ORGANISASI SOSIAL DAN KEBUDAYAAN KELOMPOK MINORITAS INDONESIA
1. Latar Belakang Permasalahan
Menurut Herakleitos, seorang filsuf yang berasal dari Yunani, ruang dan waktu yaitu bingkai, di dalamnya seluruh realitas kehidupan kita hadapi. Kita tidak mampu mengerti benda-benda konkret apapun tanpa meletakkannya pada bingkai ruang waktu (Cassirer, 1987: 63).
Lingkungan kita terbatas dan ruang itu ternyata penuh dengan hal-hal abstrak dan positif yang ditemui dan dialami oleh manusia. Disamping hal tersebut, ada juga komponen dan wujud yang diwarisi serta dipelajari dari nenek moyang. Peradaban senantiasa dinamis dan gampang bereaksi kepada acara yang ada di lingkungan pada waktu tertentu. Kelompok insan atau masyarakat dan individu langsung menginterpretasikan suatu kejadian berbeda dengan kelompok atau individu yang berlatar belakang lain atau yang berpola pikir berlawanan. Maksudnya, kita hidup dalam suatu lingkungan yang membentuk sikap individu, kebudayaan masyarakat, dan lingkungan alam.
Pada saat seseorang lahir di dunia, beliau mempunyai kesempatan memilih ribuan jalan kehidupan. Namun pada karenanya beliau hanya bisa menentukan satu jalan hidup saja. Pengalaman hidup insan adalah sumber utama dalam filsafat manusia. Menurut Comte, filsuf modern: “Kondisi-keadaan sosial ternyata memodifikasi bekerjanya hukum-aturan fisiologis, maka fisika sosial harus mengadakan pengamatan-observasinya sendiri” (Cassirer, 1987: 100).
Di Indonesia terdapat tigaratus lebih kelompok suku bangsa yang sifat hidupnya berlainan cukup signifikan dari golongan lain. Disamping hal itu mereka memiliki identitas yang berlainan dan menggunakan lebih dari dua ratus bahasa khas. Namun demikian menurut postulasi hebat bahasa Robert Blust, sebagian besar bahasa di Indonesia tergolong rumpun bahasa MelayuPolinesia.
Kira-kira duaratus sepuluh juta masyarakatIndonesia tersebar di lebih dari empat belas ribu pulau dan kira-kira 1,5 persen jumlah orangnya hidup dengan cara tradisional. Aktivitas memenuhi keperluan hidup atau hiburan jauh berlainan dengan kalangan manusia lain.
Masyarakat Indonesia menganut bermacam-macam agama dan sejumlah besar kepercayaan tradisional yang mampu ditemui di daerah yang terpencil. Kepercayaan-kepercayaan tradisional sering diakulturasikan dengan pemikiran agama Islam, Hindu atau Nasrani. Juga ada jumlah penganut agama yang memasukkan bagian-bagian akidah nenek moyang. Misalnya di Jawa bagian-komponen Hindu dan animisme masuk agama Katolik dan Islam. Kelihatannya dengan akulturasi tersebut, agama dengan komponen-bagian keyakinan tradisional, memyebabkan kemunculan kosmos baru.
Sumatera ialah pulau yang memiliki sejumlah suku-suku besar yang mempunyai ciri khas tradisional. Suku yang terkenal yaitu Aceh, Batak, Minangkabau dan Melayu. Juga yaitu sejumlah suku-suku minoritas di Sumatera sebelah timur di daerah hutan luas diantara sungai-sungai besar, maupun rawa-rawa pantai dan pulau-pulau lepas pantai. Kebanyakan suku minoritas di propinsi Jambi dan sekitarnya diketahui dengan nama umum orang Kubu yang betul-betul mempunyai tradisi sendiri. Di kawasan pantai terdapat orang Akit, orang Utan dan orang Kuala atau Duano. Di pulau-pulau lepas pantai terdapat orang Laut dan orang Darat dari kepulauan Riau dan Linga. Ada orang Sekak di pesisir kepulauan Bangka dan Belitung dan orang Lom disebelah utara pulau Bangka.
Di pedalaman terdapat orang Sakai, yang berlokasi diantara sungai Rokan dan Siak. Orang Petalangan ada diantara sungai Siak dan Kampur dan diantara sungai Kampar dan Indragiri. Ada orang Talang Mamak diantara sungai Indragiri dan Batang Hari. Orang Batin Sembilan di tempat antara sungai Batang Hari dan Musi, tetapi terutama di segi perbatasan propinsi Jambi. Orang Bonai, yang mendiami di kawasan berawa di pertengahan Daerah Aliran Sungai (DAS) sungai Rokan yang bersebelahan daerah orang Sakai.
Dalam makalah ini penulis utamanya memfokuskan pada salah satu suku lain, yang tidak ingin diketahui dengan nama orang Kubu tetapi orang Rimba, atau Kelam yang nama benar berdasarkan salah seorang Rimba, golongan Biring yang masih tinggal di lingkungan tradisional. Walaupun nama suku Kubu sudah digunakan semenjak beberapa abad, arti nama berganti dan konotasi nama itu tidak senantiasa sesuai harapan mereka lagi, agar lebih cocok suku dikenal dengan nama disebut diatas, Orang Rimba. Kadang-kadang ada kebutuhan mereferensikan selaku orang Kubu atau istilah yang dipakai oleh pemerintah, Suku Anak Dalam (SAD). Dalam makalah ini beberapa data dari suku tetangga orang Rimba adalah suku orang Batin Sembilan, dijadikan sebagai studi pembandingan, sebab ada beberapa sifat terkait dengan budaya orang Rimba.
