A. Pendahuluan
Melalui kontak yang terjadi di sentra-pusat peradaban Yunani yang terdapat di Aleksanderia
(Mesir), Antokia ( Suriah), Jusdisyapur (Irak) dan Baktra (Persia), yang jatuh kedalam kekuasaan Islam pada permulaan kala ketujuh Masehi, filsafat masuk ke dalam aliran Islam. Timbullah filosof-filosof Islam seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Maskawaih dan filosof lainnya.[1]
Berlainan dengan di Yunani, ajaran filsafat dalam Islam, sudah terkait pada anutan-
anutan dalam al-Qur’an dan hadits. Disini fatwa filsafat tidak lagi bebas-sebebasnya, namun telah dibatasi oleh wahyu yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. maka filosof-filosof Islam tidak lagi menjadi dasar dari segala dasar, sebab wahyu telah menentukan bahwa dasar dari segala dasar itu yaitu Allah SWT.
Dalam makalah ini akan membahas wacana bagaimana fatwa filsafat Al-Kindi yang dikenal sebgai penggagas pertama ajaran filsafat dalam Islam dan juga membicarakan bagaimana pemikiran filsafat Al-Razi yang merupakat filosuf Islam kedua setelah Al-Kindi.
B. Al-Kindi
1. Sejarah hidup dan karyanya
Al-Kindi ialah seorang filsuf besar pertama Arab dan Islam[2].Nama lengkap al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya`qub ibn Ishaq ibn Shabbah ibn Imran ibn Isma`il ibn Muhammad ibn al-Asy’ath ibn Qais al-Kindi. Nama al-Kindi berasal dari nama salah satu suku Arab yang besar sebelum Islam, yakni suku kindah[3].
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H/801 M. Ia berasal dari suatu keluarga pejabat, kaya dan terhormat. Ayahnya bernama Ibnu Al-Sabah. Sang ayah pernah menduduki jabatan Gubernur Kufah pada era kepemimpinan Al-Mahdi (775-785) dan Harun Ar-Rasyid (786-809). Ayahnya meninggal ketika beliau masih kanak-kanak tetapi ia masih tetap mendapatkan kesempatan untuk menuntut ilmu dengan baik.[4] Kakeknya Asy’ats bin Qais diketahui sebagai salah seorang sobat Nabi Muhammad SAW. Bila ditelusuri nasabnya, Al-Kindi ialah keturunan Ya’rib bin Qathan yang berasal dari tempat Arab bab selatan dan diketahui sebagai raja di wilayah Kindah.[5] Al-Kindi hidup di periode kejayaan Islam Baghdad di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Tak kurang dari lima kala khalifah dilaluinya yakni, Al-Amin (809-813), Al-Ma’mun (813-833), Al-Mu’tasim, Al-Wasiq (842-847) dan Mutawakil (847-861).
Pendidikan al-Kindi pada waktu kecil tidak banyak dimengerti. Ada rieayat yang menerangkan bahwa al-Kindi pernah berguru di Basrah sebuah pusat studi bahasa dan teologi Islam. Kemudian beliau menetap di Baghdad, ibu kota kerajaan Bani Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada kala itu.[6] Dia diketahui berotak encer, tiga bahasa penting dikuasainya, yaitu Yunani, Suryani, dan Arab. Sebuah kelebihan yang jarang dimiliki orang pada kurun itu. Ia sungguh rajin mempelajari berbagai disiplin ilmu. Oleh alasannya itu, beliau dapat menguasai ilmu filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik dan meteorology.[7] Penguasaanya kepada filsafat dan ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran para filosof ternama. Karena itu pulala dia dinilai layak menyandang gelar Failsuf al-‘Arab (Filosof berkebangsaan Arab).[8]
Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai ilmu, menyebabkan dirinya diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan.[9] Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitul Hikmah (House of Wisdom) yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu wawasan dari banyak sekali bahasa, seperti Yunani. Ketika Khalifah Al-Ma’mun tutup usia dan digantikan puteranya, Al-Mu’tasim, posisi Al-Kindi semakin dipertimbangkan dan menerima tugas yang besar. Dia secara khusus diangkat menjadi guru bagi puteranya.
Al-Kindi mampu membangkitkan paham Muktazilah. Berkat tugas Al-Kindi pula, paham yang mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi kerajaan.[10] Menurut Al-Nadhim, selama berkutat dan bergelut dengan ilmu pengetahuan di Baitulhikmah, Al-Kindi sudah melahirkan 260 karya. Di antara sederet buah pikirannya dituangkan dalam risalah-risalah pendek yang tak lagi ditemukan. Karya-karya yang dihasilkannya membuktikan bahwa Al-Kindi adalah seorang yang berakal pengetahuan yang luas dan dalam.
Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, mirip filsafat, nalar, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik dan meteorologi. Bukunya yang paling banyak yaitu geometri sebanyak 32 judul. Filsafat dan kedokteran masing-masing mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12 judul.
Buah pikir yang dihasilkannya begitu besar lengan berkuasa kepada kemajuan peradaban Barat pada era pertengahan. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Eropa. Buku-buku itu tetap digunakan selama beberapa periode sesudah ia meninggal dunia.
Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama, karena dialah orang Islam pertama yang mendalami ilmu-ilmu filsafat. Hingga abad ke-7 M, filsafat masih didominasi orang Katolik Suriah. Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun ia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang besar yakni menyelaraskan filsafat dan agama.[11]
Pada masa pemerintahan Al-Muatawakkil, khalifah yang mengakhiri kurun kejayaan ajaran Muktazilah, al-Kindi mengalami nasib yang tidak menguntungkan, ia dipecat dari aneka macam jabatan yang dipercayakan kepadanya. Jabatannya selaku guru besar di istana diambil alih oleh putra-putra Musa yang juga tergolong ilmuwan, meskipun tidak sepopuler al-Kindi. Suatu dikala putra-putra Musa merampas perpustakaan al-Kindiyah, milik langsung al-Kindi, namun pada jadinya pustaka tersebut dikembalikan terhadap al-Kindi.[12]
Tentang kapan al-Kindi meninggal tidak ada suatu informasi pun yang pasti. Dalam buku Min Al-Kindi ila Ibn Rusyd karangan Musa Al-Musawi mirip yang dikutip oleh Sirajudin Zar menyampaikan bahwa Musthafa Abd Al-Raziq cenderung menyampaikan tahun wafatnya adalah 252 H, sedangkan Massignon menunjuk tahun 260 H, sebuah pertimbangan yang juga diyakini oleh Hendry Corbin dan Nellino. Sementara itu, Yaqub Al-Himawi mengatakan bahwa Al-Kindi wafat sehabis berusia 80 tahun atau lebih.[13]
2. Karya Tulisnya
Al-Kindi selain seorang yang aktif terlibat dalam kegiatan penterjemahan buku-buku Yunani dan sekaligus ia melaksanakan koraksi serta perbaikan atas terjemahan orang lain, juga termasuk seorang yang inovatif dan produktif dalam kegiatan tulis menulis. Tulisannya lumayan banyak dalam aneka macam disiplin ilmu. Akan namun, pada umumnya karya tulisnya telah hilang sehingga sulit menerangkan berapa jumlah karya tulisnya. Namun sebagian dari risalah Al-Kindi yang hilang tersebut ditemukan kembali. Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan bahwa karya-karya al-Kindi berjumlah 270 buah, pada umumnya di antaranya risalah-risalah pendek dan banyak di antaranya yang sudah tidak didapatkan lagi[14]. Risalah-risalah itu, baik oleh ibnu Nadim maupun Qifthi, dikelompokkan kedalam 17 kalangan, yaitu 1. Filsafat, 2. Logika, 3. Ilmu hitung, 4. Globular, 5. Music, 6. Astronomi, 7. Geometri, 8. Sperikal, 9. Medis, 10. Astrologi, 11. Dialektika, 12. Psikologi, 13. Politik, 14. Meteorology, 15. Dimensi, 16. Benda-benda pertama, 17. Spesies tertentu logam dan kimia.[15] Untuk lebih jelasnya di bawah ini dikemukakan beberapa karya tulis al-Kindi.
1. Fi al-falsafat al-‘Ula
2. Kitab al-Hassi ‘ala Ta’allum al-Falsafat
3. Risalat ila al-Ma’mun fi al-‘illat wa Ma’lul
4. Risalah fi Ta’lil al-A’dad
5. Kitab al-falsafat al-Dakhilat wa al-Masail al-Manthiqiyyah wa al-Mu’tashash wa ma fauqa al-Thabi’iyyat.
6. Kammiyat Kutub Aristoteles
7. Fi al-Nafs
Melalui karya-karyanya, al-Kindi mampu dikenali selaku seorang yang bakir wawasan yang luas dan dalam. Bahkan, beberapa karya tulisnya telah diterjemahkan oleh Gerard Cremona ke dalam bahasa Latin, yang sangat mensugesti anutan Eropa pada periode pertengahan.[16]
3. Perpaduan Filsafat dan Agama
Al-Kindi yaitu selaku perintis filasafat murni dalam dunia Islam. Al-Kindi memandang filsafat selaku ilmu pengetahuan yang mulia, adalah ilmu wawasan mengenai karena dan realitas Ilahi yang pertama dan ialah alasannya adalah dari semua realitas yang lain. Ia melukiskan filsafat selaku ilmu dan kearifan dari segala kearifan. Filsafat bertujuan untuk memperkuat kedudukan agama dan merupakan bagian dari kebudayaan Islam.[17]
Dalam risalahnya yang ditujukan kepada al-Mu’tasim beliau menyatakan bahwa filsafat yaitu ilmu yang termulia serta terbaik dan yang tidak bisa ditinggalkan oleh setiap orang yang berfikir. Kata-katanya ini ditujukan kepada mereka yang menentang filsafat dan mengingkarinya, karena dianggapnya sebagai ilmu-kafir dan mempersiapkan jalan menuju kekafiran. Sikap mereka inilah yang selalu menjadi rintangan bagi filosof-filosof Islam, utamanya pada abad Ibn Rusyd.[18]
Kemudian menurut al-Kindi, filsafat yaitu pengetahuan kepada yang benar (knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar mustahil berlawanan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat. Agama di samping menerangkan wahyu juga memanfaatkan logika, dan filsafat memanfaatkan logika. Wahyu tidak bertentangan dengan filsafat, cuma alasan yang dikemukakan wahyu lebih meyakinkan ketimbang argumen filsafat. Keduanya bertujuan untuk menerangkan apa yang benar dan yang baik.[19]
Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Dengan demikian, menurut al-Kindi, orang yang menolak filsafat berarti mengingkari kebenaran. Ia mengibaratkan orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak jauh berlainan dengan orang yang memperdagangkan agama, dan orang itu pada hakekatnya tidak lagi beragama karena ia telah menjual agamanya.[20]
Menurut al-Kindi, kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran dari mana saja sumbernya. Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada suatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri dan tidak pernah meremahkan dan merendahkan orang yang menerima-nya.[21]
Ilmu filsafat mencakup ketuhanan, keesaanNya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu lain yang mengajarkan bagaimana jalan mendapatkan apa-apa yang bermamfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mudharat. Hal ini juga dibawa oleh para rasul Allah, dan juga mereka menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridhai-Nya.[22]
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa tujuan filsafat sejalan dengan fatwa yang dibawa oleh rasul. Oleh alasannya itu, sekalipun dia tiba dari Yunani, maka kita berdasarkan al-Kindi, wajib mempelajarinya, bahkan lebih jauh dari itu, kita wajib mencarinya.[23]
Dalam perjuangan memadukan antara filsafat dan agama ini, al-Kindi juga membawakan ayat-ayat al-Qur’an. Menurutnya menerima dan mempelajari filsafat sejalan dengan pemikiran al-Qur’an yang menyuruh pemeluknya untuk meneliti dan membicarakan segala fenomena di alam semesta ini. Di antara ayat-ayatnya adalah sebagai berikut:
1. Surat Al-Nasyr [59]: 2
“…….Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”
2. Surat Al-A’raf [7]: 185
“Dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah…”
3. Surat Al-Ghasyiyah [88]: 17-20
“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan dan langit, bagaimana beliau ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana dia ditegakkan? Dan bumi bagaimana beliau dihamparkan?”
