Daftar Isi
Sesajen Menurut Al Qur’an
(Soal sesajen, Bi. Bagaimana Islam, Al Qur’an, apakah pernah berbicara soal itu?)
Prinsipnya begini, segala aktivitas hendaknya diarahkan kepada Tuhan. Bermohon, kita hendak bermohon terhadap Tuhan. Kalau anda bermohon terhadap insan, sebelum bermohon terhadap manusia, bermohonlah dulu terhadap Tuhan, agar Tuhan memberikan kepada insan ini kesanggupan untuk memenuhi ajakan anda.
Apa yang dipersembahkan terhadap sesuatu, itu mampu beragam motifnya. Bisa jadi aku mempersembahkan sesuatu, katakanlah ke laut, agar ikan mampu makan. Saya berikan ke hutan, biar simpanse mampu makan. Itu sesuatu yang baik-baik saja. Saya tidak kaitkan dengan bahwa simpanse mampu menyanggupi keinginan aku.
Ada lagi, kita menyerahkan sesuatu yang kita namai sesaji atau sesajen itu dengan iktikad bahwa, “Inilah yang membantu saya mencapai ini (cita-cita aku)”. Potong kepala kerbau, agar tidak diganggu jin dalam pembangunan, itu tidak (dihentikan). Tetapi bila anda menyembelih kerbau, menyembelih sapi, untuk anda sedekahkan dan makan bersama, tidak ada problem.
Tetapi kita anggaplah bahwa sesaji yang diberikan di kaki Gunung Semeru itu memang berencana untuk memohon santunan sesuatu kekuatan selain kekuatan Ilahi. Nah, ini yang kita mesti berhati-hati. Karena, setiap penduduk menurut Al Qur’an ada hal-hal yang dianggap baik. Nah, apa yang dianggap baik oleh penduduk tertentu, jangan ganggu itu. Itu ada ayat di surah Al-An’am dibilang begini:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Jangan menghujat sembahan-sembahan orang-orang yang menyembah selain Allah.” Memaki saja tidak boleh, terlebih menendang. Memang begitulah Allah menyebabkan manusia mencintai sesuatu, menilai baik sesuatu. Tidak apa-apa, nanti Tuhan yang akan menentukan di hari lalu, apa persepsi Tuhan, keputusan Tuhan kepada mereka. Jadi mestinya, itu jangan ditendang.
(Karena, mirip kita ketahui sahabat-sobat. Suku Tengger, yang memang berada di sekitar kaki Gunung Semeru, salah satu budpekerti istiadat mereka itu meletakkan sesajen.)
Nah itulah ia. Artinya, kita hormatilah itu. Menghormati bukan bermakna kita setuju. Itu adatnya, itu kebiasaannya, itu kepercayaannya. Kenapa diganggu? Al-Qur’an berkata ini. Banyak sekali ayat itu.
قُلْ أَتُحَاجُّونَنَا فِي اللَّهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُخْلِصُونَ
Kami punya kegiatan (amal), kalian punya kegiatan juga. Silahkan masing-masing. Karena bila tidak, kita mengundang orang juga memperlakukan apa yang kita percaya, apa yang kita lakukan itu sebagaimana perlakuan kita terhadap ia.
Orang maki kepercayaannya, kan mampu dijawab juga, “Dia maki keyakinan kita,” ngapain begitu?
(Tapi bahwa itu akan mengakibatkan murka Allah, apakah itu betul, Bi?)
Dari mana kita tahu?
(Karena kan, si orang ini dengan gagahnya bilang (sebelum) ditendang, “Inilah yang mau menyebabkan adzab dan marah Allah”)
Kalau dalam konteks itu, kita katakan Allah kan mengizinkan. Tidak akan terjadi sesuatu tanpa izin Allah. Allah memberikan keleluasaan manusia untuk percaya atau tidak yakin, untuk beribadah atau tidak beribadah. Kalau kita baca ayatnya tadi, keputusannya nanti di hari lalu. Siksaannya nanti di hari lalu.
Macam Adat Istiadat Menurut Islam
(Makara pada prinsipnya, apakah semua adat dan istiadat, apakah semua kebiasaan, itu diperbolehkan oleh Islam Abiku?)
Tidak. Adat istiadat, kebiasaan itu ada tiga dalam pandangan Islam. Ada satu, yang cocok dengan nilai-nilai agama Islam. Itulah yang dinamai ma’ruf. Kita ditugaskan menegakkan ma’ruf. Apa yang kamu anggap baik di dalam masyarakatmu, dan itu sejalan dengan tuntunan agama atau tidak bertentangan, tegakkan itu. Pakai peci hitam itu menurut Abi budpekerti kebiasaan bangsa kita. Itu lebih baik dibandingkan dengan pakai topi. Itu budpekerti kebiasaan, sejalan.
