Antara Puasa, Keikhlasan Dan Etos Kerja

Ikhlas, dalam praktik beribadah, ialah suasana psikologis yang paling rumit. Ikhlas diumpamakan seseorang yang bederma dengan ajun, maka tangan kiri tidak tahu amalan tangan kanannya. Dalam berpuasa, keikhlasan seseorang ditempa dan diuji lewat banyaknya kejadian kolektif dan pribadi. Puasa mendidik keikhlasan yang mempribadi, alasannya puasa yaitu ibadah yang eksklusif terhubung dengan Tuhan. Hanya Tuhan dan pelaku puasa itu sendiri yang tahu perihal apa dan bagaimana amalan seseorang selama berpuasa, sehingga puasa mendidik hati secara asli.  
Konsekwensi dari pelaksanaan puasa yang cocok hukum syariat, maka Tuhan menghargainya dengan mengganjar langsung perbuatan hamba-Nya itu yang melakukan ibadah puasa. Merujuk pada kemuliaan puasa, makna puasa berpotensi mendidik hati untuk belajar lapang dada. Ikhlas yaitu problem otentisitas pribadi, karena tulus disandarkan pada niat yang besar lengan berkuasa bagi seseorang selaku basis penentu perilaku beribadah atau beramal. Ketika orang tidak tulus dan mengharap pujian dari orang sekitar maka mereka akan terjebak pada masalah riya’, ibadah yang dilakukan karena mengharap kebanggaan dan penghargaan dari orang lain. Ibadah yang dikerjakan dengan riya’ justru akan menghapus ibadah itu sendiri. Keikhlasan ialah kekuatan yang mau selalu diuji dan ditempa oleh aneka macam self interest.

 merupakan situasi psikologis yang paling rumit Antara Puasa, Keikhlasan dan Etos Kerja

Oleh sebab itulah ibadah puasa sebenarnya digerakkan dari kerangka spiritualitas mengenai hakikat eksklusif yang otentik. Puasa meletakkan fundasi keimanan dalam ranah spiritualitas yang membebaskan langsung manusia dari banyaknya kepentingan sendiri. Ikhlas merupakan makna ibadah yang tidak umum, namun mempribadi. Artinya bahwa orientasi ibadah bukan ingin menerima derajat kemuliaan alasannya adalah mendapat imbalan dari orang lain atau pujian sebab perbuatan baik seseorang. Puasa mendidik pribadi melepaskan nafsu diperbudak kekuasaan. Orang yang sudah biasa makan, maka dalam puasa seseorang diajak untuk melepaskan diri dari hegemoni masakan. Melalui puasa, seorang berlatih menjadi langsung yang bisa membebaskan diri dari belenggu materialisme, keserakahan, nafsu syahwat dan tidak diperkenankan membentuk relasi sosial yang timpang pada sesama. Puasa secara substantif mengolaborasi pemaknaan ikhlas selaku parameter keberhasilan diri dalam mencapai derajat tertinggi di hadapan Tuhan.

  Adat Bisnis Menurut Al Quran

Pemaknaan tulus yang mempribadi dapat ditransformasi dalam realitas sosial dalam aneka macam bentuk prilaku pembebasan. Seseorang tidak akan arogan dalam bekerja, dengan tidak menghargai hasil karya orang lain. Menghilangkan sikap dan sifat egoisme dan budaya untuk menang sendiri, yang menghargai rambu – rambu pertemanan. Bahkan hegemoni kekuasaan di diri seseorang akan hilang seiring dengan tumbuhnya sifat tawadhu, qana’ah dan kesabaran dalam menghadapi prilaku manusia sekitarnya yang berbeda – beda. Karakter nyata tersebut diatas muncul dalam etos kerja seseorang lantaran puasa sudah menjadi bengkel hati insan agar secara sengaja diajak untuk beribadah yang berhubungan pada dua (2) dimensi.

Dimensi pertama, tersambung dengan kualitas ibadah pribadi dengan Tuhan, dimensi kedua kualitas ibadah yang tersambung dengan nilai – nilai kemanusiaan. Dua dimensi ini perlu diseimbangkan supaya terwujud fiddunnya hasanah wafil akhirati hasanah. Ibadah puasa memperkaya kematangan diri selaku insan unggul (the mature of personality) yang tidak dihamba oleh materialisme, kekuasaan, atau kombinasi dari bentuk – bentuk self fulfiing prophecy. Bekerja tulus dan melakukan pekerjaan pandai ialah bab dari konstelasi dasar ibadah. Seseorang tidak cuma dituntut bisa dan kuat bekerja, namun tabah dan ikhlas dalam menghadapi aneka fenomena kerja yang selalu memerlukan kecerdasan seseorang dalam menyelesaikannya. Itu sebabnya mengapa orang yang berpuasa, dan tabah serta ikhlas dalam puasanya, mampu memenangkan berbagai persaingan hidup dan mampu memenangkan pertarungan jiwanya yang selalu menuntut kepuasan duniawi.