4. Surat Al-Baqarah [2]: 164
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di maritim membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berbentukair, kemudian dengan air itu Dia hidupkan bumi sehabis mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis binatang, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sangat (terdapat) gejala (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang menimbang-nimbang.”
Dengan demikian al-Kindi telah membuka pintu bagi penafsiran filosofis terhadap al-Qur’an, sehingga menghasilkan antara wahyu dan logika dan antara filsafat dan agama. Lebih lanjut dia mengemukakan bahwa pemaduan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan berikut:
1. Ilmu agama bab dari filsafat
2. Wahyu yang diturunkan terhadap nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian
3. Menuntut ilmu secara nalar ditugaskan oleh agama.[24]
Al-Kindi juga menghadapkan argumennya terhadap orang-orang agama yang tidak senang dengan filsafat dan filosof, kalau ada orang yang mengatakan bahwa filsafat tidak perlu, mereka harus memberikan argument dan menjelaskannya. Usaha pinjaman argument tersebut ialah bab dari penelusuran pengetahuan tentang hakikat, untuk hingga pada yang dimaksud, secara akal mereka mesti memiliki wawasan filsafat. Kesimpulannya bahwa filsafat mesti dimiliki dan dipelajari.[25]
Dari paparan di atas mampu disimpulkan hahwa al-Kindi ialah pionir dalam melakukan usaha pemaduan antara filsafat dengan agama atau antara logika dan wahyu. Dalam hal ini dapat dikatan bahwa al-Kindi telah memainkan peranan yang besar dan penting di pertunjukan filsafat Islam, sehinga ia melapangkan jalan bagi para filosof Islam yang tiba lalu.
4. Filsafat Ketuhanan al-Kindi
Menurut al-Kindi Allah ialah wujud yang bantu-membantu, bukan berasal dari tiada kemudian ada, Ia mustahil tidak ada dan akan ada selamanya. Allah yaitu wujud yang tepat dan tidak didahului oleh wujud lain. Wujudnya tidak berakhir sedang wujud lainnya disebabkan wujud-Nya. Ia ialah maha esa yang tidak ada dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek, Ia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan.[26]
Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga pada proposisi filosofis. Menurut al-Kindi, Tuhan itu tidak memiliki hakikat, baik hakikat secara juziyyah atau aniyah (sebagian) maupun hakikat secara kulliyah atau mahiyah (keseluruhan). Tuhan bukan benda yang memiliki sifat fisik dan tidak pula termasuk dalam benda-benda di alam ini. Tuhan tidak tersusun dari bahan (al-hayūla) dan bentuk (al-shūrat) tidak ialah genus atau spesies. Tuhan adalah Pencipta (Khaliq). Tuhan yaitu Yang Maha Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Maha Tunggal (al-Haqq al-Wahid).[27]
AL-Kindi juga menolak usulan yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu bangkit sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang mampu ditangkap indera. Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, namun sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dari Zat-Nya.[28]
Al-Kindi juga menyatakan bahwa Allah itu cuma mampu dilukiskan dengan kata-kata negative; Allah tidak sama dengan ciptaan-Nya, Allah tidak berbentuk, Allah tidak berbilang, Allah tidak berbagi. Ia yaitu Maha Esa (wahdat) dan yang selainnya berbilang.[29] Makara Al-Kindi dalam mengesakan Allah amat menekankan ketidak samaan-Nya dengan ciptaan-Nya.
Al-Kindi dalam menunjukan adanya Tuhan, ia meningkatkan tiga argument ialah:
1. Baharunya alam. Dalam hal ini al-Kindi mengemukkan pertanyaan secara filosofis; apakah mungkin sesuatu menjadi penyebab bagi wujud dirinya? Dengan tegas al-Kindi menjawab; mustahil, alasannya adalah alam ini memiliki awal waktu, setiap yang memiliki awal akan ada sesudahnya, justru itu setiap benda atau alam niscaya ada yang mewujudkannya, mustahil benda itu sendiri yang menjadi penyebabnya. Maka yang mewujudkannya itulah Tuhan.
