Instrumen penyusunan rencana lingkungan berdasarkan Pasal 5 UUPPLH No.32/2009 berisikan inventarisasi lingkungan hidup, penetapan daerah ekorigen, dan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPLH), ketiga instrument tersebut diuraikan selaku berikut :
1. Inventarisasi Lingkungan Hidup
Inventarisasi lingkungan hidup dilakukan untuk mendapatkan data dan gosip tentang sumber daya alam yang mencakup:
-
kesempatandan ketersediaan;
-
jenis yang dimanfaatkan;
-
bentuk penguasaan;
-
wawasan pengelolaan;
-
bentuk kerusakan; dan
-
konflik dan penyebab konflik yang timbul akhir pengurus
Inventarisasi lingkungan hidup terdiri atas inventarisasi lingkungan hidup:
-
tingkat nasional;
-
tingkat pulau/kepulauan; dan
-
tingkat wilayah ekoregion
Hasil inventarisasi lingkungan hidup memiliki fungsi strategis, alasannya berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 9 UUPPLH 2009 menjadi dasar penetapan kawasan ekorigen dan penyusunan RPLH. Mengingat RPLH menjadi dasar dalam pemanfaatan SDA.
2. Penetapan Wilayah Ekorigen
Penetapan daerah ekorigen merupakan instrument aturan lingkungan baru di bidang penyusunan rencana dalam tunjangan dan pengelolaan lingkungan hidup. Instrument ini dikelola dalam Pasal 7, 8, dan 11 UUPLH 2009. Menurut pasal 1 angka 29 UU PPLH 2009, yang dimaksud dengan ekorigen yakni wilayah geografis yang memiliki kesemaan cirri iklim, tanah, air, flora, dan fauna orisinil, serta teladan interaksi insan dengan alam yang menggambarkan integritas tata cara alam dan lingkungan hidup.
Pasal 7 UU Nomor 32 tahun 2009 menetapkan bahwa terdapat 8 (delapan) pertimbangan untuk penetapan ekoregion, yaitu (a) karakteristik bentang alam; (b) kawasan anutan sungai; (c) iklim; (d) tumbuhan dan fauna; (e) ekonomi, (f) kelembagaan masyarakat; (g) sosial budaya, dan (h) hasil inventarisasi lingkungan hidup.
Berdasarkan analisis dan komitmen para andal kepada 8 aspek tersebut, proses penetapan ekoregion darat memakai parameter deliniator bentang alam, yakni morfologi (bentuk muka bumi) dan morfogenesa (asal ajakan pembentukan bumi). Sedangkan proses penetapan ekoregion bahari menggunakan parameter deliniator morfologi pesisir dan laut, keragaman hayati yang sifatnya statis, mirip karang keras, oseanografi, pasang surut, dan batas NKRI. Parameter lainnya yang disebutkan di atas, utamanya yang sifatnya dinamis digunakan selaku atribut untuk mendeskripsikan abjad ekoregion tersebut.
Secara prinsip, pendekatan ekoregion juga bermaksud untuk memperkuat dan memutuskan terjadinya koordinasi horisontal antar wilayah administrasi yang saling bergantung (hulu-hilir) dalam pengelolaan dan bantuan lingkungan hidup yang mengandung masalah pemanfaatan, pencadangan sumber daya alam maupun permasalahan lingkungan hidup. Selain itu, pendekatan ekoregion mempunyai tujuan semoga secara fungsional mampu menciptakan Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemantauan dan evaluasinya secara bareng antar sektor dan antar daerah yang saling bergantung, walaupun secara kegiatan operasional pembangunan tetap dilaksanakan sendiri-sendiri oleh sektor/dinas dan kawasan manajemen sesuai kewenangannya masing-masing. Dasar pendekatan ini juga akan merealisasikan penguatan kapasitas dan kapabilitas lembaga (sektor/dinas) yang diubahsuaikan dengan karakteristik dan daya dukung sumber daya alam yang sedang dan akan dimanfaatkan.
Saat ini sudah disusun peta dan deskripsi ekoregion pulau/kepulauan dan maritim yang ialah satu kesatuan ekoregion dengan skala 1: 500.000 meliputi Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Papua, Kepulauan Bali Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku serta dikelilingi oleh 18 Ekoregion Laut. Mengacu pada kewenangan dalam pemerintahan, RPPLH terdiri dari RPPLH Nasional, RPPLH Provinsi dan RPPLH Kabupaten/Kota. Sehubungan dengan hal tersebut, pastinya akan diperlukan tingkat kedetilan informasi ekoregion yang berlawanan. Dengan demikian peta dan deskripsi ekoregion yang saat ini ditetapkan pada skala 1: 500.000 akan digunakan untuk dasar penyusunan RPPLH Nasional. Selanjutnya berdasarkan peta ekoregion skala 1:500.000, akan disusun peta ekoregion skala 1:250.000 untuk penyusunan RPPLH Provinsi dan skala 1:100.000 untuk penyusunan RPPLH Kabupaten serta 1:50.000 untuk penyusunan RPPLH Kota. Untuk kepentingan tersebut, ketika ini KLH sedang menyusun Norma, Standar, Pedoman, dan Kriteria Penyusunan Ekoregion skala 1:250.000 sampai dengan skala 1:50.000.
Peta Ekoregion dilengkapi dengan deskripsi yang berisi karakteristik geologi, tanaman dan fauna, kerentanan tragedi, jasa ekosistem, kesempatanpencemaran, iklim, kesempatansumber daya alam, tanah dan penggunaan lahan serta sosial budaya.
3. RPPLH
RPPLH merupakan instrument aturan baru dalam bidang penyusunan rencana dan pengelolaan lingkungan hidup, yang diatur dalam Pasal 9, 10, dan 11 UU PPLH 2009 yang didalam Pasal 1 angka 4 mendefinisikan RPPLH sebagai penyusunan rencana tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya santunan dan pengelolaannya dalam kala waktu tertentu.
RPPLH sebagai instrument penyusunan rencana mempunyai fungsi penting untuk menyeleraskan kebijakan lingkungan baik yang dibentuk oleh lembaga yang secara khusus diberi peran mengurus ligkungan maupun forum lain yang tugasnya juga terkait dengan duduk perkara lingkungan hidup. Keserasian kebijakan ini penting biar tindakan pemerintahan yang dikerjakan tidak saling tumpang tindih, tidak saling mengklaim sebagai lembaga yang berwenang, dan tidak saling lempar tanggungjawab jikalau terjadi dilema lingkungan. Oleh sebab itu berdasarkan Pasal 10 ayat (3) UUPPLH 2009 dalam penyusunan RPPLH perlu diamati : a. keanekaragaman huruf dan fungsi ekologis; b. sebaran penduduk; c. sebaran kesempatansumber daya alam; d. kearifan lokal; e. aspirasi penduduk ; dan f. pergeseran iklim.
RPPLH memuat planning ihwal :
-
pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam;
-
pemeliharaan dan bantuan mutu dan/atau fungsi lingkungan hidup;
-
pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam;
-
penyesuaian dan mitigasi kepada pergeseran iklim
S. Maronie
sebagai materi kuliah Hukum Lingkungan