C.S Peirce
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga bagian utama, ialah tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda ialah sesuatu yang berupa fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan ialah sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari akad), Ikon (tanda yang timbul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari korelasi karena-akhir). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.Objek atau acuan tanda yaitu konteks sosial yang menjadi tumpuan dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.
Interpretant atau pengguna tanda yaitu rancangan fatwa dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam pikiran seseorang perihal objek yang dirujuk suatu tanda.Hal yang paling penting dalam proses semiosis ialah bagaimana makna timbul dari sebuah tanda dikala tanda itu digunakan orang ketika berkomunikasi.
Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang mampu jadi memaknainya sebagai simbol keseksian. Begitu pula dikala Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan performa fisiknya yang menarik , para penonton mampu saja memaknainya sebagai icon perempuan muda manis dan menggairahkan.
Ferdinand De Saussure
Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bab (dikotomi) adalah penanda (signifier) dan membuktikan (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik mampu diketahui lewat wujud karya arsitektur, sedang mengambarkan dilihat selaku makna yang terungkap lewat konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure yaitu korelasi antara penanda dan petanda menurut konvensi, lazimdisebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi yaitu metode tanda yang mempelajari relasi komponen tanda dalam sebuah metode menurut aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial dibutuhkan untuk mampu memaknai tanda tersebut.
Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan desain-desain dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang memakai tanda untuk mengantarmakna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” selaku referent dan menyebutkannya selaku bagian pemanis dalam proses penandaan. Contoh: saat orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, mirip dua segi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006).
Roland Barthes
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes menyebarkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi yakni tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penunjukdan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, pribadi, dan niscaya. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan kekerabatan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak eksklusif, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini,2006).
Roland Barthes yaitu penerus pedoman Saussure. Saussure kesengsem pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat memilih makna, namun kurang kesengsem pada realita bahwa kalimat yang sama mampu saja menyampaikan makna yang berlawanan pada orang yang berlawanan situasinya.
Roland Barthes meneruskan anutan tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan dibutuhkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini diketahui dengan “order of signification”, meliputi denotasi (makna bahu-membahu sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes walaupun Barthes tetap mempergunakan ungkapan signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes juga melihat faktor lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu penduduk . “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi sesudah terbentuk tata cara sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda gres yang kemudian mempunyai petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika sebuah tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berubah menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menjadikan konotasi “keramat” alasannya dianggap sebagai residensial para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi perkiraan umum yang menempel pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi namun bermetamorfosis denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” alhasil dianggap selaku sebuah Mitos.
Baudrillard
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak memiliki asal-undangan yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak memiliki sumber otoritas yang dikenali. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu ialah tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang imitasi sepertinya lebih kasatmata dari kenyataannya (Sobur, 2006).
Sebuah iklan menampilkan seorang laki-laki lemah yang lalu menenggak sebutir pil multivitamin, saat itu juga laki-laki tersebut mempunyai energi yang hebat, mampu mengerek suatu truk, pasti hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya sebab sebutir pil seseorang mampu berganti kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk selaku multivitamin yang memberi asupan energi komplemen untuk beraktivitas sehari-hari agar tidak gampang kelelahan. Namun, dongeng iklan dibentuk ‘luar biasa’ agar pelanggan percaya. Inilah tipuan realitas atau hiperealitas yang ialah hasil konstruksi pembuat iklan. Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman kala kecil (entah kini masih ada atau telah lenyap) di pasar-pasar tradisional menyaksikan atraksi seorang pedagang obat yang menunjukkan hiburan sulap lalu mendemokan khasiat obat di hadapan penonton? Padahal sebenarnya atraksi tersebut sudah ‘direkayasa’ biar terlihat benar-benar manjur di hadapan penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.
J. Derrida
Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, berdasarkan Derrida, adalah selaku alternatif untuk menolak segala kekurangan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan rancangan demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas—intinya dimaksudkan menetralisir struktur pemahaman gejala (siginifier) melalui penyusunan rancangan (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida mendapatkan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, yakni usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dikerjakan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga mampu dilanjutkan tanpa batas.
Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal mampu mencerminkan banyak hal. Ke-gothic-annya mampu merefleksikan ideologi periode pertengahan yang diketahui sebagai masa kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut condong ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru berlawanan dari tabiat-etika keagamaan yang sebaiknya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.
Namun, Ke-gothic-an itu juga mampu ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang menerangkan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi, ‘terlatih’, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya dibandingkan dengan sesuatu yang sifatnya temporer.Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai ‘fokus ke atas’ yang mempunyai nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut memperlihatkan kekhidmatan yang indah yang ‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti sampai menciptakan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang menyaksikan tanda selaku hasil konstruksi simulatif sebuah realitas, Derrida lebih menyaksikan tanda selaku gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.
Umberto Eco
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco selaku ahli semiotikan yang menciptakan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting sebab dia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan menjinjing semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).
Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi metode tanda. Eco lalu mengubah desain tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang mampu ditawar, melainkan sebuah tempat pertemuan bagi unsur-komponen independen (yang berasal dari dua tata cara berlawanan dari dua tingkat yang berlawanan adalah ungkapan dan isi, dan berjumpa atas dasar korelasi pengkodean”. Eco memakai “isyarat-s” untuk memberikan isyarat yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, gejala suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (jikalau suatu pernyataan mampu dimengerti secara harfiah), atau “konotatif” (kalau tampak arahan lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pengertian perihal suatu isyarat-s yang lebih bersifat dinamis dibandingkan dengan yang didapatkan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik kala sekarang.
Ogden & Richard
Teori Semiotika C. K. Ogden dan I. A. Richard merupakan teori semiotika trikotomi yang dikembangkan dari Teori Saussure dan Teori Barthes yang didalamnya terdapat kemajuan hubungan antara Petanda (signified) dengan Penanda (signifier) dimana Penanda kemudian dibagi menjadi dua ialah Peranti (Actual Function/Object Properties) dan Penanda (signifier) itu sendiri. Petanda merupakan Konotasi dari Penanda, sedangkan Peranti merupakan Denotasi dari Penanda. Pada teori ini Petanda ialah makna, rancangan, pemikiran , sedang Penanda ialah citra yang menjelaskan peranti, klarifikasi fisik obyek benda, keadaan obyek/benda, dan condong (namun tidak selalu) berupa ciri-ciri bentuk, ruang, permukaan dan volume yang mempunyai suprasegmen tertentu (irama, warna, tekstur, dsb) dan Peranti merupakan wujud obyek/benda/fungsi positif (Christian).