Kumpulan Puisi Hari Kebangkitan Nasional Karya Ws Rendra

Selamat Menyambut Hari Kebangkitan Nasional ya Sobat!

Ada banyak wangsit maupun aktivitas dalam rangka menyambut Harkitnas yang diperingati setiap tanggal 20 Mei.

Di sekolah maupun instansi lazimnya digelar aktivitas upacara bendera perayaan Hari Kebangkitan Nasional, dan serempak itu pula ada aktivitas-acara bertajuk semangat nasionalisme di sekolah.

Contoh kegiatan untuk memupuk semangat nasionalisme adalah membaca puisi-puisi inspiratif karya tokoh terkenal mirip WS Rendra.

Penyair sekaligus sastrawan yang dijuluki Si Burung Merak ini mempunyai nama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra yang lahir di Surakarta, 07 November 1935.

Berikut dihidangkan beberapa puisi bernuansa Hari Kebangkitan Nasional karya WS Rendra yang cocok untuk memupuk semangat nasionalisme.

Mari disimak ya:

Puisi Hari Kebangkitan Nasional Karya WS Rendra

Kumpulan Puisi Bertema Hari Kebangkitan Nasional Karya Taufik Ismail

Puisi 3: Sajak Sebatang Lisong

Karya W.S. Rendra

Menghisap sebatang lisong
menyaksikan Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka

Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan saya melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.

Aku mengajukan pertanyaan,
namun pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari duduk perkara kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………

Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
saya menyaksikan sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
saya menyaksikan wanita bunting
antri uang pensiun.

Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa harus dibangun;
harus di-up-grade
diubahsuaikan dengan teknologi yang diimpor

Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan saya menyaksikan
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,
namun pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak perihal anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
melongo-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta keinginan ibu dan bapak
menjadi gemalau bunyi yang kacau,
menjadi karang di bawah paras samodra.
………………

Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus ajaib.
Diktat-diktat cuma boleh memberi sistem,
namun kita sendiri harus merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang kasatmata.

Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
jika terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
jika terpisah dari problem kehidupan.

*

Boleh Baca: Kumpulan Puisi Hari Kebangkitan Nasional Karya Chairil Anwar

Puisi 4: Sajak Seonggok Jagung

Karya W.S. Rendra

Seonggok jagung di kamar
dan seorang perjaka
yang kurang sekolahan.

Memandang jagung itu,
sang cowok melihat ladang;
ia melihat petani;
dia melihat panen;
dan suatu hari subuh,
para perempuan dengan gendongan
pergi ke pasar…

Dan ia juga melihat
sebuah pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
tercium kue jagung

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung.

Ia menyaksikan kemungkinan
otak dan tangan
siap melakukan pekerjaan

Tetapi ini:

Seonggok jagung di kamar
dan seorang perjaka akhir SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.

Ia menatap jagung itu
dan dia menyaksikan dirinya terlunta-lunta .
Ia menyaksikan dirinya ditendang dari diskotik.
Ia menyaksikan sepasang sepatu kenes di balik etalase.
Ia menyaksikan saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia menyaksikan dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada logika,
tidak akan menolongnya.

Seonggok jagung di kamar
tak akan membantu seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan.
Yang cuma terlatih sebagai pemakai,
namun kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.

Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
kalau hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
jika pada risikonya,
dikala beliau pulang ke daerahnya, kemudian berkata:
“Di sini saya merasa gila dan sepi!”

***

Demikianlah tadi seutas menu wacana kumpulan puisi Hari Kebangkitan Nasional Karya WS. Rendra yang mampu dijadikan tumpuan oleh Sobat dalam menyambut Harkitnas.

Semoga bermanfaat
Salam.

  Puisi Ihwal Hujan Yang Menyegarkan Jiwa Penuh Keberkahan