Sampai kini, kebudayaan masyarakat tradisional orang Rimba bertahan dari tekanan hidup yang timbul dari pinggiran tanah tradisional mereka. Kelihatannya, mau atau tidak mau, penduduk transmigrasi dan perantau gres yang mempunyai kebudayaan pasca tradisional masuk dengan jumlah cukup besar dalam waktu 20 tahun terakhir. Hal ini memiliki dampak pada penelusuran nafkah, kehidupan sosial dan aspek kehidupan lain orang Rimba secara drastis. Misalnya, penebangan kayu resmi maupun liar dan pembukaan lahan untuk perkebunan karet dan kelapa sawit, yakni acara yang tidak biasa di kehidupan orang Rimba dan benar dicicipi oleh orang Rimba. Mereka merupakan suku yang tergolong defensif dan tidak sudah biasa melakukan peperangan atau berjuang untuk menjaga hak adatnya yang tidak selalu diterima oleh institusi resmi pemerintah yang mengontrol hukum.
Pada bulan November 2001, penulis pertama kali bertemu kelompok tradisional, orang Batin Sembilan, di lokasi pelatihan di Silang Pungguk, yang termasuk desa Muara Singoan bersahabat Muara Bulian. Saat itu masih ada bagian kalangan tradisional yang belum dibina dibawah supervisi Departemen Kesejahteraan dan Sosial (DEPSOS). Penulis sangat tertarik gaya hidup mereka dan berniat kembali ke propinsi Jambi untuk melakukan studi di tingkat lebih lanjut.
Pada tahun 2003, selama sekitar dua bulan, penulis melakukan riset di propinsi Jambi. Pada potensi tersebut, penulis bertemu lagi dengan golongan orang Batin Sembilan di Sialang Pungguk yang tampaknya mengikuti keadaan tahap pasca tradisional dengan dukungan pemerintah. Di lokasi lain di propinsi Jambi penulis bertemu dengan orang Rimba, yakni kelompok Temenggung Tarib dan kalangan Bering, yang keduanya berada di Bukit Duabelas dekat pemukiman transmigran Paku Aji yang tidak terlampau jauh dari kota Bangko. Walaupun hutannya sudah sempit di Bukit Duabelas ada beberapa kalangan yang tinggal disana yang ingin ikut acuan kehidupan sosial yang diwarisi dari nenek moyangnya.
Penulis kesengsem pada bentuk kehidupan golongan tersebut. Walaupun mereka menghadapi banyak kesulitan, mereka tetap bertahan sebab memiliki cukup kepuasan, pertikaian sekurang-kurangnyadan harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Mereka tidak dipaksa hidup di hutan, semenjak waktu kolonial ada kesempatan dan perlindungan dari luar untuk pindah ke kampung, tetapi tampaknya perpindahan tersebut gagal dan mereka kembali ke hutan lagi. Perbedaan budaya mulut dan budaya pasca ekspresi (goresan pena) tidak perlu menjadikan prasangka. Budaya mulut lebih sederhana daripada budaya pasca ekspresi yang lebih kompleks dan cenderung konsumtif. Menurut info yang ada hingga kini, administrasi pusat maupun propinsi mengenali bahwa ada orang Kubu, namun mereka belum mendapat pengesahan hak uliyat atau mendapat akta milik tanah nenek moyang yang diwariskan.
2. Perumusan Masalah
Penulis merumuskan persoalan yang akan menjadi ajaran sekaligus arah dari penelitiannya. Dari pertanyaan pokok ini penulis merincikan menjadi beberapa pertanyaan hipotesis yang merupakan penurunan dari pertanyaan pokok. Pertanyaan tersebut adalah: Apakah sejarah atau asal ajakan orang Rimba, apakah struktur sosial penduduk golongan orang Rimba. Apakah lingkungan tanaman dan fauna cukup untuk memenuhi atau bermanfaat bagi keperluan hidup mereka. Apakah pola pikir orang Rimba dan filosofinya tentang hidup atau terhadap panorama dunia. Apakah pergantian dari situasi kehidupan mereka pada zaman dahulu dan harapan pada era depan. Apakah keadaan cukup umur ini golongan tradisional Orang Batin Sembilan setelah dibina oleh pemerintah bertahun-tahun yang kemudian mengalami pergeseran.
Kelihatannya ada kecenderungan di dunia bahwa penduduk pasca tradisional, yang memakai bahasa tulis, menginginkan sebuah pengelolaan golongan suku tradisional yang memiliki tradisi mulut. Sebuah golongan yang tidak hidup berdasarkan tata tertib atau tidak berbudaya tulisan, diterima sebagai sekelompok yang susah, menurut masyarakat pasca tradisional. Sejak dahulu, orang buta-karakter disamaartikan dengan orang kolot, karena struktur masyarakat tradisional sangat sederhana dibandingkan dengan penduduk pasca tradisional.
Apabila kita mengamati struktur sosial masyarakat akan menunjuk kepada sebuah jenis situasi dan aturan. Komponen tersebut adalah unit-unit struktur sosial yang berisikan orang atau masyarakat yang menyanggupi kedudukan dalam struktur sosial (Radcliff-Brown 1980: xix). Misalnya, sejak kecil orang Rimba sadar bahwa struktur penduduk memenuhi keperluan pangan, papan dan sandang, dan memenuhi keperluan absurd tergolong kebutuhan psikologis yang merealisasikan kosmologi atau teladan pikir mereka.
Kelihatannya bahwa untuk memenuhi keperluan materiil masyarakat pasca tradisional perlu mengakseskan hasil alam, yang terletak di tempat suku tradisional. Daerah eksplorasi dibuka supaya bahan alam ditebang atau ditambang dan diangkut keluar untuk menyanggupi kepuasan pasar yang di luar tanah tradisional. Demikian kelihatan kebutuhan masyarakat pasca tradisional diprioritaskan, sesungguhnya eksploitasi tanah yang bantu-membantu “Lebensraum” golongan tradisional.
Karena terjadi pergantian sosial kultural dan lintas budaya, dimana suku tradisional mempunyai sifat rendah hati dan tidak melawan, terpecah. Dari persoalan-masalah yang disebutkan di atas, kalangan dibagi menjadi tiga.
Kelompok pertama yang masih tradisional atau dengan pergeseran minimal, yaitu kelompok yang mengikuti kebudayaan secara sebaik mungkin yang diwariskan dari nenek moyang.
