Ayahku sebuah mercusuar di akrab dermaga. Mercusuar tua berbadan jangkung, berkemeja putih, & bertopi coklat tahi karat.
Ketika malam sorot matanya masih bekerja dgn baik, menyala & menelanjangi semesta pantai: kapal-kapal yg berayun di tepi dermaga, para nelayan berkalung sarung yg sibuk membetulkan mesin, sepasang kekasih yg duduk saling merapat di sebuah dingklik panjang, seekor kepiting yg kehilangan ibunya—yang merangkak gegas meninggalkan garis-garis tipis di atas pasir.
Ayahku suatu mercusuar di dekat dermaga. Kakinya tak pernah mengenakan ganjal. Hanya menapak bebas di atas batuan cadas. Anak-anak kepiting & binatang-binatang kecil tanpa nama senantiasa suka bersembunyi di bawah kakinya. Menggelitikinya sepanjang waktu. Namun ayah tak pernah tertawa, alih-alih beranjak dr tempatnya. Karena ayah adalah sebuah mercusuar.
Dan suatu mercusuar harus menyetujui dua sumpah, yg pertama ia mesti teguh berdiri di daerah yg ditentukan, & kedua ia tak boleh memejamkan mata di waktu malam. Dan ayahku tak pernah menyalahi sumpah. Ia akan tetap menjadi suatu mercusuar, bahkan sesudah cinta pertama menemukannya.
Ayahku yaitu sebuah mercusuar di akrab dermaga. Ayah & ibu bertemu pada suatu malam yg penuh garam. Ibu tengah sekarat terombang-ambing ombak di atas suatu sekoci tatkala sorot mata ayah menemukannya. Sepasang mata itu bertemu. Mata ayah memandang mata ibu, & mata ibu menangkap sorot mata ayah. Dan sorot mata ayah yg berkedip-kedip itulah yg kemudian menyelamatkan ibu dr rengkuhan malam & udara cuek sarat garam.
Ayahku suatu mercusuar di bersahabat dermaga. Ibuku yg menceritakan seluruhnya.
Suatu malam, segerombolan orang menuntun ibu dr lepas pantai suatu dusun—dan menjinjing ibu bertamasya ke tengah bahari dgn suatu kapal pencari ikan berukuran besar. Ibu mengenang nama dusun itu & pula orang-orang itu, namun ibu sudah berjanji tak hendak lagi menyebut nama-nama itu. Ibu hanya akan menyebutnya sebagai segerombolan hantu dlm kapal hantu. Sebab, sesampainya di tengah laut, orang-orang itu memang berkembang menjadi hantu yg menyekap ibu.
Waktu itu, ibu tengah hamil muda. Dan hantu-hantu itu menginginkan diriku—yang tatkala itu masih begitu mungil & enggan terbangun dr tidur lelap di perut ibu. Kata ibu, hantu-hantu itu memaksa ibu membangunkanku dengan-cara paksa. Ibu tak mau melaksanakan itu. Karena itu akan sungguh menyakitiku—dan menyakiti diri ibu sendiri.
Karena ibu tak mau menuruti kata-kata mereka, hantu-hantu itu pun marah besar & ingin menghukum ibu dgn melempar ibu ke bahari. Sebab, barangkali ibu akan berkembang menjadi ikan duyung sesudah menggeluti ke dlm air.
Segerombolan hantu itu bersorak, bahwa ibu akan lebih baik menjadi ikan duyung daripada menjadi manusia. Namun, sesosok hantu laki-laki yg sungguh ibu benci—ibu senantiasa menangis tatkala hingga pada bagian ini—mencegah hantu-hantu lain yg telah hersiap melempar badan ibu ke kedalaman air.
Segerombolan hantu itu kemudian berdebat, tetapi sepertinya sosok hantu laki-laki yg sangat ibu benci itu yaitu ketua dr para hantu, maka hantu-hantu lain pun menuruti perintahnya. Hantu lelaki itu memerintahkan hantu-hantu lain untuk mengangkat tubuh ibu & memasukkannya ke dlm suatu sekoci. Lantas sekoci itu dilepaskan perlahan ke tengah laut.
Kata ibu, hantu lelaki itu tak hingga hati melihat ibu menjadi ikan duyung di depan matanya, tetapi barangkali ia akan hingga hati jikalau beberapa saat kemudian sekoci kecil itu terguling & tubuh ibu didapatkan oleh seekor hiu yg lapar. Intinya, hantu laki-laki itu tidak ingin melihat ibu menghilang begitu saja di depan matanya, ia hanya ingin melihat ibu pergi perlahan. Menghilang begitu saja & pergi perlahan mungkin memang berlainan.
Malam itu, ibu meraung-raung seperti orang ajaib dlm suatu sekoci. Memohon-mohon semoga ia tak ditinggalkan seorang diri di tengah lautan lepas sarat garam dgn udara hambar menggigit, & cuma dgn suatu sekoci. Sekoci yg begitu kecil, mirip suatu peti mati, kata ibu.
Ibu terombang-ambing penuh kepasrahan dlm sekoci itu selama satu hari satu malam. Berusaha menyelami kata-kata maritim. Berusaha mengetahui bisik-bisik angin. Dan menyimak baik-baik, percik-percik yg disampaikan langit.
