan atas arahan kerja yang diberikan atasan. Bila isyarat kerja yang diberikan atasan sudah hingga pada deadline (date-line) tetapi bawahan belum menunjukkan hasil kerjanya, barangkali atasan akan beranggapan bawahan tidak memberikan pengabdian kerja dan menganggap remeh aba-aba yang diberikan. Padahal mampu saja bawahan belum menuntaskan pekerjaannya alasannya menemui banyak kesusahan yang tidak beliau komunikasikan terhadap atasannya.
Dari ilustrasi di atas tampakbahwa kata kunci dalam kesuksesan korelasi manusiawi pada organisasi yaitu komunikasi yang bagus dan transparan.
Sebaliknya, apa yang akan terjadi jikalau hubungan manusiawi tidak dilaksanakan dengan baik pada suatu perusahaan? Di bawah ini terdapat dua buah kutipan isu dari sebuah surat kabar.
Dari kutipan pertama tampak terperinci bahwa administrasi RSPP tidak melakukan hubungan manusiawi dengan baik, ini tampakpada fakta bahwa:
1. Gaji para karyawan yang berunjukrasa tidak mencukupi untuk menyanggupi kebutuhan mereka sehari-hari, sehingga bila ada anggota keluarga karyawan yang sakit, mereka hanya sanggup untuk mengobatinya ke puskesmas. 
2. Salah satu tuntutan yang diajukan para pengunjuk rasa adalah diberikannya perlindungan kesehatan dan kemakmuran, ini memperlihatkan bahwa pihak manajemen RSPP tidak memberikan sumbangan kesehatan terhadap karyawan dan anggota keluarga karyawan. Kenyataan ini cukup tragis, alasannya adalah RSPP adalah suatu rumah sakit, tetapi rumah sakit ini tidak memperlihatkan akomodasi berobat kepada karyawan dan anggota keluarga karyawan. Kesejahteraan karyawanpun ternyata tidak atau belum diberikan secara maksimal, sampai keluarlah permintaan tersebut kepada pihak administrasi.
3. Pihak manajemen RSPP tidak mampu mendeteksi timbulnya konflik di antara karyawannya. Seandainya tanda-tanda-tanda-tanda akan timbulnya konflik mampu sesegera mungkin terdeteksi dan terselesaikan, yaitu adanya rasa kekecewaan karyawan akan gaji yang mereka terima, ketiadaan derma kesehatan dan kenaikan kemakmuran, maka unjukrasa para tidak akan terjadi.
Sedangkan pada kutipan kedua terdapat dua realita yang bisa dilihat, adalah:
1. Kenyataan bahwa manajemen PO Mayasari Bakti belum melakukan kekerabatan manusiawi dengan baik, ini terbukti seperti pada perkara RSPP, manajemen Mayasari Bakti tidak bisa mendeteksi adanya pertentangan di antara karyawan yang tidak puas dengan persentase pembagian pemasukan yang dinilai karyawan terlalu kecil.
2. Kenyataan bahwa PO Mayasari Bakti lalu telah melakukan pendekatan kekerabatan manusiawi dengan baik dalam mengatasi unjukrasa karyawan, sehingga terjadi kesepakatan antara karyawan dan pihak administrasi tentang persentase pembagian pemasukan yang dinilai adil bagi kedua belah pihak.
Lalu, bagaimanakah mendeteksi konflik yang muncul di lingkungan organisasi? Setiap pimpinan dalam organisasi dibutuhkan mempunyai kemampuan untuk mendeteksi timbulnya konflik di antara para karyawannya. Bagaimanakah caranya? Konflik timbul diawali dengan tanda-tanda-tanda-tanda, contohnya dalam pertentangan yang terjadi di antara dua karyawan, akan terjadi kekerabatan yang renggang di antara keduanya, kekakuan dan ketegangan, saling menghindar dalam aktivitas sehari-hari, menolak bekerja dalam satu tim dengan pihak yang terlibat konflik, dan sebagainya. Pemimpin yang bagus harus peka terhadap tanda-tanda-gejala tersebut. Dengan kemampuan mengenali adanya pertentangan sedini mungkin, pimpinan mampu mencegahnya, mengarahkannya atau menghilangkannya. Mengatasi pertentangan yang terjadi dalam organisasi memang tidak mudah. Nitisemito mengemukakan beberapa hal yang mampu membantu pimpinan untuk menghalangi timbulnya pertentangan sedini mungkin, adalah:
1. Menciptakan komunikasi timbal balik antara atasan dan karyawan, dengan penitikberatan pada arus komunikasi dari bawah ke atas (bottom-up communications). Diharapkan dengan komunikasi yang terbuka, bawahan mampu mencurahkan isi hatinya, sehingga informasi wacana gejala terjadinya pertentangan mampu dikenali dan diantisipasi.
2. Menggunakan jasa pihak ketiga. Pada lazimnya pihak-pihak yang terlibat pertentangan akan lebih terbuka pada pihak ketiga yang dinilai netral. Maka untuk membuat lebih mudah mengetahui timbulnya konflik seawal mungkin, dapat memakai jasa pihak ketiga, contohnya konsultan. (Khusus untuk cara kedua dalam menghalangi timbulnya konflik sedini mungkin menurut Nitisemito ini salah satu media yang dapat dipakai ialah dengan membuka program konseling pada suatu organisasi, dan cara ini telah ditempuh oleh Universitas Terbuka yang membuka acara konseling di bawah asuhan Bapak dan Ibu Setijadi, sejak pertengahan 1999).
3. Menggunakan jasa pengawas informal. Untuk mengenali adanya pertentangan sedini mungkin, kita mampu menempatkan pengawas-pengawas secara informal di lingkungan organisasi. Keberadaan pengawas informal ini, yang berkedudukan mirip mata-mata, tentu saja dirahasiakan dan hanya dimengerti oleh pimpinan organisasi. Dari info yang diperoleh oleh pengawas informal, diharapkan pimpinan mampu mengenali data di lapangan. Namun yang harus diperhatikan dalam menggunakan pengawas informal ini adalah kredibilitas dari pengawas informal untuk dapat memberikan informasi yang sebenar-benarnya, tidak dibentuk-buat.