2. Keaneka ragaman dalam wujud. Menurut al-Kindi dalam alam empiris ini mustahil ada keanekaragaman tanpa ada keseragaman atau sebaliknya. Terjadinya keragaman dan keanekaragaman ini bukan sekedar kebetulan, namun ada yang menyebabkan dan yang merancangnya. Sebagai penyebabnya tidak mungkin alam itu sendiri.kalau penyebabnya alam itu sendiri, maka akan terjadi rangkaian yang tidak akan habis-habisnya. Sementara sesuatu yang tidak selsai tidak mungkin terjadi. Karena harus ada ‘illat atau syarat yang berada di luar alam itu sendiri. Itulah Tuhan Allah SWT.
3. Kerapian alam. berdasarkan al-Kindi bahwa alam empiris ini mustahil terkendali dan terstruktur tanpa ada yang mengendalikan. Pengendali dan pengatur pasti berada di luar alam. Zat itu tidak tampakpada alam ini. Itulah adanya Tuhan.[30]
5. Filsafat Jiwa (Al-Nafs) al-Kindi
Didalam al-Qur’an dan hadits Nabi SAW, tidak menerangkan secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok pemikiran Islam mengumumkan bahwa insan tidak akan mengenali hakikat roh sebab itu yaitu urusan Allah bukan persoalan manusia.[31] Oleh karena itu kaum filosof Muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan oleh filosof Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan anutan Islam.[32]
Jiwa atau roh yakni salah satu pokok pembahasan al-Kindi, bahkan al-Kindi yaitu filsuf Muslim pertama yang membicarakan hakikat roh secara jelas. Al-Kindi berpendapat bahwa roh mempunyai esensi dan eksistensi yang terpisah dengan badan dan tidak tergantung satu sama lainnya.[33] Jiwa bersifat rohani dan Ilahy. Sementara itu jisim mempunyai hawa nafsu dan murka. Al-Kindi juga mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith ( tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar). Jiwa memiliki arti penting, sempurna, dan mulia. Substansi (jauhar)-nya berasal sari sustansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan matahari.[34]
Argument ihwal beda jiwa dengan badan, menurut al-Kindi ialah jiwa menentang keinginan hawa nafsu. Apabila nafsu marah mendorong menusia untuk melakukan kejahatan, maka jiwa yang menentangnya. Hal ini mampu dijadikan indikasi bahwa jiwa selaku yang melarang pasti tidak sama dengan hawa nafsu selaku yang dilarang.[35]
Dalam hal ini usulan al-Kindi lebih erat dengan pertimbangan Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan ialah kesatuan accident, binasanya badan tidak menenteng binasa pada jiwa, namun beliau tidak mendapatkan pendapat Plato yang menyampaikan bahwa jiwa berasal dari alam idea.[36]
Al-Kindi membagi jiwa atau roh ke dalam tiga daya, ialah daya berangasan (al-quwwah asy-syahwaniyah) yang terdapat di perut, daya pemarah (al-quwwah al-gadabiyah) yang terdapat di dada, dan daya berfikir (al-quwwah al-natiqah) yang berpusat di kepala.[37] Daya yang terpenting adalah daya berfikir, sebab daya itulah yang mengangkat eksistensi manusia kederajat yang lebih tinggi.[38]
Al-Kindi membandingkan daya berangasan pada manusia dengan babi, daya murka dengan anjing, dan daya pikir dengan malaikat. Kaprikornus, orang yang dikuasai oleh daya bergairah, tujuan hidupnya mirip yang dimiliki oleh babi, siapa yang dikuasai oleh nafsu murka, dia bersifat seperti anjing, dan siapa yang dikuasai oleh daya pikir, beliau akan mengenali hakikat-hakikat dan menjadi insan utama yang hampir mirip sifat Allah, mirip bijaksana, adil, pemurah, baik, memprioritaskan kebenaran dan keindahan.[39]
Selanjutnya Al-Kindi membagi logika pada empat macam; satu berada di luar jiwa insan dan yang tiga lagi berada di dalamnya.[40]
1. Akal yang selamanya dalam aktualitas (al-‘aql al-lazi bi al-fi’il Abadan). Akal pertama ini berada di luar jiwa insan, bersifat Ilahi, dan selamanya dalam aktualitas.
2. Akal bersifat memiliki potensi (al-aql bi al-quwwah), ialah akal murni yang ada dalam diri manusia yang masih berupa potensi dan belum menerima bentuk-bentuk indrawi dan yang akali.
3. Akal yang bersifat perolehan (acquired intellect). Ini ialah nalar yang sudah keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan anutan abstraksinya.
4. Akal yang berada dalam kondisi actual konkret, saat dia konkret, maka beliau disebut logika “yang kedua”. Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang sudah meraih tingkat kedua dari aktualitas. Ia dapat diibaratkan dengan proses penulisan jika seseorang sunguh-sungguh melaksanakan penulisan.[41]
Menurut al-Kindi, tidak semua roh yang lanjut pergi ke alam kebenaran, cuma roh yang sudah suci saja yang bisa mencapainya. Al-Kindi tanpaknya tidak yakin dengan kekekalan eksekusi kepada jiwa, namun meyakini bahwa pada balasannya jiwa akan memperoleh keamanan dan naik ke alam nalar yang berada di lingkungan cahaya Tuhan. Roh yang sudah memasuk wilayah tersebut sudah dapat melihat Tuhan. Karena itu senantiasa roh mendambakan penyatuan kembali dengan sumbernya. Roh yang bersihlah dapat menyatu dengan sumbernya. Menurutnya roh yang kotor mesti dibersihkan dahulu ke bulan, kemudian lanjut ke Mercurius dan seterusnya hingga sampai ke alam logika yang berada dilingkuangan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan [42].
