Agnostik-Debat tentang agama & ketuhanan seolah tak pernah selsai. Disamping adanya berbagai agama di dunia, terdapat pula pengertian yg dikenal sebagai agnostik & ateis. Tatkala membaca atau berbicara & menemukan ungkapan “agnostik” atau “ateisme”, Anda mungkin mengajukan pertanyaan-tanya apa arti & perbedaan kedua ungkapan tersebut.
Kedua istilah ini seringkali salah dipahami atau dipandang sebagai persamaan kata. Padahal, kedua hal ini menunjukkan pandangan atau tata cara pemahaman yg berlawanan, & tak boleh dipandang sama. Bahkan, bagi orang yg tak mempunyai kepercayaan religius atau tak mengikuti tradisi kepercayaan, mereka masih suka memperlihatkan label pada diri mereka sendiri.
Baca juga: Sosiologi Hukum: Pengertian & Aliran
Itu merupakan potongan dr kebiasaan manusia. Manusia suka memberikan label pada diri mereka untuk banyak sekali hal, seperti misalnya “saya vegan”, “saya orang gabungan”, dll. Ada dua label yg sering digunakan orang untuk menggambarkan apa yg mereka percayai atau tak percayai, yakni “ateisme” & “agnostisisme”.
Namun, menggunakan kedua label tersebut dengan-cara bergantian adalah salah. Jika Anda tak beragama atau kesulitan mengidentifikasi apa yg Anda percayai, lebih baik & bijak untuk memahami terlebih dahulu arti sebenarnya dr kedua istilah tersebut. Setelah itu, gres menentukan satu untuk dipakai pada diri.
Baca juga: Interaksi Sosial: Pengertian, Jenis, & Contoh
Dalam artikel ini, akan dibahas lebih mendalam perbedaan antara kedua ungkapan, untuk memperlihatkan edukasi pada pembaca & memperjelas konsep perihal arti & perbedaan antara agnostik & ateis.
Table of Contents
Pengertian Agnostik
Menurut Stanford Encyclopedia of Philosophy, ungkapan “agnostik” & “agnostisisme” pertama kali diciptakan pada final kala kesembilan belas oleh spesialis biologi Inggris bernama T.H. Huxley. Huxley menyatakan bahwa ia menciptakan kata “Agnostik” untuk menggambarkan orang yang, seperti dirinya, tak memiliki minat kepada banyak sekali hal yg dlm hal ini ialah para mahir metafisika & teolog yg melaksanakan dogmatisasi dengan-cara yakin termasuk wacana eksistensi Tuhan.
Namun, Huxley tak cuma mengartikan “agnostisisme” sebagai kondisi agnostik saja. Sebaliknya, ia pula sering memakai istilah ini untuk merujuk pada prinsip epistemologi normatif, mirip apa yg kini disebut sebagai “pembuktian”.
Baca juga: Pancasila Sebagai Dasar Negara: Makna, Arti, & Fungsi
Secara garis besar, prinsip Huxley menyatakan bahwa tak benar jika seseorang mengatakan bahwa mereka tahu atau percaya bahwa suatu proposisi yakni benar tanpa bukti yg memuaskan dengan-cara akal (Huxley 1884 & 1889).
Namun, aplikasi prinsip ini oleh T.H. Huxley pada keyakinan teistik & ateistik mempunyai efek paling besar pada arti ungkapan tersebut. Ia beralasan bahwa alasannya adalah tak ada satu keyakinan pun yg disokong oleh bukti yg membuat puas, insan mesti menahan diri dlm menilai apakah Tuhan ada atau tidak.
Baca juga: Sejarah Kerajaan Sriwijaya & Perkembangannya
Secara terminologi, agnostik yakni orang yg memiliki pandangan bahwa keberadaan Tuhan ialah hal yg tak dapat dimengerti. Agnostisisme tak membantah pasti eksistensi Tuhan. Mereka menilai bahwa keberadaan Tuhan adalah sesuatu yg tak mungkin dipahami oleh budi manusia & hasilnya yaitu bahwa keberadaan Tuhan tak mampu dikenali dgn cara apapun.
Jenis Agnoistik
Agnoistik dibagi dlm dua jenis, agnostik non relegius huxley & agnoistik agama
Agnostik Non Relegius Huxley
Otoritas Huxley selaku penemu ungkapan “agnostisisme” & pernyataannya wacana esensi dr agnostisisme ialah sangat berkuasa. Ini tak merupakan realita bahwa seseorang tak tahu sama sekali atau sangat tak mengetahui perihal hal tertentu, tetapi sangat luas. Sebaliknya, ia bersikeras bahwa “pada dasarnya terletak pada aplikasi ketat dr satu prinsip.”
Prinsip ini yakni untuk mengikuti kecerdikan “sejauh yg dapat menjinjing Anda.” Ini mempunyai arti menetapkan batas wawasan kita dgn jujur dan transparan.
Baca juga: Cara Mengaktifkan Notifikasi Email Dengan Gmail di OJS 3
Ini sama dgn prinsip yg diumumkan dlm esai “The Ethics of Belief” (1876) oleh matematikawan & filsuf sains Inggris, WK Clifford: “Sebenarnya selalu salah, di mana saja & untuk siapapun untuk mempercayai sesuatu tanpa bukti yg cukup.”
Huxley menerapkan prinsip ini pada klaim Kristen dasar & menciptakan kesimpulan skeptis yg khas. Misalnya, tatkala mengatakan tentang apokrifa (goresan pena kitab suci antik yg dikeluarkan dr Injil), ia menulis: “Orang mungkin berpikir bahwa diskriminasi yg sedikit lebih kritis akan memperbesar jumlah apokrifa yg tak terlalu besar.”
Baca juga: Sawarna Srikandi: Tempat Wisata Terbaik di Banten
Leslie Stephen, seorang kritikus sastra & sejarawan anutan pada kurun ke-19, pula mengkritik orang yg mencoba untuk menggambarkan Tuhan dgn akurasi yg sama seperti naturalis yg menerangkan asal-permintaan kumbang hitam.
Agnostisisme biasanya dibandingkan dgn ateisme dgn cara menyatakan bahwa orang agnostik hanya menyatakan tak tahu ada atau tidaknya Tuhan, sedangkan orang ateis menyatakan bahwa Tuhan tak ada. Namun, perbedaan ini bisa membingungkan dlm dua hal.
- Pertama, Huxley sendiri membantah bahwa Tuhan ada & ini tak benar-benar salah, bukan hanya tak diketahui. Ada banyak pandangan yg populer mengenai Tuhan, pemeliharaan-Nya, & nasib manusia.
- Kedua, jikalau ini adalah perbedaan penting, maka agnostisisme nyaris sama dgn ateisme untuk tujuan praktis. Kesalahan pemahaman inilah yg menyebabkan Huxley & sahabat-temannya sering dikritik, baik oleh pihak Kristen yg antusiasmaupun oleh Friedrich Engels, rekan kerja Karl Marx, sebagai “ateis aib-aib”, sebuah deskripsi yg sangat cocok untuk banyak orang yg menggunakan label yg lebih nyaman untuk mendeskripsikan diri mereka.
Agnostisisme pula tak dapat dikaitkan dgn skeptisisme, yg mempertanyakan bukan cuma wawasan agama atau metafisika, tetapi pula setiap wawasan yg mengklaim melebihi pengalaman eksklusif dgn keyakinan penuh, seperti yg dicontohkan oleh skeptis Yunani antik Sextus Empiricus pada kala ke-2 & ke-3 M. Meskipun seperti skeptisisme, agnostisisme tak mampu diterima oleh pendekatan positivisme yg menekankan hasil & kemungkinan ilmu alam & sosial, banyak agnostik, tergolong Huxley, tetap menilai pendekatan yg lebih sewenang-wenang & ekstrem dr Auguste Comte, pendiri positivisme abad ke-19.
Agnostisisme Agama
Agnostisisme tak memiliki tuntutan doktrinal yg kuat atau memicu perdebatan. Jika kedua jenis agnostisisme diterima, maka agnostisisme Huxley mampu dikategorikan sebagai sekuler, bukan beragama. Sementara ateisme dapat dikatakan “atipikal” atau “asimetris”. Tanpa maksud untuk menjelekkan, ini cuma mempunyai arti bahwa ateis tak mempunyai pandangan yg umum. Huxley sendiri memperkenankan kemungkinan agnostisisme yg beragama, bahkan Nasrani, sebagai alternatif dr ateisme.