Kelompok kedua, yang masih tinggal di pinggir tempat tradisional, yang kurang mampu mengadopsi semua ciri-ciri hidup pasca tradisional tetapi telah masuk beberapa inspirasi dari penduduk pasca tradisional.
Ketiga, kelompok yang tidak bisa mengre-fokuskan atau mengorientasikan lagi untuk menyanggupi keperluan utama sendiri dan cuma bertahan dengan sumbangan dari penduduk luar saja.
Misalnya, kelompok ketiga tersebut yang benar putus asa, mampu diperhatikan di pinggir jalan raya, minta duit. Dengan menggunakan tali berseberangan jalan mereka menghalangi jalan (seperti jalan tol) dan meminta uang. Pada umumnya stereotipe budaya orang Kubu berasal dari observasi langkah-langkah orang Kubu yang berada di pinggir jalan seperti teladan diatas. Padahal hidup di pinggir jalan bukan lingkungan orisinil mereka.
3. Maksud, Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Alasan menulis makalah perihal orang Rimba untuk mengenali sejarah orang Kubu serta orang Rimba, termasuk prasejarah daerah mereka dari awal pertama. Untuk memahami budaya, ketindakan dan filosofi masyarakat orang Rimba tradisional yang tinggal di bab selatan, Cagar Biosfer, Taman Nasional Bukit Duabelas. Sebagai studi pembandingan, beberapa hari dihabiskan di tengah kalangan orang Batin Sembilan, untuk mengukurkan kepuasannya sehabis mereka ikut acara pembinaan yang dikontrol oleh Departemen Sosial dan Kesejahteraan.
Penulis ingin mengetahui mengenai desain atau contoh pikir dan kosmos orang Rimba dan keinginan mereka pada periode depan. Keterangan yang mampu dari studi ini agar mengetahui penduduk secara mendalam dan holistik, perihal prinsip kehidupan dan pengendalian sosial, semoga keseimbangan dengan memakai beberapa faktor teori antropologi struktur fungsional.
Dengan informasi dari teori dan pengalaman studi lapangan menggambarkan peradabannya dan informasi itu menjadi senjata untuk mengatasi kesalahpahaman antar golongan budaya tradisional dan budaya pasca tradisional. Selanjutnya, agar keperluan hidup orang Indonesia dimana-mana, dilihat dari sudut multi-kultur. Serta menanggulangi persoalan memperhatikan kebudayaan individu dari sudut etnosentris saja pada masa depan. Maknanya, penggunaan tanah tradisional, fakta sosial seperti moralitas, iktikad, contoh pikir, usulan biasa orang tradisional sama dihormati oleh masyarakat pasca tradisional, yang bekerjsama juga ingin dihormati.
Sampai kini menurut pengamatan emperis, penduduk tradisional yang diserap kebudayaan pasca tradisional sering menjadi bagian penduduk lapisan terbawa. Kombinasi, bagian sakit-hati kelompok masyarakat yang disteriotipe selaku kalangan inferior, dan komponen kelompok yang merasa mandul secara politikal, ialah unsur-unsur yang bahaya pada waktu depan.
Di Indonesia keanekaragaman penduduk, adakala menjadi alasan kesalahpahaman yang menyebabkan friksi antar-golongan yang cepat meletus seperti gunung berapi. Gangguan itu, dan perubahan lain yang asal dari dalam negeri maupun luar, mengancam stabilitas struktur dan mampu menghancurkan keseimbangan ekonomi serta keadaan sosial penduduk setempat. Friksi antara kelompok seperti yang tersebut diketahui di Indonesia dengan ungkapan SARA, atau dengan kata lain, friksi yang berkait dengan hal: suku, agama, ras atau etnik atau status ekonomi. Masalah itu, salah satu alasan untuk melaksanakan riset perihal dilema sosiologi maupun antropologi, biar duduk perkara tersebut mampu tertuntaskan sebelum muncul dan meledak.
4. Tinjauan Pustaka
Kelihatannya cara kehidupan lapisan penduduk tradisional tidak sesuai dengan pola pikir rasional pemerintah pasca tradisional. Pemerintah membentuk distrik-distrik tertentu yang dikepalai oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menerapkan kebijaksanaan dari pusat maupun lokal serta menghimpun data perihal masalah sosial dan ekonomi ala pasca tradisional. Pengaruhnya mengusik serta merubah bentuk-bentuk penduduk yang pra-modern (Geerz H, 1981 6)
Menurut interpretasi budaya Jawa oleh seorang sosiolog, yakni cita-cita oleh budaya untuk menghaluskan lingkungannya sebaik-baiknya, artinya menyempurnakan budaya dan alam. Kelihatannya, manusia seharusnya membebaskan dan menjauhkan diri dari alam, biar alam dirobohkan dan tanah dihaluskan. Maksudnya, hutan liar, dilihat sebagai dunia kasar yang boleh dilihat selaku hal yang menakutkan atau yang tidak sesuai budaya halus. Mungkin kawasan liar tertentu memang tempat menakutkan, daerah misteri dengan roh-roh yang berbahaya. Sebenarnya kawasan tersebut dilihat selaku kawasan yang sesuai bagi orang yang akan bertapa, atau mengasingkan diri (Magnis-Suseno, 1997: 127). Dari sisi lain, petani memperhatikan tanah yang belum dibuka sebagai kawasan yang belum produktif yang perlu digarap supaya berhasil. Menyadari latar belakang itu, penting untuk menjelaskan contoh pikir dari sudut budaya Jawa atau budaya terbaru kepada orang dan lingkungan yang belum dihaluskan seperti orang Rimba.
