الحمد لله, الحمد لله الذى افتتح أشهر الحجّ بشهر شوّال. وجعله متجر ا لنيل الفضائل وا لإ فضال. فسبحان الّذى انفرد بصفات الكمال. احمده سبحانه وتعالى حمدا كثيرا مباركا كما يحبّ ويرضى غير مستغنى عنه فى حال من ا لأ حوال. واشكره وأياده على شاكره دوال. واشهد انّ لا اله ا لاّ الله وحده لا شر يك له الكبير المتعال. وأشهد انّ محمّدا عـبده ورســوله الصّــادق الــمقال. اللّهــمّ صلّى وســلّم
على عبدك ورسولك سيّدنا محمّد وعلى اله وصحبه خير صُحب وال. (امّا بعد) فيا ايّهاالنّاس. إتّقو الله تعالى واحذرو المعاصى فإنّها موجيبات للخسر ان .
Hadirin Sidang Jum’at Rahimakumullah
Marilah kita mantapkan keimanan dan ketaqwaan kita terhadap Alloh SWT. Azza Wa Jalla Dzikruhu. Taqwa dalam banyak definisi berarti melakukan segala perintah Alloh dan menjauhi larangan-Nya dengan niatan Lillahi Ta’alaa cuma sebab Alloh semata.Taqwa juga mampu mempunyai arti berlindung pada ta’at Alloh dari hukuman-Nya. Taqwa adalah mempertahankan diri dari apa saja yang mengandung eksekusi Alloh. Taqwa ialah menghindari segala sesuatu yang dapat menjauhkan diri kita dari Alloh sang pencipta. Taqwa adalah menjaga tata krama Syari’at. Taqwa pada stata ketaatan memiliki arti IKHLAS dan pada maksiat mempunyai arti sama sekali tidak melakukannya.
Hadirin Sidang Jum’at yang dimuliakan Allah SWT
Hamdan Wa Syukron Wa Ni’matan, patutlah kita syukuri bahwa kita semua telah melewati bulan suci Ramadhan, bulan yang sarat berkah, maghfiroh dan rahmad, dalam arti kita sudah lulus dari ujian yang kemarin dengan lapang dada menjalankan perintah Allah berpuasa dan njungkung ngibadah semata-mata alasannya adalah Allah di bulan Ramadhan, layak pulalah kita bergembira, karena di samping telah berhasil menabung pahala, dosa-dosa kitapun yang telah lewat di ampuni oleh Allah SWT. sebagaimana hal ini dijamin oleh Rasulullah SAW. sendiri di dalam sabdanya :
من صـــام رمضــان ايمــانا واحتســابا غفـر له ماتقدّم من ذنــبه
Artinya: “Barang siapa melakukan ibadah puasa di bulan Ramadhan semata-mata alasannya adalah Allah dan mengharap ganjaran dari pada-Nya, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah melalui.”
Hadirin Sidang Jum’at yang Berbahagia
Lalu pertanyaan yang lalu timbul yakni: Bagaimana kita menanggapi hari demi hari kita, setelah kita kembali pada fitrah kesucian? Dalam hal ini ada beberapa pesan dan himbauan dari para aliem ulama generasi yang teridentifisir selaku salaafunassholih :
Pertama :
ولا تبطل ماأسلفتــم فى شهررمــضان من صــالح ا لأ عــمال
Artinya: “Janganlah kalian porak porandakan segala pahala kebaikan yang telah terkumpulkan di bulan Ramadhan dari beberapa amalan sholih.”
واعلــموا أنّ الحســنات يذهبن السّيّئــآت. فكــذالك السّيّــئآت يبطلن
صـــــــالح ا لأعـــــــمال
Artinya: “Ketahuilah bahwa segala kebaikan (pahala) dapat menghnguskan segala keburukan (Dosa), tetapi juga sebaliknya, segala kejelakanpun dapat menghancurkan amal-amal kebajikan”.
