Fajar & Wulan sudah ‘cocok’. Mereka telah menyaksikan data masing-masing, juga sudah ta’aruf lewat perantaraan ustadz & ustadzahnya. Tinggal kini Fajar melamar ke orang tua Wulan.
Wulan sungguh bangga, laki-laki shalih itu karenanya datang juga. Ia bertamu untuk melamarnya. Sebenarnya, lamaran ini lebih tepat disebut ta’aruf dgn orang tua Wulan. Sebab mereka minta ketemu dahulu dgn laki-laki yg hendak menjadi calon menantunya. Jika mereka setuju, barulah Fajar diperbolehkan menjinjing orang tuanya untuk secara resmi melamar Wulan.
Fajar yg merupakan seorang aktifis dakwah terlihat santai di depan kandidat mertuanya. Maklum, beliau sudah lazimberkomunikasi dgn banyak orang, sering mengisi pembicara baik dlm daurah di kampus maupun acara sejenisnya. Ia tak canggung berhadapan dgn orang renta Wulan meskipun dirinya baru lulus kuliah & belum bekerja. Sehari-hari beliau aktif berdakwah sambil berdagang jilbab.
Yang membuat Wulan siap menikah dgnnya sebab dia telah mengetahui track record Fajar; seorang aktifis dakwah yg cukup terkenal di kampusnya, hafal beberapa juz Al Qur’an & tak disangsikan keshalihannya. Dalam ta’aruf, dia tak keberatan meskipun Fajar belum ‘bekerja’. Namun rupanya, hal itulah yg mengganjal di hati kedua orang tuanya.
“Kata Wulan kamu belum bekerja,” ibu Wulan mulai membuka dialog soal aktifitas ekonomi kandidat menantunya. Perempuan berkerudung ini tampak lebih banyak mengajukan pertanyaan daripada suaminya.
“Iya Bu, saya baru lulus kuliah” tutur Fajar dgn sopan.
“Lalu, nanti anakku kamu beri makan apa?”
“Allah Maha Pemberi Rezeki, Bu” jawab Fajar tegas.
Sang ibu terdiam. Ia tampaknya tak senang dgn jawaban itu. Diaog-obrolan selanjutnya terasa agak berlainan. Suaminya yg giliran mengajukan pertanyaan pada Fajar. Sementara sang ibu lebih banyak membisu.
Keesokan harinya balasan itu keluar. Fajar ditolak. Betapa kagetnya ikhwan itu. Ia merasa sudah tampil sopan di depan calon mertuanya. Ia juga merasa menjawab seluruh pertanyaan dgn baik. Mengapa dirinya ditolak? Ustadznya juga tak mengetahui argumentasi niscaya.
Setelah berlalu bulan demi bulan, barulah Fajar diberitahu. Jawabannya “Allah Maha Pemberi Rezeki” ternyata menyinggung kandidat ibu mertua.
“Aku ini muballigh, pasti saya paham bahwa Allah Maha Pemberi Rezeki. Kalau itu aku nggak perlu tanya lagi. Yang aku tanyakan itu kejelasan bagaimana nanti anakku menerima nafkah, bagaimana ekonomi keluarga anakku nanti. Bukan soal siapa yg memberi rezeki,” kata wanita yg ternyata muballigh di suatu ormas Islam itu mirip ditirukan orang dekatnya. [Webmuslimah]
*Fajar & Wulan bukan nama bekerjsama