Smelser menyatakan bahwa pada umumnya pertumbuhan ekonomi disamakan dengan “growth of output per head of population”. Modernisasi ialah jalur untuk memajukan hasil atau produksi. Mengganti teknik yang sederhana dan usang dengan aplikasi ilmu wawasan terapan (scientific knowledge). Di sektor ekonomi, bidang pertanian, utamanya pada pertanian swadaya (subsistence farming), produksinya meningkat dengan aplikasi versi buatan komersial. Di bidang industri, dari kerajinan tangan dan penggunaan tenaga binatang ditingkatkan dengan aplikasi mesin menggunakan tenaga listrik dan Bahan Bakar Minyak (BBM). Dan perubahan terakhir, transmigrasi atau gerak insan dari daerah terpencil ke kota (Smelser in Etioni-Halevy dan Etzioni (eds),-: 269
Evolusi sosial yakni bab dari semua pergantian. Pada mulanya tata cara organisasi sosial peradaban sederhana dan tidak terorganisir. Namun kemudian terjadi perubahan organisasi sosial terus menerus. Perubahan yang terjadi menjadi sebuah kebiasaan yang kemudian menjadi lebih tetap dan pada jadinya kebiasaan itu menjadi hukum. Rupa-rupanya kemajuan berkait dengan, persamaan dan ketentuan (Spenser in Etioni-Halevy & Etzioni (eds), – : 13). Penggunaan teknik dan organisasi canggih yang digambarkan diatas menyebabkan perubahan struktural sosial penduduk , pergeseran peranan keluarga, kepercayaan dan stratifikasi masyarakat dalam peradaban pasca tradisional. Pada lazimnya dalam peradaban tradisional buatan kebutuhan adalah permasalahan unit-unit kekerabatan (production is located in kinship units). Pola pertukaran dan konsumsi masakan di daerah terpencil terkait dengan unit korelasi. Sistem pertukaran serta tukar-balik (reciprocal exchange), didasarkan tradisi dan kebiasaan yang terkait dengan status individu, tradisi menghadiahkan atau tradisi gotong royong dan seterusnya. Peradaban itu tidak membutuhkan sistem pasar atau penggunaan uang untuk mendorong atau melanjutkan buatan barang atau jasa. Menjaga suplai makanan pokok, melestarikan keturunan, berbagi ilmu, hiburan dan seterusnya, menjadi bab kegiatan kekerabatan tradisional. Sebenarnya, tugas yang terkait dengan relasi tradisional dipersempit di masyarakat pasca tradisional. Kekuasaan keluarga inti (nuclear family) serta kekerabatan luas (extended kinship system) penduduk pasca tradisional kepada individu tidak sama besar lengan berkuasa dengan kekuasaan masyarakat tradisional. Berbagai problem seperti mencari pekerjaan, kedamaian, mencari jodoh, membesarkan anak dan hal lain menjadi kegiatan pribadi atau diurus oleh seorang yang melaksanakan jasa tertentu dan kebanyakan jasa itu dibayar. (Smelser in Etzioni (eds.): 273).
Selain itu ada pergantian dari tata cara nilai tradisional versus sistim nilai pasca tradisional. Membantu orang dari kelompok atau dari relasi yang serupa atau membantu “kerabat sedarah” mencari nafkah sudah menjadi sebuah kebiasaan. Hal itu selaku suatu keharusan dan bentuk saling menghormati dalam hubungan. Kelakuan “menolong” bisa digambarkan selaku kelakuan yang tergolong nepotisme dalam penduduk pasca tradisional. Dilema yang disebut di atas, dialami oleh kebanyakan suku suku yang bergerak dari lingkungan tradisional ke lingkungan pasca tradisional.
Disamping pergantian budaya ada pergantian fisik (menua) dan psikologis (wawasan dan pengalaman) selama hidup. Sebenarnya, kebudayaan membantu individu menangani ketakutan atau ketidaksenangan dan merayakan pergantian fisik pada saat tertentu. Contohnya upacara wanita yang melahirkan bayi, bantu-membantu merencanakan kehidupan keluarga. Upacara sunatan bantu-membantu yakni upacara untuk menjadi remaja dan mempersiapkan kegiatan. Puncak hidup, memilih jodoh atau pasangan hidup, dirayakan dengan pernikahan dan membangun rumah tangga sendiri. Tahap terakhir kehidupan adalah upacara pemakaman yang sebetulnya merayakan kesementaraan hidup insan di dunia. Pada golongan tertentu ada ritual yang menurut waktu, contohnya upacara panen, atau buah-buahan dan kembang-kembang atau upacara musiman dan ritual lain. Upacara tersebut juga bisa dilihat sebagai kesempatan pertukaran sosial (social exchange) dan peluang untuk membuat timbal-balik, supaya keseimbangan baru muncul (Gennep van, 1960: 117). Hukum universal berkata: insan yang membantu orang lain juga akan ditolong dan jangan merugikan orang yang menyelamatkan anda (Ekeh, 1974: 206) Pada dasarnya insan punya impulsi untuk menunjuk, membagi dan memberikan sesuatu semoga memunculkan kekerabatan sosial melalui timbal-balik itu.
5. Landasan Teori
Budaya sesuatu yang dinamis. Perubahan sosial timbul dari pergantian luar atau di dalam. Apabila terjadi pergantian pada struktur penduduk maka otomatis fungsi-fungsi atau peran individu dalam penduduk ikut berubah. Koentjaraningrat menggambarkan kosmos individu yang terkait perilaku individu di peradaban tertentu.
Kebudayaan Gagasan Kolektif dan Gagasan Individu (Gambar Koentjaraningat)
Beberapa hipotesis disampaikan oleh ilmuwan humaniora, dan kita bisa memperhatikan “Metodenstreit” yang saling menerangkan kebenaran yang disarankan pihak lain, tergolong di dalam ilmu antropologi. Menurut usulan pakar sosial, bidang kajian dan interpretasi lapangan antropologi tidak senantiasa tetap, namun selalu didasarkan teori. Hipotesis-hipotesis itu mirip, teori kultur dan teori kepribadian (psychoanalytic/neo-behaviorist), difusioniskesejarahan, teori Kulturkreis, neo-evolusi, teori evolusi, strukturfungsialisme dan strukturalisme dan yang lain (Pelto 1970 :19).
