close

Khutbah Jumat Menghadapi Pilkada: Kepemimpinan Dan Politik Dalam Islam

Khutbah Pertama :

إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بالله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ الله كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ الله وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ. اللهم صَل عَلَى مُحَمدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلمْ
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Pada potensi yang mulia ini, di kawasan yang mulia, dan di hari yang mulia ini, marilah kita senantiasa mempertahankan dan mengembangkan mutu keimanan dan mutu ketakwaan kita kepada Allah dengan sebenar-benarnya, adalah ketakwaan yang dibangun sebab mengharap keridhaan Allah Subhanahu Wata’ala dan bukan keridhaan insan, ketakwaan yang dilandasi alasannya adalah ilmu yang bersumber dari al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah, dan ketakwaan yang dibuktikan dengan amal tindakan dengan cara mengerjakan setiap perintah Allah dan NabiNya alasannya mengharap rahmat Allah Subhanahu Wata’ala dan berupaya semaksimal mungkin menjauhi dan meninggalkan setiap bentuk larangan Allah dan NabiNya sebab takut terhadap azab dan siksa Allah Subhanahu Wata’ala.
Jama’ah Jum’at, Hafizakumullah!
Kepemimpinan dalam islam merupakan kasus yang sangat penting. Dalam al-Qur’an, setidaknya ada 3 kosa kata yang paling bersahabat artinya dengan pemimpin, yaitu Khalifah, Imam dan Ulil Amri. Kata khalifah atau yang semakna dengannya di dalam al-qur’an diulang sebanyak 9 kali. Sedangkan kata Imaam diulang sebanyak 6 kali. Ada pun kata  ulil amri disebutkan di dalam Al-Qur’an surat Annisa ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kau (QS Annisa ayat 59)
 marilah kita selalu menjaga dan meningkatkan mutu keimanan dan kualitas ketakwaan kita ke Khutbah Jumat Menghadapi PILKADA: Kepemimpinan dan Politik dalam Islam

Imam Fakhur Razi mencatat ada empat usulan perihal makna ulil amri. Pertama, makna ulil amri itu adalah khulafa ar-rasyidin. Kedua, pertimbangan lain menyampaikan bahwa ulil amri mempunyai arti pemimpin perang. Ketiga, Ulil amri itu ialah ulama yang memperlihatkan fatwa dalam hukum syara dan mengajarkan manusia wacana agama isalm. Keempat, dinukil dari kalangan rawafidh bahwa yang dimaksud dengan ulil amri yaitu imam-imam yang ma’shum. (Tafsir al-fakhr ar-Razi, juz 10, halaman 144)
Sedangkan, al-Alusi, pengarang tafsir Ruh al-Ma’ani, mendata adanya beberapa persepsi tentang makna ulil amri. Ada yang mengatakan bahwa ulil amri itu yakni pemimpin kaum muslimin (umara al-muslimin) pada masa Rasul dan sesudahnya. Mereka itu adalah para khalifah, sultan, qadhi (hakim) dan yang lainnya. Ada juga yang mengatakan bahwa maknanya yakni pemimpin syari’ah. Juga ada yang beropini bahwa ulil amri itu ialah ahlul ilmi (cendekiawan). (Tafsir Ruh al-Maani, juz 5, halaman 65)
Ibnu Katsir, sehabis mengutip sejumlah hadis mengenai makna ulil amri, menyimpulkan bahwa ulil amri itu yakni, berdasarkan zhahirnya, ulama. Sedangkan secara umum ulil amri itu ialah umara dan ulama” (Tafsir al-Quran al-Azhim, juz 1, halaman 518)