C. Al-Razi
1. Biografi
Nama Lengkap Al- Razi yakni Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi. di barat diketahui dengan istilah Rhazes. Dia lahir di Rayy, suatu kota yang erat Teheran, Iran pada tanggal 1 sya’ban 251 M/865 M.[43]
Pada kurun mudanya beliau pernah menjadi tukang intan, penukar duit, dan pemain kecapi. Kemudian, dia meletakkan perhatian yang besar kepada ilmu kimia dan meninggalkannya sehabis matanya diserang penyakit akhir eskperimen-eksperimen yang dilakukannya. Setelah itu, beliau beralih dan mendalami ilmu kedokteran dan filsafat.[44]
Perlu pula diingatkan bahwa lingkungan Al-Razi kawasan dia bertempat tinggal, sudah dimaklumi bahwa Iran, yang sebelumnya terkenal dengan istilah Persia, semenjak lama sudah dikenal dengan sejarah peradaban insan. Kota ini merupakan tempat pertemuan aneka macam peradaban, terutama peradaban Yunani dan Persia. Dalam bidang penyatuan kebudayaan Persia dan Yunani inilah terletakknya salah satu jasa dari Alexander Yang Agung pada tahun 331 SM[45]. Suasana lingkungan ini termasuk yang mendorong bakat Al-Razi tampil sebagai seorang intelektual.
Al-Razi dikenal sebagai seorang dokter yang gemar memberi, penyayang terhadap pasien-pasiennya, kearena itu dia sering memperlihatkan pengobatan hanya-hanya terhadap orang-orang miskin. Karena reputasinya dibidang kedokteran ini, Al-Razi pernah diangkat menjadi kepala rumah sakit Rayy pada kala pemerintahan Gubernur Al Mansur ibnu Ishaq. Kemudian dia pindah ke Baghdad dan memimpin rumah sakit disana pada abad pemerintahan Khalifah Al-Muktafi. Setelah Al-Mukhtafi meninggal,beliau kembali ke kota lairnya dan meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 27 Oktober 925 M dalam usia 60 tahun.[46]
Disiplin ilmu Al-Razi mencakup ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran dan filsafat. Ia lebih terkenal selaku andal kimia dan jago kedokteran dibandingkan sebagai seorang filosof. Ia sungguh tekun menulis dan membaca, agaknya inilah yang menimbulkan penglihatannya berangsur-angsur melemah dan risikonya buta total. Akan namun, ia menolak untuk diobati dengan mengatakan pengobatan akan sia-sia belaka alasannya adalah sebentar lagi beliau akan meninggal.[47]
2. Karya Tulisnya
Al-Razi, dalam autobigrafinya pernah beliau katakan, bahwa beliau sudah menulis tidak kurang dari 200 buah karya tulis dengan aneka macam bidang ilmu wawasan. Karya tulisnya dalam bidang kimia yang populer yaitu kitab al-Asrār yang diterjemahkan kedalam bahasa latin oleh Geard fo Cremon. Dalam bidang medis karyanya yang paling besar yaitu al-Hawi yang merupakan ensiklopedia ilmu kedokteran, diterjemahkan kedalam bahasa latin dengan judul Continens yang tersebar luas dan menjadi buku pegangan utama di kelompok kedokteran Eropa sampai masa ke-17 M. [48]
Bukunya di bidang kedokteran juga ialah al-Mansuri Liber al-Mansoris 10 jilid disalin ke dalam berbagai bahasa barat sampai selesai kala XV M. Kitab al Judar wa al-Hasbah tulisannya yang berisikan analisis ihwal penyakit cacar dan campak beserta pencegahannya, diterjemahkan orang ke dalam aneka macam bahasa barat dan terakhir kedalam bahasa Inggris tahun 1847 M, dan dianggap buku bacaan wajib ilmu kedokteran barat. Kemudian, buku-bukunya yang lain adalah al-Thibb al-Ruhani, al-Sirah al-Falsafah, dan yang lain. Sebagian karya tulisnya sudah dikumpulkan menjadi satu kitab yang berjulukan al- Rasā’il Falsafiyyat.[49]
3. Filsafatnya
a. Lima Kekal (Kadim)
Filsafat Al-Razi populer dengan ajarannya Lima Kekal, ialah al-Bāry Ta’āla (Allah Ta’āla),al-Nafs al-Kulliyyat (Jiwa Universal), al-Hayūla al-Ūla (Materi Pertama), al-Makān al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut) dan al-Zamān al-Muthlaq (era adikara). Menurut Al-Razi dua dari lima yang infinit itu hidup dan aktif ialah Allah dan roh. Satu di antaranya tidak hidup dan pasif, ialah materi. Satu di antaranya tidak hidup dan pasif, ialah materi. Dua lainya tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif, ialah ruang dan abad.[50]
1. Al-Bāry Ta’āla
Menurut Al-Razi Allah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam diciptakan Allah bukan dari tidak ada (creation ex nihilo), tetapi dari materi yang sudah ada. Oleh alasannya adalah itu, menurutnya alam semesta tidak kadim, baharu, meskipun ,materi asalnya kadim, sebab penciptaannya di sini dalam arti disusun dari bahan yang sudah ada[51]. Penciptaan dari tiada, bagi Al-Razi, tidak dapat dipertahankan secara logis. Pasalnya, dari satu sisi bahan alam yang tersusun dari tanah, udara, air, api, dan benda-benda langit berasal dari bahan pertama yang sudah ada semenjak azali. Pada sisi lain, kalau Allah menciptakan alam dari tiada, pasti ia terikat pada penciptaan segala sesuatu dari tiada sebab hal ini merupakan modus perbuatan yang paling sederhana dan cepat. Namun kenyataanya, penciptaan seperti itu suatu hal yang mustahil.[52]
Timbulnya keyakinan adanya yang abadi selain Allah, dalam filsafat Al-Razi ini, agaknya disebabkan filsafat adanya Allah yang merupakan sumber Yang Esa yang tetap. Namun demikian, kekalnya yang lain tidak sama dengan kekalnya Allah.
2. Al-Nafs al-Kulliyyat (Jiwa Universal)
Jiwa universal ialah al-mabda al-qadīm al- Sāny (sumber infinit yang kedua). Pada benda-benda alam tersebut terdapat daya hidup dan gerak, susah diketahui alasannya adalah dia tanpa bentuk, yang berasal dari juwa universal yang juga bersifat kekal. Padanya terdapat daya hidup dan bergerak, susah diketahui karena ia tanpa rupa-namun alasannya ia dikuasai naluri untuk bersatu dengan al-hayūla al-Ūla (bahan pertama), terjadilah pada zatnya rupa yang mampu diterima fisik. Sementara itu, materi pertama tanpa fisik, Allah tiba menolong roh dengan menciptakan alam semesta termasuk tubuh manusia yang ditempati roh,[53] semoga jiwa itu mampu melampiaskan nafsu kejinya dengan mengambil bab-bagian kesenagan-kesenangan materi untuk sementara waktu.[54]
Begitu pula Allah membuat akal. Ia merupakan limpahan dari Allah. Tujuan penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik insan, bahwa tubuh itu bukanlah kawasan yang bekerjsama, bukan kawasan kebahagiaan dan tempat awet. Kesenangan dan kebahagian yang bantu-membantu adalah melepaskan diri dari bahan dengan jalan filsafat. Jiwa yang tidak mampu menyucikan dirinya dengan filsafat, ia akan tetap tinggal atau berkelana di alam materi. Akan tetapi, apabila beliau sudah bersih dia mampu kembali kealam asalnya, saat itu alam hancur dan jiwa serta bahan kembali kepada keadaannya semula.[55]
3. Al-Hayūla al-Ūla (Materi Pertama)
Materi ialah abadi (jauhar qadīm). Ia disebut juga hayula muthlaq (materi mutlak), yang tidak lain yaitu atom-atom yang tidak bisa dibagi lagi. Menurut Al-Razi, Atom-atom yang tidak membuatkan itu mempunyai volume (a’zham). Oleh sebab itu, ia mampu dibentuk. Dengan penyusunan atom-atom tersebut terbentuklah alam dunia. Partikel-partikel materi yakni alam memilih kualitas-mutu primer dari bahan tersebut. Partikel yang lebih padat menjadi unsur tanah, partikel yang lebih renggang dibandingkan dengan komponen tanah menjadi bagian air, partikel yang lebih renggang lagi menjadi unsure udara, dan yang jauh lebih renggang menjadi unsur api.[56]
Untuk memperkuat pendapatnya wacana kekekalan materi pertama, Al-Razi memajukan dua argument. Pertama, adanya penciptaan mewajibkan adanya pencipta. Materi yang diciptakan oleh pencipta yang baka pasti baka pula. Kedua, ketidakmungkinan penciptaan dari creatio ex nihilo. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa alam diciptakan Allah dari materi yang sudah ada, ialah materi pertama yang sudah ada sejak azali.[57]
4. al-Makān al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut)
Ruang diketahui oleh Al-Razi sebagai rancangan yang abstrak, yang berbeda dengan Aristoteles yang mengatakan “kawasan” (Totos) tidak mampu dipisahkan secara logis dari tubuh yang menempati.[58] Oleh sebab itu, ruang, berdasarkan Al-Razi, mampu dibedakan menjadi dua macam:ruang particular (al-Makan al-kully). Ruang yang pertama terbatas dan terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya. Ruang tersebut tidak akan ada tanpa adanya maujud sehingga dia tidak bisa diketahui secara terpisah dengan maujud. Ruang partikular ini akan terbatas dengan terbatasnya maujud, berubah dan lenyap sesuai dengan keadaan maujud yang ada didalamnya. Sementara yang kedua tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas. Ruang, bagi Al-Razi, bisa saja berisi wujud atau yang bukan wujud sebab adanya kehampaan mampu saja terjadi. Sebagai bukti ketidakterbatasan ruang, Al-Razi mengatakan bahwa wujud(tubuh) memerlukan ruang dan dia mustahil ada tanpa adanya ruang, tetapi ruang bisa ada tanpa adanya wujud tersebut. Ruang universal ini sering juga disebut al-khala (kosong) dan ruang inilah yang dibilang Al-Razi ruang yang infinit.[59]
5. al-Zamān al-Muthlaq (era diktatorial)
Sebagaimana ruang, waktu atau zaman juga dibedakan Al-Razi antara waktu mutlak (tak terbatas) dan waktu mahshūr (terbatas). Untuk yang pertama dia sebut dengan al- dhar, bersifat kadim dan substansi yang bergerak atau mengalir (jauhar yajri). Sementara itu, waktu mahshur yaitu waktu yang berlandaskan pada pergerakan planet-planet, perjalanan bintang-bintang, dan mentari. Waktu terbatas itu tidak kekal, yang dia ebut dengan al-Waqiy. Dengan demikian, waktu mutlak atau apsolut, menurut Al-Razi, telah ada sebelum adanya waktu yang terbatas ini yang terikat dengan gerakan bola bumi.[60]
b. Akal, Kenabian, dan Wahyu