Pada lazimnya mampu dikatakan bahwa ilmu antropologi didasarkan atas observasi komparatif, artinya membanding-bandingkan ciri-ciri kebudayaan. Max Weber menjelaskan dalam bukunya berjudul Verstehen, bahwa salah satu konsep yang paling penting ilmu sosiologi adalah “artinya” atau interpretasi arti. Kepentingan rancangan itu, juga terdapat pada fenomena tradisi di teori strukturalisme dari Lévi-Strauss. Konsep pokok phenomenology ialah untuk “to look at how the perorangan tries to interpret the world and to make sense of it” (Alasuutari 1996: 35). Para mahir antropologi menemukan dan mengeluarkan hipotesis yang kebanyakan diterima dengan baik dan mampu pertolongan di bidang antropologi yang beberapa diantaranya dijelaskan di bawah ini.
Keinginan mempelajari konstruksi sosial kebudayaan mengenai latar belakang aturan normatif juga hal yang diteliti oleh Claude Lévi-Strauss (1908- ). Menurut Lévi-Strauss yang diilhami oleh sosiolog Emile Durkheim, teori ilmu bahasa (linguistik) yang disuguhkan Saussure dan pandanganpandangan dari Karl Marx dan Sigmund Freud mengenai psiko-analisis.
Melalui analisis struktur dalam (deep structure) seperti yang dipraktekkan bahasa tertentu, Lévis-Strauss menemui tanda-tanda-gejala yang pada tataran nirsadar (ketidak-sadaran). Struktur permukaan (surface structure) hanya menganalisis tanda-tanda-gejala sebagai sebuah mitos, suatu tradisi pakaian, suatu upacara, tatacara mengolah makanan, tata cara kekeluargaan dan sebagainya (Ahimsa-Putra 2001:68)
Untuk melaksanakan analisis yang dikeluarkan Lévis-Strauss harus mulai membuatkan semacam analisis kuantitatif (Lévis Strauss dikutip oleh Koentjaraningrat 1990: 149). Istilah strukturalisme Lévi-Strauss bantu-membantu sengaja didasarkan analogi dengan linguistik struktural. Itu tidak didasarkan strukturalisme Radcliff-Brown.
Sampai kini, analisis struktural Lévis-Strauss cuma diterapkan untuk menganalisis tata cara kekerabatan, metode pembagian terstruktur mengenai primitif atau ”the science of the concrete” totemisme, dan mitos oleh Lévis-Strauss sendiri, walaupun ahli-mahir antropologi lain yang memodifikasi analisis strukturalnya Lévi-Strauss untuk menganalisis tanda-tanda sosial-budaya lain di Indonesia lewat beling mata struktural (Ahimsa-Putra 2001:392). Totemisme berdasarkan LéviStrauss yakni menggunakan konsep-desain yang berada di lingkungan alam sekitar manusia. Totemisme yaitu bentuk pembagian terstruktur mengenai atas dunia alam dan dunia sosial yang digunakan oleh orang pra maupun pasca tradisional. Untuk menggambarkan persepsi dan pengetahuan mereka tentang dunia sosial.
Bronislaw Malinowski (1884-1942) dan Arthur Reginals RadcliffeBrown (1881-1955) dengan kelompoknya yang dipengaruhi oleh Emile Durkheim seorang sosiolog Perancis yang mengeluarkan teori “organisme” yang didasarkan pemikiran bahwa sebuah penduduk adalah mirip sebuah badan yang hidup. Konsep proses, struktur dan fungsi yaitu bagian atau unsur sebuah teori mengenai interpretasi sistem sosial manusia.
Studi lapangan Malinowski, ketika ia tinggal diantara penduduk orisinil pulau Trobian selama perang dunia pertama, pada tahun 1914-1918. Studi lapangan tersebut menjadi buku klasik antropologi. Dia mengasingkan diri dari peradaban Barat yang berada di sebelah pulau Trobian dan mengamati cara hidup penduduk orisinil pulau Trobian dari akrab. Aktivitasnya terdiri dari menerangkan bahwa semua hal sebuah peradaban saling terkait atau berfungsi dengan hal lain di penduduk . Istilah institutions muncul untuk menerangkan keterkaitan antara budaya dan masyarakat. Studi lapangan dan pengamatan suku tertentu yakni hal yang sungguh penting untuk mendapatkan inti dari keterkaitan antara budaya dan penduduk . Fungsi individu dan institusi suatu penduduk dilihat selaku pusat budaya yang terpenting.
Dibandingkan Radcliffe-Brown artinya organic berlainan dari arti organic Malinowski, maknanya masyarakat dilihat selaku analogi perbuatan dan kesadaran sosial itu sendiri, atau organisme dari teori diatas. Struktur sebuah masyarakat dilihat selaku inti atau pusat yang diteliti. Stuktural teori digunakan untuk membandingkan suatu penduduk . Unit struktur sosial berisikan individu-individu, insan dianggap bukan selaku satu organisme namun untuk menyanggupi kedudukan dalam struktur sosial (Radcliffe-Brown 1980: xix). Istilah fungsi digunakan untuk merujuk terhadap relasi di antara proses dengan struktur. Institusi yang ada contohnya mirip yang berwenang dalam agama, upacara akad nikah dan korelasi. Organisasi suku juga berdasarkan prinsip perpaduan dan kesatuan kelompok. Untuk meneliti acara dan fungsi golongan sebaik-baiknya dari sistim sosial termasuk institusi korelasi, penting mendapatkan kekerabatan antar mereka. Kegiatan individu melakukan fungsinya seperti bagian-bagian badan, yang merealisasikan peradaban.