Ikhlas mempribadi dalam matra sosial yang tidak mengurangi hasil dari prilaku sosial. Ia tidak memupuk kepuasan diri untuk memaksimalkan obsesi derajat pribadi di mata Tuhan atau obsesi derajat pribadi di mata manusia. Obsesi derajat langsung di mata Tuhan dimaknai bahwa ibadah tidak hanya dikerjakan alasannya adalah nirwana semata, justru neraca iktikad kita terdidik guna memupuk self-interest kepada Tuhan. Ikhlas lebih bermuara pada mencapai ridho Allah yang memiliki arti tawakal. Bahwa seluruh ibadah yang kita rajut semasa hidup semuanya diserahkan menjadi hak prerogratif Allah untuk mengganjarnya, alasannya percaya bahwa keputusan Allah terhadap amal hamba-Nya adalah mutlak. Surat An-Nisa 146 menjelaskan bahwa: “kecuali orang – orang yang bertaubat dan mengadakan perbaikan, dan berpegang teguh pada (agama) Allah secara tulus ikhlas (menjalankan) agama mereka sebab Allah. Maka mereka itu bareng – sama orang yang beriman dan kelak Allah akan menawarkan kepada mereka pahala yang besar”.

  Asal Mula Insiden Insan Berdasarkan Islam

Ikhlas mendidik kita supaya tidak mengukur derajat amalannya untuk mengoptimalkan obsesi derajat di mata insan sehingga tidak menentukan – milih amalan. Ikhlas ialah ibadah yang mampu ditransformasikan pada dunia sosial untuk memeratakan dan mewujudkan kesejahteraan bareng . Sebuah riwayat mengisahkan, “Ada seorang laki – laki yang mendatangi saudaranya di kota lain, maka Allah mengutus malaikat di perjalanannya, dikala malaikat tersebut berjumpa dengannya, malaikat itu bertanya, “Hendak ke mana engkau ?” maka dia berkata “Aku ingin mendatangi saudaraku yang tinggal di kota ini.” Maka malaikat itu kembali bertanya “Apakah engkau memiliki sebuah kepentingan yang menguntungkanmu dengannya ?” orang itu menjawab, “Tidak, cuma saja saya mengunjunginya karena saya mencintainya karena Allah, malaikat itu berkata “Sesungguhnya aku ialah delegasi Allah azza wajalla untuk mengabarkan kepadamu bahwa sesungguhnya Allah mencintaimu seperti engkau mencintai saudaramu itu alasannya adalah-Nya” (HR. Muslim). Hadits ini mengajarkan keikhlasan yang mempesona. Persaudaran telah dibebaskan dari hukum transaksional.

Disinilah bergotong-royong amalan puasa disandarkan pada muara ke-ikhlas-an alasannya adalah kecintaan terhadap Allah. Karena puasa adalah usul biar insan menyadari dan mau mengukur kecukupan keperluan dirinya. Bukankah akan terasa lebih indah jikalau kekerabatan baik antara sesama pekeja terjauhkan dari interest langsung atau kepentingan sesaat?. Bukankah akan terasa lebih indah kalau korelasi kerja didasari atas saling menghargai, mengasihi, menghormati diantara sesama pekerja?… karena masing – masing pada diri kita telah berkembang pengertian, bahwa setiap orang menjadi penting di bidangnya. Puasa mendidik seseorang tulus dengan mendaulat diri semoga tidak terjebak kepada kepemilikan sewenang-wenang.

Puasa mengajak melepaskan dimensi kepemilikan untuk disharingkan ke manusia lain. Hasil sharingnya juga tidak dijumlah selaku prinsip transaksional namun dihitung selaku amal ibadah yang semata – mata ditimbang alasannya adalah kecintaan kepada Allah. Suatu amal yang tidak mengharap imbalan popularitas, keuntungan dan kesahajaan alasannya sanjungan orang lain. Bahwa semua ibadah, tergolong bekerja, telah terkonsentrasi untuk menerima ridha Allah azza wajalla sebagaimana hakikat ibadah puasa yang menjadi belakang layar Tuhan dan dirinya sendiri. Puasa mengajak umat untuk keluar dari belenggu egosentrisme. Manusia ditempa untuk mengetahui keakuan dan melepaskan egosentrisme. Misalnya dalam budbahasa bekerja, seorang yang berpuasa ditugaskan untuk melakukan pekerjaan tanpa dihantui kompetisi jabatan atau kebanggaan dari atasan. Etika itu mengisyaratkan agar ibadah puasa diisi dengan latihan menejemen ego kuasa. Sebuah ranah spritualitas yang dapat disamakan bobotnya dengan mencar ilmu ikhlas. Puasa dimaknai melampaui fakta kekuasaan. Karena kita sering terperangkap memupuk diri menjadi insan – insan tamak, egosentris, memburu kepuasan dan kemanjaan hidup. Puasa mengajak manusia untuk mengatur ego semoga bisa tulus. Sebuah entitas kecil dari upaya menuju lapang dada. Ketika ikhlas menjadi konsentrasi kepribadian, maka kita akan gampang berguru lapang dada. Untuk menjadi kekuatan transformatif maka nrimo mesti dimulai dari diri sendiri dan puasa ialah medan pengkondisian semoga manusia terbiasa dalam siklus berkecukupan. Saat kita bisa mengukur rasa kebercukupan, maka nrimo akan membahana menjadi kesadaran sahih tentang situasi tanpa pamrih dalam beribadah/bederma, kecuali hanya mengharap kecintaan kepada Allah azza wajalla.

  Al Quran Selaku Penyelesaian Kehidupan

Bukankah para pendahulu kita sudah meraih derajad kemuliaan dimata Tuhan dan manusia lantaran keihklasan mereka dalam berbuat tanpa pamrih? Mereka ialah manusia – insan opsi yang menjadi suri tauladan bagi manusia sesudahnya, dan Allah azza wajalla menyeru kita berpuasa semoga dapat menjadi insan beruntung mirip mereka: “Hai orang – orang yang beriman, diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang – orang sebelum kamu, gampang – mudahan kau tergolong orang yang beruntung”