Dan apa yg dilakukan ibu dlm sekoci mirip peti mati itu selama sehari semalam?
Menangis. Hanya menangis sampai air matanya menjadi garam. Sampai ludahnya menjadi garam. Sampai rambutnya menjadi garam. Dan kulitnya bersisik-sisik penuh serbuk daki, betul-betul seperti ikan dilumuri garam.
Dengan tenggorokan sepat bagai tercekik, ibu berbaring pasrah dlm sekoci yg barangkali akan benar-benar menjadi peti matinya. Ibu tak lagi memikirkan ke mana sekoci tanpa layar itu pergi disetir angin, atau di manakah sekoci ringkih itu nantinya akan terjungkal memuntahkan badan ibu yg sekarat. Ibu hanya menelentang menghadap langit & sudah siap menjadi ikan apa pun, entah ikan duyung, entah ikan kembung, entah ikan julung… Sebab, detik itu ibu merasa dirinya telah hampir menjadi ikan asin yg puas dijemur udara acuh taacuh.
Beruntunglah, malam itu maritim berkata lain, langit berujar lain. Malam itu mata ayah menemukan ibu, menangkap sekoci ibu, hingga kemudian segerombolan orang menyelamatkannya. Malam itu, tubuh ibu yg lunglai dibawa ke lepas pantai, & di ambang kesadaran yg pasang-surut, ibu menyaksikan ayah berdiri tegap, gagah, berkemeja putih, dgn sorot mata yg setia & kelewat tajam mencincang kegelapan.
Hari-hari selanjutnya, ibu tak pernah mampu jauh dr ayah. Ia jatuh hati pada ayah sejak pandangan pertama pada malam sarat garam itu. Selanjutnya, ibu tinggal & tidur di mana saja, di sekitar dermaga. Orang-orang menyebut ibu selaku gelandangan abnormal yg hamil renta di dermaga. Namun ibu tak pernah menggubris, kata ibu cuma ayah yg paham kenapa ibu melaksanakan itu.
Ibu rela makan & tidur di mana saja: di bawah pohon ketapang yg berjajar di sepanjang pantai, atau di kursi beton sarat coretan yg menatap ke maritim lepas, bahkan ibu rela tidur di hamparan pasir, asalkan setiap hari ia mampu melihat badan ayah yg gagah serta memandang sorot matanya yg jeli tatkala langit mulai gulita.
Pada hari tatkala gue terbangun dr perut ibu, ibu pergi tergopoh-gopoh menuju kaki ayah. Ibu ingin gue terbangun di bawah naungan ayah. Menatap wajah ayah saat datang di paras bumi untuk pertama kali. Malam itu, orang-orang begitu gaduh. Berseru satu sama lain. Gelandangan yg hamil tua itu melahirkan di bawah menara… Gelandangan yg hamil renta itu melahirkan di bawah menara…
Dan hari itu ibu sangat bahagia. Hanya bahagia. Dan rupanya, orang-orang baik di muka bumi ini masih cukup banyak. Semenjak hari itu, ibu tinggal di suatu rumah mungil milik orang baik di dusun tepi dermaga. Di seberang kios pelelangan ikan. Ibu tak perlu mengeluarkan uang uang sewa. Ibu cuma butuh merawat rumah mungil itu dgn baik.
“Segerombolan hantu membuang ibumu di maritim lepas, & ayahmu serta segerombolan orang baik memperoleh ibumu di sini, atau ibumu yg mendapatkan mereka,” ibu terkekeh.
Maka, sampai detik ini, tatkala gue mengajukan pertanyaan di mana ayah, ibu akan membawaku ke tepi dermaga, di sepanjang jalan, ekspresi ibu akan bercerita. Sedang sepasang matanya yg menyala, menyorot tajam ke depan.
“Ayahmu yakni suatu mercusuar di erat dermaga. Mercusuar tinggi berkemeja putih & bertopi coklat tahi karat. Tatkala malam, sorot matanya masih melakukan pekerjaan dgn baik, menyala & menerangi seluruh pantai. Kaki ayahmu tak pernah mengenakan alas. Hanya menapak bebas di atas batuan cadas. Anak-anak kepiting & hewan-hewan kecil yg tak kutahu namanya suka bersembunyi di bawah kakinya. Menggelitikinya sepanjang waktu. Dan ayahmu tak pernah tertawa, atau beranjak dr tempatnya…”
Karena ayah yaitu suatu mercusuar. Dan suatu mercusuar mesti menyepakati dua sumpah, yg pertama ia harus teguh berdiri di tempat yg diputuskan, & kedua ia tak boleh memejamkan mata di waktu malam. Dan ayah tak pernah menyalahi sumpah. Ia akan tetap menjadi suatu mercusuar. Juga menjadi ayah. Sampai kapan pun.
Makara begitulah! Kalau ada yg mengajukan pertanyaan padaku, siapa ayahku, akan kujawab: ayahku ialah sebuah mercusuar di bersahabat dermaga. Ibuku yg menceritakan semuanya. (*)