Bagi al-Razi, nalar menjadi kompas utama dalam kehidupan setiap manusia. Akal diberikan oleh Tuhan terhadap setiap insan dalam kekuatan yang serupa. Perbedaan timbul sebab pengaruh pendidikan, lingkungan dan suasana. Manusia bebas untuk menerima ilmu pengetahuan dari manapun sumbernya. Sebab, ilmu itulah yang hendak menyucikan jiwanya, untuk mampu kembali kepada Tuhannya.[61]
Al-Razi dikenal sebagai seorang rasionalis murni. Akal, menurutnya ialah karunia Allah yang paling besar untuk manusia. Dengan logika manusia dapat menemukan faedah sebanyak-banyaknya, bahkan mampu menemukan pengetahuan perihal Allah. Oleh karena itu, manusia tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekangnya, tetapi harus menawarkan kebebasan padanya dan mesti merujuknya dalam segala hal.
Banyak kalangan yang menyampaikan bahwa Al-Razi terlalu berani dalam mengembangkan pendapat-pendapatnya, bahkan Harun Nasution menyampaikan bahwa Al-Razi adalah filosof muslim yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya sungguhpun dia berlawanan dengan faham yang dianut umat Islam. Selanjutnya, Harun Nasution menyimpulkan dari gagasan-gagasan Al-Razi tersebut, yakni a. tidak yakin pada wahyu, b. Alqur’an bukan mukjizat, c. tidak yakin pada nabi-nabi, d. adanya hal-hal yang abadi selain dari Allah.[62]
Badawi sebagaimana yang dikutib oleh Sirajuddin Zar, menandakan argumentasi-alasan Al-Razi dalam menolak kenabian selaku berikut.
a. Akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat, yang berkhasiat dan yang tak berguna. Dengan logika saja insan bisa mengetahui Allah dan mengontrol kehidupannya dengan sebaik-baiknya.\
b. Tidak ada argumentasi yang berpengaruh bagi pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing siapa saja alasannya adalah siapa saja lahir dengan kecerdasan yang serupa. Perbedaan insan bukan sebab pembawaan alamiah, tetapi alasannya pengembangan dan pendidikan.
c. Para nabi saling bertentangan. Pertentangan tersebut sebaiknya tidak ada jika mereka mengatakan atas nama satu Allah.[63]
Kemudian Al-Razi juga mengkritik agama secara umum. Ia juga menerangkan kontradiksi Yahudi, Katolik, Mani, dan Majusi secara rinci. Bahkan lebih lanjut ia katakana tidaklah masuk logika Allah menyuruh para nabi karena mereka mengakibatkan kemudharatan. Ia juga mengkritik secara sistematik kitab-kitab wahyu Quran dan Alkitab. Ia menolak kemukjizatan Quran, baik gayanya maupun isinya dan menegaskan bahwa ialah mungkin menulis kitab yang lebih baik dalam gaya yang lebih baik. Ia lebih senang membaca buku-buku ilmiah dibandingkan dengan Alqur’an. Atas dasar itulah, Badawi menyampaikan bahwa Al-Razi sangat berani, tidak ada seorang pemikir Islam pun seberani ia.[64]
Sirajudin Zar menyatakan, Perlu ditegaskan bahwa tuduhan-tuduhan ini berasal dari musuh debatnya Abu Hatim Al-Razi, tokoh Syi’ah Ismailyah. Oleh alasannya itu, berargumentasi dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Latif Muhammad Al-‘Abd, bahwa tuduhan-tuduhan tersebut ganjil, bahkan ia nilai mengandung sentiment. Hal ini lumrah terjadi bahkan orang yang kalah berupaya untuk memojokkan lawannya agar benci pula pada orang lain.[65]
Dalam buku al-Thibb al-Rūhani tidak ditemukan informasi bahwa Al-Razi mengingkari kenabian atau agama, bahkan sebaliknya beliau mengharuskan untuk menghormati agama dan berpegang teguh kepadanya supaya mendapatkan kenikmatan di akhirat berupa nirwana dan menerima laba berupa ridha Allah. Lebih jelasnya beliau katakan sebagai berikut: Manusia yang utama dan yang melaksanakan syariah secara sempurna tidak butuhtakut terhadap akhir hayat. Hal ini disebabkan syariah telah prospektif kemenangan dan kelapangan serta (menjanjikan) mampu mencapai kenikmatan baka.[66]
Berdasarkan uraian di atas sukar diterima bahwa orang yang menghargai agama di cap mulhid. Bahkan dia dalam buku-bukunya sering menulis shalawat terhadap Nabi Muhammad Saw. sebagai penghormatannya kepada ia, dan dia juga mengharuskan untuk memuliakan para nabi alasannya adalah mereka adalah manusia opsi yang mempunyai pribadi mulia.[67]
D. Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa al-Kindi ialah seorang filosof Islam yang pertama. Dialah yang menerangkan kedudukan antara agama dan filsafat, sehingga terjadi rekonsiliasi agama dan filsafat. Di antara filsafatnya ialah persoalan ketuhanan dan jiwa, dan masih ada lagi filsafatnya yang yang lain.