Hadirin Jama’ah Sholat Jumat, Hafizakumullah!
“Agama dan kekuasaan laksana saudara kembar, keduanya tidak mampu dipisahkan, agama yaitu pondasinya, dan kekuasaan adalah penjaganya.” petuah Imam Ghazali ini sering dijadikan alibi sebagian politisi muslim tanpa menginsyafi betul tauhid islam dan implementasinya. Jika generasi islam pada masa permulaan memasuki area politik alasannya ketabahan untuk menjaga islam selaku norma-norma dan ajaran hidup, pasti ini didasari oleh pengertian tauhid yang kokoh. Tidak mungkin pembelaan politik pada era itu terjadi, jikalau tanpa ketabahan iman mereka. Ini menunjukkan, bahwa politik dalam islam lahir dari kesadaran nurani dan keteguhan prinsip keimanan yaitu tauhid. Jika demikian, maka politik yaitu suatu pembuktian akidah, bukan sebaliknya sebagai ajang pemuasan nafsu.
Penghayatan kepada prinsip-prinsip keimanan adalah wajib hukumnya bagi para politisi yang mengaku muslim, alasannya adalah bagaimana mungkin anak melalaikan rahimnya kecuali anak itu disebut durhaka dan jelek perangainya. Inilah analogi yang sempurna bagi politisi yang tidak memiliki keinsyafan atas prinsip-prinsip mendasar itu. Politik yang dipisahkan dari tauhid, maka durhakalah beliau. Jika mengamini analogi ini, maka petuah Imam Al-Ghazali di atas justru menjadi cambukan bagi para politisi muslim, sebab dalam islam tidak ada politik yang benar kalau dipisahkan dari ibu kandung yang telah melahirkannya: iman dan tauhid. Allah swt berfirman dalam-Al-Qur’an: “Allah sudah prospektif terhadap orang-orang yang beriman dan bersedekah shaleh di antara kamu, sungguh Dia akan menimbulkan mereka menjadi pemimpin di paras bumi sebagaimana Dia sudah mengakibatkan pemimpin orang-orang sebelum mereka, dan sungguh Dia meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan sangat Dia akan menggantikan ketakutan mereka dengan keamanan. Mereka menyembah-Ku, tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu. Dan barang siapa yang ingkar setelah yang demikian itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”(QS. An-Nuur: 55). Dari ayat ini, jelaslah bahwa Iman menjadi hal yang utama dan pertama disebutkan-Nya sebelum yang yang lain.
Hadirin Jam’ah Sholat Jum’at, Hafizakumullah!
Akhir-final ini muncul suatu hasil survei (Cirus, 15 Desember 2013) bahwa hanya 9,4 % responden (2.200 responden diwawancara dengan tatap paras ) yang masih yakin dengan partai politik. Sejujurnya ini sangat memilukan dan inilah kenyataannya. Hampir seluruh rakyat Indonesia terjangkiti gejala kanker kronis skeptisme. Ini sangat berbahaya terhadap era depan Bangsa. Krisis iktikad kepada pemerintah dan politik kita saksikan bertebaran di mana-mana. Bukan tanpa alasannya, justru dengan sejuta satu alasannya adalah musabbabnya. Dan kita semua mengetahuinya.
Mendekati Pesta Demokerasi 9 Juni 2018, gejala ini menjadi monster yang mengancam abad depan bangsa kita. Gejala ini bermetamorfosis menjadi suatu gerakan yang kini kian disenangi yaitu Golongan Putih (Golput). Bisa dikatakkan golput lahir selaku bentuk kekecewaan dan kemarahan rakyat. Tidak ada lagi yang mampu diandalkan, bahwa politik bohong dan bahwa pemerintah ialah kepentingan langsung saja. Dari sekian banyak opsi yang disediakan, golput memilih untuk tidak menentukan, tidak ikut andil dalam memilih pemimpin Negara sebab golput merasa bahwa Negara juga tidak pernah ikut andil dalam pelbagai duduk perkara kehidupannya.
Jika golput yakni reaksi wajar atas pelbagai realita yang melanda kehidupan bernegara kita, justru pada kondisi seperti ini kita mesti mampu keluar mempesona diri dari massa dan menunjukkan perilaku yang gres untuk Indonesia. Mengapa? Sepertinya golput bukanlah pelampiasan yang bijak atas sebentuk kekecewaan ini. Golput melepas diri dari kurun depan, dan ini bentuk pengingkaran keniscayaan.
Fatwa golput haram sudah kita maklumi bersama. Karena golput bertentangan dengan ajaran agama. Sementara di satu sisi kita terus mengelu-elukan pluralitas beragama di Negara ini. Dalam islam, frustasi dijadikan indikasi kekufuran (pengingkaran) agama. Maka jelas, bila golput dilatarbelakangi oleh sebentuk keputusasaan  maka golput adalah salah satu bentuk pengingkaran agama. Sementara Indonesia yaitu tanah haram bagi yang tidak beragama. Jika kita mengamini ini, maka golput yaitu sebentuk pengkhianatan kepada bangsa kita. Golput adalah bentuk keacuhan kepada abad depan Indonesia. Politik yakni suatu konsep pementasan agung dalam bernegara. Kekecewaan kepada para pemain pertunjukan (politisi) tidak sebaiknya menciptakan kita menjadikan konsep pementasan (politik) menjadi tumbal dengan berlaku skeptis atasnya. Jika begitu, maka kita sedang menyiapkan diri untuk menjadi korban-korban pemain pertunjukan selanjutnya.
Hadirin Jam’ah Sholat Jum’at, Hafizakumullah!
Selain itu, sebagaimana dalam pemilu-pemilu sebelumnya, perbedaan akan menjadi suatu keniscayaan. Perbedaan pilihan partai, kandidat legislatif dan calon presiden. Oleh karena itu, sikap saling menghargai mesti tetap kita rawat dan tumbuhkan. Ummat islam hendaknya tetap mempertahankan persatuan dan menghindari perpecahan. Kita mesti mampu menawarkan terhadap dunia, bahwa islam yakni agama yang menghargai perbedaan.
Khatib ingin mengajak kita merenungi sikap tasaamuh atau toleransi di antara keempat madzhab yang kita kenal, yaitu Imam Syafi’I, Imam Maliki, Imam Hanafi dan Imam Hanbali. Empat madzhab sunni tidak pernah mengklaim bahwa diri merekalah yang paling benar sedang yang yang lain yakni sesat. Imam Maliki pernah ditawari khalifah untuk menyatukan ummat islam dengan berpegang pada kitab al-Muwattho’ nya, tetapi beliau menolak alasannya adalah menghargai pendapat hasil ijtihad  para ulama yang lain. Imam Syafi’i bahkan pernah mengungkapkan bahwa dirinya hanyalah insan biasa yang mungkin saja hasil ijtihad nya salah, karenanya boleh ditinggalkan untuk mengikuti yang lain. Begitu juga dengan imam Hanafi dan Hanbali, mereka tidak pernah mengklaim bahwa usulan merekalah yang paling benar. 
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah!
Untuk menyelesaikan khutbah yang singkat ini, khatib akan membacakan firman Allah swt yang artinya: “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada sebuah kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil (semena-mena). Berlaku adillah, alasannya adil itu lebih erat kepada taqwa. Dan taqwalah terhadap Allah, bekerjsama Allah Maha Mengetahui apa yang kau lakukan.” (Q.S. AlMaidah:8).