Sampai sekarang, peradaban suku pedalaman tetap mempertahankan gaya hidupnya, walaupun tekanan dari luar sangat besar lengan berkuasa untuk mengganti. Untuk menyanggupi keperluan masyarakat peradaban terbaru, materi baku harus dicari dan hasil bumi juga ditemukan di tanah suku tradisional. Ladang minyak, kayu, watu-bara, emas, perunggu dan materi mineral lain, dan tanah untuk berbagi perkebunan sawit, karet, kopi dan yang lain harus dibuka. Pada hakekatnya Taman Nasional atau kawasan lain, dilihat dari sudut pandang kalangan utama saja dan semua pandangan diorientasikan penilaiannya pada kebudayaan mereka. (The view of things in which one’s own group is the centre of everything, and all others are scaled and rated with reference to it). Atau berdasarkan terjemahan penulis: “Sudut pandang kelompok sendiri menjadi sentra dalam melihat segala sesuatu, dan segala hal diukur dan dinilai dengan sudut pandang itu.” Maknanya, keperluan suku pedalaman mungkin menjadi sekunder. Fenomena tersebut dikenal dengan istilah etnosentrik yang digunakan oleh Sumner pada tahun 1906.
Pada lazimnya saat seorang suku minoritas memasuki penduduk pasca tradisional, mereka menjadi bab lapisan terbawah di masyarakat. Margaret Mead memperhatikan bahwa insan terus-menerus dibentuk (People are continuously moldable) tergolong oleh masyarakat sekitarnya (Schoor 2003: 14). Banyak keahlian dan ketrampilan yang diwariskan oleh nenek moyang manusia tradisional akan hilang pada ketika mereka memasuki kebudayaan pasca tradisional. Sama dengan kehilangan spesies tumbuhan dan fauna, keragaman budaya juga terancam oleh kegiatan dan norma masyarakat pasca tradisional, yang sebenarnya gaya hidupnya jauh lebih tepat.
Menurut Malinowski proses observasi masyarakat sungguh penting untuk mengerti bagaimana kebudayaan masyarakat tradisional mampu memenuhi keperluan mereka (Kuper, 1983: 17; Pelto, 1970: 91). Emeritus Professor Antropologi di London School of Economics Jean La Fontaine menyampaikan bahwa “Social anthropology is what is known as participant observation, which essentially means direct observation, living with the community being studied and learning to speak its language” (La Fontaine, 1985: 16). Atau diterjemahkan penulis sebagai berikut: “Antropologi Sosial diketahui sebagai pengamatan partisipan, yang pada pada dasarnya adalah observasi pribadi serta hidup dengan kalangan yang diobservasi dan belajar bahasanya”.
6. Metode Penelitian
A. Persiapan Studi Lapangan
Saat penulis sampai kota Jambi, kurang terang mutu materi rujukan cukup untuk melakukan semua acara yang dijadwalkan untuk menyanggupi tugas. Semakin usang semakin banyak sumber karangan dan para ahli kebudayaan yang kepincut kehidupan orang Rimba muncul. Literatur dan opini yang diterima terhadap kondisi orang Rimba dari opini progresif dan radikal sampai konservatif. Dari salah satu pihak berpendapat bahwa integrasi dengan masyarakat pasca tradisional yakni penyelesaian terbaik, karena untuk melanjutkan posisi ekonomis mereka dan untuk menanggulangi kesulitan yang dialami di tempat tinggal yang semakin usang kian sempit. Juga ada isu lain dari pihak yang terlibat kesejahteraan orang Rimba yang mengharapkan kelestarian dan menghormati kebudayaan orang Rimba biar, mereka memenuhi kebutuhannya secara psikologi dan fisik sebaik mungkin dengan sedikit mungkin gangguan dari luar metode pemerintah tradisional.
Maknanya, imbas positif maupun negatif dikontrol sebaik-baiknya oleh mereka sendiri. Setelah evaluasi materi rujukan dirumuskan bahwa pada makalah ini lebih tetap melaksanakan analisis kualitatif di daerah mereka dengan santunan materi rujukan kualitatif dari sumber sekunder yang didapatkan dari institusi tertentu. Kemudian, merumuskan aspek perilaku sosial yang menjelaskan semua fenomena yang relevan pada peradaban mereka. Maknanya sebuah tipologi selaku konstruksi secara deduktif dari seluruh observasi dan materi rujukan yang diterima atau didapatkan dari studi lapangan.
Menurut Aliasuutari seorang ahli penelitian teori kebudayaan lebih tetap waktu pengamat melaksanakan observasi singkat atau terbatas, melaksanakan analisis secara kualitatif. Ahli lain, Weber, juga berpendapat bahwa tipologi yang benar perihal tindak sosial boleh diwujudkan lewat deduksi akal pada akar masalah yang ditemui. Seorang ahli orang Rimba yang fasih berbahasa mereka beberapa kali melakukan penelitian, menyatakan bahwa pengamat-pengamat yang pertama, mirip van Dongen dan van Hagen, sebenarnya tidak betul-betul mengamati bahwa sekurang-kurangnya ada dua atau lebih kalangan, yang walaupun gaya hidupnya seperti orang Rimba lain, sebetulnya berbeda. (Sandbukt 1988: 118). Kelihatannya, bahwa kalangan inti sosial, khususnya yang tradisional, didasarkan atas keturunan yang serupa.
Tiap keluarga inti atau relasi punya hak mengenai sumber-sumber aktual dan non-fisik mirip aksi politik. Apa yang diteliti adalah gejala mirip upacara kelahiran, ijab kabul, meninggal dunia dan kelakuan social individu, struktur penduduk dan lain lain. Misalnya pada umumnya ijab kabul atas dasar saling mengasihi dan juga pembagian tugas kerja dan keharusan untuk mencari nafkah untuk menangkal kelaparan.
B. Lokasi Studi Lapangan
Penulis masuk propinsi Jambi tanggal 22 Juni 2003 dan tinggal di Kota Jambi selama tiga ahad untuk mengumpulkan materi referensi. Pada tanggal 13 Juli 2003 berpindah ke lokasi erat orang Rimba di pinggir Taman Nasional Bukit Duabelas. Selama 24 hari ada peluang untuk berjumpa dengan pihak yang memiliki korelasi akrab dengan orang Rimba dan memwawancarai Temenggung kalangan orang Rimba Bapak Tarib dan pemimpin kelompok Bering Bapak Gera, yang kelompokkelompoknya tinggal di dalam Taman Nasional Bukit Duabelas. Beberapa hari penulis bermalam ditenda dalam Taman Nasional, supaya lebih erat dengan golongan.
Penulis punya cita-cita untuk melaksanakan pengamatan kedua golongan tetapi waktu riset untuk menulis makalah ini terbatas. Itu alasan hanya beberapa hari mampu berjumpa dengan kelompok Batin Sembilan akrab Muara Bulian dan pada umumnya studi lapangan dikerjakan di lokasi Bukit Duabelas. Titik kedua melakukan studi lapangan di daerah Orang Batin Sembilan bersahabat Muara Bulian yang terletak sekitar 60 km dari kota Jambi propinsi Jambi, Sumatra. Dari Muara Bulian naik kendaraan ke desa Muara Singeon seberang sungai Batang Hari dengan sampan.
Di daratan jalan kaki lewat jalur Hak Penebangan Hutan (HPH) yang berjarak 7 kilometer ke Silang Pungguk. Di lokasi itu terdapat sekitar 50 rumah tergolong Mushola dibangun oleh DEPSOS. Lokasi observasi studi lapangan primer yakni di daerah tradisional orang Rimba, yang jumlah populasi diperkirakan sekitar 1000-1200 jiwa atau 300 KK yang menyebar di seluruh kawasan orang Rimba, tergolong Taman Nasional Bukit Duabelas, yang terletak kurang lebih di 2º Lintang Selatan dan 104º Bujur Timur dari Greenwich.
Tidak terlalu jauh dari pemukiman dusun Singosari dan dusun Paku Aji, Sub Daerah Aliran Sungai (DAS), desa Pematang Kabau, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, Propinsi Jambi, Sumatera. Taman Nasional Bukit Duabelas baru diresmikan pada bulan Agustus tahun 2000 oleh Presiden Republik Indonesia yang pada waktu itu dijabat oleh Abdurrachman Wahid. Secara administratif Bukit Duabelas yang dengan luas kira-kira 60.500 Ha, terletak pada empat wilayah Kabupaten adalah, Batanghari, Sarolangun, Merangin dan Tebo. Bangko, ibu kota Sarolangun, kira-kira berjarak 50 km dengan jalan aspal dari Pematang Kabau. Ada beberapa tempat orang Rimba yang tidak jauh dari pemukiman transmigrasi Paku Aji. Pertama, golongan Temenggungng Tarib terletak sekitar 8 km arah barat-daya dari Paku Aji dekat jalan Kutai kira-kira 4 kilometer lewat jalan aspal dan jalan tanah serta 4 km jalan setapak lewat perkebunan sawit, perkebunan karet dan hutan. Sebenarnya, sejumlah kecil mantan anggota kalangan tersebut telah pindah bertahun-tahun lalu sesudah menerima pertolongan dari pemerintah ke lokasi Air Hitam.
Pada waktu itu mereka di pimpin alm. Temenggung Basring. Di Taman Nasional Bukit Duabelas ada 3 daerah besar, ialah kelompok Makakal di bab barat, kalangan Kejasung bab Timur dan kalangan selatan dari pegunungan bukit Duabelas, kalangan Air Hitam. Di utara, di luar Taman Nasional bukit Duabelas yakni sungai Batang Hari. Di barat dari Taman Nasional, terdapat orang Kubu, yang bahwasanya orang Rimba kalangan Tele, di selatan Taman Nasional terdapat kelompok orang Kubu Pamenang kawasan akrab kota Bangko, dan kalangan orang Kubu Singkut sekitar Sorolangun. Di timur dari Taman Nasional, akrab Tembesi, terdapat orang Kubu, yang bahwasanya orang Batin Sembilan.
Bagian dari kalangan Miring atau Biring yang masih hidup secara tradisional yang dipimpin Gera, tinggal di hutan kira-kira 10 km arah utara dari Paku Aji sebelah dusun Singosari. Melalui jalan tanah yang jaraknya kira-kira 5 kilometer, sampai bagian kalangan Miring yang di pimpin oleh Pak Helmi. Pak Helmi, bahwasanya mantan Temenggung Miring yang waktu beliau penganut Islam, menerima dukungan sesuai dengan acara training departemen Kesejahteraan dan Sosial. Dari tempat Pak Helmi, ada jalan setapak melalui perkebunan sawit dan karet, hingga sungai kecil Kru, sumber air higienis utama bagi kelompoknya.
Satu kilometer jalan setapak lagi, melalui daerah alang-alang, bekas daerah penebangan liar sampai pemukiman tradisional yang dipimpin Pak Gera. Pada daerah Cagar Biosfer Bukit Duabelas, samping kehidupan masyarakat tradisional, Taman Nasional diciptakan untuk mengelola dan melestarikan satu-satunya hutan tropis dataran rendah Sumatera. Menurut informan di dusun Paku Aji, desa Pematang Kabau, daerah sekitar Paku Aji tergolong bagian Taman Nasional, diperkirakan bahwa persentase orangnya berisikan; 10 persen orang Rimba, 80 persen orang transmigran, 5 persen orang Jambi dan 5 persen perantau yang masuk sendiri tanpa dukungan dinas transmigrasi.
Lokasi observasi sekunder terletak di pemukiman orang Kubu, yang bantu-membantu orang Batin Sembilan di desa Muara Singoan. Mereka tinggal di Silang Punguk yang 7 km jauh dari desa Muara Singoan seberang sungai Batang Hari. Dari desa Muara Singoan ada jalan aspal ke ksana ke ibu kota Kabupaten Muara Bulian, yang terletak 10 km dari Muara Singoan.