Ada lagi yang terperinci bertentangan. Islam yang bertentangan itu tidak direstui-Nya. Tetapi itu tadi. Kalau bertentangan itu keyakinan orang. Lakum diinukum wa liya diin (Surah Al-Kafirun: ayat 6).
Ada lagi yang abu-abu. Yang debu-abu ini, Islam berusaha untuk meluruskannya, memperbaikinya. Dulu, Wali Songo melaksanakan itu. Sekian banyak etika dan istiadat, dia “Islamkan” sehingga berlangsung sesuai itu. Makara itu budpekerti. Seperti acara siraman. Itu bisa diislamkan. Kita mandi, sambil berkata memang Islam menganjurkan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bagus, terlebih di depan orang banyak dengan higienis-higienis. Sebelum Jum’at, mandi. Iya, kan? Makara jangan terlalu kaku.
Di setiap kawasan ada adatnya, ada kebiasaannya. Dan kembali lagi, Setiap amal itu sesuai dengan niatnya. Dan kalau kita mau himpun semua budpekerti, tidak mungkin kita dapat meraih itu. Maka rumus-rumuslah, “Ini berlawanan dengan agama atau tidak? Oh tidak berlawanan”. Gunting rambut, boleh tidak gunting rambut? Boleh. Orang-orang yang haji pun habis tamat gunting rambut ada lambang-lambangnya. Makara itu adat kebiasaan.
(Bi, ada juga kemudian yang mempertanyakan dan berusaha menyamakan agresi di Lumajang itu mirip apa yang dikerjakan oleh Nabi Ibrahim waktu itu, menghancurkan patung-patung.)
Ini salah paham. Setiap agama, setiap Nabi membawa dua macam anutan. Ada prinsip-prinsip dasar. Prinsip-prinsip dasar dari semua Nabi ini sama. (yakni) Ketuhanan, yakin ada wahyu, percaya ada hari kemudian (hari selesai), yakin ada kitab suci.
Kemudian ada lagi aturan-aturan syariat. Itu beda-beda. Nah, Nabi Ibrahim bawa keesaan Tuhan. Nabi-nabi sebelumnya semua dipercaya (menyampaikan Keesaan Tuhan). Tetapi ada syariatnya yang tidak sesuai dengan kita. Dia merusak berhala-berhala itu, tidak harus diteladani. Itu pemikiran yang tepat dengan aliran Nabi Ibrahim. Nabi Muhammad tidak menghancurkan berhala-berhala. Buktinya apa? Sahabat-sahabat ia yang paham agama, dikala ke Mesir, saat ke Iraq, dikala ke Syiria, itu memperoleh berhala-berhala. Mereka tidak hancurkan.
Alasan Nabi Muhammad Menghancurkan Patung di Makkah
(Tapi kan Nabi Muhammad juga sempat merusak berhala saat masuk di Makkah Bi, Itu bagaimana?)
Bagus, Bagus. Makkah itu punya status khusus. Makkah itu yaitu tanah suci yang oleh Allah dan Rasul-Nya dinyatakan dilarang dihuni kecuali orang yang beragama Islam. Sekarang kita mau analogikan. Sekarang ini diketahui visa, visa itu kebaikan negara dalam konteks menjaga keamanannya dan menampakkan keindahannya. Iya kan? Sehingga mampu saja satu orang dihentikan oleh negara masuk ke negara itu alasannya adalah berlawanan dengan falsafah dan ininya (ketentuan). Nah, Islam melarang non Muslim masuk ke sana (Makkah). Kalau begitu, masih diharapkan adanya berhala-berhala itu disana? Tidak. Tidak diperlukan. Silahkan pindahkan saja, hancurkan saja. Makara, jangan analogikan itu dengan ini, lantas ambil (mencontek) itu, “Oh ini kita hancurkan saja,” alasannya adalah di sini ada nas, ada ketetapan agama bahwa siapa saja yang hendak menganut iktikad di luar Makkah, silahkan. Siapa yang mau jika di dalam Makkah, harus Islam. Dan jangan kritik itu, itu kebijakan. Sebagaimana kita tidak mampu kritik sebuah negara yang melarang warga negara lain masuk.
Tidak dikasih visa. Itu Wewenang mereka.
(Makara, dalam konteks Nabi Muhammad saat itu menghancurkan berhala saat masuk ke Makkah sebab memang status kota Makkah. Kota Suci. Bukan berarti kemudian konteksnya itu diambil dan dijadikan argumentasi menendang-nendang sesajen, begitu ya, Bi.)
Betul, jadi negara punya wewenang untuk mengatur. Begitu juga di Makkah, itu kebijakan yang direstui Allah dan Rasul-Nya dalam rangka memelihara kesucian Makkah. Jangan pakai itu di sini. Beda konteks. Kaprikornus, jika lalu itu ditendang, dikatakan tidak cocok, itu sama sekali tidak Islami.