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِيِمْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
اَلْحَمْدُ لله حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ. اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَ وَ كَفَرَ. وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ وَ حَبِيْبُهُ وَ خَلِيْلُهُ سَيِّدُ الْإِنْسِ وَ الْبَشَرِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَ سَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا.
اَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ الله اِتَّقُوْا الله وَ اعْلَمُوْا اَنَّ الله يُحِبُّ مَكَارِمَ الْأُمُوْرِ وَ يَكْرَهُ سَفَاسِفَهَا يُحِبُّ مِنْ عِبَادِهِ اَنْ يَّكُوْنُوْا فِى تَكْمِيْلِ اِسْلَامِهِ وَ اِيْمَانِهِ وَ اِنَّهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفَاسِقِيْنَ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ وَ سَلَّمْتَ وَ بَارَكْتَ عَلَى اِبْرَاهِيْمَ وَ عَلَى اَلِ اِبْرَاهِيْمَ فِى الْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ وَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَ الْأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ وَ قَاضِيَ الْحَاجَاتِ. اَللَّهُمَّ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ اِذْهَدَيْتَنَا وَ هَبْلَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ. رَبَّنَا لَا تَجْعَلْ فِى قُلُوْبَنَا غِلًّا لِلَّذِيْنَ اَمَنُوْا رَبَّنَا اِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ. رَبَّنَا هَبْلَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَ ذُرِّيَّتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَ اجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا. رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِى الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ الله! اِنَّ الله يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَ الْإِحْسَانِ وَ اِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَ يَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرِ وَ الْبَغْىِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَّكَّرُوْنَ فَاذْكُرُوْا الله الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَ اشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَ لَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرُ وَ اللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ .