Sekarang, Amerika Serikat : Kembali Ke Fakta ?

Joe Biden menghadapi kotak masuk yang paling angker dan melimpah dari setiap presiden baru AS sejak perang dunia kedua dikala ia menjabat pada 20 Januari. Pandemi virus korona sudah menewaskan lebih dari 346.000 orang Amerika.

Perekonomian sedang berjuang dengan pengangguran di 6,7% dan ribuan antri di bank kuliner. Tuntutan untuk kesetaraan dan keadilan ras lebih mendesak. Rusia dicurigai sebagai serangan dunia maya terbesar yang pernah terjadi pada pemerintah AS. Amerika terpecah, demokrasi yang ringkih perlu diperbaiki. Dan krisis iklim menuntut kepemimpinan.

Di pahami ketika ini, bahwa Joe Biden pada 78 presiden AS tertua yang pernah terpilih, telah menjelaskan bahwa menjinakkan Covid-19 yaitu prioritas No 1. Amerika, yang terguncang oleh kegagalan bersejarah kepemimpinan Donald Trump, memiliki 4% populasi dunia tetapi 19% akhir hayat dunia dan lebih dari 100.000 orang di rumah sakit.

Di ketahui dikala ini, Joe Biden baru-baru ini memperingatkan bahwa “hari-hari tergelap” dalam peperangan melawan pandemi “ada di depan kita, bukan di belakang kita”. Mantan wakil presiden telah berjanji untuk menandatangani perintah administrator pada hari ia dilantik untuk mewajibkan orang-orang mengenakan masker di bus dan kereta api yang melintasi jalur negara bab dan di gedung-gedung pemerintah federal.

Dengan menargetkan untuk membuka kembali sebagian besar sekolah dalam 100 hari pertamanya. Dan beliau sudah menetapkan sasaran 100 juta vaksinasi selama kala yang serupa. Namun di antara tantangan Biden ialah mengungguli hati mereka yang takut bahwa vaksin itu tidak aman, serta para jago teori konspirasi bertekad untuk menabur ketidakpercayaan di dalamnya.

  Air Murni Dan Air Suling Itu Tidak Alami

Memang, pandemi disinformasi Amerika mampu terbukti lebih menular dan keras kepala ketimbang virus corona kalau mantan presiden tertentu terus men-tweet dari pinggir lapangan, dan bila media sayap kanan terus memperkuatnya.

Dalam skenario ini, apa yang dimulai sebagai “fakta alternatif” pada permulaan pemerintahan Trump mampu berubah menjadi “realitas alternatif” di bawah Biden, mengakibatkan hiperpartisan di Washington dan membuat negara nyaris tidak mampu diatur.