Konsekuensi Mobilitas Sosial – Mobilitas sosial, intinya mobilitas sosial mempunyai relasi erat struktur sosial. Mobilitas sosial ialah proses perpindahan seseorang atau sekelompok orang dari kelas atau golongan sosial yang satu menuju kelas atau golongan sosial lainnya. Apabila seseorang berpindah dari satu status sosial menuju status sosial lain, orang tersebut akan menghadapi beberapa kemungkinan. Kemungkinan-kemungkinan itu antara lain adaptasi diri, terlibat pertentangan dengan kelas atau kalangan sosial yang baru dimasukinya, dan beberapa hal lain yang menyenangkan atau justru mengecewakan.
1. Penyesuaian diri terhadap lingkungan gres
Kelompok sosial atau kelas sosial ialah sebuah subkultur, yakni sebuah kesatuan penduduk (unit sosial) pada kelas atau kelompok sosial tertentu yang mengalami perkembangan kebudayaan sesuai dengaan golongan tersebut. Di dalam setiap kelas dan kalangan sosial meningkat nilai dan norma tertentu yang hanya berlaku bagi para anggotanya. Gaya dan contoh hidup setiap kelas dan golongan sosial senantiasa berbeda. Gaya hidup kelas atas berlawanan dengan pola hidup pedagang; Gaya hidup orang desa berlawanan dengan gaya hidup orang kota; Gaya hidup orang Jawa berlawanan dengan pola hidup orang Batak. Perbedaan kultur antar golongan sosial yang tercermin dalam pola hidup seperti ini, sering menjadi tantangan bagi anggota yang gres masuk melalui proses mobilitas sosial.
Kelompok sosial pada masyarakat desa, lazimnya sungguh menjunjung tinggi nilai kebersamaan, gotong-royong, dan paguyuban. Berbeda dengan kultur masyarakat kota yang bersifat individualistis, mementingkan diri sendiri, dan impersonal. Misalnya, seseorang yang sudah beberapa tahun hidup di kota besar, sesudah berhenti dari pekerjaannya (pensiun) ia memutuskan untuk menghabiskan masa tuanya di desa kelahirannya. Apabila beliau ingin diterima sebagai warga desa yang bagus, maka beliau mesti beradaptasi dengan situasi, keadaan, tradisi, dan budaya di desa tersebut.
Pola kehidupan di kota yang individualis dan mementingkan diri sendiri harus bertahap ditinggalkan dan mulai mengikuti keadaan dengan teladan di desa. Penyesuaian diri seperti ini berlaku bagi semua orang yang memasuki kelas atau golongan sosial baru sebagai balasan mobilitas sosial. Di lingkungan daerah tinggal yang baru, seseorang harus beradaptasi dengan kultur masyarakat setempat. Penyesuaian diri seperti ini mampu terjadi dengan baik bila lingkungan gres yang dimasuki mau menerima kehadiran pendatang baru. Sering terjadi tidak semua kelas atau kalangan sosial mau mendapatkan pendatang baru, sehingga sering seseorang menghadapi konsekuensi kedua, yaitu tidak diterima pada golongan gres tersebut.
2. Konflik dengan lingkungan baru
Konflik terjadi jika masyarakat yang dimasuki tidak mendapatkan kedatangan orang baru, terutama jika pendatang baru tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Selain itu ada juga orang yang bertingkah menyimpang. Orang-orang berperilaku menyimpang umumnya menghadapi konflik dengan lingkungan di manapun dia berada. Orang yang suka mabuk, mengonsumsi narkoba, para penjaja seks, atau suka mengganggu orang lain, mengusik ketertiban biasa umumnya selalu ditolak di kelas atau golongan sosial mana pun. Kehadirannya dianggap selaku pengganggu keselamatan dan ketentraman penduduk . Sehingga sering penduduk menghalau dan tidak menginginkan kehadirannya yang dinilai mengusik ketertiban penduduk tersebut.
Mobilitas yang dapat menyebabkan terjadinya pertentangan, contohnya perkara kembalinya residivis (narapidana) ke lingkungan asalnya. Mobilitas sosial dalam lingkungan pekerjaan dapat mengalami konflik jika terjadi proses yang dianggap tidak benar atau menyalahi norma sosial dan prosedur yang berlaku. Misalnya kedatangan pejabat gres pada suatu lingkungan kerja, yang tidak lewat proses yang masuk akal melalui jenjang karir atau prestasi, akan namun melalui praktek nepotisme, akan ditolah oleh lingkungannya.
3. Adanya cita-cita dan kekecewaan
Struktur penduduk yang terbuka sudah memberi potensi terjadinya mobilitas secara luas. Keterbukaan ini selain memperlihatkan peluang untuk terjadinya mobilitas naik, juga sekaligus menunjukkan akomodasi pula untuk terjadinya mobilitas menurun. Akibatnya, penurunan status dan kenaikan status sosial mempunyai kesempatan yang serupa untuk dialami seseorang. Baik kenaikan maupun penurunan status dapat mempunyai dampak aktual dan negatif.