Baca juga: Danau Toba: Legenda & Tempat Wisata
Dalam esai lain tahun 1889 berjudul “Agnosticism and Christianity”, ia membandingkan “teologi ilmiah” dgn “Ecclesiasticism” atau “Clericalism”. Kritik kepada penunjang agnostisisme Huxley tak berasal dr perbedaan pandangan yg substansial, melainkan alasannya mereka memegang persepsi “bahwa moralitas salah jikalau seseorang tak mempercayai suatu proposisi, walaupun bukti ilmiah menentang hal tersebut”.
Baca juga: Tana Toraja: 6 Keunikan Wisata Terpopuler
Alternatif kedua ialah bahwa agnostisisme yg memiliki kepercayaan religius, selaku musuh dr yg sekuler, mungkin paling jelas terwujud dlm Buddha. Biasanya, gereja Kristen menganggap niscaya mutlak ihwal beberapa perkiraan minimum perihal Tuhan & tata dunia yg harus diterima sebagai syarat keselamatan. Sebaliknya, Buddha umumnya menghindari pertanyaan spekulatif & lebih memfokuskan perhatian pada urusan penting lainnya yg bekerjasama dgn keselamatan (dalam interpretasi mereka yg sungguh berlawanan).
Pengertian Ateis
Menurut Stanford Encyclopedia of Philosophy, istilah “agnostik” & “agnostisisme” diciptakan oleh spesialis biologi Inggris bernama T.H. Huxley pada final kurun kesembilan belas. Ia mengatakan bahwa ia menciptakan kata “agnostik” untuk menggambarkan orang-orang yg tak peduli ihwal hal-hal yg para jago metafisika & teolog memdogmatiskan, termasuk tentang eksistensi Tuhan. Namun, Huxley menyampaikan bahwa “agnostisisme” merujuk pada prinsip epistemologi normatif, menyerupai dgn apa yg sekarang disebut sebagai “pembuktian”. Prinsip ini menyampaikan bahwa salah untuk mengatakan bahwa seseorang tahu atau percaya suatu proposisi benar tanpa bukti yg membuat puas dengan-cara logis.
Namun, penerapan prinsip ini oleh Huxley pada keyakinan teistik & ateistik yg pada karenanya memiliki dampak besar pada makna perumpamaan tersebut. Ia beropini bahwa sebab tak ada bukti yg cukup untuk mendukung salah satu dr kedua persepsi tersebut, manusia harus menahan diri dr menunjukkan evaluasi perihal masalah eksistensi Tuhan.
Dengan kata lain, orang yg mengaku sebagai agnostik mempunyai persepsi bahwa apakah Tuhan itu ada atau tak ialah sesuatu yg tak dapat dikenali. Agnostisisme tak membantah eksistensi Tuhan dengan-cara mutlak, melainkan beropini bahwa hal itu tak dapat difahami oleh akal manusia & selaku hasilnya, keberadaan Tuhan tak mampu dimengerti dgn cara apapun.
Mengenal Lebih Jauh Ateis
Ateisme sering didefinisikan sebagai lawan dr teisme. Teisme dapat dipahami sebagai keyakinan bahwa Tuhan itu ada, di mana “keyakinan” di sini bermakna suatu proposisi yg bisa benar atau salah.
Ini menekankan pada isi dr kepercayaan tersebut, bukan pada perilaku atau kondisi emosional dr mempercayainya. Oleh alasannya adalah itu, bila ateisme didefinisikan selaku musuh dr teisme & teisme adalah kepercayaan bahwa Tuhan ada & bukan suatu kondisi emosional, maka ateisme pula bukan merupakan ketiadaan kondisi emosional untuk mempercayai adanya Tuhan.
“a-” dlm “ateisme” mesti diterjemahkan sebagai penolakan atau penyangkalan, bukan sebagai keabsahan atau kekosongan. Oleh sebab itu, ateisme mesti didefinisikan sebagai proposisi bahwa Tuhan tak ada (atau, lebih luas, bahwa tak ada tuhan).