Oleh alhasil:
أ لا وانّ علامة قبول الحسنة عمل الحسنة بعد هاعلى التّوال وانّ علامة ردّها ان تتبع بقبيــح ا لأ فعــال
Artinya: “Ingatlah bahwa tanda diterimanya amal kebaikan adalah melakukan amalan sholeh setelahnya secara berkesinambungan. Adapun tanda ditolaknya amal ibadah adalah mengiringi amalan kebajikan itu dengan prilaku keji dan mungkar”.
Hadirin Sidang Jum’at Rahimakumullah
Kedua: Marilah kita kembali mempertajam pengertian kita terhadap apa bahu-membahu peran kita hidup di dunia sebagai Khalifatullah, paling tidak dapat kita rumuskan bahwa; ada dua peran utama manusia, yaitu “Ibadatullah” (pengabdian dalam bentuk ibadah terhadap Alloh SWT) dan “Imaratil Ardh” (membangun dan meramaikan bumi).
Dari dua tugas tersebut kita dituntut untuk mampu menyeimbangkan implementasinya atau perwujudan pelaksanaan dua peran tersebut. Sebagaimana firman Alloh Ta’alaa :
وابتغ فيما أتك الله الدّ ار ا لأخرة ولا تنس نصيبك من الدّنيا واحسن كما أحسن الله اليك ولا تبغ الفساد فى ا لأ رض. انّ الله لايحبّ المفســــدين
Artinya: “Dan carilah pada apa yang sudah dianugerahkan Alloh Ta’alaa kepadamu (kebahagiaan) negeri darul baka, dan janganlah kau melalaikan bagianmu (kenikmatan) duniawi, dan berbuat oke kepada orang lain, sebagimana Alloh telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di atas bumi. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Dengan demikian; kemakmuran, ketenteraman, serta kebahagian hidup baik di dunia maupun di alam baka kelak (makna yang terkandung di dalam do’a yang selalu kita mohonkan: Sa’aadatu Al-Daroini) merupakan cita-cita dan tujuan hidup semua manusia, sebagimana esensi makna dari (Q.S. Al-Qishas : 77)
ربّنا اتنا فى الدّنيا حســنة. وفى ا لأ خرة حســنة وقنا عذاب النّار
Namun jika kemudian kita lakukan kajian lebih lanjut secara komprehensif (utuh dan menyeluruh), maka kita akan dapat menyimpulkan bahawa; “Kita semua semestinya mempunyai intensitas/tingkat perhatian yang lebih tinggi, prioritas aksentuasi yang lebih besar, kepada upaya terwujudnya sebuah kebagiaan yang abadi dan awet, adalah kebahagiaan kehidupan darul baka kelak, sekalipun dalam ukuran yang biasa , kita tidak akan cukup bahagai hidup di dunia alasannya qodho’ dan Kodar fitrah kemanusiaan yang berjulukan “kemiskinan” dan lain-lain, senantiasa kita temui di tengah-tengah kehidupan penduduk . Sebagaimana hal ini ditegaskan oleh Allah Ta’ala dalam beberapa firmannya yang antara lain menyebutkan:
وا لأ خرة خير لمن اتّــقى
”Sesungguhnya akherat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa”.
وا لأ خرة خير وأبــقى
“Dan sebenarnya akherat itu lebih baik dan lebih awet”.
Hadirin Sidang Jum’at yang dimulyakan Allah SWT
Ketiga; disamping upaya maksimal kita dalam rangka untuk menghimpun pahala kebajikan dengan melaksanakan amalan-amalan sholeh baik dalam dimensi ritual maupun sosialnya, demi kebahagiaan akherat kelak terus menerus secara dinamis dan istiqomah kita usahakan, semasa kita masih hidup di dunia, maka; “Tidaklah kita juga mengusahakan, semoga kita mendapatkan kiriman ganjaran (pahala) sekalipun kita nantinya sudah mati meninggalkan dunia fana ini? dimana hal itu memiliki arti batas final, dan terputusnya segala amal anak Adam? Rasulullah Saw menawarkan jalan untuk upaya tersebut, sebagaimana dalam sabdanya :
إذا مات ابن أدم انقطع عمله ا لاّ من ثلاث صدقة جارية
او عـلم ينتفع به او ولد صـالح يدعوله . (رواه مسلم)
Artinya: Apabila anak Adam sudah pergi ke alam baqa, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga masalah ialah: Pertama, shodaqoh jariyah, yakni kesediaan diri seorang muslim untuk menginfakkan atau mensedekahkan sebagaian harta bendanya dijalan Allah, utamanya dalam rangka membangun aneka macam fasilitas biasa yang mampu memfasilitasi kaum Muslimin dalam memenuhi keperluan hidup dan tanggung jawab ibadahnya kepada Allah Swt.
Kedua, Ilmu yang mampu diambil keuntungannya. Dalam hal ini perlu diingat bahwa proses pewarisan keilmuan yang ‘Amaliyyah dari seorang guru pendidik kepada murid penerima didiknya, tentunya membutuhkan sebuah kelembagaan yang mapan dan representatif baik berupa madrasah-madrasah, majlis-majlis ta’lim, jam’iyah-jam’iyah, kursus-kursus, bimbinganp-tutorial, organisasi-organisasi kemasyarakatan dan lembaga-lembaga pembelajaran dan pendidikan yang lainnya baik yang bersifat formal, non formal, dan ekstrakurikuler.
Ketiga, yakni anak yang sholeh dan akrom yang hendak dan bersedia untuk mendo’akan kedua orang tuanya, atau dalam arti lain; shaleh mampu diinterprestasikan membangun kepribadian/huruf dan peradaban yang secara memiliki peluang beliau bisa berperan aktif, berdaya guna dan cekatan dalam kancah kehidupan selama berinteraksi dengan sesama manusia. Sedangkan Akrom ialah pencapaian tingkat keunggulan dan relevansi korelasi antara makhluk kepada kholiknya, untuk lalu mencapai kebahagiaan di akherat.
Untuk menemukan pilar yang ke tiga ini, adalah (anak yang sholeh dan akrom) melihat begitu pesatnya perkembangan sains dan teknologi maka orang bau tanah mesti membekali putra putrinya dan mendidik mereka lewat tiga hal ; ialah :
- Anak mesti disekolahkan
- Anak harus terus mengaji, dan ke
- Orang bau tanah harus sanggup mengontrol kedisiplinan putra putrinya kepada dua aktifitas di atas lewat sejauhmana putra putri kita sudah melaksanakan kewajiban dasar agamanya ialah Sholat Lima Waktu secara dinamis dan kontinyu
Dengan tiga upaya di atas insyaallah putra-putri kita akan menjadi tunas-tunas bangsa yang sholihin, sholihat ………
Demikianlah khutbah Jum’at yang mampu kami sampaikan, gampang-mudahan kita semua selalu mendapatkan limpahan taufiq, hidayah serta inayah Allah Swt sehingga mampu meraih ridlo-Nya , dan mendapatkan syafa’atul Udzma dari rasulillah Saw. Amin…..Amin………..Amin ……… Ya Yobbal ‘Alamin
إنّ أحسن المواعظ الشّافية كلام من لا يخفى عليه خافية. والله سبحانه يقول وبقول يهتدى المهتدون. واذا قر ئ القر آن فاستمعوا له وانصتوا لعلّكم تر حمون . اعوذ بالله من الشّيطان الرّجيم. بسم الله الرّحمن الرّحيم. يآايّها الّذين آمنوا اتّقو الله والتنظر نفس ماقدّمت لغد. واتّقو الله انّ الله خبير بما تعلمون.بارك الله لى ولكم فى القر آن العظيم. ونفعنــى وا ياّكـــم بما فــيه من ا لا يآت والذّكــر الحكــيم. وتقبّل منّى ومنكم تلاوته إ نّه هو الغفور الرّ حيم.
Khutbah Jumat Bulan Syawal Minggu Pertama Kedua, Ketiga, Keempat/Terakhir Singkat Khutbah Pertama
الحمد لله ربِّ العالمين والْعاقِبَةُ لِلْمُتَّقين ولا عُدْوانَ إلَّا عَلى الظَّالمِين وأشهد أنْ لا إله إلاالله وحده لا شريك له ربَّ الْعالمين وإلَهَ المُرْسلين وقَيُّوْمَ السَّمواتِ والأَرَضِين وأشهد أن محمدا عبده ورسوله المبعوثُ بالكتابِ المُبين الفارِقِ بَيْنَ الهُدى والضَّلالِ والْغَيِّ والرَّشادِ والشَّكِّ وَالْيَقِين والصَّلاةُ والسَّلامُ عَلى حَبِْيبِنا و شَفِيْعِنا مُحمَّدٍ سَيِّدِ المُرْسلين و إمامِ المهتَدين و قائِدِ المجاهدين وعلى آله وصحبه أجمعين
فياأيها المسلمون أوصيكم وإياي بتقوى الله عز وجل والتَّمَسُّكِ بهذا الدِّين تَمَسُّكًا قَوِيًّا. فقال الله تعالى في كتابه الكريم، أعوذ بالله من الشيطان الرجيم “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ،
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Kini kita tengah berada di Jum’at kedua bulan Syawal 1439 H. Delapan hari telah Ramadhan meninggalkan kita. Tanpa adanya kepastian apakah di tahun mendatang kita masih mampu bertemudengannya, menggapai keutamaan-keutamaannya, memenuhi nuansa ibadah yang dibawanya, ataukah justru Allah sudah mengundang kita. Kita juga tidak pernah tahu dan tidak pernah menerima kepastian apakah ibadah-ibadah kita selama bulan Ramadhan diterima oleh Allah SWT atau tidak. Dua ketidakpastian inilah yang membuat sebagian salafus shalih berdoa selama enam bulan sejak Syawal sampai Rabiul Awal biar ibadahnya selama bulan Ramadhan diterima, lalu dari Rabiul Awal sampai sya’ban berdoa semoga dipertemukan dengan bulan Ramadhan berikutnya.
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Arti syawal ialah peningkatan. Demikianlah semestinya. Paska Ramadhan, dibutuhkan orang-orang yang beriman menjangkau derajat taqwa, menjadi muttaqin. Hingga mulai bulan Syawal kualitasnya meningkat. Kualitas ibadah, juga mutu diri seseorang. Bukankah orang kemuliaan seseorang tergantung pada ketaqwaannya?
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
…Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kau adalah orang yang paling bertaqwa… (QS. Al-Hujurat : 13)
Akan tetapi, yang kita lihat di masyarakat justru sebaliknya. Syawal menjadi bulan penurunan. Penurunan ibadah, juga penurunan kualitas diri. Diantara indikatornya yang sangat terang yakni perayaan idul Fitri dengan musik dan tarian, dibukanya kawasan-kawasan hiburan yang sebulan sebelumnya ditutup. Kemaksiatan mirip itu justru langsung ramai sejak hari pertama bulan Syawal. Na’udzubillah! Lalu sesudah itu, masjid-masjid akan kembali sepi dari jamaah shalat lima waktu. Umpatan, luapan emosional, dan kemarahan kembali “membudaya”. Bukankah ini semua bertolak belakang dengan arti Syawal? Bukankah ini mirip mengotori kain putih yang tadinya sudah dicuci dengan sebaik-baiknya? Jadilah dia kembali sarat noda. Jadilah ia kembali menghitam dan kian memburam.
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Fenomena itu bekerjsama juga memberikan kepada kita, bahwa puasa orang yang demikian tidak sukses. Tidak mampu mengantarkan seseorang meraih derajat taqwa, atau mendekatinya. Fenomena itu menjadi indikator yang gampang dimengerti oleh siapa saja yang mau memperhatikan dengan seksama. Kita juga bisa memakai hadits Nabi selaku kaidah yang seharusnya kita amati sebaik mungkin: “Barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka celakalah ia.”
Lalu bagaimana amal seorang muslim di bulan Syawal? Berangkat dari kaidah lazim dari hadits Nabi tersebut, dan sekaligus sejalan dengan makna syawal, maka harus ada kenaikan di bulan ini. Dan kenaikan itu tidak lain yaitu berangkat dari perilaku istiqamah. Menetapi agama Allah, berlangsung lurus di atas ajarannya.
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Maka istiqamahlah kau, sebagaimana ditugaskan kepadamu dan (juga) orang yang sudah bertaubat beserta kamu dan janganlah kau melebihi batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Huud : 112)
Bentuk perilaku istiqamah ini dalam amal yakni dengan mengerjakannya secara kontinyu, terus-menerus.
إِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دَامَ وَإِنْ قَلَّ
Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah yakni yang terus menerus (kontinyu) walaupun sedikit (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka amal-amal yang sudah kita biasakan di bulan Ramadhan, hendaknya tetap dipertahankan selama bulan Syawal dan bulan-bulan berikutnya. Tilawah kita yang saban hari. Shalat malam yang sebelumnya kita selalu melakukan tarawih, di bulan Syawal ini hendaknya kita tidak meninggalkan shalat tahajud dan witirnya. Infaq dan shadaqah yang telah kita lakukan juga kita pertahankan. Demikian pula nilai-nilai keimanan yang berkembang kuat di bulan Ramadhan. kita tak takut lapar dan sakit sebab kita bergantung pada Allah selama puasa Ramadhan. Kita tidak memerlukan pengawasan siapapun untuk memutuskan puasa kita berlangsung tanpa adanya hal yang membatalkan sebab kita yakin akan pengawasan Allah (ma’iyatullah). Kita juga dibiasakan berlaku ikhlas dalam puasa tanpa perlu memberitahukan puasa kita pada siapapun. Nilai keimanan yang mencakup akidah, maiyatullah, keikhlasan, dan yang lain ini hendaknya tetap ada dalam bulan Syawal dan makin meningkat. Bukan menipis tiba-datang lalu hilang saat itu juga!
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah SWT
Memang tidak banyak amal khusus di bulan Syawal dibandingkan bulan-bulan yang lain. Akan namun, Allah sudah memberikan peluang berbentuksatu amal khusus di bulan ini berbentukpuasa Syawal. Ini juga bisa dimaknai sebagai tool dalam rangka meningkatkan ibadah dan mutu diri kita di bulan Syawal ini. Dan keutamaan puasa sunnah ini yakni, kita akan diganjar dengan pahala satu tahun jika kita mengerjakan puasa enam hari di bulan ini sesudah sebulan sarat kita berpuasa Ramadhan.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan, lalu mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun. (HR. Muslim)
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصَوْمِ الدَّهْرِ
Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, beliau seperti puasa setahun. (HR. Ibnu Majah, shahih)
Bagaimana pelaksanaannya? Apakah puasa Syawal harus dikerjakan secara berurutan atau boleh tidak? Sayyid Sabiq di dalam Fiqih Sunnah menerangkan bahwa menurut pertimbangan Imam Ahmad, puasa Syawal boleh dikerjakan secara berurutan, boleh pula tidak berurutan. Dan tidak ada keistimewaan cara pertama atas cara kedua. Sedangkan berdasarkan madzhab Syafi’i dan Hanafi, puasa Syawal lebih utama dikerjakan secara berurutan sejak tanggal 2 Syawal sampai 7 Syawal. Lebih utama. Kaprikornus, tidak ada madzhab yang tidak mengijinkan puasa Syawal di hari selain tanggal 2 sampai 7, selama masih di bulan Syawal. Ini artinya, bagi kita yang belum melakukan puasa Syawal, masih ada kesempatan mengerjakannya. Akan namun, hendaknya kita tidak berpuasa khusus di hari Jum’at tanpa mengiringinya di hari Kamis atau Sabtu alasannya adalah adanya larangan Rasulullah yang juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani.
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Penurunan amal di bulan Syawal sekali lagi ialah hal yang sebaiknya kita hindarkan. Bulan Syawal justru pernah menjadi bulan perjuangan yang amat memilih bagi kaum muslimin. Itu terjadi pada tahun 5 H. Bulan Syawal kali itu ialah bulan yang mendebarkan. Kaum muslimin dikeroyok oleh pasukan multi nasional yang ialah adonan dari Quraisy, Ghatafan, dan lain-lain. Karena itulah perang ini dikenal selaku perang ahzab (gabungan/sekutu), disamping juga terkenal dengan istilah perang khandaq yang bermakna parit, sebab kaum muslimin menggunakan taktik membuat parit di sekitarMadinah untuk bertahan dan terbukti efektif, hingga pasukan ahzab tidak mampu menyerang masuk Madinah.
Penggalian parit atau khandaq ini ialah kerja keras yang luar biasa. Persatuan kaum muslimin betul-betul terasa di sana. Begitupun keimanan mereka dan doa-doa yang khusyu’ kian mendekatkan mereka terhadap Allah. Ditambah dengan catatan-catatan kepahlawanan mulai dari Nu’aim yang memecah belah pasukan Ahzab dan bani Quraidzah yang berkhianat di belakang kaum muslimin, sampai keberanian dan kecerdasan Hudzaifah Ibnul Yaman yang menerobos perkemahan pasukan Quraisy untuk mencari informasi. Benar-benar peningkatan yang hebat paska Ramadhan. Lalu Allah menolong kaum muslimin dengan menurunkan angin topas yang memporakporandakan perkemahan pasukan Qurasiy.
Itulah teladan betapa bulan Syawal tidak sepantasnya membuat ibadah dan mutu diri kita turun. Justru seharusnya, sesuai dengan makna syawal, maka kita harus mengalami peningkatan dengan berusaha istiqamah serta meningkatkan mutu ibadah dan diri, diantaranya dengan puasa Syawal.
وقل رب اغفر وارحم و انت خير الراحمين
Khutbah Jumat Bulan Syawal Minggu Pertama Singkat: Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ [آل عمران: 102]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا [الأحزاب: 70، 71].
Jama’ah jum’at yang dirahmati Allah SWT
Jika kita istiqamah, maka Allah SWT menjanjikan tiga keutamaan yang hendak kita dapatkan. Ketiganya difirmankan Allah dalam satu ayat yang serupa, ialah dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami yaitu Allah” kemudian mereka istiqamah, maka malaikat akan turun terhadap mereka dengan menyampaikan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa murung; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (QS. Fushilat : 30)
Ketika menafsirkan ayat ini, ulama salaf merujuk pada hadits bahwa malaikat itu tiba dikala seorang mukmin dalam keadaan sakaratul maut. Sedangkan ulama muta’akhirin menyampaikan bahwa ketiganya -asy-syaja’ah (keberanian), al-ithmi’nan (ketenangan), dan at-tafa’ul (optimis)- juga bisa dicicipi mukmin dalam kehidupan ini.
اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلّمْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ، وَعَنْ أَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِيْنَ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنْ المُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعًا مَرْحُوْمًا، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُوْمًا، وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُوْمًا.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَ كُلاًّ مِنَّا لِسَانًا صَادِقًا ذَاكِرًا، وَقَلْبًا خَاشِعًا مُنِيْبًا، وَعَمَلاً صَالِحًا زَاكِيًا، وَعِلْمًا نَافِعًا رَافِعًا، وَإِيْمَانًا رَاسِخًا ثَابِتًا، وَيَقِيْنًا صَادِقًا خَالِصًا، وَرِزْقًا حَلاَلاًَ طَيِّبًا وَاسِعًا، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ.
اللَّهُمَّ رَبَّنَا احْفَظْ أَوْطَانَنَا وَأَعِزَّ سُلْطَانَنَا وَأَيِّدْهُ بِالْحَقِّ وَأَيِّدْ بِهِ الْحَقَّ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ.
اللَّهُمَّ رَبَّنَا اسْقِنَا مِنْ فَيْضِكَ الْمِدْرَارِ، وَاجْعَلْنَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ لَكَ في اللَيْلِ وَالنَّهَارِ، الْمُسْتَغْفِرِيْنَ لَكَ بِالْعَشِيِّ وَالأَسْحَارِ.
اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا في ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا وكُلِّ أَرزَاقِنَا يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.
رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ.
عِبَادَ اللهِ :إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