Disatu sisi harus kita mengakui, bahwa filsafat yang dikemukakan al-Kindi selaku sesuatu disiplin ilmu yang baru dimasanya, masih dianggap belum lengkap dalam artian yang luas, sehingga menerima kritikan dari para ahli pikir sesudahnya. Namun yang jelas al-Kindi sudah berupaya mempertemukan filsafat dan agama, atau nalar dan wahyu, serta lebih jauh lagi telah berupaya untuk mengislamkan ide-wangsit yang terdapat mampu dalam filsafat Yunani. Ia sudah merintis dan melapangkan jalan para filosof sesudahnya.
Sedangkan al-Razi ialah seorang dari enam tokoh filsafat di dunia Islam bagian Timur. Rentang kehidupannya berada di posisi kedua Al-Kindi, al-Farabi, Ibn Maskawaih, Ibnu Sina, dan al-Ghazali. Dia tergolong filosof yang sungguh berani mengemukakan gagasan-gagasannya dalam bidang filsafat baik mengenai lima yang awet maupun perihal kenabian dan peranan logika dalam mencari kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanfi, Pengantar Ilmu Filsafat , Jakarta: Bulan Bintang, 1990
Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
M.M. Syarif, (Ed) History of Muslim Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963
Nasution Harun, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesia, 1985
Nasution Harun, Falsafat dan Misticisme dalam Islam,Jakarta: Universitas Indonesia, 1993
Nasution Harun, Islam Rasuonal, Jakarta: Penerbit Mizan, 1989
Nasution Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998
Salam Abdus, Sains dan dunia Islam, Terj. Ahmad Baiquni Bandung, Salman ITP, 1983
Zar Sirajudin, Filsafat Islam: Filosof & filsafatnya, Jakarta: Rajawali press, 2009
[1] Harun Nasution, Islam Rasional, (Jakarta: Penerbit Mizan, 1989), h. 356
[2]Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, h. 69.
[3]Ibid
[4] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof & filsafatnya, (Jakarta: Rajawali press, 2009), h. 38
[5]Ensiklopedi Islam, Op. cit
[6]Sirajudin Zar, Op. cit.
[7] Ensiklopedi Islam, Op. cit, h.69-70
[8] Sirajudin Zar, Op. cit.
[9] Ensiklopedi Islam, Op. cit
[10]Ibid
[11] Ibid, h. 70
[12] Ibid
[13] Sirajudin Zar, Loc. Cit, h. 41
[14] Ensiklopedi Islam, Op. cit. h. 69
[15]Sirajudin Zar, Loc. Cit, h.42
[16] Ibid, h. 43
[17] Ensiklopedi Islam, Op.cit. h. 70
[18]Ahmad Hanfi, Pengantar Ilmu Filsafat , (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 74
[21]Abdus Salam, Sains dan dunia Islam, Terj. Ahmad Baiquni (Bandung, Salman ITP, 1983) h. 11.
[22] Sirajudin Zar, Op.cit, h.44
[23]Ibid, h. 45
[24] M.M. Syarif, (Ed) History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963), h. 425
[25] Sirajudin Zar, Op.cit, h.48
[26] Ibid
[27] Ensiklopedi Islam, Op.cit. h. 70
[28] Ibid
[29] Sirajuddin Zar, Op.cit, h. 52
[30]Ibid, h. 53-54
[31]Lihat : AS. Al-Isra’ [17] : 85
[32] Sirajuddin Zar, Op.cit, h. 59
[33] Ensiklopedi Islam, Loc.cit
[34] Sirajudin Zar, Loc.cit
[35]Ibid
[36] Ibid, h. 60
[37] Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1985), h. 9
[38] Ensiklopedi Islam, Loc.cit.
[39] Sirajuddin Zar, Op.cit, h. 61,
[40] Ibid
[41]Ibid, h. 62
[42] Ensiklopedi Islam, Op.cit, h. 71
[43] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h. 24
[44] Sirajuddin Zar, Op.cit, h.113
[45] Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1993), h. 8
[46] Sirajuddin Zar, Op.cit, h. 115
[47] Ibid, h. 116
[48] Ibid
[49] Ibid
[50] Harun Nasution, Op.cit. h. 8
[51] Sirajuddin Zar, Op.cit, h.117
[52] Ibid, h.118
[53] Ibid
[54]Hasyimsyah Nasution, Op.cit, h. 27
[55] Sirajuddin Zar, Loc.cit
[56]Ibid, h. 119
[57] Ibid
[58] Ibid, h. 120, lihat juga Majid Fakhry, Op.cit, h. 157
[59] Ibid
[60]Ibid
[61] http://kanzulfikri.wordpress.com/2008/09/25/buah-filsafat-al-razi
[62] Harun Nasution, Op.cit, h. 20-21
[63] Sirajuddin Zar, Op.cit, h. 122
[64] Ibid
[65] Ibid, h. 123
[66] Ibid
[67] Ibid, h. 124