Ini memberikan makna yg lebih penting alasannya bikin ateisme menjadi jawaban pribadi untuk salah satu pertanyaan filosofis kunci dlm agama, yaitu “Apakah ada Tuhan?” Hanya ada dua jawaban mungkin untuk pertanyaan ini, yaitu “ya” untuk teisme & “tidak” untuk ateisme. Jawaban mirip “Saya tak tahu”, “tidak ada yg tahu”, “Saya tak peduli”, “jawaban afirmatif tak pernah dibuat”, atau “pertanyaan ini tak bermakna” bukanlah jawaban pribadi.
Ateisme menafsirkan bahwa keyakinan pada Tuhan atau ilahi tak dapat dibuktikan. Teisme & ateisme memiliki implikasi pada perilaku & tindakan seseorang. Ateisme yakni pandangan yg menyangkal dengan-cara keseluruhan eksistensi Tuhan karena tak ada bukti empiris atau logis tentang keberadaannya.
Perbedaan Agnostik & Ateis
Setelah mengerti definisi dr masing-masing perumpamaan, kita mampu menyimpulkan perbedaan antara agnostik & ateis. Seperti yg telah disebutkan sebelumnya, agnostik yaitu kepercayaan bahwa informasi akan eksistensi Tuhan tak dapat dimengerti. Agnostik percaya bahwa ada kekuatan lain yg lebih besar dr Tuhan & dapat dibuktikan lewat ilmu wawasan, yakni alam semesta.
Sementara itu, ateisme mengacu pada langkah-langkah dr pandangan yg diterima oleh agnostisisme. Terdapat dua jenis ateis, yakni ateis agnostik & ateis agnostik. Ateis gnostik tak mempercayai adanya Tuhan & mampu pertanda pandangannya. Sedangkan ateis agnostik, di satu sisi, yakni kelompok orang yg tak mempercayai adanya Tuhan tetapi tak mampu membuktikannya.
Maka, perbedaan antara kedua perumpamaan sudah terang. Agnostik memegang persepsi bahwa mereka akan percaya pada keberadaan Tuhan jika mereka mampu membuktikannya lewat bukti ilmiah, sementara ateis ialah persepsi yg tak percaya pada eksistensi Tuhan & menolaknya. Kaum ateis memandang bahwa manusia & alam semesta merupakan hasil dr proses alamiah yg terjadi dlm waktu yg sangat usang.
Kesimpulan
Ada perbedaan yg terang antara agnostik & ateis. Agnostik ialah persepsi yg mempercayai bahwa Tuhan mungkin ada, tetapi mereka tak mampu membuktikannya dengan-cara ilmiah. Sementara itu, ateis adalah pandangan yg tak percaya akan adanya Tuhan & menolak eksistensi Tuhan. Oleh sebab itu, pandangan & keyakinan kedua istilah ini sangat berbeda & saling berlawanan.
Referensi
- Taslaman, C. (2007). Bedenin ve ruhun iki ayrı cevher olup olmadığı sorununa karşı teolojik agnostik tavır. Marmara Üniversitesi İlahiyat Fakültesi Dergisi, (33), 41-68.
- Çelebi, E. (2011). KUŞKUCU VE AGNOSTİK TUTUM BAKIMINDAN DAVID HUME’UN DİN ELEŞTİRİSİNE ELEŞTİREL BİR BAKIŞ. FLSF Felsefe ve Sosyal Bilimler Dergisi, (11), 25-40.
- Öztoprak, S., & Orman, Z. (2022). Finansal Verilere İlişkin Tahminleri Açıklamaya Yönelik Yeni bir Model-Agnostik Yöntem ve Uygulaması. Avrupa Bilim ve Teknoloji Dergisi, (38), 32-39.
- Imamah, N. (2016). Pandangan Agus Mustofa Tentang Faktor-Faktor Atheisme (Analisis Terhadap Buku Ibrahim Pernah Atheis) (Doctoral dissertation, IAIN JEMBER).
- Nestmann, F., & Engel, F. (2002). Beratung–Markierungspunkte für eine Weiterentwicklung. diess.(Hrsg.), Die Zukunft der Beratung. S, 11-50.