Iklim
Propinsi Jambi terletak sekitar khatulistiwa dengan iklim tropis, suhu maksimum di tempat dataran yaitu sekitar 32ºC dan di tempat Bukit Barisan suhu maksimum sekitar 28ºC. Pada bulan September hingga dengan bulan Maret bertutup angin dari barat ke timur, bulan itu tergolong trend hujan. Selanjutnya pada bulan April hingga Agustus, bertiup angin dari timur ke barat dan waktu itu terjadi musim kemarau. Bulan Juli ialah bulan dengan curah hujan yang terrendah. Suhu yang paling rendah pada bulan September dan yang paling tinggi pada bulan Mei. Curah hujan di kawasan dataran rendah sekitar 2000-3000 mm dan di kawasan sekitar Bukit Barisan sekitar 3000-4000 mm per tahun.
Geologi
Pada umumnya di kabupaten Batanghari berisikan satuan tanah alluvia, batuan endapan dan batuan beku. Pada umumnya tanah di kabupaten Tebo, Merangin dan Sarolangun berisikan satuan-satuan tanah padsolik merah kuning, latosol dan litosol yang berisikan materi induk batuan endapan, batuan beku, dan metamorf.
Topografi
Daerah bukit Duabelas berisikan beberapa bukit, berjulukan bukit Subanpunai Banyak dengan ketinggian 160 meter, pegunungan Panggang dengan ketinggian 328 meter, bukit Kuaran dengan ketinggian 436 meter.
Keadaan propinsi luas tanah, cadangan hutan luas iklim dan curah yang nyaris merata sepanjang tahun serta pedoman Sungai Batanghari yang salah satu sungai paling besar di Indonesia yang membujur dari barat ke arah timur dengan berpuluh-puluh anak sungai, menjadi faktor yang strategis bagi lalu lintas perdagangan (Sagimum 1985: 23).
Flora dan Fauna
Daerah yang terletak antara 23 1/2º LU- 23 1/2º LS dikenal sebagai kawasan iklim tropis, tergolong propinsi Jambi. Walaupun iklim tropis, dengan cukup matahari dan hujan, komponen penting untuk berkembang flora dan fauna. Akan namun tampaknya tanahnya tidak senantiasa subur, kompos dari daun-daun pohon, dan hujan yang rata-rata cukup untuk pertumbuhan pohon yang dulu menurut observasi berisikan pohon-pohon tinggi sampai 80-100 meter. Keanekaragaman tanaman tropis populer sebagai yang paling besar di dunia, dari lokasi kawasan puncak bukit yang kering sampai rawa yang lembap. Dari akar sampai daun pohon tinggi, muncul banyak keuntungannya bagi manusia dan binatang. Sebelum status Taman Nasional diumumkan, degradasi sangat signifikan dengan kepunahan keragaman hayati. Keanekeragaman hayati fauna tergolong serangga-serangga, burung-burung, ular-ular, kurakura, babi hutan, rusa, kijang, harimau, hingga hewan menyusui paling besar, gajah. Sayangnya spesies yang terakhir punah pada tahun 1985 di tempat bukit Duabelas.
Kekayaan keragaman hayati menyanggupi keperluan utama orang Kubu dari sudut minuman, kuliner, obat, busana, bahan bangunan, alat dapur, dan kebutuhan untuk berburu diharapkan sahabat sebagai pembantu yaitu seekor anjing. Sebenarnya, kekayaan hutan tidak cuma untuk memenui keperluan sendiri tetapi juga selaku bahan tukar dengan dunia luar. Perniagaan hasil hutan atau pertukaran barang telah dilakukan sejak usang oleh orang Rimba.
C. Informan
Di lokasi bukit Duabelas selain dari orang Rimba penulis juga mewawancarai, orang dusun dan perantauan, untuk mampu sudut usulan yang berbeda. Beberapa informan tinggal di lokasi erat pemukiman transmigrasi dusun Paku Aji. Yang utama yakni Temenggungng Tarib, pemimpin kelompok orang Rimba, Pak Alisman yang dahulu bertugas sebagai Jenang, Pak Joko Sumarno yang terkait acara Keluarga Berencana (KB).
Kedua, Pak Gera dan Pak Majid, orang Rimba dari kelompok Miring yang waktu penulis melakukan studi lapangan tinggal di bukit Duabelas, hutan dekat sungai Kru.
Di lokasi Silang Pungguk, mantan kepala sekolah Pak Al-hamidi yakni sumber pertama yang menjelaskan kondisi di lokasinya. Juga dapat banyak pinjaman dari kepala desa Pak Asmawi. Pak Al-hamidi menjadi alih bahasa ketika penulis mencari informasi.
D. Teknik Pengumpulan Data
Beberapa sistem yang dipakai, antara lain: observasi partisipasi, wawancara, life – history, observasi arsip dan studi pustaka. Observasi partisipasi adalah mengamati kebiasaan-kebiasaan kalangan dan mencatat kegiatan-aktivitas yang dilakukan oleh mereka dan juga melihat aktivitasaktivitas lain. Mencatat alokasi waktu yang dihabiskan oleh anggota suku yang berafiliasi dengan acara sosial, istirahat dan pekerjaan. Wawancara dilakukan dengan orang suku yang masih tinggal di tengah hutan, di pinggir hutan bersahabat perkebunan sawit dan anggota yang telah pindah jauh dari tanah tradisional. Setelah itu beberapa tokoh penduduk diwawacara secara mendalam perihal alasan pemilihan daerah hidupnya. Tujuan dari wawancara itu adalah untuk mengenali secara lebih rincian pergeseran kehidupan kebudayaan orang keturunan suku pedalaman.
Penelitian arsip tergolong mencari data statistik mengenai jumlah penduduk, fakta-fakta ekonomi termasuk jumlah rupiah yang dikeluarkan selaku derma kepada suku tertentu, ukuran tanah tradisional, hasil dari tanah tradisional dan lain-lain. Data statistik yang didapat dari Pusat Biro Statistik serta Departemen Kesejahteraan dan Sosial di Jambi dan Perpustakaan Daerah diverivikasi sebaik-baiknya. Walaupun menjajal mendapatkan setidaknya mengkonsultasikan beberapa sumber, kadangkadang berdasarkan sumber yang terbatas.